Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Kamis, 05 Januari 2012

POLITIK ISLAM MENGARAHKAN SISTEM PENDIDIKAN YANG MELAHIRKAN GENERASI VISIONER



Oleh : Zidniy Sa’adah, M.Si


I.            VISI POLITIK ISLAM : PENDIDIKAN INVESTASI TERBESAR BAGI PERADABAN  
Allah SWT telah sebenarnya menetapkan bahwa kualitas generasi yang dihasilkan dari proses pendidikan di dalam Islam adalah generasi yang secara individual berkualitas Ulul Albab dan secara generasi berkualitas Khoiru Ummah. Kualitas generasi seperti ini kelak akan mampu memimpin bangsanya menjadi bangsa besar, kuat dan terdepan, bahkan akan mampu menghantarkan bangsanya menjadi pemimpin peradaban dan perkembangan teknologi dunia.
Jauh sebelum kebangkitan Eropa dan kebangkitan Amerika, kaum muslim dengan peradabannya telah berjaya memimpin peradaban dan perkembangan teknologi dunia selama 13 abad. Tidak ada kejayaan bangsa manapun yang dapat bertahan selama itu. Hunke dan Al – Faruqi dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di
masa khilafah Islam sehingga keberhasilan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi, setidaknya terdapat dua faktor yang menjadi sebab utamanya. [1]
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, akibat faktor Aqidah yang  menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat kuat dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Negara sangat memuliakan para pengajar/ilmuwan, menjamin kehidupan mereka, serius melakukan pemberdayaan perannya dan bahkan mendorong mereka untuk menguasai Ilmu setinggi-tingginya dengan motivasi yang berasal dari Al-Quran dan Assunnah.
Pada poin kedua inilah fokus tulisan ini mencoba diurai. Tidak bisa dibantah bahwa, faktor kemandirian dan kekuatan visi negara adalah faktor terpenting dalam menguasai ilmu pengetahuan dan mengarahkan desain sistem pendidikannya yang berkualitas. Sebab sistem politik negaralah yang akan mengarahkan pengelolaan seluruh sumber daya negara (baik SDA maupun SDM) untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.
Di dalam Islam, politik mempunyai makna pengaturan urusan umat dengan aturan islam baik didalam maupun luar negeri (ri’ayah syu’un al ummah dakhilian wa kharijiyan). Aktivitas politik dilaksanakan oleh rakyat (umat)dan pemerintah (Negara). Negara merupakan lembaga yang mengatur urusan tersebut secara praktis. Di sisi lain umat memberikan koreksi (muhasabah) kepada pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu tujuan politik Islam adalah memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum Islam dalam aspek-aspek penting manusia dan kehidupan yaitu : memelihara keturunan, memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa manusia, memelihara harta, memelihara agama, memelihara keamanan, dan memelihara negara. [2]
Termasuk juga bidang pendidikan, demi tercapainya tujuan politik Islam yakni memelihara Akal, maka negara berkewajiban mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9; TQS al- Mujadilah: 11). Kebijakan negara secara sistemik akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh supporting systemnya. Bukan hanya dari sisi anggaran, namun juga terkait media, riset, tenaga kerja, industri, sampai pada tataran politik Luar Negeri. Pemerintahan Islam benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan bagi keberlangsungan Islam.


