Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Selasa, 27 Mei 2008

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu
Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah saw. meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau saw. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12 orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah melakukan aktivitas wakalah.

Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak-belakang dan bertentangan.
Pemilu di dalam sistem demokratik, terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiiiki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam Undang-undang no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan:
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.”
Adapun tugas, wewenang dan kewajiban lembaga legislatif di atas (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) diterangkan dalam Undang-undang No. 22 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Tugas dan kewenangan MPR dicantumkan dalam bagian keempat, pasal 11, yakni:
a. mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilu dalam Sidang Paripurna MPR.
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatakan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dan dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
g. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.
Sedangkan kewajiban anggota MPR diatur dalam pasal 13, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
c. menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional.
Sedangkan tugas dan wewenang DPR ditetapkan dalam pasal 26. Tugas dan wewenang DPR ada 16 perkara, di antaranya adalah:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kewajiban anggota DPR dijelaskan dalam pasal 29, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Tugas dan wewenang DPD diatur dalam pasal 42; sedangkan tugas dan wewenang DPRD dijelaskan dalam pasal 62.
Di dalam undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD & DPRD,? juga dijelaskan dengan sangat gamblang bahwa DPR, DPRD memiliki tiga fungsi yang menonjol, yakni: (1) fungsi legislasi, (2) anggaran, (3) pengawasan. [lihat undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; pasal 25 dan pasal 61]
Inilah fakta-fakta yang berhubungan dengan tugas, wewenang, dan kewajiban badan legislatif yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik sekuler.
Selain itu, pemilu dalam negara demokratik merupakan mekanisme pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekuleristik, Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang no. 12 tahun 2003, Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bab I Ketentuan Umum, yang menyatakan:
“Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Lebih dari itu, di dalam undang-undang yang sama juga dinyatakan bahwa partai politik maupun perorangan tidak boleh mengkampanyekan materi-materi yang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dalam pasal 74 1 dinyatakan:
“Dalam kampanye pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rejim demokratik-sekuleristik yang jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat -badan legislatif- adalah lembaga yang bertugas membuat dan mengesahkan undang-undang. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, prinsip utama negara demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox poputi vox def”. Prinsip ini telah menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara (lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang.
Pemilu Dalam Sistem Pemerintahan Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala negara (khalifah).
Pada dasamya, fakta majelis ummat - dalam pemerintahan Islam - berbeda dengan fakta parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Keanggotaan, mekanisme pengambilan pendapat, dan wewenang majelis ummat berbeda dengan kenggotaan, mekanisme pengambilan pendapat dan wewenang yang ada dalam parlemen demokratik.
Keanggotaan. Dari sisi keanggotaan, majelis umat terdiri dari muslim dan nonmuslim, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, nonmuslim tidak diperkenankan memberikan aspirasi dalam hal pemerintahan maupun hukum. Mereka hanya berhak menyampaikan koreksi atau aspirasi-aspirasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan penerapan hukum negara. Sedangkan dalam sistem demokrasi, muslim maupun nonmuslim diberi hak sepenuhnya untuk menyampaikan aspirasi dalam hal apapun secara muflak.
Mekanisme pengambilan pendapat. Dari sisi mekanisme pengambilan pendapat, majelis umat terikat dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Tidak ada musyawarah dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum syara’ dan pendapat-pendapat syar’iyyah. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan nash-nash al-Quran dan sunnah. Kaum muslim hanya diwajibkan untuk berijtihad menggali hukum-hukum syara’ dari keduanya. Pengambilan pendapat dalam masalah hukum, harus ditempuh dengan jalan ijtihad oleh seorang mujtahid yang memiliki kemampuan, bukan disidangkan kemudian ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Dengan kata lain, tidak semua orang berhak dan mampu menggali hukum (ijtihad). Hanya orang-orang yang memiliki kemampuan saja yang berhak mengambil hukum dari nash-nash syara’. Jika ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan pendapat syariat, maka perbedaan ini harus dikembalikan kepada pendapat yang rajih (lebih kuat). Suara mayoritas maupun musyawarah mufakat tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan definisi dari suatu perkara, baik definisi yang bersifat syari’iyyah maupun non syari’iyyah; misalnya, definisi tentang hukum syara’, masyarakat, akal, dan lain sebagainya; harus dikembalikan kepada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak di idefinisikan. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara semacam ini, prinsip suara mayoritas tidak berlaku, bahkan tidak boleh diberlakukan.[1]
3. Perkara-perkara yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, maka pengambilan keputusan dalam masalah ini harus dirujukkan kepada orang yang memang ahli dalam masalah ini. Misalnya, untuk menetapkan obat apa yang paling mujarab untuk sebuah penyakit, kita harus bertanya kepada seorang dokter ahli. Pendapat dokter harus diutamakan dibanding dengan pendapat-pendapat orang yang tidak ahli dalam masalah ini, meskipun suaranya mayoritas. Rasulullah saw. menganulir pendapat beliau, dan mengikuti pendapat Khubaib bin Mundzir. Sebab, Rasulullah saw. memahami, bahwa Khubaib adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan posisi yang harus ditempati kaum muslim untuk bertahan. Dalam perkara-perkara semacam ini, pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara mayoritas, sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi -tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
4. Perkara-perkara yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan, atau masalah teknis, maka pe-ngambilan keputusannya didasarkan pada suara mayoritas. Hanya pada perkara ini saja prinsip suara mayoritas ditegakkan. Dalam sejarah dituturkan, bahwa para shahabat pemah mengambil keputusan untuk menyongsong musuh di luar kota Madinah berdasarkan suara mayoritas.[2]
Prinsip-prinsip pengambilan pendapat semacam ini tentu saja berbeda dan bertentangan secara diametral dengan mekanisme pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi. Dalam pandangan Islam, pengambilan pendapat hanya terjadi dalam hal-hal teknis dan perkara-perkara yang tidak mem-butuhkan penelitian dan kajian, Ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mekanisme pengambilan pendapat yang dilakukan oleh majelis umat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh anggota parlemen demokratik.
Kewenangan. Dari sisi kewenangan, majelis umat memiliki 4 kewenangan sebagai berikut;
1. Setiap hal yang termasuk dalam kategori masyurah (perkara-perkara yang bisa dimusyawarahkan; misalnya masalah teknis dan perkara yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian) yang berhubungan dengan urusan dalam negeri harus diambil berdasarkan pendapat majelis umat, misalnya, urusan ketatanegaraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat. Hal-hal yang berada di luar kategori masyurah, maka pendapat majelis umat tidak harus diambil. Pendapat majelis umat tidak harus diambil dalam urusan politik luar negeri, keuangan dan militer.
Majelis umat berhak meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap seluruh kegiatan yang terjadi sehari-hari, baik menyangkut urusan dalam negeri, keuangan maupun militer. Pendapat majelis umat dalam hal semacam ini bersifat mengikat selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at. Jika terjadi perbedaan pendapat antara majelis umat dengan penguasa dalam menilai suatu kegiatan dilihat dari sisi hukum syara’, maka semua itu dikembalikan kepada mahkamah madzalim.
2. Majelis umat berhak menyampaikan mosi tidak percaya kepada para wali dan mu’awwin. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat, dan khalifah wajib memberhentikan mereka.
3. Hukum-hukum yang akan diberlakukan khalifah dalam perundang-undangan disampaikan kepada majelis umat. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak mendiskusikan dan mengeluarkan pendapat, tetapi pendapatnya tidak mengikat.
4. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak membatasi calon khalifah, dan pendapat mereka dalam hal ini bersifat mengikat, sehingga calon lain tidak dapat diterima.
Adapun fungsi parlemen (legislatif) yang paling menonjol di dalam sistem pemerintahan demokratik ada dua.
1. Menentukan policy dan membuat undang-undangan. Untuk itu, dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
2. Mengontrol badan eksektutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang teiah ditetapkan. Untuk itu, badan legislative diberi hak kontrol yang bersifat khusus.[3]
Fakta di atas menunjukkan bahwa, majelis umat dalam sistem pemerintahan Islam berbeda dengan parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Bahkan, keduanya adalah institusi yang saling bertolak belakang dan saling bertentangan.
Majelis umat tidak boleh disejajarkan dengan parlemen-demokratik. Sebab asas, tujuan, wewenang dan kewajiban keduanya berbeda dan saling bertentangan. Menyamakan majelis umat dengan parlemen yang ada di dalam sistem demokrasi sama artinya dengan menyamakan kebenaran dengan kekufuran. Untuk itu, seorang muslim tidak boleh mengidentikkan majelis ummat dengan parlemen, apalagi membuat analog hukum. Pasalnya, keduanya memiliki fakta sangat berbeda dan bertentangan.
Hukum Mencalonkan dan Dicalonkan Menjadi Anggota Parlemen Dalam Sistem Demokrasi
Meskipun hukum asal pemilu untuk memilih wakil rakyat (perwakilan) adalah mubah, namun demikian, seorang muslim tetap harus memperhatikan syarat-syarat yang ada di dalamnya. Selama syarat-syaratnya sesuai dengan al-Quran dan sunnah, maka absahlah aqad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika syarat-syaratnya bertentangan dengan al-Quran dan sunnah, maka aqad perwakilan itu batal.
Lantas, di dalam konteks sistem pemerintahan demokratik, apakah seorang muslim diperbolehkan mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi Islam dan kaum muslim di dalam parlemen? Dengan kata lain, apakah seorang muslim boleh menjadikan parlemen -dalam sistem demokratik-sebagai jalan untuk mendakwahkan dan menyua-rakan aspirasi umat Islam? Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya, ketika seorang telah menjalin aqad wakalah dengan orang lain sesuai dengan syarat-syarat Islam, maka absahlah syarat tersebut. Bila si fulan mewakilkan aspirasinya kepada fulan yang lain, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Demikian juga dalam pemilu saat ini. Seorang muslim boleh dicalonkan atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi. Bila perkara yang diwakalahkan adalah perkara mubah, sedangkan rukun dan syarat sah wakalahnya telah dipenuhi, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Namun, persoalannya tidak berhenti hingga di sini saja, akan tetapi berlanjut pada pertanyaan, “Apakah seorang yang dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat tersebut -ketika hendak memperjuangkan aspirasi dari orang yang mewakilkan- menggunakan cara dan wasilah yang sesuai dengan syariat Islam atau tidak? Dengan kata lain, apakah dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, wakil rakyat tersebut menggunakan cara-cara dan wasilah Islamiy ataukah tidak? Lantas, apakah pemilu dan parlemen merupakan wasilah Islamiy atau tidak?
Dalam konteks pemilu saat ini, seorang wakil rakyat harus menjadi anggota parlemen dan mengikuti seluruh mekanisme parlemen tatkala hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui parlemen. Sebab, ketika seseorang hendak berjuang melalui parlemen maka, orang tersebut harus berkecimpung dan terlibat di dalamnya. Tanpa melibatkan dan berkecimpung di dalamnya, seseorang - yang berjuang via parlemen- tidak mungkin bisa menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, parlemen dan seluruh mekanisme yang ada di dalamnya jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa menyatakan dengan tegas bahwa, parlemen (dengan sistem seperti sekarang ini) bukanlah wasilah syar’iy untuk memperjuangkan aspirasi Islam dan kaum muslim, Pasalnya, mekanisme parlemen jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Untuk itu, seorang muslim tetap tidak boleh mewakilkan suaranya kepada orang yang hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui wasilah yang tidak syar’iy (parlemen). Dengan ungkapan lain, seorang muslim tidak boleh menjalin aqad wakalah dengan scseorang yang menggunakan wasilah non-syar’iy untuk memperjuangkan aspirasinya.
Fakta pertentangan parlemen -asas dan mekanismenya-? dengan Islam terlihat dalam perkara-perkara berikut ini;
Pertama, asas yang digunakan pijakan untuk menetapkan undang-undang tidak merujuk kepada ‘aqidah dan syariat Islam, akan tetapi dibangun berdasarkan paham demokrasi-sekulerisme.
Pada dasamya, fungsi legislasi (penetapan hukum) merupakan fungsi paling menonjol dari parlemen. Jika fungsi menetapkan hukum ini masih berada di tangan wakil rakyat (anggota parlemen) - sesuai dengan prinsip demokrasi, vox populi, vox dei-, maka kita bisa menyatakan dengan tegas, bahwa keberadaan parlemen semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam, tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, hak untuk menetapkan hukum ada di tangan Allah Swt. semata, bukan di tangan rakyat maupun wakil rakyat.
Di sisi yang lain, keberadaan pemilu dan parlemen juga ditujukan untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebab, pemilu dan parlemen adalah mekanisme yang di desain untuk melakukan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik. Pembentukan pemerintahan dan kekuasaan baru harus dilakukan melalui mekanisme pemilu dan parlemen.
