Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Senin, 30 Mei 2011

Indonesia bangkitlah dengan Islam!

Setiap tanggal 20 Mei biasanya selalu diperingati hari kebangkitan Nasional. Hal ini di dasari oleh sebab berdirinya Boedi utomo (BU). Sebuah organisasi yang di gagas oleh para mahasiswa STOVIA di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Konon organisasi ini merupakan tonggak baru perlawanan terhadap penjajah.
Namun apabila kita teliti kembali ternyata anggapan selama ini adalah salah, sejatinya BU bukanlah tonggak kebangkitan Nasional. Sebagaimana di Jelaskan oleh KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924 dalam bukunya “ Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa “.
BU ini adalah organisasi yang mendukung penjajahan belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan kemerdekaan Indonesia, a-nasional, anti agama, bahkan sejumlah tokohnya adalah anggota fremansory Belanda. (Risky Ridyasmara, 20 Mei Bukan Hari kebangkitan Nasional).
Sebenarnya, organisasi yang berdiri tiga tahun sebelum Budi Utomo, yakni syarikat dagang Islam (SDI) yang lebih pantas untuk dijadikan tonggak kebangkitan Nasional. SDI lah (kini dikenal dengan nama Syarikat Islam [SI]) yang nyata-nyata menjadi pelopor perjuangan kemerdekaan Indonesia, memperjuangkan kebenaran Islam.
Tampaknya oknum di negri ini memang sengaja ingin mengubur Islam. Selain memelintir peristiwa sejarah diatas, yang paling membuat sakit umat Islam ialah; pada tahun 1945, para ulama yang menginginkan negri ini untuk di atur dengan syariah Islam juga di telikung dengan manuver licik dari PPKI dengan membatalkan kesepakatan Piagam Jakarta.
Dan kini hasilnya, setelah selama bertahun-tahun selalu diperingati, indonesia juga tidak mampu bangkit-bangkit, malah bisa dikatakan sekarang semakin terpuruk. Kalau dahulu ada penjajah yang bernama VOC, kini ada nama-nama seperti; Exxon Mobile, Caltex, Shell, Freeport, Newmont. Jelas ini adalah penjajahan dalam bentuk lain.
Pengerukkan kekayaan alam oleh freeport saja misalnya, pada tahun 2005, perusahaan AS ini berhasil mengantongi keuntungan sekitar 4.2 miliar dollar atau sekitar 42 triliun rupiah. Sedangkan untuk Indonesia hanya mendapatkan 2 triliyun rupiah setiap tahunnya. Padahal perusahaan Amerika ini telah beroperasi sejak Tahun 1967. Jelas penjajahan ini namanya.
Hal ini pun berdampak terhadap kehidupan masyarakat, Kemiskinan, gizi buruk, pengangguran, tingkat kesehatan yang rendah, tak bisa dielakkan. Maka tidak ada pilihan lain, Indonesia harus segera bangkit dengan sebuah kebangkitan yang hakiki, hilangkan segala bentuk penjajahan.
Bangkit dengan Ideologi Islam
Kebangkitan suatu bangsa akan dapat di peroleh dimulai dari ketika taraf berfikir masyarakatnya meningkat, yakni dengan memeluk suatu pemikiran yang mendasar dan menyeluruh, atau memeluk sebuah ideologi. Kaum sekuler barat mampu bangkit dengan Ideologi kapitalisme, begitu juga bangsa Rusia, mereka mampu bangkit dengan memeluk Ideologi Sosialisme.
Namun perlu digarisbawahi, kebangkitan dengan kedua ideologi ini hanyalah kebangkitan yang semu, terbukti sosialisme kemudian gagal, kapitalisme kehancurannya sudah diujung tanduk, karena borok-boroknya telah tercium, bahwa ini dalah ideologi yang berkarakter penjajahan.
Kebangkitan hakiki adalah yang terjadi di Bangsa Arab, kebangkitan ini pelopori oleh Rasulullah saw. Bangsa yang dahulunya Jahiliyah, berubah menjadi bangsa berperadaban tinggi dan mulia karena memeluk Ideologi Islam. Bahkan kemudian berhasil menerangi dua per tiga dunia.
Agar Indonesia mampu bangkit, agenda mendesak yang harus dilakukan adalah mensosialisasikan Ideologi Islam secara masif, sehingga tumbuh kesadaran di tengah-tengah umat bahwa Islam-lah satu-satunya solusi yang shahih bagi semua problematika yang ada.
Aqidah Islam memiliki karakteristik sebagai aqidah ruhiyah sekaligus aqidah ri’ayah yang haq. Aqidah Islam memerintahkan umatnya untuk menerapkan Islam secara kaffah. Islam memerintahkan untuk melakukan sholat dan puasa, namun untuk melangsungkan generasi penerus, Islam memerintahkan untuk menikah dengan lawan jenis. Sedangkan dalam rangka menjamin sebuah pernikahan, Islam juga memerintahkan sejumlah sanksi berupa deraan juga rajam bagi pelaku zina. Islam memerintahkan unntuk mmperoleh harta secara halal, demikian juga untuk menjamin kepemilikan harta, maka Islam memerintahkan potong tangan bagi pencuri. Subhanallah.
Penyelesaian dalam perampokan kekayan alam misalnya, Islam melarang terjadinya privatisasi sumber daya alam oleh swasta maupun asing, sebab Islam telah merinci distribusi dan kepemilikan harta dengan sangat jelas, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, kepemilikan negara.
Kepemilikan umum mencakup harta yang dari sisi pembentukkanya tidak mungkin dimiliki oleh Individu, seperti sungai, danau, laut, dsb. Kemudian apa saja yang mencakup hajat hidup orang banyak seperti Jalan, hutan, barang tambang yang depositnya banyak, baik yang berbentuk padat, cair, maupun gas. Termasuk energi dalam cakupan api seperti bahan bakar bagi Industri, transportasi, dsb.
Rasulullah SAW bersabda: kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api.(HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Negara khilafah adalah pihak yang mengelola berbagai kekayaan itu, baik dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun pendistribusian. Negara khilafahlah yang menjamin setiap rakyatnya untuk menikmati haknya dalam kepemilikan umum tersebut.
Kepemilikan negara ada pada harta yang pengelolannya di tangan khalifah, seperti fa’i, kharaj serta harta yang tidak memiliki ahli waris dsb. Khalifah mengelola kepemilikan negara sesuai pandangan dan ijtihadnya dalam berbagai urusan negara dan rakyat. Khalifah boleh memberikan harta itu kepada orang miskin saja dan tidak untuk orang kaya, sebagaimana Rasulullah pernah memberikan fa’i kepada Bani Nadhir.
Sedangkan kepemilikan individu adalah harta yang pengelolannya di serahkan kepada individu, pada selain harta milik umum. Kepemilikan individu ini terlindungi. Negara tidak boleh melanggarnya.
Begitu briliannya Islam dalam mengatur urusan umat. Karena itu, Indonesia harus bangkit dengan Ideologi Islam. Sebuah ideologi yang berasaskan akidah Islam, dimana ruhnya ialah ibadah mengharap ridho dari Allah swt. Apapun masalahnya, syariah Islam solusinya. Agar Indonesia tersenyum. Wallahu a’lam.
Ali Mustafa
Direktur Rise Media Surakarta

Sabtu, 28 Mei 2011

Rakan – Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i

sahabat 227x300 Rakan   Imam Muhammad bin Idris al Syafi’i


.

berguna ketika masa kesusahan,
adalah musuh secara kiasan

.