II.            POLITIK DALAM NEGERI ISLAM : MENJAMIN PENDIDIKAN TIDAK MENJADI KOMODITAS
Allah SWT. berfirman dalam al-Quran: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiya [21]: 107). Islam diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta. Kerahmatan itu diwujudkan dengan menciptakan kebaikan untuk semua melalui kemampuan syariah Islam dalam memecahkan seluruh persoalan hidup manusia di dunia tanpa membeda-bedakan agama, mazhab, bangsa, ras, maupun jenis kelamin. Karena itu, di dalam Daulah Khilafah seluruh warga negara akan mendapatkan perlindungan atas jiwa, harta dan kehormatan tanpa diskriminasi.
Dalam hal pendidikan pun demikian. Daulah Khilafah tidak akan menyelenggarakan pendidikan secara diskriminatif. Pendidikan bebas bea yang bermutu dari tingkat dasar hingga menengah akan disediakan untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, mazhab, ras, suku bangsa maupun jenis kelamin. Untuk pendidikan tinggi, Daulah Khilafah akan menyediakan sesuai kemampuan
Pada masa Daulah Islam tegak yang dimulai dengan kepemimpinan Rasulullah di Madinah, model pendidikan sudah mulai dirintis dan Rasulullah adalah kepala negara yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Pada masa Kekhilafahan Islam berikutnya, pendidikan diberikan kepada seluruh warga negara tanpa biaya. Sehingga tidak ada dalam kamus sejarah Islam, bahwa pemerintah mencari keuntungan (profit) atau menarik bayaran dari rakyat dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Karena paradigma negara memetakan pendidikan sebagai kebutuhan primer rakyat yang wajib dipenuhi. Hal ini kemudian menjadi ruh dalam politik ekonomi dalam Islam yaitu jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer  (al-hajat al-asasiyah/basic needs). Kebutuhan primer bagi tiap individu adalah adalah sandang, pangan, dan papan. Ketiganya merupakan basic needs bagi setiap individu. Adapun yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan, dan pendidikan.
Politik dalam negeri Islam akan menjamin tercegahnya pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi. Apalagi sampai menarik bayaran atau tarif tertentu kepada rakyat. Yang kemudian memunculkan diskriminasi pada rakyat, karena seolah ada dua jenis pendidikan, yakni pendidikan untuk kalangan orang berada dan pendidikan untuk masyarakat umum. Menyikapi hal ini oleh karenanya sangat perlu dipahami prinsip-prinsip dasar penguasaan ilmu pengetahuan oleh sistem pendidikan, sebagai berikut : [3]
  1. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan secara sistemik oleh negara.
  2. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya bisa dilakukan berdasarkan kebijakan negara bukan didrive oleh kepentingan swasta apalagi asing.
  3. Kaum muslimin seharusnya hidup dalam suatu sistem Daulah Khilafah, yaitu daulah Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam serta melakukan dakwah Islam ke segala penjuru dunia sehingga Islam diterapkan untuk membentuk rahmatan lil ‘alamiin.
Demikianlah 3 (tiga) prinsip dasar ini harus dipenuhi oleh umat Islam yang diberi gelar oleh Allah Swt sebagai khayru ummah (umat terbaik). Harus diingat, bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada zaman kejayaan umat Islam di masa lalu memang tidak bisa dilepaskan dari tegaknya sistem kekhilafahan, dimana adanya sistem komando yang terintegrasi secara global yang peranan secara politik sejalan dengan peranan agama. Kita juga mendapatkan gambaran dalam sejarah bahwa sosok para pemimpin terdahulu yang shaleh selain sebagai seorang negarawan yang handal dan mumpuni, juga sebagai seorang ‘ulama wara’ yang takut pada Rabb-nya, mencintai ilmu serta mencintai rakyatnya. Pada aspek ini kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan peradaban Islam yaitu agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu kendali sistem Kekhilafahan dibawah pimpinan seorang Khalifah.
Sementara itu tolok ukur kemampuan penguasaan teknologi yaitu sebuah negara menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara sistemik, adalah jika : [4]
  1. mampu membentuk sistem pendidikan sesuai dengan pandangan hidup negara serta problem-problem yang dihadapi negara
  2. mampu membentuk kemampuan penelitian yang mengarah kepada penyelesaian problem-problem yang dihadapi negara
  3. mampu membentuk sistem industri yang mengaplikasikan hasil penelitian
  4. mampu membentuk sistem industri yang mampu memperoleh keuntungan ekonomi secara wajar
  5. mampu mengarahkan sistem industri kepada penyelesaian problem-problem yang dihadapi berangkat dari visi dan misi negara
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar inilah terlihat bahwa negara yang kuat dan mandiri akan mensinergikan semua komponen strategisnya demi menguasai ilmu pengetahuan. Dari mulai sistem pendidikan, kemampuan riset, sistem industri, pola pemetaan tenaga kerja, hingga bagaimana politik diplomasi dan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Semua dirancang secara sinergis yang berangkat dari garis-garis politik negara.