Atas dasar itu, gagal atau tidaknya pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik sangat ditentukan oleh gagal atau tidaknya pemilu dan parlemen. Jika pemilu gagal atau digagalkan, maka pergantian kekuasaan tidak akan terjadi, alias terputuslah mata rantai pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik. Akan tetapi, jika mekanisme pemilu dan parlemen ini berjalan dengan normal, maka secara otomatis proses pergantian kekuasaan akan terjadi secara sukses.
Dari sini kita bisa menyatakan bahwa, jika kaum muslim mengikuti pemilu dan melibatkan diri di dalamnya, maka secara tidak langsung, mereka juga turut andil dalam memuluskan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik sekuler. Dengan ungkapan lain, mereka juga turut andil dalam melahirkan dan melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebaliknya, jika kaum muslim tidak melibatkan diri dalam pemilu dan parlemen, maka ia telah berperan dalam menggagalkan lahirnya pemerintahan dan kekuasaan demokratik sekuler. Artinya, ia telah berperan dalam menghentikan keberlangsungan sistem pemerintahan demokratik sekuler yang bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, mekanisme pengambilan pendapat di dalam parlemen didasarkan pada prinsip-prinsip pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi, bukan Islam. Prinsip pengambiian pendapat yang paling menonjol dalam sistem parlemen demokratik adalah suara mayoritas (voting). Padahal, pada perkara-perkara tertentu, voting jelas-jelas melanggar prinsip dan syariat Islam. Misalnya, untuk menetapkan status hukum zina, homo seks, dan lain sebagainya, tidak boleh ditempuh dengan cara voting. Cara penetapan hukumnya harus didasarkan pada prinsip ijtihad dan pendapat yang paling kuat (rajih). Penetapan hukum pada perkara-perkara semacam ini tidak boleh dilakukan dengan cara voting, akan tetapi dengan cara istinbath (menggali hukum dari nash-nash al-Quran).
Ketiga, dari sisi keanggotaan. Keberadaan orang-orang kafir di dalam parlemen yang tidak dibatasi kewenangan dan kewajibannya, telah membuka peluang bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim, Kasus di Nigeria membuktikan bahwa pemilu telah membuka pintu lebar bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Seharusnya, kewenangan dan hak orang-orang kafir di dalam parlemen harus dibatasi.
Dalam pandangan Islam, orang-orang kafir tidak boleh memberikan aspirasi atau pendapat dalam hal-hal yang menyangkut urusan? penetapan hukum dan pemerintahan. Mereka hanya diperbolehkan menyampaikan laporan-laporan tentang penyimpangan atau kesalahan dalam penerapan hukum, dan tidak diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasi dalam perkara-perkara selain itu. Dengan kata lain, orang kafir hanya diberi kewenangan untuk menyampaikan tindak penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa Islam, baik dalam hal buruknya penerapan syariat Islam di suatu daerah, atau kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa Islam. Selain perkara-perkara semacam ini, mereka dilarang menyampaikan aspirasi maupun kritik.
Dari keseluruhan penjelasan di atas, lantas, apakah seorang muslim tetap diperbolehkan melakukan wakalah (dalam hal aspirasi) dengan seseorang yang akan memperjuangkan aspirasinya melalui sebuah mekanisme yang jelas-jelas bathil, yakni parlemen? Jawabannya adalah sebagai beriku:
Meskipun antara rakyat dan calon wakil rakyat telah terjadi aqad wakalah dan sah, akan tetapi selama wakil rakyat tersebut memperjuangkan aspirasi rakyat melalui jalan yang diharamkan -parlemen dan pemilu- tentu akad wakalah itu menjadi batal dan rusak, walaupun pada awalnya, akad wakalah tersebut ditujukan untuk koreksi dan muhasabah. Sebab, syarat untuk duduk di dalam parlemen nyata-nyata bertentangan dengan syarat-syarat Islam.
Melihat fakta dan realitas parlemen dan pemilu sekarang ini, kita bisa menyimpulkan bahwa, melibatkan diri dalam dua aktivitas tersebut adalah tindakan haram. Sebab, untuk menjadi anggota parlemen, para wakil rakyat harus mengakui beberapa prinsip yang bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka harus mengakui dan menerima asas parlemen yang tidak berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, ada syarat-syarat bathil yang harus diakui oleh siapa saja yang hendak menjadi anggota parlemen.
Salah satu syarat yang bertentangan dengan aqidah Islam adalah: setiap calon wakil rakyat harus mengakui prinsip-prinsip sekuler sebagai asas dan dasar negara. Syarat ini harus dipenuhi oleh siapa saja yang ingin menjadi anggota parlemen. Padahal, pengakuan terhadap prinsip dasar sekuler ini jelas-jelas merupakan tindakan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Syarat-syarat tersebut tercantum dengan sangat jelas dalam undang-undang no. 23 tahun 2003, yang mengatur tentang kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dalam undang-undang no. 23 tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 20 disebutkan tentang sumpah yang harus diucapkan oleh anggota DPR, DPRD (pasai 56] dan DPD [pasal 36]. Isi sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakihn Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal 29 juga dinyatakan dengan sangat jelas bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban; (a) melaksanakan Pancasila, (b) melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan, (c) melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan seterusnya.
Fakta di atas telah menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk duduk di dalam parlemen adalah syarat-syarat bathil yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, seorang muslim wajib menolak syarat-syarat tersebut di atas. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap syarat yang tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, meskipun 100 syarat, adalah bathil.”
Jika syarat-syarat keanggotaan parlemen saja sudah bathil, tentunya memilih calon anggota parlemen pun menjadi tidak absah.
Walhasil, meskipun dari sisi wakalah antara calon wakil rakyat dengan rakyat sudah sesuai dengan prinsip Islam, akan tetapi dengan adanya syarat keanggotaan parlemen yang bathil, telah mengubah status hukum wakalah yang mubah menjadi haram. Sebab, wakil rakyat telah menggunakan wasilah yang tidak Islamiy untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain itu, mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen, keanggotaan, dan tujuan-tujuannya bertentangan secara diawetral dengan Islam. Keanggotaan seorang muslim di dalamnya tentu adalah sesuatu yang diharamkan. Meskipun ia hanya mengambil satu fungsi saja, yaitu ?fungsi kontrol dan koreksi.
Untuk memberikan gambaran sederhana fakta dan hukum mencalonkan dan dicalonkan menjadi anggota parlemen demokratik dapat diterangkan sebagai berikut:
Fulan-1 telah mengikat akad wakalah dengan fulan-2 dalam perkara aspirasi, koreksi dan pendapat Islam. Fulan-1 sebagai wakil sedangkan fulan-2 adalah muwakkil. Selanjutnya. keduanya mengucapkan sighat taukil. Pada kasus ini, akad wakalah telah terselenggara dan sah menurut syariat Islam. Sebab, syarat dan rukun wakalah telah terpenuhi. Selanjutnya, fulan-1 (wakil) pergi ke KPU mendaftarkan diri sebagai calon anggota wakil rakyat; atau bisa jadi, fulan-1 telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat, kemudian baru berakad wakalah dengan fulan-2.
Yang perlu dicermati adalah, pada saat wakil (fulan-1) mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil rakyat di KPU, dirinya harus mematuhi prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU. Selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak bertentangan dengan Islam, maka secara hukum wakil (fulan-1) diperbolehkan turut serta dan terlibat dalam parlemen dan pemilu. Akan tetapi, selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak sesuai dengan syariat dan ‘aqidah Islam -meskipun satu syarat- , maka wakil (fulan-1) diharamkan untuk meneruskan menjadi calon wakil rakyat yang berkecimpung di dalam parlemen. Sebab, syarat-syarat yang diajukan oleh KPU telah bertentangan dengan Islam.
Fakta saat ini menunjukkan bahwa ada syarat yang diajukan oleh KPU yang bertentangan dengan Islam. Di antaranya adalah, para calon wakil rakyat harus mengakui asas tunggal dan kesetiaannya dengan sistem sekuler. Pada kondisi semacam ini, maka calon wakil rakyat tidak mungkin bisa berkecimpung di dalam pemilu dan parlemen, dikarenakan pada langkah-langkah awal dirinya telah dicegat dengan syarat-syarat yang tidak Islamiy.
Jika syarat untuk menjadi wakil rakyat saja bathil, tentunya rakyat tidak boleh mencalonkan atau dicalonkan menjadi wakil rakyat.
Seandainya syarat-syarat menjadi anggota parlemen adalah sah, namun mekanisme pengambilan pendapat, tugas, fungsi, hak dan kewenangannya bertentangan dengan Islam, maka seorang muslim juga tidak boleh masuk dan menjadi anggota di dalamnya. Sebab, seorang muslim tidak dibenarkan berkecimpung dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan Syariat Islam atau tolong menolong dalam hal kemaksiatan. Allah Swt. berfirman, artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu sekalian dalam hal kebaikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan.” [al-Maidah: 2]
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa bekerjasama dan tolong menolong dalam kebathilan merupakan bagian dari kemaksiatan itu sendiri.
Hukum Menjadi Anggota Parlemen
Bila syarat-syarat untuk menjadi anggota parlemen nyata-nyata bertentangan dengan Islam, tentu kita tidak bisa menyatakan bahwa keanggotaan kaum muslim di dalam parlemen hanya dijadikan sebagai wasilah untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat, sehingga syarat yang bathil pun boleh diterima. Dengan kata lain, calon wakil rakyat absah-absah saja menerima syarat-syarat bathil itu selarna tujuannya adalah untuk melakukan koreksi dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Pernyataan semacam ini adalah pernyataan bathil yang tidak sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah yang suci tidak boleh ditempuh dengan ?cara-cara keji dan bertentangan dengan syariat Islam.
Di sisi yang lain, keanggotaan dalam parlemen mengharuskan dirinya untuk bertanggungjawab terhadap semua keputusan yang terlahir dari parlemen. Jika parlemen membuat keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam misalnya, undang-undang perbankan ribawiy, maka seluruh anggota parlemen bertanggungjawab atas keputusan itu. Walaupun keputusan itu tidak disetujui oleh beberapa wakil rakyat dari partai Islam, akan tetapi ketika keputusan itu telah ditetapkan, maka ia tetap dianggap sebagai keputusan parlemen, bukan keputusan atas nama sebagian anggota parlemen. Lantas, dalam kondisi semacam ini apa yang dilakukan oleh anggota parlemen muslim?
Dalam kondisi semacam ini setiap anggota parlemen yang konsens dengan syariat Islam harus keluar dari keanggotaan parlemen, dan tidak boleh hanya sekedar melakukan walk out; jika dirinya tidak bisa mencegah lahirnya keputusan-keputusan yang tidak islamiy. Sebab, seorang muslim harus menghindarkan diri dari keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Imam Nawawiy dalam syarah shahih Muslim, ketika menjelaskan hadits Rasulullah saw, “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ?hendaknya ia ubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, maka ubahlah dengan hati; dan ini adalah selemah-lemahnya iman.”[HR. Muslim]; menyatakan, bahwa maksud mengubah dengan hati di sini tidak cukup berdiam diri dan menolak dalam hati, akan tetapi ia harus menghindari kemungkaran tersebut. Maksudnya adalah, jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia harus menghindarkan diri dan tidak ikut campur dan teriibat di dalamnya, Misalnya, tatkala ada sekelompok orang sibuk membincangkan dan memutuskan aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam, maka jika dirinya tidak mampu mengubah keputusan itu, maka ia harus keluar dari forum tersebut dan menunjukkan sikap ketidaksenangannya. Ia tidak diperkenankan tetap duduk, atau bahkan menjadi anggota forum tersebut, meskipun hatinya menolak. [Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, lihat tentang bab al-Iimaan]
Para khalifah di masa kejayaan Islam menjatuhkan hukuman cambuk bagi orang yang berada di dalam majelis khamer, meskipun ia tidak ikut serta minum dan hatinya menolak. Para ulama memahami bahwa berdiam diri atau tetap berada di dalam majelis kemaksiatan sama artinya dengan melibatkan diri dalam kemaksiatan itu sendiri. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah saw. menggambarkan orang yang berdiam diri terhadap kemungkaran dengan setan bisu.
Haramnya seorang muslim berada dalam suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt., telah ditegaskan oleh Allah Swt. di dalam al-Quran al-Karirn. Dalam surat al-An’am ayat 68 disebutkan:
Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu. [al-An’am: 68].