Rakan tidak dapat berada bersama pada setiap ketika,
begitu juga saudara;
kecuali untuk [mendapatkan] sagu hati

.

Aku mencari-cari pada hari-hari itu
dengan sepenuh kekuatanku,
seorang saudara dipercayai
tapi pencarianku tidak membuahkan hasil

Bumi-bumi itu ,
seolah-olah penghuninya bukan manusia
[ ingin ]

~ al-Syafi’i

Dunia Itu Satu Kebun – Ibnu Khaldun

.

DUNIA itu satu kebun,
pagarnya negara.

.

NEGARA itu sebuah kekuasaan,
yang hidup dengan kekuasaan itu,
aturan yang tetap (sunnah)

.

tetap itu
ialah politik ()
yang dijalankan oleh raja.

RAJA itu peraturan
yang disokong oleh
Tentera- itu pembantu,
yang ditanggung oleh harta

HARTA itu ,
yang dikumpulkan oleh rakyat..
RAKYAT itu budak-budak,
yang dipelihara oleh keadilan

KEADILAN itu yang disukai
dengan keadilan tegaklah dunia

~

Rezeki Itu Datang

seribu dinar Rezeki Itu Datang

.

Banyak manusia merasa khawatir dalam mencari rezeki karunia Allah SWT. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela menggadai diri dan menghinakan martabat.

.

Kondisi dunia modern yang sarat persaingan dan pergulatan menuntut mereka untuk lebih berjibaku dalam mencari berupa karunia Tuhan. Betapa banyak setiap pagi di belahan bumi manapun di dapati wajah-wajah penuh ketegangan yang memancarkan rona khawatir dalam mengais rezeki di pagi hari.

.

Seolah, mereka tidak memiliki menjamin rezeki setiap hambaNya. Dialah Allah, Ar Razzaq Sang Pemberi Rezeki.

Hal yang luput dari diri manusia zaman modern ini adalah dan keyakinan bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki dan setiap hambaNya. Karena keyakinan ini semakin memudar, maka setiap individu bergulat dan berkutat dalam kehidupan dunia demi memenuhi kebutuhan hidup belaka.

Dalam kitab Mirqaat al Mafatiih, terdapat kutipan pernyataan Al Qusyairi yang mengatakan; “Seseorang yang mengetahui bahwa Allah itu adalah Sang Pemberi Rezeki, berarti ia telah menyandarkan tujuan kepadaNya dan mendekatkan diri dengan terus bertawakal kepadaNya.”

Pernyataan Al Qusyairi ini penting untuk diyakini bahwa memang kunci mendapatkan rezeki adalah dengan mendatangi Sang Pemilik rezeki yaitu Ar Razzaq! Sebab dengan mendatanginya maka segala hal kebutuhan akan terpenuhi.

Apakah kita belum pernah mendengar yang amat masyhur ini: “Hai manusia, jika dari generasi pertama sampai terakhir, baik jin dan manusia berkumpul dalam satu tempat untuk meminta kepadaKu, lalu - orang meminta untuk tidak mengurangi kebutuhannya, niscaya hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun dari kekuasaanKu, kecuali hanya seperti jarum yang dicelupkan di laut.” (HR. Muslim).

Ini semua bukanlah demi menafikan sebuah ikhtiar mencari atau bekerja. Tetap saja bekerja sebuah prasyarat mulia untuk mendapatkan , dan para Nabi; manusia terhormatpun tetap melakukannya.

Namun tekanan yang terpenting dalam mencari rezeki dan adalah ketaatan kepada Allah Sang Pemberi rezeki.

Dalam Kitab Shahih Al Jami’ disebutkan sebuah dari Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sesungguhnya malaikat Jibril menghembuskan ke dalam hatiku bahwasanya jiwa hanya akan mati sampai tiba masanya dan memperoleh rezekinya, maka bertakwalah kepada Allah, carilah yang baik, jangan bermalas-malasan dalam mencari rezeki, terlebih mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya Allah tidak akan memberikan apa kecuali dengan taat kepadaNya.”

Sebab itu, usahlah panik dalam mencari karunia Allah SWT berupa rezeki. Yakinilah bahwa rezeki itu datang, bahkan kedatangannya menghampiri diri kita begitu cepat.

“Sesungguhnya rezeki itu akan mencari seseorang dan bergerak lebih cepat daripada ajalnya.” (HR. Thabrani)

Semoga Allah memberkahi rezeki & hidup kita bersama. Amien

Bobby Herbibowo

Kebinasaan Bangsa-Bangsa Arogan (Tafsir QS al-Fajr [89]: 6-13)


Oleh Rokhmat S. Labib

]أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ$ إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ$ الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِيْ الْبِلاَدِ$ وَثَمُوْد الَّذِيْنَ جَابُوْا الصَّخْرَ بِالْوَادِ$ وَفِرْعَوْنَ ذِيْ اْلألَوْتَادِ$ الَّذِيْنَ طَغَوْا فِيْ الْبِلَادِ$ فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ$ فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ [
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad, yaitu penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri lain; kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah; dan kaum Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat kerusakan dalam negeri itu. Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.
(QS al-Fajr [89]: 6-13)


labib.jpg (400×264)Ayat-ayat ini terdapat dalam surat al-Fajr. Dalam ayat sebelumnya, Allah Swt. menyampaikan sumpah beberapa kali dengan muqsam bih (obyek yang dijadikan sebagai sumpah) berbeda-beda. Allah Swt. bersumpah dengan al-fajr (fajar); layâlin ‘asyr (malam yang sepuluh); asy-syaf‘ wa al-watr (yang genap dan yang ganjil); dan al-layl idzâ yasr (malam jika berlalu).
Banyaknya kata sumpah di awal surat ini makin menegaskan kepastian terjadinya perkara yang disumpahkan, yakni azab terhadap orang kafir.[1] Kepastian itu makin kuat dengan firman Allah Swt., Hal fî dzâlika qasam li dzi hijr (Pada yang demikian itu terdapat sumpah yang dapat diterima oleh orang-orang yang berakal) (QS al-Fajr [89]: 5), setelah menyampaikan sumpah-sumpah itu.