III.            POLITIK LUAR NEGERI ISLAM : MENCEGAH PENDIDIKAN MENJADI ALAT PENJAJAHAN
Bagi negara berideologi Kapitalisme, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu agen ekonomi yang paling signifikan, di samping politik, hukum serta perubahan sosio-kultural.  Karena itu, untuk membangkitkan ekonomi, perlu kebangkitan teknologi dan ilmu pengetahuan. Lihatlah sentra-sentra industri pendidikan tinggi yang mendunia dan sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, dan Canberra. Dari kota-kota itulah proses kapitalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi abad 21 ini dimulai, terutama ketika dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh ilmu pengetahuanknowledge-and technology-driven economic growth.
Oleh karena itu benarlah analisis Susan Strange bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu kekuatan dunia; “knowledge is power, whoever is able to develop or acquire and to deny the access of others to a kind of knowledge respected and sought by others will exercise a very special kind of structural power.” [5] Karena itu hari ini praktek monopoli ilmu pengetahuan menjadi semacam syarat agar sebuah negara mampu memimpin dunia. Inilah yang dilakukan dunia Barat terhadap negeri-negeri Islam, yang berdampak pada makin tingginya tingkat dependensi negeri-negeri Islam dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan kepada mereka.
Kondisi ketergantungan ini, sungguh ironis. Karena sesungguhnya umat Islam dahulu pernah menjadi yang terdepan dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Ilmuwan Islam telah menemukan banyak hal, kemudian ilmu itu disusun dalam buku-buku pengetahuan yang senantiasa dikembangkan melalui penelitian-penelitian. Ilmuan besar seperti Abu Sina, al Farabi, Ibn Khaldun, al Khawarizmi dan lain sebagainya membuktikan bahwa Islam pernah memimpin kejayaan ilmu pengetahuan.
Namun seiring dengan kemunduran Islam, para ilmuwan Islam pun semakin sedikit dan malah sumber-sumber ilmu pengetahuan dalam ribuan buku dihancurkan dan sebagian diambil pihak Barat untuk dikembangkan. Akhirnya kemudian yang mengalami perkembangan pesat ilmu pengetahuan justru bukanlah Islam, melainkan Barat. Karena memang kajian, penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan sangat giat dilakukan di Barat. Sedangkan negara Muslim sendiri tidak serius terhadap hal itu sehingga senantiasa tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan.
Demi menjawab persoalan adanya ketergantungan negeri-negeri Islam kepada negara-negara Barat dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pada bagian ini secara khusus akan diulas bagaimana politik luar negeri Islam dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Politik luar negeri Islam memiliki garis politik yang akan mencegah pendidikan sebagai alat penjajahan, apakah Daulah Islam sebagai subyek ataupun obyek.  Dengan kata lain Daulah Islam tidak akan menjajah negeri lain atas nama pendidikan ataupun membiarkan dirinya dijajah karena kebutuhan akan ilmu pengetahuan.
Daulah Khilafah akan mengakhiri politik luar negeri negeri-negeri Islam yang penuh nuansa kelemahan dan ketertundukan terhadap Barat, diganti dengan pola baru dengan dasar Islam. Berdasarkan syariah Islam, Khilafah akan membangun hubungan dengan negara-negara lain baik di bidang ekonomi, politik, budaya atau pendidikan. Dalam seluruh urusan luar negeri, Khilafah akan memastikan bahwa dakwah Islam bisa disampaikan kepada seluruh umat manusia dengan cara yang terbaik. Sabda Rasulullah saw:
»أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَاِلَهَ إِلاَّاللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ«
“Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Apabila mereka mengakuinya, maka darah dan harta mereka terpilihara dariku, kecuali dengan yang hak, jika melanggar syara”.
Negara Khilafah Islam akan menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (thariqah) tertentu yang tidak berubah, yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah meskipun para penguasa Negara Islam berganti. Metode ini tidak berubah sejak Rasulullah saw. mendirikan Negara di Madinah, sampai keruntuhan Khilafah Islam. Saat Rasulullah di Madinah, beliau menyiapkan tentara dan memprakarsai jihad untuk menghilangkan berbagai bentuk halangan fisik yang mengganggu dakwah Islam. Kaum kafir Quraisy, adalah salah satu hambatan fisik yang menghalangi penyebarluasan Islam, sehingga harus diperangi. Rasulullah berhasil menyingkarkan hambatan fisik dari institusi pemerintahan kaum kafir Quraish dan kabilah-kabilah lain di Jazirah Arab, hingga Islam menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. Adapun hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara lain akan dibangun dengan pola sebagai berikut :