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisaa’: 140
Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,“Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka“ [al-Nisaa’: 140]
Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika engkau melihat orang-orang kafir mengolok-olok al-Quran dengan kebohongan dan kedustaan dan olok-olok, ?maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka sampai mereka mengatakan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olokan dan pendustaannya.“[Ali al-Shabuniy, Shafwaatal-Tafaasir, juz I, hal.397] Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi saw. dan al-Quran, orang-orang musyrik itu lantas mencela dan mengolok-oloknya. Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka mengalihkan kepada pembicaraan lainnya.” [Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, juz II, hal.437]
Dalam menafsirkan surat al-Nisaa’:140, Ali al-Shabuniy berkata, “Telah diturunkan kepada kalian, suatu perintah yang sangat jelas bagi orang-orang yang nyata-nyata beriman. Perintah itu adalah; jika kalian mendengar al-Quran diingkari dan diolok-olok oleh orang-orang kafir dan para pengolok, maka janganlah kalian duduk bersama orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah itu, sampai mereka mengalihkan pada pembicaraan lain dan tidak lagi mengolok-olok al-Quran. Namun, jika kalian tetap duduk bersama mereka, maka kalian tidak ubahnya dengan mereka dalam hal kekufuran” [Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I, hal. 312]
Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‘iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan, bahwa orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, dan mengingkari ayat-ayat Allah, sementara forum itu tidak pernah berubah untuk meng-ingat Allah, maka siapapun yang ada di dalamnya -meskipun hatinya menolak- telah terjatuh kepada tindakan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok, dan mengingkari ayat-ayat Allah, di-qarinahkan {diindikasikan) dengan firmanNya, “sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka” [al-Nisaa’: 140]
Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap orang yang terlibat dalam dan berdiam diri terhadap forum-forum seperti itu, telah terjatuh kepada tindak keharaman, dan berserikat dalam kekufuran.
Lantas, apakah fakta parlemen kita sudah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah Swt., sehingga bisa diberlakukan hukum yang terkandung dalam surat al-An’am:68 dan al-Nisaa’:140? Jawabnya: parlemen kita telah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt. Ini didasarkan pada kenyataan berikut ini;
Pertama; MPR di negeri ini bertugas (sesuai dengan ketetapan MPR) mengangkat presiden dan wakil presiden. Apakah tindakan semacam ini tidak tergolong tindakan mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah. Sebab, pemimpin kaum muslim bukanlah presiden, raja, atau PM; akan tetapi khalifah/Imam/Amirul Mukminin. Sistem pemerintahan dalam Islam pun bukan presidensil, akan tetapi sistem Khilafah ?Islamiyyah. Lantas, apakah dibenarkan secara syar’iy, ada sekelompok orang berbondong-bondong menjadi anggota sebuah majelis untuk menelorkan produk-produk yang bertentangan dengan syari’at Allah; bahkan, memilih pemimpin dan mencgakkan sistem pemerintahan yang sangat bertentangan dengan Islam? Jawabnya sangat jelas: haram.
Kedua; mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen didasarkan pada prinsip suara mayoritas (voting). Apakah prinsip ini dibenarkan dalam Islam?
Dalam hal-hal tertentu mekanisme pengambilan keputusan memang didasarkan pada suara terbanyak. Misalnya, hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas praktis dan hal-hal yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian mendalam. Rasulullah saw. pemah mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota.
Selain perkara di atas, keputusan tidak boleh ditetapkan berdasarkan mekanisme voting. Contoh dari perkara yang tidak boleh ditetapkan berdasarkan voting adalah perkara-perkara yang telah ditetapkan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’. Misalnya, kewajiban mengerjakan sholat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan sholat lima waktu kita harus menunggu hasil voting terlebih dahulu? Kita tidak mungkin menjawab, bahwa untuk memutuskan apakah sholat harus dikerjakan atau tidak, harus didasarkan pada hasil voting terlebih dahulu. Sungguh, siapa saja yang menvoting, apakah sholat itu perlu dikerjakan atau tidak, maka dirinya telah terjatuh kepada perbuatan haram.
Keterangan ini semakin menguatkan bahwa, selama mekanisme dan aturan main parlemen bertentangan dengan Islam dan tidak pernah berubah, maka seorang muslim diharamkan menjadi anggotanya dan duduk-duduk di dalamnya, meskipun hatinya menolak dengan cara walk out. Pertanyaan berikutnya adalah, apa hukum berwakalah dengan seseorang yang mau menerima syarat-syarat yang bathil? Dcngan kata lain, bolehkah kita memilih seseorang untuk menyuarakan syariat Islam, sementara itu wakilnya tersebut mengakui syarat-syarat yang tidak Islamiy?
Jawabnya, akad semacam telah batal dari sisi asasnya. Sebab, jika kita tetap berwakalah dengan dirinya, sama artinya kita mengiyakan syarat-syarat non syar’iy yang telah diterima oleh calon wakil rakyat. Oleh karena itu, aqad wakalah yang dijalin dengan calon wakil rakyat yang mengiyakan syarat-syarat bathil adalah aqad yang bathal dan tidak boleh dilanjutkan. Mencalonkan diri atau orang lain untuk menjadi anggota parlemen meskipun ditujukan untuk menggunakan salah satu fungsi parlemen, yakni fungsi koreksi dan muhasabah, merupakan tindakan haram yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Benar, melakukan koreksi dan muhasabah merupakan kewajiban setiap kaum muslim. Akan tetapi, dalam melakukan koreksi dan muhasabah, seorang muslim mesti terikat dengan aturan-aturan Allah Swt. dan menggunakan cara dan wasilah yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
Seandainya berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah haram, lantas, apakah ada jalan lain untuk menerapkan syariat Islam selain melalui parlemen atau pemilu?
Kesalahan Paralaks
Pada dasarnya, pemilu dan parlemen bukanlah satu-satunya cara untuk memperjuangkan syariat Islam. Masih banyak cara dan altematif lain yang bisa ditempuh oleh kaum muslim untuk memperjuangkan tertegaknya syariat klam. Yang penting, cara yang ditempuh tersebut sesuai dengan aqidah dan syariat Islam.
Pada dasarnya, pandangan-pandangan keliru tentang pemilu dan parlemen beranjak dari kesalahan paralaks. Kesalahan paralaks ini telah mengakibatkan lahirnya fatwa-fatwa dan strategi perjuangan yang salah. Kesalahan paralaks ini terwajahkan pada pandangan-pandangan berikut ini.
1.Selama ini, pemilu dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kekuasaan dan menerapkan syari’at Islam. Meskipun mereka tidak menyatakan hal ini secara terbuka, akan tetapi alasan-alasan yang mereka ketengahkan telah menunjukkan dengan sangat jelas, keterjebakan mereka dalam kesalahan paralaks ini. Misalnya, alasan yang menyatakan, bahwa jika tidak mengikuti pemilu, maka parlemen akan dikuasai orang kafir. Muncul juga statement bahwa, mengikuti pemilu berhukum wajib berdasarkan kaedah “maa laa yatimm al-waajib illa bihi fahuwa waajib”; “akhdz akhaff al-dlararain”, dan sebagainya. Alasan-alasan ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mereka telah menganggap pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menerapkan syariat Islam.
2.Penerapan syariat Islam bisa ditempuh melalui jalan haram, selama di dalamnya ada kemashlahatan. Sebagian dari kaum muslim menyadari bahwa ada perkara dan mekanisme tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Misalnya, fungsi penetapan hukum (legislasi) serta mekanisme pemilu untuk mengangkat presiden. Padahal, kewenangan untuk menetapkan hukum tidak ada di tangan parlemen, akan tetapi di tangan Allah Swt. Dari sisi sistem pemerintahan, presiden bukanlah kepala negara yang absah menurut syariat. Kepala negara yang absah dalam pandangan Islam adalah khalifah, imam, atau amirul mukminin. Jika pemilu ditujukan untuk memilih presiden, sama artinya kita telah melanggengkan sistem pemerintahan republik yang sangat bertentangan dengan Islam. Sayangnya, calon-calon wakil rakyat dan sebagian besar masyarakat telah mengabaikan perkara-perkara ini, dengan alasan madlarat dan kemashlahatan umat.
Seharusnya, pemilu dipandang sebagai cara (uslub) untuk mengganti kepala negara dan memilih wakil rakyat yang berhukum mubah.
Tatkala kedudukan pemilu sebatas hanya uslub, maka hukum tentang pemilu ditetapkan berdasarkan mekanisme, dan syarat-syarat yang ada dalamnya. Selama syarat-syaratnya sejalan dengan syariat Islam, maka hukumnya tetap berada dalam wilayah mubah. Sebaliknya, tatkala di dalamnya ada mekanisme dan syarat yang bertentangan dengan Islam, maka terlibat maupun berkecimpung di dalamnya adalah tindak yang diharamkan oleh Allah Swt.[Selesai]

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu
Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah saw. meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau saw. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12 orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah melakukan aktivitas wakalah.
Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak-belakang dan bertentangan.

Pemilu di dalam sistem demokratik, terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiiiki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam Undang-undang no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan:
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.”
Adapun tugas, wewenang dan kewajiban lembaga legislatif di atas (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) diterangkan dalam Undang-undang No. 22 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Tugas dan kewenangan MPR dicantumkan dalam bagian keempat, pasal 11, yakni:
a. mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilu dalam Sidang Paripurna MPR.
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatakan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dan dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
g. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.
Sedangkan kewajiban anggota MPR diatur dalam pasal 13, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
c. menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional.
Sedangkan tugas dan wewenang DPR ditetapkan dalam pasal 26. Tugas dan wewenang DPR ada 16 perkara, di antaranya adalah:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kewajiban anggota DPR dijelaskan dalam pasal 29, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Tugas dan wewenang DPD diatur dalam pasal 42; sedangkan tugas dan wewenang DPRD dijelaskan dalam pasal 62.
Di dalam undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD & DPRD,? juga dijelaskan dengan sangat gamblang bahwa DPR, DPRD memiliki tiga fungsi yang menonjol, yakni: (1) fungsi legislasi, (2) anggaran, (3) pengawasan. [lihat undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; pasal 25 dan pasal 61]
Inilah fakta-fakta yang berhubungan dengan tugas, wewenang, dan kewajiban badan legislatif yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik sekuler.
Selain itu, pemilu dalam negara demokratik merupakan mekanisme pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekuleristik, Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang no. 12 tahun 2003, Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bab I Ketentuan Umum, yang menyatakan:
“Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Lebih dari itu, di dalam undang-undang yang sama juga dinyatakan bahwa partai politik maupun perorangan tidak boleh mengkampanyekan materi-materi yang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dalam pasal 74 1 dinyatakan:
“Dalam kampanye pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rejim demokratik-sekuleristik yang jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat -badan legislatif- adalah lembaga yang bertugas membuat dan mengesahkan undang-undang. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, prinsip utama negara demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox poputi vox def”. Prinsip ini telah menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara (lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang.
Pemilu Dalam Sistem Pemerintahan Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala negara (khalifah).
Pada dasamya, fakta majelis ummat - dalam pemerintahan Islam - berbeda dengan fakta parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Keanggotaan, mekanisme pengambilan pendapat, dan wewenang majelis ummat berbeda dengan kenggotaan, mekanisme pengambilan pendapat dan wewenang yang ada dalam parlemen demokratik.
Keanggotaan. Dari sisi keanggotaan, majelis umat terdiri dari muslim dan nonmuslim, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, nonmuslim tidak diperkenankan memberikan aspirasi dalam hal pemerintahan maupun hukum. Mereka hanya berhak menyampaikan koreksi atau aspirasi-aspirasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan penerapan hukum negara. Sedangkan dalam sistem demokrasi, muslim maupun nonmuslim diberi hak sepenuhnya untuk menyampaikan aspirasi dalam hal apapun secara muflak.