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Alam tara kayfa fa‘ala Rabbuka bi ‘Ad, Irâm dzât al-‘imâd. Meskipun khithâb (seruan) ini ditujukan kepada Nabi saw., ia berlaku umum.[2] Digunakannya uslûb (gaya) istifhâm taqrîri[3] (pertanyaan retoris) menunjukkan bahwa peristiwa yang disebutkan dalam ayat-ayat ini bukan perkara asing bagi bangsa Arab. Peristiwa yang melibatkan tiga kaum itu—‘Ad, Tsamud, dan Fir‘aun beserta para pengikutnya—telah masyhur bagi mereka.
Kaum ‘Ad dan Tsamud masing-masing tinggal di negeri Arab. Peristiwa tentang kehancuran kedua kaum itu mereka dengar secara mutawâtir dari generasi ke generasi. Al-Quran juga memberitakan, puing-puing kehancuran kedua kaum itu mereka ketahui dengan jelas (QS al-‘Ankabut [29]: 38).
Adapun berita tentang kebinasaan Fir‘aun beserta tentaranya mereka peroleh dari tetangga mereka, orang-orang Ahlul Kitab. Negeri Fir‘aun pun berdekatan dengan negeri mereka. Demikian masyhurnya berita tentang kehancuran bangsa-bangsa itu, seolah-olah mereka menyaksikan sendiri kejadiannya: Alam tara (Apakah kamu tidak melihat).
‘Ad adalah nama satu kabilah Arab pada masa dulu. Mereka hidup setelah lenyapnya kaum Nabi Nuh as. (QS al-A‘raf [7]: 69). Kepada mereka Allah Swt. mengutus Nabi Hud as. (QS al-A‘raf [7]: 65). Menurut para mufassir, kabilah itu dinamai ‘Ad karena mereka adalah keturunan ‘Ad bin Aush bin Iram bin Sam bin Nuh as. Sebagaimana Bani Hasyim disebut dengan Hasyim atau Bani Tamim disebut dengan Tamim, Bani ‘Ad juga bisa disebut dengan ‘Ad.[4]
Iram—nama kakek mereka—dalam ayat itu berkedudukan sebagai badal atau athaf bayân;[5] bahwa kaum ‘Ad yang dimaksud ayat ini adalah ‘Ad al-ûlâ (kaum ‘Ad generasi pertama) yang juga dikenal dengan sebutan Iram, bukan kaum ‘Ad al-akhîrah yang hidup setelah itu. [6]
Ada pula mufassir yang menafsirkan Iram sebagai nama negeri kaum ‘Ad sehingga kata Iram dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai mudhâf ilayh. Akan tetapi, mudhâf-nya dihilangkan dan taqdîr-nya: 'Ad ahl Iram (‘Ad penduduk negeri Iram).[7] Negeri itu terletak di sebelah selatan Jazirah Arab, tepatnya antara Amman dan Hadhramaut, yang juga dikenal dengan sebutan Ahqaf.[8]
Secara bahasa, kata al-‘imâd berarti bangunan yang tinggi.[9] Jika dipahami dengan makna haqîqî, berarti mereka memiliki bangunan-bangunan yang tinggi.[10] Makna ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat asy-Su‘ara (Lihat: QS asy-Syu‘ara [26]: 128-129).
Bisa pula kata dzât al-‘imâd merupakan kinâyah untuk menunjukkan perawakan dan tubuh mereka yang tinggi seperti tiang.[11] Laksana tiang, tubuh mereka juga kuat dan perkasa. (Lihat: QS al-A‘raf [7]: 69).
Allah Swt. kemudian berfirman: allatî lam yukhlaq mitsluhâ fi al-bilâd. Menurut sebagian mufassir, kata allatî kembali pada kota yang memiliki bangunan-bangunan tinggi,[12] namun pendapat ini ditolak oleh mufassir lainnya. Jika kembali pada kota, kata yang digunakan semestinya bukan lam yukhaq (belum pernah diciptakan), namun lam yu’mal (belum pernah dibuat).[13] Menurut mereka, kata allati kembali pada kabilah sehingga sifat tersebut merupakan sifat dari kabilah itu sendiri. Maknanya: Belum pernah diciptakan kabilah seperti mereka dalam hal ketinggian, kekuatan, dan kebesaran tubuhnya.[14] Tampaknya, pendapat kedua ini lebih tepat.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa Tsamûd al-ladzi jâbû ash-shakhr bi al-wâd. Kaum Tsamud adalah kaum Nabi Shalih as. (QS al-A‘raf [7]: 73). Mereka hidup setelah dibinasakannya kaum ‘Ad (QS al-A‘raf [7]: 74) dan tinggal di daerah Hijr (QS al-Hijr [15]: 80); sebuah daerah yang berada di antara Hijaz dan Tabuk.[15] Dalam ayat itu dikisahkan, mereka memotong batu-batu yang keras di wadi, yakni di Wadî al-Qurrâ. Mereka melakukan itu untuk membangun gedung-gedung tempat tinggal mereka.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa Fir‘aun dzî al-awtâd. Fir‘aun yang dimaksud dalam ayat ini adalah penguasa Mesir pada masa diutusnya Nabi Musa as. Adapun kata awtâd berarti pasak. Muhammad Azzah memahaminya dengan makna hakiki; menurut mereka awtâd adalah bangunan-bangunan piramid yang besar dan kokoh yang ada di Mesir.[16] Sebaliknya, Ibnu Abbas tidak memaknainya secara hakiki. Menurutnya, yang dimaksud dengan awtâd adalah tentara dan pasukan yang dimiliki Fir‘aun. Sebab, keberadaan para tentara itu dapat menopang dan mengokohan kekuasaannya.[17]
Jika dicermati, ada kesamaan di antara ketiga kaum tersebut. Mereka semua adalah kaum yang besar dan kuat. Terhadap karunia Allah Swt itu, sikap mereka pun sama. Anugerah itu tidak membuat mereka menjadi hamba Allah yang bersyukur. Sebaliknya, semua itu justru membuat mereka menjadi kaum yang arogan dan suka membangkang perintah-Nya.
Kaum ‘Ad dengan sombong berkata, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?” (QS Fushilat [41]: 15). Mereka pun menantang Nabi Hud as. untuk mendatangkan azab (QS al-A‘raf [7]: 70). Kaum Tsamud pun bersikap demikian. Mereka menantang Nabi Shalih as. untuk mendatangkan azab (QS al-A‘raf [7]: 77); seolah-olah dengan kekuatan mereka, mereka mampu menghadapi azab Allah. Fir‘aun tak kalah sombongnya. Ia bahkan mengaku sebagai Tuhan yang paling tinggi (QS an-Nazi‘at [79]: 24).
Sikap mereka itu digambarkan Allah Swt. dalam ayat selanjutnya: al-ladzîna thagaw fî al-bilâd (yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri). Kata alladzîna merujuk pada ketiga kaum yang disebutkan sebelumnya: ‘Ad, Tsamud, dan Fir‘aun. Ketiga-tiganya melakukan pembangkangan dan tindakan melampaui batas. Secara bahasa, kata at-tughyân berarti tindakan melampaui batas.[18]
Ayat berikutnya memperjelas tindakan melampaui batas yang mereka lakukan. Allah Swt. berfirman: fa aktsarû fîhâ al-fasâd (lalu mereka berbuat kerusakan dalam negeri itu). Fasâd adalah kebalikan dari ash-shalah. Sebagaimana kata shalâh meliputi semua bentuk-bentuk kebajikan, kata fasâd juga mencakup semua perbuatan dosa.[19] Sikap mendustakan rasul, mengingkari risalahnya, dan membangkang seruan dakwah yang dilakukan oleh ketiga kaum itu jelas dapat dikatagorikan sebagai perbuatan fasâd.
Amat banyak tindakan lalim dan kerusakan yang mereka lakukan. Kaum ‘Ad tidak sekadar mengingkari Nabi Hud as. dan risalahnya, namun mereka juga menghinanya. Mereka menyebut utusan Allah itu sebagai orang gila (QS Hud [11]: 54) dan mengecamnya sebagi pendusta (QS al-A‘raf [7]: 67).
Kaum Tsamud pun tak jauh berbeda. Selain menolak untuk beriman kepada Nabi Shalih as. dan risalahnya, mereka juga menuduhnya sebagai orang yang terkena sihir (QS asy-Syu‘ara [26]: 153). Mereka berani membunuh unta Nabi Shalih as. yang menjadi bukti kenabiannya dan merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Shalih as. dan keluarganya (QS an-Naml [27]: 49).
Demikian pula dengan Fir‘aun. Kendati telah banyak bukti kebenaran yang ditunjukkan nabi Musa as., dia tetap tidak mau beriman. Dia justru menuduh bukti-bukti itu sebagai sihir (QS al-A‘raf [7]: 75). Tidak hanya itu, Fir‘aun dan kaumnya berusaha membunuhnya. Bahkan ketika Musa as. menyingkir dari Mesir pun, mereka tetap mengejarnya (QS Yunus [10]: 90). Dia dan pasukannya menindas Bani Israil ketika masih tinggal di Mesir. Bahkan dengan keji, ia dan pasukannya membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil (QS al-A‘raf [7]: 127, 129).
Karena mereka telah melampaui batas dan membuat berbagai kerusakan di muka bumi, maka Allah Swt. menurunkan azab-Nya. Allah Swt. berfirman: Fa shabba ‘alayhim sawtha adzâb (Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab).
Bentuk dan macam azab yang ditimpakan kepada mereka dijelaskan dalam ayat-ayat lain. Kaum ‘Ad dihancurkan dengan suara mengguntur yang membuat mereka menjadi seperti sampah banjir (QS al-Mukminun [23]: 41). Allah Swt. juga mengirimkan angin yang membinasakan. Demikian dahsyatnya, hingga segala sesuatu yang diterpanya berubah laksana serbuk (QS adz-Dzariyat [51]: 41-42). Angin yang dikirimkan itu amat dingin dan kencang. Selama tujuh malam delapan hari mereka ditimpa angin tersebut terus-menerus hingga mereka mati bergelimpangan seperti tunggul-tunggul kurma yang telah lapuk. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang masih tersisa (QS al-Haqqah [69]: 6-8).
Azab yang pedih juga diterima kaum Tsamud. Mereka ditimpa gempa sehingga mereka menjadi mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka (QS al-A‘raf [7]: 78). Mereka juga dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur di waktu pagi (QS al-Hijr [15]: 83). Akibat suara keras itu, mereka berubah laksana rumput-rumput kering yang dikumpulkan yang empunya kandang (QS al-Qamar [54]: 31).
Demikian juga dengan Fir‘aun. Diktator yang amat kejam itu akhirnya mati dengan amat mengenaskan. Ia dan pasukannya ditenggelamkan di laut saat mengejar Nabi Musa as. dan pengikutnya (QS al-A‘raf [7]: 135; Yunus [10]: 9).