1.       Hukum Islam Tentang Hubungan Internasional [6]
1.1.     Hubungan dengan penguasa negeri-negeri Muslim
Negeri Muslim adalah wilayah Islam yang dikuasai oleh penjajah pasca kehancuran Khilafah Utsmaniyah. Dalam pandangan Islam, menyatukan negeri-negeri Muslim dalam satu kepemimpinan merupakan sebuah kewajiban. Inilah mengapa Khilafah tidak menganggap hubungan dengan negeri-negeri Muslim tersebut sebagai bagian dari politik luar negeri. Khilafah akan melakukan berbagai upaya keras untuk menyatukan kembali negeri-negeri ini menjadi sebuah negara di bawah bendera Daulah Khilafah.

1.2.     Hubungan dengan negara-negara Kafir
1.       Negara yang menduduki wilayah Islam, atau negara yang terlibat secara aktif memerangi umat Islam seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan India. Hubungan dengan negara-negara ini ditetapkan berdasarkan kebijakan Harbi Fi’lan (perang riil). Tidak boleh ada hubungan diplomatik maupun ekonomi antara Khilafah dengan negara-negara musuh ini. Warga negara mereka tidak diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah. Meski tengah terjadi gencatan senjata yang bersifat temporer, negara-negara itu tetap diperlakukan sebagai harbi fi’lan. Hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara tersebut tetap tidak dilakukan.
2.       Negara-negara Kafir yang tidak menduduki wilayah Islam, atau tidak sedang memerangi umat Islam, akan tetapi mereka mempunyai niat menduduki wilayah Islam. Khilafah tidak menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir seperti ini. Tapi warga negaranegara tersebut diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah dengan visa sekali jalan (single entry).
3.       Negara-negara Kafir selain kedua kategori di atas. Terhadap negara-negara seperti ini, Khilafah diizinkan membuat perjanjian. Sambil terus mengamati skenario politik internasional, Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam. Di samping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir jenis ini harus dilakukan sesuai dengan syariah Islam. Daulah Khilafah yang menguasai sumberdaya minyak, gas dan aneka mineral yang melimpah serta memiliki kekuatan militer yang tangguh, kedudukan yang strategis di dunia, visi politik yang cemerlang, pemahaman tentang situasi politik internasional yang mendalam serta umat yang dinamis, akan mampu menghindari isolasi politik internasional dan terus berupaya meraih kedudukan sebagai negara terkemuka di dunia.