Mekanisme pengambilan pendapat. Dari sisi mekanisme pengambilan pendapat, majelis umat terikat dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Tidak ada musyawarah dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum syara’ dan pendapat-pendapat syar’iyyah. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan nash-nash al-Quran dan sunnah. Kaum muslim hanya diwajibkan untuk berijtihad menggali hukum-hukum syara’ dari keduanya. Pengambilan pendapat dalam masalah hukum, harus ditempuh dengan jalan ijtihad oleh seorang mujtahid yang memiliki kemampuan, bukan disidangkan kemudian ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Dengan kata lain, tidak semua orang berhak dan mampu menggali hukum (ijtihad). Hanya orang-orang yang memiliki kemampuan saja yang berhak mengambil hukum dari nash-nash syara’. Jika ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan pendapat syariat, maka perbedaan ini harus dikembalikan kepada pendapat yang rajih (lebih kuat). Suara mayoritas maupun musyawarah mufakat tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan definisi dari suatu perkara, baik definisi yang bersifat syari’iyyah maupun non syari’iyyah; misalnya, definisi tentang hukum syara’, masyarakat, akal, dan lain sebagainya; harus dikembalikan kepada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak di idefinisikan. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara semacam ini, prinsip suara mayoritas tidak berlaku, bahkan tidak boleh diberlakukan.[1]
3. Perkara-perkara yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, maka pengambilan keputusan dalam masalah ini harus dirujukkan kepada orang yang memang ahli dalam masalah ini. Misalnya, untuk menetapkan obat apa yang paling mujarab untuk sebuah penyakit, kita harus bertanya kepada seorang dokter ahli. Pendapat dokter harus diutamakan dibanding dengan pendapat-pendapat orang yang tidak ahli dalam masalah ini, meskipun suaranya mayoritas. Rasulullah saw. menganulir pendapat beliau, dan mengikuti pendapat Khubaib bin Mundzir. Sebab, Rasulullah saw. memahami, bahwa Khubaib adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan posisi yang harus ditempati kaum muslim untuk bertahan. Dalam perkara-perkara semacam ini, pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara mayoritas, sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi -tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
4. Perkara-perkara yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan, atau masalah teknis, maka pe-ngambilan keputusannya didasarkan pada suara mayoritas. Hanya pada perkara ini saja prinsip suara mayoritas ditegakkan. Dalam sejarah dituturkan, bahwa para shahabat pemah mengambil keputusan untuk menyongsong musuh di luar kota Madinah berdasarkan suara mayoritas.[2]
Prinsip-prinsip pengambilan pendapat semacam ini tentu saja berbeda dan bertentangan secara diametral dengan mekanisme pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi. Dalam pandangan Islam, pengambilan pendapat hanya terjadi dalam hal-hal teknis dan perkara-perkara yang tidak mem-butuhkan penelitian dan kajian, Ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mekanisme pengambilan pendapat yang dilakukan oleh majelis umat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh anggota parlemen demokratik.
Kewenangan. Dari sisi kewenangan, majelis umat memiliki 4 kewenangan sebagai berikut;
1. Setiap hal yang termasuk dalam kategori masyurah (perkara-perkara yang bisa dimusyawarahkan; misalnya masalah teknis dan perkara yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian) yang berhubungan dengan urusan dalam negeri harus diambil berdasarkan pendapat majelis umat, misalnya, urusan ketatanegaraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat. Hal-hal yang berada di luar kategori masyurah, maka pendapat majelis umat tidak harus diambil. Pendapat majelis umat tidak harus diambil dalam urusan politik luar negeri, keuangan dan militer.
Majelis umat berhak meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap seluruh kegiatan yang terjadi sehari-hari, baik menyangkut urusan dalam negeri, keuangan maupun militer. Pendapat majelis umat dalam hal semacam ini bersifat mengikat selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at. Jika terjadi perbedaan pendapat antara majelis umat dengan penguasa dalam menilai suatu kegiatan dilihat dari sisi hukum syara’, maka semua itu dikembalikan kepada mahkamah madzalim.
2. Majelis umat berhak menyampaikan mosi tidak percaya kepada para wali dan mu’awwin. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat, dan khalifah wajib memberhentikan mereka.
3. Hukum-hukum yang akan diberlakukan khalifah dalam perundang-undangan disampaikan kepada majelis umat. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak mendiskusikan dan mengeluarkan pendapat, tetapi pendapatnya tidak mengikat.
4. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak membatasi calon khalifah, dan pendapat mereka dalam hal ini bersifat mengikat, sehingga calon lain tidak dapat diterima.
Adapun fungsi parlemen (legislatif) yang paling menonjol di dalam sistem pemerintahan demokratik ada dua.
1. Menentukan policy dan membuat undang-undangan. Untuk itu, dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
2. Mengontrol badan eksektutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang teiah ditetapkan. Untuk itu, badan legislative diberi hak kontrol yang bersifat khusus.[3]
Fakta di atas menunjukkan bahwa, majelis umat dalam sistem pemerintahan Islam berbeda dengan parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Bahkan, keduanya adalah institusi yang saling bertolak belakang dan saling bertentangan.
Majelis umat tidak boleh disejajarkan dengan parlemen-demokratik. Sebab asas, tujuan, wewenang dan kewajiban keduanya berbeda dan saling bertentangan. Menyamakan majelis umat dengan parlemen yang ada di dalam sistem demokrasi sama artinya dengan menyamakan kebenaran dengan kekufuran. Untuk itu, seorang muslim tidak boleh mengidentikkan majelis ummat dengan parlemen, apalagi membuat analog hukum. Pasalnya, keduanya memiliki fakta sangat berbeda dan bertentangan.
Hukum Mencalonkan dan Dicalonkan Menjadi Anggota Parlemen Dalam Sistem Demokrasi
Meskipun hukum asal pemilu untuk memilih wakil rakyat (perwakilan) adalah mubah, namun demikian, seorang muslim tetap harus memperhatikan syarat-syarat yang ada di dalamnya. Selama syarat-syaratnya sesuai dengan al-Quran dan sunnah, maka absahlah aqad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika syarat-syaratnya bertentangan dengan al-Quran dan sunnah, maka aqad perwakilan itu batal.
Lantas, di dalam konteks sistem pemerintahan demokratik, apakah seorang muslim diperbolehkan mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi Islam dan kaum muslim di dalam parlemen? Dengan kata lain, apakah seorang muslim boleh menjadikan parlemen -dalam sistem demokratik-sebagai jalan untuk mendakwahkan dan menyua-rakan aspirasi umat Islam? Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya, ketika seorang telah menjalin aqad wakalah dengan orang lain sesuai dengan syarat-syarat Islam, maka absahlah syarat tersebut. Bila si fulan mewakilkan aspirasinya kepada fulan yang lain, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Demikian juga dalam pemilu saat ini. Seorang muslim boleh dicalonkan atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi. Bila perkara yang diwakalahkan adalah perkara mubah, sedangkan rukun dan syarat sah wakalahnya telah dipenuhi, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Namun, persoalannya tidak berhenti hingga di sini saja, akan tetapi berlanjut pada pertanyaan, “Apakah seorang yang dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat tersebut -ketika hendak memperjuangkan aspirasi dari orang yang mewakilkan- menggunakan cara dan wasilah yang sesuai dengan syariat Islam atau tidak? Dengan kata lain, apakah dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, wakil rakyat tersebut menggunakan cara-cara dan wasilah Islamiy ataukah tidak? Lantas, apakah pemilu dan parlemen merupakan wasilah Islamiy atau tidak?
Dalam konteks pemilu saat ini, seorang wakil rakyat harus menjadi anggota parlemen dan mengikuti seluruh mekanisme parlemen tatkala hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui parlemen. Sebab, ketika seseorang hendak berjuang melalui parlemen maka, orang tersebut harus berkecimpung dan terlibat di dalamnya. Tanpa melibatkan dan berkecimpung di dalamnya, seseorang - yang berjuang via parlemen- tidak mungkin bisa menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, parlemen dan seluruh mekanisme yang ada di dalamnya jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa menyatakan dengan tegas bahwa, parlemen (dengan sistem seperti sekarang ini) bukanlah wasilah syar’iy untuk memperjuangkan aspirasi Islam dan kaum muslim, Pasalnya, mekanisme parlemen jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Untuk itu, seorang muslim tetap tidak boleh mewakilkan suaranya kepada orang yang hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui wasilah yang tidak syar’iy (parlemen). Dengan ungkapan lain, seorang muslim tidak boleh menjalin aqad wakalah dengan scseorang yang menggunakan wasilah non-syar’iy untuk memperjuangkan aspirasinya.
Fakta pertentangan parlemen -asas dan mekanismenya-? dengan Islam terlihat dalam perkara-perkara berikut ini;
Pertama, asas yang digunakan pijakan untuk menetapkan undang-undang tidak merujuk kepada ‘aqidah dan syariat Islam, akan tetapi dibangun berdasarkan paham demokrasi-sekulerisme.
Pada dasamya, fungsi legislasi (penetapan hukum) merupakan fungsi paling menonjol dari parlemen. Jika fungsi menetapkan hukum ini masih berada di tangan wakil rakyat (anggota parlemen) - sesuai dengan prinsip demokrasi, vox populi, vox dei-, maka kita bisa menyatakan dengan tegas, bahwa keberadaan parlemen semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam, tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, hak untuk menetapkan hukum ada di tangan Allah Swt. semata, bukan di tangan rakyat maupun wakil rakyat.
Di sisi yang lain, keberadaan pemilu dan parlemen juga ditujukan untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebab, pemilu dan parlemen adalah mekanisme yang di desain untuk melakukan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik. Pembentukan pemerintahan dan kekuasaan baru harus dilakukan melalui mekanisme pemilu dan parlemen.
Atas dasar itu, gagal atau tidaknya pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik sangat ditentukan oleh gagal atau tidaknya pemilu dan parlemen. Jika pemilu gagal atau digagalkan, maka pergantian kekuasaan tidak akan terjadi, alias terputuslah mata rantai pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik. Akan tetapi, jika mekanisme pemilu dan parlemen ini berjalan dengan normal, maka secara otomatis proses pergantian kekuasaan akan terjadi secara sukses.
Dari sini kita bisa menyatakan bahwa, jika kaum muslim mengikuti pemilu dan melibatkan diri di dalamnya, maka secara tidak langsung, mereka juga turut andil dalam memuluskan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik sekuler. Dengan ungkapan lain, mereka juga turut andil dalam melahirkan dan melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebaliknya, jika kaum muslim tidak melibatkan diri dalam pemilu dan parlemen, maka ia telah berperan dalam menggagalkan lahirnya pemerintahan dan kekuasaan demokratik sekuler. Artinya, ia telah berperan dalam menghentikan keberlangsungan sistem pemerintahan demokratik sekuler yang bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, mekanisme pengambilan pendapat di dalam parlemen didasarkan pada prinsip-prinsip pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi, bukan Islam. Prinsip pengambiian pendapat yang paling menonjol dalam sistem parlemen demokratik adalah suara mayoritas (voting). Padahal, pada perkara-perkara tertentu, voting jelas-jelas melanggar prinsip dan syariat Islam. Misalnya, untuk menetapkan status hukum zina, homo seks, dan lain sebagainya, tidak boleh ditempuh dengan cara voting. Cara penetapan hukumnya harus didasarkan pada prinsip ijtihad dan pendapat yang paling kuat (rajih). Penetapan hukum pada perkara-perkara semacam ini tidak boleh dilakukan dengan cara voting, akan tetapi dengan cara istinbath (menggali hukum dari nash-nash al-Quran).
Ketiga, dari sisi keanggotaan. Keberadaan orang-orang kafir di dalam parlemen yang tidak dibatasi kewenangan dan kewajibannya, telah membuka peluang bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim, Kasus di Nigeria membuktikan bahwa pemilu telah membuka pintu lebar bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Seharusnya, kewenangan dan hak orang-orang kafir di dalam parlemen harus dibatasi.
Dalam pandangan Islam, orang-orang kafir tidak boleh memberikan aspirasi atau pendapat dalam hal-hal yang menyangkut urusan? penetapan hukum dan pemerintahan. Mereka hanya diperbolehkan menyampaikan laporan-laporan tentang penyimpangan atau kesalahan dalam penerapan hukum, dan tidak diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasi dalam perkara-perkara selain itu. Dengan kata lain, orang kafir hanya diberi kewenangan untuk menyampaikan tindak penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa Islam, baik dalam hal buruknya penerapan syariat Islam di suatu daerah, atau kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa Islam. Selain perkara-perkara semacam ini, mereka dilarang menyampaikan aspirasi maupun kritik.
Dari keseluruhan penjelasan di atas, lantas, apakah seorang muslim tetap diperbolehkan melakukan wakalah (dalam hal aspirasi) dengan seseorang yang akan memperjuangkan aspirasinya melalui sebuah mekanisme yang jelas-jelas bathil, yakni parlemen? Jawabannya adalah sebagai beriku:
Meskipun antara rakyat dan calon wakil rakyat telah terjadi aqad wakalah dan sah, akan tetapi selama wakil rakyat tersebut memperjuangkan aspirasi rakyat melalui jalan yang diharamkan -parlemen dan pemilu- tentu akad wakalah itu menjadi batal dan rusak, walaupun pada awalnya, akad wakalah tersebut ditujukan untuk koreksi dan muhasabah. Sebab, syarat untuk duduk di dalam parlemen nyata-nyata bertentangan dengan syarat-syarat Islam.
Melihat fakta dan realitas parlemen dan pemilu sekarang ini, kita bisa menyimpulkan bahwa, melibatkan diri dalam dua aktivitas tersebut adalah tindakan haram. Sebab, untuk menjadi anggota parlemen, para wakil rakyat harus mengakui beberapa prinsip yang bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka harus mengakui dan menerima asas parlemen yang tidak berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, ada syarat-syarat bathil yang harus diakui oleh siapa saja yang hendak menjadi anggota parlemen.