Kesudahan Bangsa-bangsa Arogan

Ayat-ayat ini mengisahkan kesudahan tiga bangsa yang arogan, berlaku lalim dan sewenang-wenang, melakukan pembangkangan, dan suka berbuat kerusakan. Mereka tidak saja mendustakan rasul dan mengingkari risalahnya, namun mereka berupaya keras menghalangi dakwahnya. Berbagai cara mereka tempuh; mulai dari penyebaran opini negatif terhadap dakwah dan pengembannya hingga cara-cara fisik—penyiksaan dan pembunuhan. Akan tetapi, semua upaya mereka gagal total. Mereka semua akhirnya justru binasa dilibas azab Allah Swt. yang mahadahsyat. Kekuatan, kebesaran, dan kekuasaan yang mereka banggakan sama sekali tidak kuasa melindungi mereka dari azab Allah Swt.
Dalam sejarah panjang kehidupan manusia, mereka tidak sendiri. Dalam al-Quran, amat banyak dikisahkan kesudahan bangsa-bangsa arogan. Bangsa-bangsa yang memiliki sikap dan perilaku seperti mereka akhirnya mengalami nasib yang sama. Mereka semua merasakan pedihnya azab Allah Swt.
Kaum Nabi Nuh as. yang sombong dan membangkang akhirnya musnah ditelan banjir bandang. Kaum Nabi Luth as. yang tidak menggubris peringatan nabinya akhirnya binasa setelah ditimpa hujan batu. Abrahah dan pasukan gajahnya yang hendak menghancurkan Baitullah juga binasa sebelum menyentuh Ka’bah. Hanya dengan kerikil yang dilontarkan burung ababil, mereka menemui ajal mereka.
Dikisahkannya kehancuran bangsa-bangsa itu seharusnya menjadi pelajaran amat penting bagi seluruh manusia. Bagi kaum kafir, kaum yang menyombongkan kekuatan dan kebesarannya, kisah-kisah tersebut seharusnya menyadarkan mereka akan kelemahan mereka di hadapan Allah Swt. Padahal azab yang ditimpakan Allah kepada kaum kafir itu masih sebagian kecil. Azab yang ditimpakan Allah Swt. di dunia ini juga baru pendahuluan dari azab-Nya yang sebenarnya. (Lihat: QS an-Nahl [16]: 61).

Adapun bagi kaum Mukmin, kisah itu dapat memperteguh keimanan mereka. Betapa pun beratnya siksaan yang mereka rasakan dari orang kafir, itu tidak boleh menggoyahkan keimanan mereka. Kaum kafir yang sering terlihat perkasa itu pasti akan mengalami nasib sama dengan pendahulunya: kehancuran! (Lihat: QS al-Isra' [17]: 81).

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []



1 Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 227.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 30; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
2 Al-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 532.
4 Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 151; Shihâb al-Dîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 337.
5 Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, vol. 15 (Qathar: Idarât Ihyâ’a al-Tsurats al-Islâmî, 1989), 222.
6 Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 4 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 735; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 803.
7 Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, vol. 9 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 737.
8 Muhammad Azzah, At-Tafsîr al-Hadîts, vol. 1 (tt: Dar al-Gharb, 2000), 532; Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 224. Pendapat ini didasarkan pada QS al-Ahqaf: 21.
9 Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr ash-Shihah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 551.
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 31; Burhanuddin al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 416.
11 Al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 337.
12 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 465.
13 Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 225.
14 Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân, vol. 9, 737; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 221; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20, 3; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 2027.
15 Al-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 530.
16 Muhammad Azzah, Atl-Tafsîr al-Hadîts, vol. 1 (tt: Dar al-Gharb, 2000), 532.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20, 32; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, vol. 4, 2028.
18 Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 225.
19 Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, vol. 6, 153.