Berdasarkan hukum-hukum Islam inilah, maka Khilafah tidak akan menandatangani perjanjian Comprehensive Partnership dengan Amerika Serikat atau perjanjian lain yang semisal. Karena sudah jelas AS termasuk negara yang memerangi kaum Muslimin secara riil, maka tidak ada hubungan apapun dengan AS kecuali status perang.
Khilafah tidak akan meminta bantuan AS, Inggris, ataupun negara-negara kolonialis lainnya untuk menyelesaikan masalah umat Islam. Termasuk saat ada masalah kualitas pendidikan dan kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Khilafah akan berlepas diri dari negara-negara imperialis tersebut dan secara mandiri akan berupaya serius membangun kemampuannya sendiri

2.       Perjanjian Internasional Di Bidang Pendidikan Dalam Pandangan Islam
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) dengan tsaqafah. Ilmu pengetahuan–termasuk sains dan teknologi—bersifat universal, tidak dimiliki dan dimonopoli oleh suatu bangsa tertentu. Siapa pun berhak mendapatkan dan mempelajarinya. Contohnya, adalah ilmu kimia, fisika, astronomi, anatomi, teknologi, dan sejenisnya. Adapun tsaqafah selalu terkait dengan pandangan hidup tertentu, seperti ilmu hukum, sistem ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu pemerintahan, dan sejenisnya.
Negara khilafah-–sebagai negara yang bersifat ideologis—harus memelihara tsaqafah generasi-generasinya agar kaum muslim memiliki Kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) yang khas dan mulia. Dengan begitu, negara Khilafah mewajibkan seluruh sistem, program, dan kurikulum pendidikan yang berlaku di seluruh tempat pendidikan yang ada di bawah naungan Negara Khilafah Islam, merujuk pada sistem, serta program dan kurikulum negara khilafah. Selain itu, negara harus menjamin bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di negerinya bersih dari pengaruh ideologi ataupun pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan akidah Islam, dan bebas dari budaya asing.
Berdasarkan hal ini, maka negara Khilafah tidak pernah mengizinkan pembukaan sekolah-sekolah asing yang bersifat otonom di negara Khilafah. Begitu pula misi-misi kebudayaan, ataupun bantuan (supervisi) dari luar negeri yang menyangkut tsaqafah asing, tidak diberi peluang untuk dapat memasuki wilayah negara Khilafah. Akan tetapi, kerja sama ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi dengan negara-negara kafir Mu’ahid diperbolehkan sesuai dengan bentuk kerja samanya dengan negara-negara tersebut. Kecuali dengan negara kafir harbi fi’lan ataupun yang tidak memiliki kerjasama/perjanjian.
Dalam bidang pendidikan, Khilafah Islam dengan garis politik luar negerinya dan strategi diplomasinya akan secara proaktif melakukan kerjasama dengan negara-negara selain negara musuh. Bisa jadi tukar-menukar staf pengajar dan utusan-utusan antara dua negara dalam menyebarkan budaya dan bahasa di negara lain. Prinsip-prinsip perjanjian internasional Negara Khilafah di bidang Pendidikan : [7]
  1. Negara Islam melaksanakan kurikulum pendidikannya dengan politik kebijakan tertentu  untuk membentuk Syakhshiyyah Islamiyah (Kepribadian Islam)
  2. Syariat Islam telah membolehkan aktivitas belajar mengajar dalam kerangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat dan dunia
  3. Negara Islam boleh membuat perjanjian untuk mendatangkan guru ataupun dosen dalam bidang ilmu2 eksperimental dari luar negeri karena seorang guru terikat dengan kurikulum negara dan tidak boleh keluar darinya
  4. Tidak boleh membuat sebuah perjanjian yang isinya membolehkan negara lain untuk menyebarkan pemikiran dan menyiarkan ideologi yang keliru, atau membuka sekolah2 swasta di tengah2 kaum Muslim
  5. Tidak boleh mengikat sebuah perjanjian yang isinya mengharuskan negara Islam terikat dengan program2 yang tidak sesuai dengan kebijakan pendidikan yang harus dipegang teguh