Salah satu syarat yang bertentangan dengan aqidah Islam adalah: setiap calon wakil rakyat harus mengakui prinsip-prinsip sekuler sebagai asas dan dasar negara. Syarat ini harus dipenuhi oleh siapa saja yang ingin menjadi anggota parlemen. Padahal, pengakuan terhadap prinsip dasar sekuler ini jelas-jelas merupakan tindakan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Syarat-syarat tersebut tercantum dengan sangat jelas dalam undang-undang no. 23 tahun 2003, yang mengatur tentang kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dalam undang-undang no. 23 tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 20 disebutkan tentang sumpah yang harus diucapkan oleh anggota DPR, DPRD (pasai 56] dan DPD [pasal 36]. Isi sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakihn Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal 29 juga dinyatakan dengan sangat jelas bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban; (a) melaksanakan Pancasila, (b) melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan, (c) melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan seterusnya.
Fakta di atas telah menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk duduk di dalam parlemen adalah syarat-syarat bathil yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, seorang muslim wajib menolak syarat-syarat tersebut di atas. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap syarat yang tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, meskipun 100 syarat, adalah bathil.”
Jika syarat-syarat keanggotaan parlemen saja sudah bathil, tentunya memilih calon anggota parlemen pun menjadi tidak absah.
Walhasil, meskipun dari sisi wakalah antara calon wakil rakyat dengan rakyat sudah sesuai dengan prinsip Islam, akan tetapi dengan adanya syarat keanggotaan parlemen yang bathil, telah mengubah status hukum wakalah yang mubah menjadi haram. Sebab, wakil rakyat telah menggunakan wasilah yang tidak Islamiy untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain itu, mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen, keanggotaan, dan tujuan-tujuannya bertentangan secara diawetral dengan Islam. Keanggotaan seorang muslim di dalamnya tentu adalah sesuatu yang diharamkan. Meskipun ia hanya mengambil satu fungsi saja, yaitu ?fungsi kontrol dan koreksi.
Untuk memberikan gambaran sederhana fakta dan hukum mencalonkan dan dicalonkan menjadi anggota parlemen demokratik dapat diterangkan sebagai berikut:
Fulan-1 telah mengikat akad wakalah dengan fulan-2 dalam perkara aspirasi, koreksi dan pendapat Islam. Fulan-1 sebagai wakil sedangkan fulan-2 adalah muwakkil. Selanjutnya. keduanya mengucapkan sighat taukil. Pada kasus ini, akad wakalah telah terselenggara dan sah menurut syariat Islam. Sebab, syarat dan rukun wakalah telah terpenuhi. Selanjutnya, fulan-1 (wakil) pergi ke KPU mendaftarkan diri sebagai calon anggota wakil rakyat; atau bisa jadi, fulan-1 telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat, kemudian baru berakad wakalah dengan fulan-2.
Yang perlu dicermati adalah, pada saat wakil (fulan-1) mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil rakyat di KPU, dirinya harus mematuhi prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU. Selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak bertentangan dengan Islam, maka secara hukum wakil (fulan-1) diperbolehkan turut serta dan terlibat dalam parlemen dan pemilu. Akan tetapi, selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak sesuai dengan syariat dan ‘aqidah Islam -meskipun satu syarat- , maka wakil (fulan-1) diharamkan untuk meneruskan menjadi calon wakil rakyat yang berkecimpung di dalam parlemen. Sebab, syarat-syarat yang diajukan oleh KPU telah bertentangan dengan Islam.
Fakta saat ini menunjukkan bahwa ada syarat yang diajukan oleh KPU yang bertentangan dengan Islam. Di antaranya adalah, para calon wakil rakyat harus mengakui asas tunggal dan kesetiaannya dengan sistem sekuler. Pada kondisi semacam ini, maka calon wakil rakyat tidak mungkin bisa berkecimpung di dalam pemilu dan parlemen, dikarenakan pada langkah-langkah awal dirinya telah dicegat dengan syarat-syarat yang tidak Islamiy.
Jika syarat untuk menjadi wakil rakyat saja bathil, tentunya rakyat tidak boleh mencalonkan atau dicalonkan menjadi wakil rakyat.
Seandainya syarat-syarat menjadi anggota parlemen adalah sah, namun mekanisme pengambilan pendapat, tugas, fungsi, hak dan kewenangannya bertentangan dengan Islam, maka seorang muslim juga tidak boleh masuk dan menjadi anggota di dalamnya. Sebab, seorang muslim tidak dibenarkan berkecimpung dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan Syariat Islam atau tolong menolong dalam hal kemaksiatan. Allah Swt. berfirman, artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu sekalian dalam hal kebaikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan.” [al-Maidah: 2]
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa bekerjasama dan tolong menolong dalam kebathilan merupakan bagian dari kemaksiatan itu sendiri.
Hukum Menjadi Anggota Parlemen
Bila syarat-syarat untuk menjadi anggota parlemen nyata-nyata bertentangan dengan Islam, tentu kita tidak bisa menyatakan bahwa keanggotaan kaum muslim di dalam parlemen hanya dijadikan sebagai wasilah untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat, sehingga syarat yang bathil pun boleh diterima. Dengan kata lain, calon wakil rakyat absah-absah saja menerima syarat-syarat bathil itu selarna tujuannya adalah untuk melakukan koreksi dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Pernyataan semacam ini adalah pernyataan bathil yang tidak sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah yang suci tidak boleh ditempuh dengan ?cara-cara keji dan bertentangan dengan syariat Islam.
Di sisi yang lain, keanggotaan dalam parlemen mengharuskan dirinya untuk bertanggungjawab terhadap semua keputusan yang terlahir dari parlemen. Jika parlemen membuat keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam misalnya, undang-undang perbankan ribawiy, maka seluruh anggota parlemen bertanggungjawab atas keputusan itu. Walaupun keputusan itu tidak disetujui oleh beberapa wakil rakyat dari partai Islam, akan tetapi ketika keputusan itu telah ditetapkan, maka ia tetap dianggap sebagai keputusan parlemen, bukan keputusan atas nama sebagian anggota parlemen. Lantas, dalam kondisi semacam ini apa yang dilakukan oleh anggota parlemen muslim?
Dalam kondisi semacam ini setiap anggota parlemen yang konsens dengan syariat Islam harus keluar dari keanggotaan parlemen, dan tidak boleh hanya sekedar melakukan walk out; jika dirinya tidak bisa mencegah lahirnya keputusan-keputusan yang tidak islamiy. Sebab, seorang muslim harus menghindarkan diri dari keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Imam Nawawiy dalam syarah shahih Muslim, ketika menjelaskan hadits Rasulullah saw, “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ?hendaknya ia ubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, maka ubahlah dengan hati; dan ini adalah selemah-lemahnya iman.”[HR. Muslim]; menyatakan, bahwa maksud mengubah dengan hati di sini tidak cukup berdiam diri dan menolak dalam hati, akan tetapi ia harus menghindari kemungkaran tersebut. Maksudnya adalah, jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia harus menghindarkan diri dan tidak ikut campur dan teriibat di dalamnya, Misalnya, tatkala ada sekelompok orang sibuk membincangkan dan memutuskan aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam, maka jika dirinya tidak mampu mengubah keputusan itu, maka ia harus keluar dari forum tersebut dan menunjukkan sikap ketidaksenangannya. Ia tidak diperkenankan tetap duduk, atau bahkan menjadi anggota forum tersebut, meskipun hatinya menolak. [Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, lihat tentang bab al-Iimaan]
Para khalifah di masa kejayaan Islam menjatuhkan hukuman cambuk bagi orang yang berada di dalam majelis khamer, meskipun ia tidak ikut serta minum dan hatinya menolak. Para ulama memahami bahwa berdiam diri atau tetap berada di dalam majelis kemaksiatan sama artinya dengan melibatkan diri dalam kemaksiatan itu sendiri. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah saw. menggambarkan orang yang berdiam diri terhadap kemungkaran dengan setan bisu.
Haramnya seorang muslim berada dalam suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt., telah ditegaskan oleh Allah Swt. di dalam al-Quran al-Karirn. Dalam surat al-An’am ayat 68 disebutkan:
Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu. [al-An’am: 68].
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisaa’: 140
Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,“Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka“ [al-Nisaa’: 140]
Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika engkau melihat orang-orang kafir mengolok-olok al-Quran dengan kebohongan dan kedustaan dan olok-olok, ?maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka sampai mereka mengatakan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olokan dan pendustaannya.“[Ali al-Shabuniy, Shafwaatal-Tafaasir, juz I, hal.397] Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi saw. dan al-Quran, orang-orang musyrik itu lantas mencela dan mengolok-oloknya. Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka mengalihkan kepada pembicaraan lainnya.” [Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, juz II, hal.437]
Dalam menafsirkan surat al-Nisaa’:140, Ali al-Shabuniy berkata, “Telah diturunkan kepada kalian, suatu perintah yang sangat jelas bagi orang-orang yang nyata-nyata beriman. Perintah itu adalah; jika kalian mendengar al-Quran diingkari dan diolok-olok oleh orang-orang kafir dan para pengolok, maka janganlah kalian duduk bersama orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah itu, sampai mereka mengalihkan pada pembicaraan lain dan tidak lagi mengolok-olok al-Quran. Namun, jika kalian tetap duduk bersama mereka, maka kalian tidak ubahnya dengan mereka dalam hal kekufuran” [Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I, hal. 312]
Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‘iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan, bahwa orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, dan mengingkari ayat-ayat Allah, sementara forum itu tidak pernah berubah untuk meng-ingat Allah, maka siapapun yang ada di dalamnya -meskipun hatinya menolak- telah terjatuh kepada tindakan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok, dan mengingkari ayat-ayat Allah, di-qarinahkan {diindikasikan) dengan firmanNya, “sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka” [al-Nisaa’: 140]
Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap orang yang terlibat dalam dan berdiam diri terhadap forum-forum seperti itu, telah terjatuh kepada tindak keharaman, dan berserikat dalam kekufuran.
Lantas, apakah fakta parlemen kita sudah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah Swt., sehingga bisa diberlakukan hukum yang terkandung dalam surat al-An’am:68 dan al-Nisaa’:140? Jawabnya: parlemen kita telah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt. Ini didasarkan pada kenyataan berikut ini;
Pertama; MPR di negeri ini bertugas (sesuai dengan ketetapan MPR) mengangkat presiden dan wakil presiden. Apakah tindakan semacam ini tidak tergolong tindakan mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah. Sebab, pemimpin kaum muslim bukanlah presiden, raja, atau PM; akan tetapi khalifah/Imam/Amirul Mukminin. Sistem pemerintahan dalam Islam pun bukan presidensil, akan tetapi sistem Khilafah ?Islamiyyah. Lantas, apakah dibenarkan secara syar’iy, ada sekelompok orang berbondong-bondong menjadi anggota sebuah majelis untuk menelorkan produk-produk yang bertentangan dengan syari’at Allah; bahkan, memilih pemimpin dan mencgakkan sistem pemerintahan yang sangat bertentangan dengan Islam? Jawabnya sangat jelas: haram.
Kedua; mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen didasarkan pada prinsip suara mayoritas (voting). Apakah prinsip ini dibenarkan dalam Islam?
Dalam hal-hal tertentu mekanisme pengambilan keputusan memang didasarkan pada suara terbanyak. Misalnya, hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas praktis dan hal-hal yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian mendalam. Rasulullah saw. pemah mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota.
Selain perkara di atas, keputusan tidak boleh ditetapkan berdasarkan mekanisme voting. Contoh dari perkara yang tidak boleh ditetapkan berdasarkan voting adalah perkara-perkara yang telah ditetapkan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’. Misalnya, kewajiban mengerjakan sholat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan sholat lima waktu kita harus menunggu hasil voting terlebih dahulu? Kita tidak mungkin menjawab, bahwa untuk memutuskan apakah sholat harus dikerjakan atau tidak, harus didasarkan pada hasil voting terlebih dahulu. Sungguh, siapa saja yang menvoting, apakah sholat itu perlu dikerjakan atau tidak, maka dirinya telah terjatuh kepada perbuatan haram.
Keterangan ini semakin menguatkan bahwa, selama mekanisme dan aturan main parlemen bertentangan dengan Islam dan tidak pernah berubah, maka seorang muslim diharamkan menjadi anggotanya dan duduk-duduk di dalamnya, meskipun hatinya menolak dengan cara walk out. Pertanyaan berikutnya adalah, apa hukum berwakalah dengan seseorang yang mau menerima syarat-syarat yang bathil? Dcngan kata lain, bolehkah kita memilih seseorang untuk menyuarakan syariat Islam, sementara itu wakilnya tersebut mengakui syarat-syarat yang tidak Islamiy?