Biadab, Konsultan Terorisme Sarankan Habisi Muslim - dan Anak Mereka


LAS VEGAS – Seorang konsultan kontraterorisme mengatakan dalam sebuah pertemuan dengan pejabat penegak hukum bahwa cara untuk memerangi "militan" Muslim adalah dengan "membunuh mereka, termasuk anak-anak mereka."
Walid Shoebat, "mantan teroris PLO" seperti yang digambarkannya sendiri, yang sekarang berbicara untuk AS dan Israel, dilaporkan membuat komentar itu dalam sebuah pidato di konferensi Asosiasi Petugas Kontraterorisme Internasional di Las Vegas bulan Oktober lalu .
Komentar tersebut menyoroti kekhawatiran yang berkembang di antara advokat hak asasi manusia bahwa penegak hukum AS beralih ke ekstrimis untuk pelatihan dalam perang melawan terorisme. komentar itu juga menyoroti kecemasan kalangan pejabat senior kontraterorisme bahwa standar untuk pelatihan kontraterorisme tidak layak dan kemungkinan melukai keamanan nasional.
Komentar Shoebat itu diterima hangat setidaknya oleh beberapa orang yang hadir dalam konferensi.
Seorang peserta wanita konferensi mengutarakan pendapatnya tentang komentar Shoebat, "Bunuh mereka, termasuk anak-anaknya, kau dengar dia."
Pidato Shoebat di Las Vegas menakutkan.
Penulis relijius Richard Bartholemew menggambarkan Shoebat sebagai seorang ahli semu terorisme, ekstrimisme Islam, dan nubuat Alkitab, dan dia mengajarkan bahwa Obama diam-diam adalah Muslim dan bahwa Alkitab telah menubuatkan Muslim sebagai anti-Kristus.
Dalam sebuah investigasi mendalam terhadap aparat intelijen AS awal bulan ini, Washington Post melaporkan bahwa "dalam hasrat mereka untuk mengetahui lebih banyak tentang terorisme, banyak departemen kepolisian yang menyewa pelatih mereka sendiri. Beberapa menggambarkan dirinya sebagai ahli yang sudut pandang ekstrimisnya dianggap tidak akurat dan berbahaya bagi FBI dan yang lainnya di dalam komunitas intelijen."
Standar bagi petugas kontraterorisme juga jatuh bertahun-tahun setelah 9/11 seiring dengan pergulatan agen penegak hukum untuk mengembalikan fokus ke ancaman teror.
"CIA dulu selalu melatih analis sebelum mereka lulus menjadi analis sejati," ujar Charles Allen, mantan agen CIA dan mantan kepala kantor intelijen DHS. "Sekarang kita menerima mantan petugas penegak hukum dan menyebut mereka sebagai petugas intelijen, dan itu tidak benar, karena mereka belum menerima pelatihan untuk analisis intelijen." (rin/it/suaramedia)

Kesombongan Kolektif

firaun-07.gif (368×250)
Sombong itu, kata Rasulullah, menolak kebenaran dan meremehkan manusia. [HR. Muslim].

Ketika seseorang disodorkan peran antagonis dalam sinetron, maka kesan karakter yang akan ditangkap adalah kecongkakan. Sikap menghinakan, merendahkan, membabi buta, dan mungkin selalu diikuti dengan penampilan glamour yang menandakan bahwa dirinya pantas untuk diperhitungkan. Itu dalam sinetron, yang tentunya bagi para penonton sangat mudah untuk menilai, bahwa sikap peran itu: Sombong.

Banyak literatur menyebutkan, bahwa sombong adalah satu macam di antara penyakit hati. Oleh sebab tidak stabilnya kondisi hati. Walaupun ini merupakan masalah hati, tetapi penampakannya sangat mudah untuk diindentifikasi. Contohnya terlalu banyak, bisa Anda cari sendiri, yang dengannya akan dapat membuat Anda mengumpat ke arahnya, “Sombong!”

Seseorang tidak perlu meraih gelar tinggi-tinggi untuk mengerti kata ini, namun agaknya, ada satu hal yang amat teramat disayangkan. Seiring dengan berkembangnya zaman, seakan-akan kata tersebut tengah mengalami reduksi. Atau jangan-jangan, definisi sombong dalam bahasa Indonesia tidak sama dengan pengertian istilah takabur dalam Islam? Ternyata benar, bahwa di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sombong hanya diartikan sebagai: Menghargai diri secara berlebihan; congkak; dan pongah. Dan setelah diteropong berdasarkan realita penerapannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwasanya ‘sombong’ di lingkungan sekitar kita hanya mencakup perilaku “moralitas” belaka. Setingkat lebih sempit ketimbang apa yang dipaparkan oleh Rasulullah saw..

Jelas ada satu hal yang terlupakan, yang secara tidak sadar konsekuensinya jauh lebih mengerikan. Kalau sombong seperti yang telah kita bahas di atas umumnya berobyek kepada sesama manusia, maka kriteria sombong yang kedua yang disampaikan oleh Rasulullah saw., yakni menolak kebenaran, itu berarti pelakunya melakukan kesombongan kepada Allah swt..

Kita tahu kenapa Iblis dipastikan dijebloskan ke neraka, itu akibat sikapnya yang menolak perintah kebenaran untuk bersujud kepada Adam. Dengan congkak ia membangga-banggakan diri merasa lebih terhormat dari pada tanah lempung. Ironisnya, akhir-akhir ini ada yang mencoba bertindak sebagai semacam pembela iblis dengan mengatakan hanya Allah tempat kita bersujud dan bukan kepada manusia, untuk kemudian terlahir klaim bahwa itulah alasan mengapa iblis menolak untuk bersujud kepada manusia. Maka, celetukan yang keluar bisa sampai kepada pernyataan iblis berhak menyandang gelar makhluk paling bertakwa. Andaikan perkara ini dibawa ke meja persidangan, dan Iblis menyetujui alasan pembelaan “pengacara”-nya itu, maka sebenarnya ia pun lupa, bahwa yang ia lakukan hanyalah mencari pembenaran, dan bukan kebenaran. Saya pastikan para “pengacara” Iblis tersebut kurang memahami makna dari “sujud kepada Adam”.

Maka, tetaplah iblis berada dalam vonis.

Hal yang perlu direnungkan disini adalah, semua orang tahu bahwa iblis bukanlah Atheis. Bahkan ia lebih dulu mengenal Allah daripada manusia. Tetapi karena sikap enggan menerima kebenaran, dan justru ia lebih memilih membangkang, maka tetaplah neraka tempat ia bakal dijebloskan.

Pertanyaannya, apakah aturan semacam itu hanya diperuntukkan kepada Iblis? Anda pasti tahu ini pertanyaan retoris. Dan jawabannya memang tidak. Setiap manusia yang membangkang dari aturan, berani menolak kebenaran, maka resikonya kurang lebih sama seperti yang diberlakukan terhadap iblis.

Kini, masalah besar yang melanda dunia ini, adalah satu hal yang belum sepenuhnya dipahami oleh mayoritas umat Muslim bahwa Agama yang dianutnya telah lengkap memberikan aturan di segala aspek kehidupan. Saya katakan belum sepenuhnya “dipahami” karena realitasnya hanya sekedar “dimengerti”. Orang yang mengerti belum tentu memahami, tetapi orang yang memahami sudah tentu mengerti, untuk kemudian melakoni.

Seperti apa yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an, Islam merupakan agama yang sempurna [QS.Al-Maidah: 5]. Sempurna, artinya tidak satupun aspek kehidupan yang luput dari aturan Islam. Dari mulai perihal sholat sampai perkara buang hajat, dari yang ritual sampai mu’amalah, dari hukum moral sampai hukum tatanan Negara. Maka sebagai konsekuensi logisnya, Allah memerintahkan manusia untuk berislam secara keseluruhan (kaffah) [QS.Al-Baqarah: 208].

Lha, kalau menolak? Dengan alasan apapun, maka harap diingat, sekalipun manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, tetapi mereka bukanlah “anak emas” yang akan membuat Allah membabi buta membela mereka apapun alasannya. Mereka yang mencoba menolak dan justru memutuskan perkara selain dengan hukum Allah, maka akan dikenai tiga kemungkinan sangsi: Kalau tidak Kafir, ya Dhalim. Dan kalau tidak keduanya, maka ia fasik [QS.Al-Maidah: 44; 45; 47]. Anda yang jika betah-betah saja berislam setengah-setengah dengan mengimani sebagian isi Al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya, inipun dikecam oleh Allah swt. [QS.Al-Baqarah: 85]. Terlebih bagi yang kemudian mencari Agama lain, maka di akhirat ia termasuk orang yang merugi [QS.Ali Imran: 85].