3.       Perbandingan Diplomasi Barat dan Islam
Meski metode penyebaran Islam adalah dengan cara jihad (perang). Namun, perang bukanlah langkah pertama yang dilakukan Negara Khilafah Islam. Negara Khilafah tidak pernah memulai peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali telah disampaikan kepada mereka tiga pilihan. Pilihan pertama, memeluk Islam. Kedua, membayar jizyah, artinya mereka tunduk kepada Negara Khilafah Islam berikut aturan-aturannya. Jika dua pilihan ini ditolak, langkah terakhir adalah dengan memerangi mereka.
 Adanya tiga pilihan ini menunjukkan diplomasi islam bersifat bersih, terbuka dan jujur tidak ada tempat bagi tipu daya dan kemunafikan, dimana Islam sangat menekankan pemenuhan terhadap perjanjian yang telah disepakati. Dan ini sangat berbeda dengan diplomasi barat yang berdasar pada pengkhianatan, kecurangan, muslihat, dan tipu daya seperti ungkapan mereka When doing good, do little by little; when you doing evil do it all at once”. [8]


Diplomasi Barat (Realisme)
Diplomasi Islam
Intensi
Memperkuat Diri
Memperkuat Sistem
Aktualisasi Intensi
Siapa Kuat Dia yang Dapat
(Unilateralisme)
Berbagi kekuatan dan pengetahuan untuk membangun kebersamaan (Universalisme)
Sarana
·         Diplomasi barat berdasar pada pengkhianatan, kecurangan, muslihat, dan tipu daya à When doing good, do little by little; when you doing evil do it all at once
·         Diplomasi Barat dijalankan dengan cara mementingkan kepentingan nasional dan mengabaikan kepentingan negara lain
·         Sebaliknya diplomasi islam bersifat bersih, terbuka dan jujur tidak ada tempat bagi tipu daya dan kemunafikan. Islam sangat  menekankan pemenuhan terhadap perjanjian yang telah disepakati
·         Diplomasi islam mementingkan kepentingan nasional tanpa mengabaikan kepentingan negara lain
Tujuan
Diplomasi Barat ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan internasional secara damai,  melindungi kepentingan nasional, memperkuat hubungan persekutuan dan melemahkan negara musuh. Diplomasi telah gagal jika perang terjadi
Dalam diplomasi Islam, diplomasi hanyalah sarana untuk menyebarkan dakwah islam. Dalam situasi tertentu perang dan diplomasi adalah dua hal yang saling menggantikan

Dalam kitab Mitsaqul Ummah dijelaskan bentuk-bentuk aktivitas politik luar negeri dalam Islam yang dibagi dalam dua bentuk: Pertama, melaksanakan aktivitas secara proaktif untuk menyampaikan dakwah, antara lain perang dingin, menjalankan strategi dakwah, propaganda, dan tabligh. Kedua, aktivitas politik dan diplomasi.[9]
Diplomasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari politik internasional. Diplomasi ialah sebuah manajemen hubungan negosiasi internasional, dengan cara pengiriman duta besar dan utusan resmi negara. Dengan kata lain diplomasi adalah bisnis dan seni para diplomat. [10]
Dengan prinsip-prinsipnya yang luhur, Islam memastikan semua hubungan dan perjanjian dengan negara lain akan selalu bersifat simetris dan tidak manipulatif, karena metodologi politik luar negeri Islam bukanlah imperialisme seperti Kapitalisme, melainkan adalah dakwah dan jihad yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu prinsip diplomasi Islam adalah mementingkan kepentingan nasional tanpa mengabaikan kepentingan negara lain. Karena itulah Islam juga tidak akan pernah mempraktekkan penerapan politik etis, karena pada kenyataannya politik etis hanya muncul dari proses penjajahan.