Jawabnya, akad semacam telah batal dari sisi asasnya. Sebab, jika kita tetap berwakalah dengan dirinya, sama artinya kita mengiyakan syarat-syarat non syar’iy yang telah diterima oleh calon wakil rakyat. Oleh karena itu, aqad wakalah yang dijalin dengan calon wakil rakyat yang mengiyakan syarat-syarat bathil adalah aqad yang bathal dan tidak boleh dilanjutkan. Mencalonkan diri atau orang lain untuk menjadi anggota parlemen meskipun ditujukan untuk menggunakan salah satu fungsi parlemen, yakni fungsi koreksi dan muhasabah, merupakan tindakan haram yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Benar, melakukan koreksi dan muhasabah merupakan kewajiban setiap kaum muslim. Akan tetapi, dalam melakukan koreksi dan muhasabah, seorang muslim mesti terikat dengan aturan-aturan Allah Swt. dan menggunakan cara dan wasilah yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
Seandainya berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah haram, lantas, apakah ada jalan lain untuk menerapkan syariat Islam selain melalui parlemen atau pemilu?
Kesalahan Paralaks
Pada dasarnya, pemilu dan parlemen bukanlah satu-satunya cara untuk memperjuangkan syariat Islam. Masih banyak cara dan altematif lain yang bisa ditempuh oleh kaum muslim untuk memperjuangkan tertegaknya syariat klam. Yang penting, cara yang ditempuh tersebut sesuai dengan aqidah dan syariat Islam.
Pada dasarnya, pandangan-pandangan keliru tentang pemilu dan parlemen beranjak dari kesalahan paralaks. Kesalahan paralaks ini telah mengakibatkan lahirnya fatwa-fatwa dan strategi perjuangan yang salah. Kesalahan paralaks ini terwajahkan pada pandangan-pandangan berikut ini.
1.Selama ini, pemilu dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kekuasaan dan menerapkan syari’at Islam. Meskipun mereka tidak menyatakan hal ini secara terbuka, akan tetapi alasan-alasan yang mereka ketengahkan telah menunjukkan dengan sangat jelas, keterjebakan mereka dalam kesalahan paralaks ini. Misalnya, alasan yang menyatakan, bahwa jika tidak mengikuti pemilu, maka parlemen akan dikuasai orang kafir. Muncul juga statement bahwa, mengikuti pemilu berhukum wajib berdasarkan kaedah “maa laa yatimm al-waajib illa bihi fahuwa waajib”; “akhdz akhaff al-dlararain”, dan sebagainya. Alasan-alasan ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mereka telah menganggap pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menerapkan syariat Islam.
2.Penerapan syariat Islam bisa ditempuh melalui jalan haram, selama di dalamnya ada kemashlahatan. Sebagian dari kaum muslim menyadari bahwa ada perkara dan mekanisme tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Misalnya, fungsi penetapan hukum (legislasi) serta mekanisme pemilu untuk mengangkat presiden. Padahal, kewenangan untuk menetapkan hukum tidak ada di tangan parlemen, akan tetapi di tangan Allah Swt. Dari sisi sistem pemerintahan, presiden bukanlah kepala negara yang absah menurut syariat. Kepala negara yang absah dalam pandangan Islam adalah khalifah, imam, atau amirul mukminin. Jika pemilu ditujukan untuk memilih presiden, sama artinya kita telah melanggengkan sistem pemerintahan republik yang sangat bertentangan dengan Islam. Sayangnya, calon-calon wakil rakyat dan sebagian besar masyarakat telah mengabaikan perkara-perkara ini, dengan alasan madlarat dan kemashlahatan umat.
Seharusnya, pemilu dipandang sebagai cara (uslub) untuk mengganti kepala negara dan memilih wakil rakyat yang berhukum mubah.
Tatkala kedudukan pemilu sebatas hanya uslub, maka hukum tentang pemilu ditetapkan berdasarkan mekanisme, dan syarat-syarat yang ada dalamnya. Selama syarat-syaratnya sejalan dengan syariat Islam, maka hukumnya tetap berada dalam wilayah mubah. Sebaliknya, tatkala di dalamnya ada mekanisme dan syarat yang bertentangan dengan Islam, maka terlibat maupun berkecimpung di dalamnya adalah tindak yang diharamkan oleh Allah Swt.

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu
Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah saw. meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau saw. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12 orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah melakukan aktivitas wakalah.
Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak-belakang dan bertentangan.

Pemilu di dalam sistem demokratik, terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiiiki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam Undang-undang no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan:
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.”
Adapun tugas, wewenang dan kewajiban lembaga legislatif di atas (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) diterangkan dalam Undang-undang No. 22 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Tugas dan kewenangan MPR dicantumkan dalam bagian keempat, pasal 11, yakni:
a. mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilu dalam Sidang Paripurna MPR.
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatakan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dan dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
g. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.
Sedangkan kewajiban anggota MPR diatur dalam pasal 13, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
c. menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional.
Sedangkan tugas dan wewenang DPR ditetapkan dalam pasal 26. Tugas dan wewenang DPR ada 16 perkara, di antaranya adalah:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kewajiban anggota DPR dijelaskan dalam pasal 29, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Tugas dan wewenang DPD diatur dalam pasal 42; sedangkan tugas dan wewenang DPRD dijelaskan dalam pasal 62.
Di dalam undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD & DPRD,? juga dijelaskan dengan sangat gamblang bahwa DPR, DPRD memiliki tiga fungsi yang menonjol, yakni: (1) fungsi legislasi, (2) anggaran, (3) pengawasan. [lihat undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; pasal 25 dan pasal 61]
Inilah fakta-fakta yang berhubungan dengan tugas, wewenang, dan kewajiban badan legislatif yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik sekuler.
Selain itu, pemilu dalam negara demokratik merupakan mekanisme pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekuleristik, Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang no. 12 tahun 2003, Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bab I Ketentuan Umum, yang menyatakan:
“Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Lebih dari itu, di dalam undang-undang yang sama juga dinyatakan bahwa partai politik maupun perorangan tidak boleh mengkampanyekan materi-materi yang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dalam pasal 74 1 dinyatakan:
“Dalam kampanye pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rejim demokratik-sekuleristik yang jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat -badan legislatif- adalah lembaga yang bertugas membuat dan mengesahkan undang-undang. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, prinsip utama negara demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox poputi vox def”. Prinsip ini telah menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara (lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang.
Pemilu Dalam Sistem Pemerintahan Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala negara (khalifah).
Pada dasamya, fakta majelis ummat - dalam pemerintahan Islam - berbeda dengan fakta parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Keanggotaan, mekanisme pengambilan pendapat, dan wewenang majelis ummat berbeda dengan kenggotaan, mekanisme pengambilan pendapat dan wewenang yang ada dalam parlemen demokratik.
Keanggotaan. Dari sisi keanggotaan, majelis umat terdiri dari muslim dan nonmuslim, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, nonmuslim tidak diperkenankan memberikan aspirasi dalam hal pemerintahan maupun hukum. Mereka hanya berhak menyampaikan koreksi atau aspirasi-aspirasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan penerapan hukum negara. Sedangkan dalam sistem demokrasi, muslim maupun nonmuslim diberi hak sepenuhnya untuk menyampaikan aspirasi dalam hal apapun secara muflak.
Mekanisme pengambilan pendapat. Dari sisi mekanisme pengambilan pendapat, majelis umat terikat dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Tidak ada musyawarah dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum syara’ dan pendapat-pendapat syar’iyyah. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan nash-nash al-Quran dan sunnah. Kaum muslim hanya diwajibkan untuk berijtihad menggali hukum-hukum syara’ dari keduanya. Pengambilan pendapat dalam masalah hukum, harus ditempuh dengan jalan ijtihad oleh seorang mujtahid yang memiliki kemampuan, bukan disidangkan kemudian ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Dengan kata lain, tidak semua orang berhak dan mampu menggali hukum (ijtihad). Hanya orang-orang yang memiliki kemampuan saja yang berhak mengambil hukum dari nash-nash syara’. Jika ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan pendapat syariat, maka perbedaan ini harus dikembalikan kepada pendapat yang rajih (lebih kuat). Suara mayoritas maupun musyawarah mufakat tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan definisi dari suatu perkara, baik definisi yang bersifat syari’iyyah maupun non syari’iyyah; misalnya, definisi tentang hukum syara’, masyarakat, akal, dan lain sebagainya; harus dikembalikan kepada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak di idefinisikan. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara semacam ini, prinsip suara mayoritas tidak berlaku, bahkan tidak boleh diberlakukan.[1]
3. Perkara-perkara yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, maka pengambilan keputusan dalam masalah ini harus dirujukkan kepada orang yang memang ahli dalam masalah ini. Misalnya, untuk menetapkan obat apa yang paling mujarab untuk sebuah penyakit, kita harus bertanya kepada seorang dokter ahli. Pendapat dokter harus diutamakan dibanding dengan pendapat-pendapat orang yang tidak ahli dalam masalah ini, meskipun suaranya mayoritas. Rasulullah saw. menganulir pendapat beliau, dan mengikuti pendapat Khubaib bin Mundzir. Sebab, Rasulullah saw. memahami, bahwa Khubaib adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan posisi yang harus ditempati kaum muslim untuk bertahan. Dalam perkara-perkara semacam ini, pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara mayoritas, sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi -tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
4. Perkara-perkara yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan, atau masalah teknis, maka pe-ngambilan keputusannya didasarkan pada suara mayoritas. Hanya pada perkara ini saja prinsip suara mayoritas ditegakkan. Dalam sejarah dituturkan, bahwa para shahabat pemah mengambil keputusan untuk menyongsong musuh di luar kota Madinah berdasarkan suara mayoritas.[2]
Prinsip-prinsip pengambilan pendapat semacam ini tentu saja berbeda dan bertentangan secara diametral dengan mekanisme pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi. Dalam pandangan Islam, pengambilan pendapat hanya terjadi dalam hal-hal teknis dan perkara-perkara yang tidak mem-butuhkan penelitian dan kajian, Ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mekanisme pengambilan pendapat yang dilakukan oleh majelis umat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh anggota parlemen demokratik.
Kewenangan. Dari sisi kewenangan, majelis umat memiliki 4 kewenangan sebagai berikut;
1. Setiap hal yang termasuk dalam kategori masyurah (perkara-perkara yang bisa dimusyawarahkan; misalnya masalah teknis dan perkara yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian) yang berhubungan dengan urusan dalam negeri harus diambil berdasarkan pendapat majelis umat, misalnya, urusan ketatanegaraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat. Hal-hal yang berada di luar kategori masyurah, maka pendapat majelis umat tidak harus diambil. Pendapat majelis umat tidak harus diambil dalam urusan politik luar negeri, keuangan dan militer.
Majelis umat berhak meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap seluruh kegiatan yang terjadi sehari-hari, baik menyangkut urusan dalam negeri, keuangan maupun militer. Pendapat majelis umat dalam hal semacam ini bersifat mengikat selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at. Jika terjadi perbedaan pendapat antara majelis umat dengan penguasa dalam menilai suatu kegiatan dilihat dari sisi hukum syara’, maka semua itu dikembalikan kepada mahkamah madzalim.
2. Majelis umat berhak menyampaikan mosi tidak percaya kepada para wali dan mu’awwin. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat, dan khalifah wajib memberhentikan mereka.
3. Hukum-hukum yang akan diberlakukan khalifah dalam perundang-undangan disampaikan kepada majelis umat. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak mendiskusikan dan mengeluarkan pendapat, tetapi pendapatnya tidak mengikat.
4. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak membatasi calon khalifah, dan pendapat mereka dalam hal ini bersifat mengikat, sehingga calon lain tidak dapat diterima.
Adapun fungsi parlemen (legislatif) yang paling menonjol di dalam sistem pemerintahan demokratik ada dua.
1. Menentukan policy dan membuat undang-undangan. Untuk itu, dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
2. Mengontrol badan eksektutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang teiah ditetapkan. Untuk itu, badan legislative diberi hak kontrol yang bersifat khusus.[3]
Fakta di atas menunjukkan bahwa, majelis umat dalam sistem pemerintahan Islam berbeda dengan parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Bahkan, keduanya adalah institusi yang saling bertolak belakang dan saling bertentangan.
Majelis umat tidak boleh disejajarkan dengan parlemen-demokratik. Sebab asas, tujuan, wewenang dan kewajiban keduanya berbeda dan saling bertentangan. Menyamakan majelis umat dengan parlemen yang ada di dalam sistem demokrasi sama artinya dengan menyamakan kebenaran dengan kekufuran. Untuk itu, seorang muslim tidak boleh mengidentikkan majelis ummat dengan parlemen, apalagi membuat analog hukum. Pasalnya, keduanya memiliki fakta sangat berbeda dan bertentangan.