Dan ironi yang selanjutnya, betapa sombongnya Negara ini yang telah menolak hampir keseluruhan aturan dari Allah swt., Tuhan yang notabene Maha Mengatur. Mereka tidak hanya menolak, tetapi bahkan ada yang mencibir dengan mengatakan Syariat Islam tidak relevan untuk diberlakukan. Selanjutnya, mereka meracik sendiri syariat baru untuk menggantikan Syariat Islam. Itu artinya ia merasa lebih pinter dan lebih ‘sakti’ dari pada yang menciptakan dirinya sendiri. Bahkan sempat terdengar suara sumbang yang menuduh Syariat Islam, harus bertanggung jawab atas kemunduran umat manusia.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…

Jauh sebelum orang-orang sombong itu membuat aturan baru, Allah swt. sudah melontarkan satu pertanyaan retoris, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka ambil? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang beriman?” [QS.Al-Maidah: 50].

Dan kemudian Al-Qur’an juga mengingatkan, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS.An-Nisaa’: 60].

Mungkin ada sebagian remaja seusia SMA yang berusaha menjelaskan, bukankah dasar Negara ini tidak bertentangan dengan Agama?

Wahai adikku, seindah apapun kata-kata yang menjadi dasar Negara, selagi hukum yang berlaku adalah hukum thaghut maka tetap thaghut. Kemasan kaldu yang bermerek sapi selagi isinya babi maka tetaplah babi, tetap haram dikonsumsi. Nah, apakah Kamu, adikku, melihat hukum Negara ini sudah tepat akurat sesuai Syariat?

Dia terdiam. Kemudian datang seorang Dosen, dan berucap dengan nada sarkastis, “ini bukan Negara Agama!”

Pak Dosen yang terhormat, Negara ini memang bukan Negara Agama, namun jangan lupa bahwa Negara ini juga bukan Negara setan yang dengan semaunya bisa melegalkan produk hukum nafsu yang belepotan kepentingan.

Kawan, kuberi tahu sekarang ini banyak orang sakit. Yang menyedihkan bahkan sebagian besar tidak merasa kalau dirinya sakit. Penyakit ini aneh, karena berjalan secara kolektif, tersistem dalam satu wadah besar. Penyakit itu bernama Kesombongan kolektif. Dan pelaku kesombongan terbesar kini adalah Negara, yang menolak sebagaian besar –untuk tidak mengatakan keseluruhan- kebenaran. Saya, Anda, saudara kita, semoga masih dikaruniai kesehatan. Inilah akhirnya. []

Tinggalkan Semua Firqah Yang Ada?

عن حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ
بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

Artinya: Dari Huzhaifah bin Al-Yaman berkata:” manusia biasa bertanya pada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku”. Saya berkata: “Wahai Rasulullah SAW apakah kami dahulu dimasa Jahiliyah dan penuh kejahatan, kemudian Allah mendatangkan dengan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini adalagi keburukan”. Rasul SAW menjawab:”Ya”. Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan”. Rasul SAW menjawab:”Ya, tetapi ada polusinya”. “Apa polusinya?”. Rasul menjawab:” Kaum yang mengambil hidayah dengan hidayah yang bukan dariku, engkau kenali dan engkau ingkari”. Saya berkata:” Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?”. Rasul SAW menjawab:” Ya, para penyeru ke neraka jahanam, barangsiapa yang menyambut mereka ke neraka maka mereka melamparkannya ke dalam neraka”. Saya berkata:” Ya Rasulullah SAW, terangkan ciri mereka pada kami?”. Rasul SAW menjawab:” (kulit) mereka sama dengan kulit kita, berbicara sesuai bahasa kita”. Saya berkata:” Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasul SAW bersabda:” Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya”. Saya berkata:” Jika tidak ada pada mereka jamaah dan imam?” Rasul menjawab:” tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits diatas sering digunakan oleh kelompok salafy sebagai hujjah mengharamkan semua kelompok. Mereka mengutip pada kalimat :” tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut”. Dan keadaan yang diprediksikan hadits itu telah terjadi saat ini, dimana kaum muslimin sudah tidak memiliki jamaah/khilafah dan imam/khilafah. Jadi menurut mereka, saat ini yang harus kita lakukan adalah menghindar dari semua kelompok yang ada.

Hal pertama yang harus dipahami dari hadits diatas adalah apa yang dimaksud dengan “jamaah” dan “imam”?. Dalam memaknai hal ini saya dan salafy sepakat, bahwa yang dimaksud dengan jamaah adalah jamaah dimana kaum muslimin bersatu didalamnya. Jamaah yang menyatukan kaum muslimin diseluruh dunia, dan itu tidak lain adalah khilafah islamiyyah. Sementara imam adalah sebutan dari pemimpin dari jamaah itu, kata imam disini menegaskan bahwa jamaah kaum muslimin itu hanya dipimpin oleh satu imam, tidak bisa dua imam. Itulah mengapa Rasulullah melarang kaum muslimin memiliki 2 imam(1).

Hal kedua, harus dipahami zaman-zaman pada hadits diatas secara berurutan, mulai dari zaman pertama yang diramalkan hingga akhir hadits itu. Zaman pertama (dalam hadits itu) adalah zaman jahiliyah, lalu datang kebenaran islam menyelamatkan manusia dari kegelapan jahiliah menuju cahaya islam, dan ini tidak ada keraguan sedikit pun.

Zaman kedua adalah datangnya keburukan setelah kebaikan, seperti diungkapkan dalam hadit diatas: “Apakah setelah kebaikan ini adalagi keburukan”. Rasul SAW menjawab:”Ya”. Kita semua tahu bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah khulafa rasyidin (2), artinya tidak mungkin zaman keburukan yang disebutkan dalam hadits ini terjadi diantara masa-masa kenabian maupun pada masa-masa khulafa rasyidin. Kita lihat sendiri bahwa pelaksanaan islam sangat sempurna dimasa kenabian maupun masa khulafa rasyidin, baik dari segi individunya, masyarakatnya, maupun negaranya. Meski ada beberapa pemberontakan, aliran sesat, dan kemurtadan, namun semua bisa diatasi.

Akan lebih cocok jika keburukan yang dimaksud setelah kebaikan islam adalah zaman akhir dari khulafa rasyidin, yaitu pada zaman akhir-akhir khalifah Ali bin Abi Thalib. Dimana saat itu terjadi pemberontakan dan fitnah yang sangat besar yang melanda kaum muslimin. Terutama yang dilakukan khawarij maupun murji’ah. Hingga berakhir dengan pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin dan terbunuhnya Ali dan anaknya.

Zaman ketiga adalah zaman dimana disebut sebagai “kebaikan namun berpolusi”, yakni ada polusi pada kebaikan saat itu. Dan sangat tepat jika mengatakan bahwa zaman ini dimulai sejak dibaiatnya (diangkatnya) Muawiyah bin Abi sufyan menjadi khalifah menggantikan Ali bin Abi Thalib. Zaman “kebaikan berpolusi” ini terus berlangsung hingga khilafah Utsmani Abad 17, sebelum masuknya pengaruh barat. Mengapa kebaikan ini disebut “berpolusi”? hal ini tidak lain bahwa adanya pemaksaan pada kaum muslimin untuk membaiat khalifah dari anak khalifah sebelumnya, yang mana ini tidak terjadi pada masa khulafah rasyidin. Serta kesalahan-kesalahan lain yang diperbuat beberapa khalifah pada masa umayyah, abbasiyah, dan utsmaniyyah, dan memang tepat jika mengatakan masa mereka adalah masa “kebaikan namun ada polusinya”.