IV.            LANGKAH TAKTIS NEGARA KHILAFAH DALAM POLITIK PENGUASAAN ILMU PENGETAHUAN
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)(Qs. al-Anfaal [8]: 60)

A.      Strategi Membangun Kemampuan Negara Dalam Menguasai Ilmu Pengetahuan
       Strategi pertama ini terkait dengan pembangunan 3 (tiga) sub sistem yang mendukung kemampuan negara dalam menguasai ilmu pengetahuan setinggi-tingginya.
                                       i.      Membangun sistem pendidikan yang visioner sejak dari level dasar, menengah sampai pendidikan tinggi dimana falsafah dan tradisi keilmuannya bersumber hanya dari Aqidah Islam, sehingga lahir generasi berkualitas yang bermental pemimpin dan berintegritas Mukmin, dengan berbagai keahlian dan bidang kepakaran.
                                      ii.      Membangun sistem penelitian dan pengembangan (litbang) yaitu kemampuan riset/penelitian yang terintegrasi baik dari lembaga penelitian negara, departemen-departemen dan dari perguruan tinggi; semua dikendalikan, didorong dan dibiayai penuh oleh negara.
                                     iii.     Membangun sistem industri strategis yang dimiliki dan dikelola mandiri oleh negara serta berbasis pada kebutuhan militer mutakhir dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Dimana kemandirian industri meliputi kemampuan untuk menguasai, mengendalikan dan menjamin keamanan pasokan aspek-aspek penting industri, yaitu : bahan baku,  teknologi,  tenaga ahli,  rancang bangun,  finansial,  kemampuan untuk membentuk mata rantai industri yang lengkap, serta kebijakan.

B.       Strategi Mengambil Ilmu Pengetahuan Dari Peradaban Lain
                     i.            Kerjasama Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi Dengan Negara-Negara Kafir Mu’ahid
Perjanjian di bidang sains dan teknologi diperbolehkan secara mutlak, karena hukum Islam memang membolehkannya. Oleh karena itu kerjasama seperti ini diperbolehkan sesuai dengan bentuk kerja samanya dengan negara-negara tersebut, sambil terus mengamati skenario politik internasional, Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam.
Tidak seperti sekarang, meski secara teoritis politik luar negeri Indonesia dilakukan dengan prinsip bebas dan aktif serta turut serta menciptakan perdamaian dunia, tapi selama beberapa dekade terakhir politik luar negeri Indonesia senantiasa tunduk kepada kepentingan Amerika Serikat. Negara yang jelas-jelas memerangi kaum Muslim secara riil. Indonesia mengabdikan diri untuk melayani kepentingan AS termasuk di bidang pendidikan.

                    ii.            Negara Mengirimkan Kelompok Ilmuwan Untuk Mendalami Ilmu Di Negeri Tertentu
      Negaralah dengan garis politiknya akan mengirimkan kelompok ilmuwan untuk belajar ke luar negeri demi kepentingan strategis Daulah Khilafah. Maka ketika Khalifah melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, kemudian dikirimlah utusan-utusan umat Islam untuk mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.
      Berbeda dengan sekarang, dimana beasiswa ke luar negeri justru kebanyakan dibiayai oleh pihak lain, bukan oleh negara. Bahkan acapkali justru negara asing itulah yang mendanai. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator semata.