Hukum Mencalonkan dan Dicalonkan Menjadi Anggota Parlemen Dalam Sistem Demokrasi
Meskipun hukum asal pemilu untuk memilih wakil rakyat (perwakilan) adalah mubah, namun demikian, seorang muslim tetap harus memperhatikan syarat-syarat yang ada di dalamnya. Selama syarat-syaratnya sesuai dengan al-Quran dan sunnah, maka absahlah aqad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika syarat-syaratnya bertentangan dengan al-Quran dan sunnah, maka aqad perwakilan itu batal.
Lantas, di dalam konteks sistem pemerintahan demokratik, apakah seorang muslim diperbolehkan mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi Islam dan kaum muslim di dalam parlemen? Dengan kata lain, apakah seorang muslim boleh menjadikan parlemen -dalam sistem demokratik-sebagai jalan untuk mendakwahkan dan menyua-rakan aspirasi umat Islam? Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya, ketika seorang telah menjalin aqad wakalah dengan orang lain sesuai dengan syarat-syarat Islam, maka absahlah syarat tersebut. Bila si fulan mewakilkan aspirasinya kepada fulan yang lain, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Demikian juga dalam pemilu saat ini. Seorang muslim boleh dicalonkan atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi. Bila perkara yang diwakalahkan adalah perkara mubah, sedangkan rukun dan syarat sah wakalahnya telah dipenuhi, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Namun, persoalannya tidak berhenti hingga di sini saja, akan tetapi berlanjut pada pertanyaan, “Apakah seorang yang dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat tersebut -ketika hendak memperjuangkan aspirasi dari orang yang mewakilkan- menggunakan cara dan wasilah yang sesuai dengan syariat Islam atau tidak? Dengan kata lain, apakah dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, wakil rakyat tersebut menggunakan cara-cara dan wasilah Islamiy ataukah tidak? Lantas, apakah pemilu dan parlemen merupakan wasilah Islamiy atau tidak?
Dalam konteks pemilu saat ini, seorang wakil rakyat harus menjadi anggota parlemen dan mengikuti seluruh mekanisme parlemen tatkala hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui parlemen. Sebab, ketika seseorang hendak berjuang melalui parlemen maka, orang tersebut harus berkecimpung dan terlibat di dalamnya. Tanpa melibatkan dan berkecimpung di dalamnya, seseorang - yang berjuang via parlemen- tidak mungkin bisa menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, parlemen dan seluruh mekanisme yang ada di dalamnya jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa menyatakan dengan tegas bahwa, parlemen (dengan sistem seperti sekarang ini) bukanlah wasilah syar’iy untuk memperjuangkan aspirasi Islam dan kaum muslim, Pasalnya, mekanisme parlemen jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Untuk itu, seorang muslim tetap tidak boleh mewakilkan suaranya kepada orang yang hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui wasilah yang tidak syar’iy (parlemen). Dengan ungkapan lain, seorang muslim tidak boleh menjalin aqad wakalah dengan scseorang yang menggunakan wasilah non-syar’iy untuk memperjuangkan aspirasinya.
Fakta pertentangan parlemen -asas dan mekanismenya-? dengan Islam terlihat dalam perkara-perkara berikut ini;
Pertama, asas yang digunakan pijakan untuk menetapkan undang-undang tidak merujuk kepada ‘aqidah dan syariat Islam, akan tetapi dibangun berdasarkan paham demokrasi-sekulerisme.
Pada dasamya, fungsi legislasi (penetapan hukum) merupakan fungsi paling menonjol dari parlemen. Jika fungsi menetapkan hukum ini masih berada di tangan wakil rakyat (anggota parlemen) - sesuai dengan prinsip demokrasi, vox populi, vox dei-, maka kita bisa menyatakan dengan tegas, bahwa keberadaan parlemen semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam, tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, hak untuk menetapkan hukum ada di tangan Allah Swt. semata, bukan di tangan rakyat maupun wakil rakyat.
Di sisi yang lain, keberadaan pemilu dan parlemen juga ditujukan untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebab, pemilu dan parlemen adalah mekanisme yang di desain untuk melakukan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik. Pembentukan pemerintahan dan kekuasaan baru harus dilakukan melalui mekanisme pemilu dan parlemen.
Atas dasar itu, gagal atau tidaknya pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik sangat ditentukan oleh gagal atau tidaknya pemilu dan parlemen. Jika pemilu gagal atau digagalkan, maka pergantian kekuasaan tidak akan terjadi, alias terputuslah mata rantai pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik. Akan tetapi, jika mekanisme pemilu dan parlemen ini berjalan dengan normal, maka secara otomatis proses pergantian kekuasaan akan terjadi secara sukses.
Dari sini kita bisa menyatakan bahwa, jika kaum muslim mengikuti pemilu dan melibatkan diri di dalamnya, maka secara tidak langsung, mereka juga turut andil dalam memuluskan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik sekuler. Dengan ungkapan lain, mereka juga turut andil dalam melahirkan dan melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebaliknya, jika kaum muslim tidak melibatkan diri dalam pemilu dan parlemen, maka ia telah berperan dalam menggagalkan lahirnya pemerintahan dan kekuasaan demokratik sekuler. Artinya, ia telah berperan dalam menghentikan keberlangsungan sistem pemerintahan demokratik sekuler yang bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, mekanisme pengambilan pendapat di dalam parlemen didasarkan pada prinsip-prinsip pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi, bukan Islam. Prinsip pengambiian pendapat yang paling menonjol dalam sistem parlemen demokratik adalah suara mayoritas (voting). Padahal, pada perkara-perkara tertentu, voting jelas-jelas melanggar prinsip dan syariat Islam. Misalnya, untuk menetapkan status hukum zina, homo seks, dan lain sebagainya, tidak boleh ditempuh dengan cara voting. Cara penetapan hukumnya harus didasarkan pada prinsip ijtihad dan pendapat yang paling kuat (rajih). Penetapan hukum pada perkara-perkara semacam ini tidak boleh dilakukan dengan cara voting, akan tetapi dengan cara istinbath (menggali hukum dari nash-nash al-Quran).
Ketiga, dari sisi keanggotaan. Keberadaan orang-orang kafir di dalam parlemen yang tidak dibatasi kewenangan dan kewajibannya, telah membuka peluang bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim, Kasus di Nigeria membuktikan bahwa pemilu telah membuka pintu lebar bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Seharusnya, kewenangan dan hak orang-orang kafir di dalam parlemen harus dibatasi.
Dalam pandangan Islam, orang-orang kafir tidak boleh memberikan aspirasi atau pendapat dalam hal-hal yang menyangkut urusan? penetapan hukum dan pemerintahan. Mereka hanya diperbolehkan menyampaikan laporan-laporan tentang penyimpangan atau kesalahan dalam penerapan hukum, dan tidak diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasi dalam perkara-perkara selain itu. Dengan kata lain, orang kafir hanya diberi kewenangan untuk menyampaikan tindak penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa Islam, baik dalam hal buruknya penerapan syariat Islam di suatu daerah, atau kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa Islam. Selain perkara-perkara semacam ini, mereka dilarang menyampaikan aspirasi maupun kritik.
Dari keseluruhan penjelasan di atas, lantas, apakah seorang muslim tetap diperbolehkan melakukan wakalah (dalam hal aspirasi) dengan seseorang yang akan memperjuangkan aspirasinya melalui sebuah mekanisme yang jelas-jelas bathil, yakni parlemen? Jawabannya adalah sebagai beriku:
Meskipun antara rakyat dan calon wakil rakyat telah terjadi aqad wakalah dan sah, akan tetapi selama wakil rakyat tersebut memperjuangkan aspirasi rakyat melalui jalan yang diharamkan -parlemen dan pemilu- tentu akad wakalah itu menjadi batal dan rusak, walaupun pada awalnya, akad wakalah tersebut ditujukan untuk koreksi dan muhasabah. Sebab, syarat untuk duduk di dalam parlemen nyata-nyata bertentangan dengan syarat-syarat Islam.
Melihat fakta dan realitas parlemen dan pemilu sekarang ini, kita bisa menyimpulkan bahwa, melibatkan diri dalam dua aktivitas tersebut adalah tindakan haram. Sebab, untuk menjadi anggota parlemen, para wakil rakyat harus mengakui beberapa prinsip yang bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka harus mengakui dan menerima asas parlemen yang tidak berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, ada syarat-syarat bathil yang harus diakui oleh siapa saja yang hendak menjadi anggota parlemen.
Salah satu syarat yang bertentangan dengan aqidah Islam adalah: setiap calon wakil rakyat harus mengakui prinsip-prinsip sekuler sebagai asas dan dasar negara. Syarat ini harus dipenuhi oleh siapa saja yang ingin menjadi anggota parlemen. Padahal, pengakuan terhadap prinsip dasar sekuler ini jelas-jelas merupakan tindakan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Syarat-syarat tersebut tercantum dengan sangat jelas dalam undang-undang no. 23 tahun 2003, yang mengatur tentang kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dalam undang-undang no. 23 tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 20 disebutkan tentang sumpah yang harus diucapkan oleh anggota DPR, DPRD (pasai 56] dan DPD [pasal 36]. Isi sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakihn Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal 29 juga dinyatakan dengan sangat jelas bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban; (a) melaksanakan Pancasila, (b) melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan, (c) melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan seterusnya.
Fakta di atas telah menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk duduk di dalam parlemen adalah syarat-syarat bathil yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, seorang muslim wajib menolak syarat-syarat tersebut di atas. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap syarat yang tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, meskipun 100 syarat, adalah bathil.”
Jika syarat-syarat keanggotaan parlemen saja sudah bathil, tentunya memilih calon anggota parlemen pun menjadi tidak absah.
Walhasil, meskipun dari sisi wakalah antara calon wakil rakyat dengan rakyat sudah sesuai dengan prinsip Islam, akan tetapi dengan adanya syarat keanggotaan parlemen yang bathil, telah mengubah status hukum wakalah yang mubah menjadi haram. Sebab, wakil rakyat telah menggunakan wasilah yang tidak Islamiy untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain itu, mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen, keanggotaan, dan tujuan-tujuannya bertentangan secara diawetral dengan Islam. Keanggotaan seorang muslim di dalamnya tentu adalah sesuatu yang diharamkan. Meskipun ia hanya mengambil satu fungsi saja, yaitu ?fungsi kontrol dan koreksi.
Untuk memberikan gambaran sederhana fakta dan hukum mencalonkan dan dicalonkan menjadi anggota parlemen demokratik dapat diterangkan sebagai berikut:
Fulan-1 telah mengikat akad wakalah dengan fulan-2 dalam perkara aspirasi, koreksi dan pendapat Islam. Fulan-1 sebagai wakil sedangkan fulan-2 adalah muwakkil. Selanjutnya. keduanya mengucapkan sighat taukil. Pada kasus ini, akad wakalah telah terselenggara dan sah menurut syariat Islam. Sebab, syarat dan rukun wakalah telah terpenuhi. Selanjutnya, fulan-1 (wakil) pergi ke KPU mendaftarkan diri sebagai calon anggota wakil rakyat; atau bisa jadi, fulan-1 telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat, kemudian baru berakad wakalah dengan fulan-2.
Yang perlu dicermati adalah, pada saat wakil (fulan-1) mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil rakyat di KPU, dirinya harus mematuhi prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU. Selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak bertentangan dengan Islam, maka secara hukum wakil (fulan-1) diperbolehkan turut serta dan terlibat dalam parlemen dan pemilu. Akan tetapi, selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak sesuai dengan syariat dan ‘aqidah Islam -meskipun satu syarat- , maka wakil (fulan-1) diharamkan untuk meneruskan menjadi calon wakil rakyat yang berkecimpung di dalam parlemen. Sebab, syarat-syarat yang diajukan oleh KPU telah bertentangan dengan Islam.
Fakta saat ini menunjukkan bahwa ada syarat yang diajukan oleh KPU yang bertentangan dengan Islam. Di antaranya adalah, para calon wakil rakyat harus mengakui asas tunggal dan kesetiaannya dengan sistem sekuler. Pada kondisi semacam ini, maka calon wakil rakyat tidak mungkin bisa berkecimpung di dalam pemilu dan parlemen, dikarenakan pada langkah-langkah awal dirinya telah dicegat dengan syarat-syarat yang tidak Islamiy.
Jika syarat untuk menjadi wakil rakyat saja bathil, tentunya rakyat tidak boleh mencalonkan atau dicalonkan menjadi wakil rakyat.