Zaman keempat dimana ditanyakan kepada rasulullah, apakah ada keburukan setelah “kebaikan berpolusi” tadi, rasulullah SAW menjawab Ya. Dan yang menarik disini rasulullah SAW tidak memperlakukan keburukan yang kedua ini sama dengan keburukan yang pertama tadi. Disini beliau memperingatkan akan ada penyeru-penyeru neraka jahannam. Dimana ciri-ciri penyeru neraka jahannam itu adalah orang-orang arab itu sendiri. Ya! Hal ini terjadi Pada masa “pesakitan” atau akhir-akhir khilafah utsmaniyah, banyak terjadi seruan-seruan mengarah pada nasionalisme dan seruan untuk memisahkan diri dari daulah khilafah. Dan yang sangat terkenal adalah kisah pemberontakan dari hijaz (Arab saudi sekarang) yang dipimpin oleh Ibnu Saud dengan dibantu inggris. Menyeru kepada neraka (baca: nasionalisme/perpecahan) itulah yang dilakukan oleh nasionalis-nasionalis arab saat itu, sehingga bisa kita lihat di semenanjung arab saat ini banyak sekali negaranya, padahal dulunya satu kesatuan dengan khilafah islamiyah.
Pada saat Khilafah utsmani lemah, yaitu mulai abad ke 17 hingga 19, dimana banyak pemberontakan, serta melemahnya semangat keislaman kaum muslimin, dan semakin gencarnya serangan dari barat, maka tepatlah rasulullah SAW berpesan agar kaum muslimin saat itu tetap ”Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya”.

Menariknya lagi, sahabat itu bertanya “bagaimana jika sudah tidak ada jamaah dan imam?”, dan rasulullah SAW menjawab :” tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut”. Jadi sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW bahwa umatnya suatu hari akan mengalami kekosongan jamaah/khilafah dan imam/khalifah. Sementara yang harus dilakukan kaum muslimin, jika itu terjadi adalah “menggigit akar” yang berarti memegang kebenaran islam (3) dan meninggalkan firqah-firqah yang ada. Yang kemudian ditanyakan adalah, apakah yang dimaksud dengan firqah itu? Apakah firqah itu partai politik? Ormas? Yayasan? Atau yang lainnya?

Maka disinilah letak kesalahan penafsiran yang memaksa menyeret makna firqah dalam hadits ini menuju segala macam kelompok. Padahal dari awal selalu yang dibahas dalam hadits ini adalah tentang pemerintahan, dan bukan aliran atau kelompok. Maka firqah ini pun harus dimaknai sebagai pemerintahan, bukan kelompok. Firqah ini lebih tepat jika dimaknai sebagai pecahan-pecahan dari jamaah/khilafah tadi, alias negara-negara yang didirikan dari pecahan khilafah islamiyyah setelah runtuhnya pada 3 maret 1924 M. Seperti firqah Arab saudi, firqah mesir, firqah suriah, firqah malaysia, firqah indonesia, dll, inilah yang dimaksud firqah dalam hadits ini. Maka benar kata rasulullah SAW, kita wajib untuk berlepas diri terhadap semua “firqah-firqah/negara-negara yang didirikan paska runtuhnya khilafah” karena semua negara yang ada didunia saat ini bathil dipandang dari sisi mana pun(4).

Apakah ini adalah akhir kondisi umat Islam? ternyata tidak, karena tidak ada statemen dalam hadits ini yang menyatakan bahwa kondisi terakhir yang disebutkan tadi adalah kondisi terakhir umat islam atau setelah itu kiamat. Bahkan dalam hadits lain justru disebutkan bahwa umat islam akan bangkit kembali menegakkan khilafah islamiyyah (5). Artinya nanti, setelah masa ini berakhir, kaum muslimin akan memiliki “jamaah dan imam” lagi sebagaimana kondisi ideal dari kaum muslimin itu sendiri. Masa khilafah islamiyyah inilah masa akhir dari umur umat islam, dan juga umur dunia, karena setelah itu akan terjadi kiamat. Maka saat ini hanya ada dua pilihan bagi kaum muslimin, memperjuangkan tegaknya khilafah islamiyyah, atau malah menjadi penghalangnya. Wallahua’lam

Referensi
(1) Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.
(2) “Hendaklah kamu kembali kepada sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk”.( HR Ahmad 4/162. Abu Daud 5/13. Turmizi 7/437 dan Ibn Majah 1/15)
(3) “Celakalah orang-orang Arab, yaitu keburukan yang benar-benar telah dekat; fitnah ibarat sepenggal malam yang gelap gulita. Pagi hari seseorang masih beriman, sorenya telah berubah menjadi Kafir. Kaum yang menjual agama mereka dengan tewaran dunia yang tidak seberapa. Maka, orang yang berpegang teguh pada agamanya, ibarat orang yang menggenggam bara api.” (Ibn Hajar al-Haitsami,Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, juz VII, hal. 552)
“Islam itu bermula dengan asing maka akan kembali menjadi asing maka berbahagialah orang yang asing”
(H/R Muslim.)
(4) Negara-negara yang berdiri paska khilafah islamiyyah semuanya bathil menurut syariat islam karena didirikan atas dasar nasionalisme/ashabiyyah. Selain itu karena tidak menggunakan hukum Allah, melainkan membuat sendiri hukum-hukumnya pada lembaga legislatif “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. [QS Al Maa'idah 44]”. Pemakaian riba, pemungutan pajak, penghalalan maksiat, dll adalah bukti lain yang memperkuat bahwa kita wajib berlepas diri dari semua negara-negara itu. Berlepas diri disini bukan berarti hijrah, namun menolak membenarkan kedaulatan negara tersebut dan berupaya untuk menggantinya menuju khilafah islamiyyah.
(5) Khilafah islamiyyah akan tegak sebelum kiamat seperti yang sudah disabdakan oleh rasulullah SAW:
Dari Nukman bin Basyir, katanya… ‘Suatu ketika kami sedang duduk2 di Masjid Nabawi dan Basyir itu seorang yg tidak banyak bercakap.Datanglah Abu Saklabah lalu berkata ” Wahai Basyir bin Saad, adakah kamu hafaz hadis Rasulullah tentang para pemerintah?’
Huzaifah RA lalu segera menjawab.” Aku hafal akan khutbah Rasulullah SAW itu.” Maka duduklah Abu Saklabah Al Khusyna untuk mendengar hadis berkenaan.
Maka kata Huzaifah RA, Rasulullah SAW telah bersabda. “Telah berlaku Zaman Kenabian ke atas kamu, maka berlakulah Zaman Kenabian sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkat zaman itu seperti yg Dia kehendaki.
”Kemudian belakulah zaman Kekhalifahan (Khulafaur Rasyidin) yang berjalan sepertimana Zaman Kenabian. Maka berlakulah zaman itu sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya.
Lalu berlakulah zaman pemerintahan yang mengigit ( zaman kesultanan ) Berlakulah zaman itu seperti yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya pula.
Kemudian berlakulah zaman mulkan jabbariyan (penguasa yang memaksakan ideologi yang bukan ideologi islam, dan hukum yang bukan dari hukum islam) dan berlakulah zaman itu seperti mana yang Allah kehendaki.
Kemudian berlakulah pula zaman kekhalifahan yang berjalan di atas cara hidup Zaman Kenabian.” Kemudian Rasulullah SAW pun diam…. (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal di dalamkitabnya Musnad Al Im am Ahmad bin Hanbal, Juzuk 4, halaman 273.Juga terdapat dalam kitab As-Silsilatus Sahihah, Jilid 1,hadis nombor 5.)