                  iii.            Mempekerjakan Ilmuwan Asing Untuk Mengajari Umat Islam
Banyak kisah tentang hal ini, termasuk juga di masa Rasulullah. Bahkan jika dalam situasi politik tertentu diambil langkah-langkah intelijen terutama jika berhadapan dengan negara yang menjadi musuh Khilafah Islam, seperti pada masa sultan Muhammad al-Fatih (1453 M) dilakukan upaya membebaskan tawanan insinyur ahli pembuat meriam yang bernama Orban dari penjara Konstantinopel, yang ditawan oleh Kaisar Constantine untuk mencegah Orban dipekerjakan oleh kekuatan militer Utsmaniyah. Singkat cerita, dengan langkah-langkah serius maka Orban berhasil dibebaskan dan menghadap Sultan Al-Fatih dan dipekerjakan dengan gaji puluhan kali lipat dibandingkan saat bekerja di Konstantinopel. Akhirnya diwujudkanlah meriam yang sangat besar yang paling canggih di masa itu dan memiliki bobot ratusan ton dan membutuhkan ratusan lembu untuk menariknya.[11]
Bercermin dari kisah ini, jika Indonesia punya keseriusan dalam menguasai ilmu pengetahuan dengan kemandirian visinya seharusnya dilakukan juga upaya untuk mempekerjakan ilmuwan-ilmuwan tersohor dari sentra-sentra pendidikan dunia saat ini, dengan bayaran tinggi untuk mendidik anak negeri pada ilmu-ilmu tertentu yang belum dikuasai dengan target kemudian bisa menyamai kemampuan negara-negara maju. Seorang Profesor Harvard misalnya dibayar tinggi puluhan kali lipat dari gajinya di AS untuk mengajarkan teknologi tambang terbaru di ITB, dan dia mengajar terikat dengan kurikulum negara dan tidak boleh keluar darinya.
Hal ini justru akan semakin meningkatkan posisi tawar Indonesia, karena punya sikap yang jelas dan berani, bukan sekedar membebek dengan berbagai perjanjian internasional dan silau dengan tawaran menggiurkan dari kerjasama bilateral dengan Amerika Serikat, namun hakikatnya adalah imperialisme.

                  iv.            Keterbukaan Peradaban Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan sejarah.
Menurut Demitri Gutas proses penterjemahan di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial, politik dan intelektual. Ini berarti bahwa para pihak baik dari unsur masyarakat, elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar. [12]
Namun sikap terbuka di masa itu, berbeda sekali dengan sikap terbuka umat Islam sekarang yang sangat permisif dan nyaris tidak memiliki filter yang mampu membedakan mana ilmu yang bebas nilai dan mana yang sarat akan nilai. Yang dilakukan justru berkiblat sepenuhnya ke Barat karena kekaguman yang tidak berdasar.

V.            PENUTUP
Membangun kembali kejayaan Islam sangat memungkinkan dilakukan oleh dunia Islam apabila mereka bersatu sebagai sebuah peradaban menjadi “kekuatan baru” di kancah perpolitikan dunia. Kaum muslim akan segera kembali memimpin peradaban dan perkembangan teknologi dunia  apabila kualitas generasinya segera diarahkan kembali menjadi generasi pemimpin. Sebab, negeri-negeri Islam mempunyai kekuatan SDM dan SDA yang sangat besar, yang apabila disatukan dalam naungan Khilafah tidak ada satu Negara atau bangsapun yang bisa menandinginya.
Hal ini serta merta akan menjawab ketergantungan Umat Islam pada teknologi dari negara-negara Barat. Politik monopoli ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Barat, akan dihadapi oleh Kaum Muslimin dengan kemandirian dan kekuatan visi ideologinya. Dan perlahan tapi pasti, posisi akan berganti. Baratlah yang akan mengalami ketergantungan pada Khilafah Islam. Insya Allah

Wallahu A’lam bish Showab



[1] Fahmi Amhar, Integrasi Sains dan Islam, 2004
[2] Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61
[3] Dr.Andang Widiharto, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dan Posisi Kaum Muslimin, file presentasi dalam bentuk ppt
[4] Dr.Andang Widiharto, Membangun Sistem Industri Berdasarkan Syariat Islam, file presentasi dalam bentuk ppt
[5] Susan Strange, States and Markets (London: Pinter Publishers, 1989)
[6] Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia, Indonesia,Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam, HTI, 2009
[7] Iyad Hilal, Perjanjian-perjanjian Internasional Dalam Pandangan Islam, Pustaka Thariqul Izzah
[8] Sidiq Ahmadi, Konsep Diplomasi Dalam Islam, 2010
[9] Farid Wajdi, Serial Syariah : Politik Luar Negeri Daulah Khilafah Islam, 2008
[10] DR. Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Pustaka Al Kautsar, 2000
[11] Felix Siauw, Al Fatih 1453, Khilafah Press 2011
[12] Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM, Jejak Kegemilangan Umat Islam Dalam Pentas Sejarah Dunia, 2009

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...