Seandainya syarat-syarat menjadi anggota parlemen adalah sah, namun mekanisme pengambilan pendapat, tugas, fungsi, hak dan kewenangannya bertentangan dengan Islam, maka seorang muslim juga tidak boleh masuk dan menjadi anggota di dalamnya. Sebab, seorang muslim tidak dibenarkan berkecimpung dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan Syariat Islam atau tolong menolong dalam hal kemaksiatan. Allah Swt. berfirman, artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu sekalian dalam hal kebaikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan.” [al-Maidah: 2]
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa bekerjasama dan tolong menolong dalam kebathilan merupakan bagian dari kemaksiatan itu sendiri.
Hukum Menjadi Anggota Parlemen
Bila syarat-syarat untuk menjadi anggota parlemen nyata-nyata bertentangan dengan Islam, tentu kita tidak bisa menyatakan bahwa keanggotaan kaum muslim di dalam parlemen hanya dijadikan sebagai wasilah untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat, sehingga syarat yang bathil pun boleh diterima. Dengan kata lain, calon wakil rakyat absah-absah saja menerima syarat-syarat bathil itu selarna tujuannya adalah untuk melakukan koreksi dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Pernyataan semacam ini adalah pernyataan bathil yang tidak sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah yang suci tidak boleh ditempuh dengan ?cara-cara keji dan bertentangan dengan syariat Islam.
Di sisi yang lain, keanggotaan dalam parlemen mengharuskan dirinya untuk bertanggungjawab terhadap semua keputusan yang terlahir dari parlemen. Jika parlemen membuat keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam misalnya, undang-undang perbankan ribawiy, maka seluruh anggota parlemen bertanggungjawab atas keputusan itu. Walaupun keputusan itu tidak disetujui oleh beberapa wakil rakyat dari partai Islam, akan tetapi ketika keputusan itu telah ditetapkan, maka ia tetap dianggap sebagai keputusan parlemen, bukan keputusan atas nama sebagian anggota parlemen. Lantas, dalam kondisi semacam ini apa yang dilakukan oleh anggota parlemen muslim?
Dalam kondisi semacam ini setiap anggota parlemen yang konsens dengan syariat Islam harus keluar dari keanggotaan parlemen, dan tidak boleh hanya sekedar melakukan walk out; jika dirinya tidak bisa mencegah lahirnya keputusan-keputusan yang tidak islamiy. Sebab, seorang muslim harus menghindarkan diri dari keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Imam Nawawiy dalam syarah shahih Muslim, ketika menjelaskan hadits Rasulullah saw, “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ?hendaknya ia ubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, maka ubahlah dengan hati; dan ini adalah selemah-lemahnya iman.”[HR. Muslim]; menyatakan, bahwa maksud mengubah dengan hati di sini tidak cukup berdiam diri dan menolak dalam hati, akan tetapi ia harus menghindari kemungkaran tersebut. Maksudnya adalah, jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia harus menghindarkan diri dan tidak ikut campur dan teriibat di dalamnya, Misalnya, tatkala ada sekelompok orang sibuk membincangkan dan memutuskan aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam, maka jika dirinya tidak mampu mengubah keputusan itu, maka ia harus keluar dari forum tersebut dan menunjukkan sikap ketidaksenangannya. Ia tidak diperkenankan tetap duduk, atau bahkan menjadi anggota forum tersebut, meskipun hatinya menolak. [Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, lihat tentang bab al-Iimaan]
Para khalifah di masa kejayaan Islam menjatuhkan hukuman cambuk bagi orang yang berada di dalam majelis khamer, meskipun ia tidak ikut serta minum dan hatinya menolak. Para ulama memahami bahwa berdiam diri atau tetap berada di dalam majelis kemaksiatan sama artinya dengan melibatkan diri dalam kemaksiatan itu sendiri. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah saw. menggambarkan orang yang berdiam diri terhadap kemungkaran dengan setan bisu.
Haramnya seorang muslim berada dalam suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt., telah ditegaskan oleh Allah Swt. di dalam al-Quran al-Karirn. Dalam surat al-An’am ayat 68 disebutkan:
Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu. [al-An’am: 68].
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisaa’: 140
Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,“Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka“ [al-Nisaa’: 140]
Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika engkau melihat orang-orang kafir mengolok-olok al-Quran dengan kebohongan dan kedustaan dan olok-olok, ?maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka sampai mereka mengatakan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olokan dan pendustaannya.“[Ali al-Shabuniy, Shafwaatal-Tafaasir, juz I, hal.397] Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi saw. dan al-Quran, orang-orang musyrik itu lantas mencela dan mengolok-oloknya. Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka mengalihkan kepada pembicaraan lainnya.” [Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, juz II, hal.437]
Dalam menafsirkan surat al-Nisaa’:140, Ali al-Shabuniy berkata, “Telah diturunkan kepada kalian, suatu perintah yang sangat jelas bagi orang-orang yang nyata-nyata beriman. Perintah itu adalah; jika kalian mendengar al-Quran diingkari dan diolok-olok oleh orang-orang kafir dan para pengolok, maka janganlah kalian duduk bersama orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah itu, sampai mereka mengalihkan pada pembicaraan lain dan tidak lagi mengolok-olok al-Quran. Namun, jika kalian tetap duduk bersama mereka, maka kalian tidak ubahnya dengan mereka dalam hal kekufuran” [Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I, hal. 312]
Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‘iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan, bahwa orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, dan mengingkari ayat-ayat Allah, sementara forum itu tidak pernah berubah untuk meng-ingat Allah, maka siapapun yang ada di dalamnya -meskipun hatinya menolak- telah terjatuh kepada tindakan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok, dan mengingkari ayat-ayat Allah, di-qarinahkan {diindikasikan) dengan firmanNya, “sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka” [al-Nisaa’: 140]
Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap orang yang terlibat dalam dan berdiam diri terhadap forum-forum seperti itu, telah terjatuh kepada tindak keharaman, dan berserikat dalam kekufuran.
Lantas, apakah fakta parlemen kita sudah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah Swt., sehingga bisa diberlakukan hukum yang terkandung dalam surat al-An’am:68 dan al-Nisaa’:140? Jawabnya: parlemen kita telah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt. Ini didasarkan pada kenyataan berikut ini;
Pertama; MPR di negeri ini bertugas (sesuai dengan ketetapan MPR) mengangkat presiden dan wakil presiden. Apakah tindakan semacam ini tidak tergolong tindakan mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah. Sebab, pemimpin kaum muslim bukanlah presiden, raja, atau PM; akan tetapi khalifah/Imam/Amirul Mukminin. Sistem pemerintahan dalam Islam pun bukan presidensil, akan tetapi sistem Khilafah ?Islamiyyah. Lantas, apakah dibenarkan secara syar’iy, ada sekelompok orang berbondong-bondong menjadi anggota sebuah majelis untuk menelorkan produk-produk yang bertentangan dengan syari’at Allah; bahkan, memilih pemimpin dan mencgakkan sistem pemerintahan yang sangat bertentangan dengan Islam? Jawabnya sangat jelas: haram.
Kedua; mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen didasarkan pada prinsip suara mayoritas (voting). Apakah prinsip ini dibenarkan dalam Islam?
Dalam hal-hal tertentu mekanisme pengambilan keputusan memang didasarkan pada suara terbanyak. Misalnya, hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas praktis dan hal-hal yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian mendalam. Rasulullah saw. pemah mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota.
Selain perkara di atas, keputusan tidak boleh ditetapkan berdasarkan mekanisme voting. Contoh dari perkara yang tidak boleh ditetapkan berdasarkan voting adalah perkara-perkara yang telah ditetapkan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’. Misalnya, kewajiban mengerjakan sholat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan sholat lima waktu kita harus menunggu hasil voting terlebih dahulu? Kita tidak mungkin menjawab, bahwa untuk memutuskan apakah sholat harus dikerjakan atau tidak, harus didasarkan pada hasil voting terlebih dahulu. Sungguh, siapa saja yang menvoting, apakah sholat itu perlu dikerjakan atau tidak, maka dirinya telah terjatuh kepada perbuatan haram.
Keterangan ini semakin menguatkan bahwa, selama mekanisme dan aturan main parlemen bertentangan dengan Islam dan tidak pernah berubah, maka seorang muslim diharamkan menjadi anggotanya dan duduk-duduk di dalamnya, meskipun hatinya menolak dengan cara walk out. Pertanyaan berikutnya adalah, apa hukum berwakalah dengan seseorang yang mau menerima syarat-syarat yang bathil? Dcngan kata lain, bolehkah kita memilih seseorang untuk menyuarakan syariat Islam, sementara itu wakilnya tersebut mengakui syarat-syarat yang tidak Islamiy?
Jawabnya, akad semacam telah batal dari sisi asasnya. Sebab, jika kita tetap berwakalah dengan dirinya, sama artinya kita mengiyakan syarat-syarat non syar’iy yang telah diterima oleh calon wakil rakyat. Oleh karena itu, aqad wakalah yang dijalin dengan calon wakil rakyat yang mengiyakan syarat-syarat bathil adalah aqad yang bathal dan tidak boleh dilanjutkan. Mencalonkan diri atau orang lain untuk menjadi anggota parlemen meskipun ditujukan untuk menggunakan salah satu fungsi parlemen, yakni fungsi koreksi dan muhasabah, merupakan tindakan haram yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Benar, melakukan koreksi dan muhasabah merupakan kewajiban setiap kaum muslim. Akan tetapi, dalam melakukan koreksi dan muhasabah, seorang muslim mesti terikat dengan aturan-aturan Allah Swt. dan menggunakan cara dan wasilah yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
Seandainya berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah haram, lantas, apakah ada jalan lain untuk menerapkan syariat Islam selain melalui parlemen atau pemilu?
Kesalahan Paralaks
Pada dasarnya, pemilu dan parlemen bukanlah satu-satunya cara untuk memperjuangkan syariat Islam. Masih banyak cara dan altematif lain yang bisa ditempuh oleh kaum muslim untuk memperjuangkan tertegaknya syariat klam. Yang penting, cara yang ditempuh tersebut sesuai dengan aqidah dan syariat Islam.
Pada dasarnya, pandangan-pandangan keliru tentang pemilu dan parlemen beranjak dari kesalahan paralaks. Kesalahan paralaks ini telah mengakibatkan lahirnya fatwa-fatwa dan strategi perjuangan yang salah. Kesalahan paralaks ini terwajahkan pada pandangan-pandangan berikut ini.
1.Selama ini, pemilu dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kekuasaan dan menerapkan syari’at Islam. Meskipun mereka tidak menyatakan hal ini secara terbuka, akan tetapi alasan-alasan yang mereka ketengahkan telah menunjukkan dengan sangat jelas, keterjebakan mereka dalam kesalahan paralaks ini. Misalnya, alasan yang menyatakan, bahwa jika tidak mengikuti pemilu, maka parlemen akan dikuasai orang kafir. Muncul juga statement bahwa, mengikuti pemilu berhukum wajib berdasarkan kaedah “maa laa yatimm al-waajib illa bihi fahuwa waajib”; “akhdz akhaff al-dlararain”, dan sebagainya. Alasan-alasan ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mereka telah menganggap pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menerapkan syariat Islam.
2.Penerapan syariat Islam bisa ditempuh melalui jalan haram, selama di dalamnya ada kemashlahatan. Sebagian dari kaum muslim menyadari bahwa ada perkara dan mekanisme tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Misalnya, fungsi penetapan hukum (legislasi) serta mekanisme pemilu untuk mengangkat presiden. Padahal, kewenangan untuk menetapkan hukum tidak ada di tangan parlemen, akan tetapi di tangan Allah Swt. Dari sisi sistem pemerintahan, presiden bukanlah kepala negara yang absah menurut syariat. Kepala negara yang absah dalam pandangan Islam adalah khalifah, imam, atau amirul mukminin. Jika pemilu ditujukan untuk memilih presiden, sama artinya kita telah melanggengkan sistem pemerintahan republik yang sangat bertentangan dengan Islam. Sayangnya, calon-calon wakil rakyat dan sebagian besar masyarakat telah mengabaikan perkara-perkara ini, dengan alasan madlarat dan kemashlahatan umat.
Seharusnya, pemilu dipandang sebagai cara (uslub) untuk mengganti kepala negara dan memilih wakil rakyat yang berhukum mubah.
Tatkala kedudukan pemilu sebatas hanya uslub, maka hukum tentang pemilu ditetapkan berdasarkan mekanisme, dan syarat-syarat yang ada dalamnya. Selama syarat-syaratnya sejalan dengan syariat Islam, maka hukumnya tetap berada dalam wilayah mubah. Sebaliknya, tatkala di dalamnya ada mekanisme dan syarat yang bertentangan dengan Islam, maka terlibat maupun berkecimpung di dalamnya adalah tindak yang diharamkan oleh Allah Swt.[Selesai]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...