Akhlak dan Kebangkitan Umat


http://a5.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/247089_10150210815969161_88292589160_6870791_3392967_n.jpgPengantar:
Dalam salah satu masterpiece-nya, kitab Nizhâm al-Islâm, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan persoalan di seputar akhlak pada salah satu bahasannya. Ini tentu saja bukan hal yang luar biasa, karena akhlak memang sering—bahkan terlalu sering—dikaji oleh kebanyakan para ulama saat ini. Yang luar biasa dari paparan beliau dalam masalah akhlak ini, sebagaimana juga dalam sejumlah masalah lain, adalah perspektifnya yang relatif baru, yang memang berbeda dengan pandangan kebanyakan ulama saat ini ketika mereka membincangkan akhlak, di samping kritikannya yang tajam terhadap kalangan yang memandang akhlak ‘segala-galanya’ dalam upaya membangkitkan umat. Bagaimana penjelasannya? Tulisan berikut berusaha memaparkan secara lebih gamblang persoalan di seputar akhlak yang ditulis oleh beliau dalam bagian terakhir dari kitab tersebut.

Akhlaq (akhlak) adalah bentuk plural dari khulq atau khuluq. Secara literal, khulq atau khuluq bermakna syajiyah, filân,1 murû‘ah, ‘âdah, dan thab‘ (karakter, kejiwaan, kehormatan diri, adat-kebiasaan, dan sifat alami).
Al-Mawardi menyatakan bahwa makna hakiki dari khuluq adalah adab (budi pekerti) yang diadopsi oleh seseorang, yang kemudian dijadikan sebagai karakter dirinya. (Imam Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî). Sedangkan budi pekerti yang telah melekat pada diri seseorang disebut dengan khîm, syajiyah, dan thabî‘ah (karakter). Atas dasar itu, akhlak adalah al-khîm al-mutakallaf (karakter yang dibebankan atau karakter ciptaan), sedangkan khîm adalah thab‘ gharizî (karakter yang bersifat naluriah (tabiat atau karakter bawaan).
Kadang-kadang khuluq digunakan dengan makna agama (dîn) dan kebiasaan (‘âdah). Al-Quran telah menggunakan kata khuluq dengan makna agama dan kebiasaan dalam surat al-Syu‘ara’ (26) ayat 137 dan al-Qalam (68) ayat 4. Allah Swt. berfirman:
]إِنْ هَذَا إِلاَّ خُلُقُ اْلأَوَّلِينَ[
(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat-kebiasaan orang dulu. (QS [26]: 137).

]وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ[

Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS al-Qalam [68]: 4).
Makna khuluq yang terdapat dalam surat al-Qalam ayat 4 adalah dîn (agama). Al-‘Aufi menyatakan bahwa khuluq ‘azhîm maknanya adalah dînuka al-‘azhîm. Penafsiran semacam ini juga dianut oleh adh-Dhahak, Mujahid, Abu Malik, Rabi‘ bin Anas, Ibn Zaid, Imam Ahmad, dan lain-lain. Sedangkan Ibn ‘Athiyyah menafsirkan khuluq ‘azhîm dengan al-adab al-azhîm (budi pekerti atau karakter yang agung). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr). Yang dimaksud dengan adab di sini bukanlah budi pekerti (karakter) yang lahir secara alamiah atau nilai-nilai universal yang luhur, tetapi adab yang lahir dari al-Quran. Imam ath-Thabari menyatakan, bahwa maksud dari kalimat wa innaka la‘ala khuluqin ‘azhîm adalah adabin ‘azhîm”. Maksudnya, karakter budi pekerti Rasulullah adalah budi pekerti yang dibentuk oleh al-Quran, bukan karakter alamiah yang terpisah dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan kata lain, budi pekerti (adab) Rasulullah saw. adalah Islam dan syariat-Nya (hukum-hukum Allah Swt.). Menurut Imam ath-Thabari, ini adalah pendapat para ahli tafsir. (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).
Qatadah menuturkan sebuah riwayat yang menyatakan, bahwa Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau menjawab, “Akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran.”
Sa‘id bin Abi ‘Arubah, tatkala menafsirkan firman Allah Swt., wa innaka la‘ala khuluqin ‘azhîm, menyatakan, “Telah dituturkan kepada kami, bahwa Sa‘id bin Hisyam bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlaq Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, ‘Bukankah kamu membaca al-Quran.’”
Imam Abu Dawud dan Nasa’i juga meriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran.
Imam Ibn Katsir menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah refleksi dari al-Quran. Beliau menambahkan lagi, sesungguhnya karakter (akhlak) Rasulullah saw. merupakan wujud dari ketaatan beliau pada perintah dan larangan Allah Swt. Beliau senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya. Wajar saja jika dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. bersabda:
«إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ»
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. (HR Ahmad).

Dari seluruh penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa akhlak adalah karakter ciptaan (fabricated), bukan karakter bawaan (khîm). Akhlak seorang Muslim berbeda dengan akhlak non-Muslim. Akhlak seorang Muslim dibentuk berdasarkan al-Quran (akidah dan syariat-Nya). Sebaliknya, akhlak non-Muslim dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip non- Islam. Untuk itu, meskipun sama-sama jujur, kita tidak bisa menyatakan bahwa seorang kapitalis dan seorang Muslim sama-sama memiliki akhlak yang baik. Sebab, proses pembentukkan karakter dirinya tidaklah sama. Kejujuran seorang Muslim selalu didasarkan pada akidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, kejujurannya adalah buah dari pelaksanaan ajaran-ajaran Islam, tidak dibentuk semata-mata karena jujur itu adalah nilai-nilai universal atau karena bermanfaat.
Berbeda dengan kapitalis maupun sosialis. Kejujurannya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, tetapi hanya didasarkan pada prinsip manfaat dan kemanusiaan belaka. Kejujurannya sama sekali tidak dibangun di atas prinsip ketakwaan kepada Allah Swt. Walhasil, akhlak seorang Muslim berbeda dengan akhlak orang kafir, meskipun penampakannya sama.
Akhlak seorang Muslim merupakan refleksi dari pelaksanaan dirinya terhadap hukum-hukum syariat. Seseorang tidak disebut berakhlak Islam ketika nilai-nilai akhlak tersebut dilekatkan pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah Swt. Misalnya, pegawai bank yang senantiasa terlibat dalam transaksi ribawi tidak disebut berakhlak Islam meskipun ia terkenal jujur, disiplin, dan sopan. Sebab, ia telah melekatkan sifat-sifat akhlak pada perbuatan yang diharamkan Allah Swt. Anggota parlemen yang suka membuat aturan-aturan kufur juga tidak bisa disebut memiliki akhlak Islam meskipun ia terkenal jujur, amanah, dan seterusnya. Sebab, nilai-nilai akhlaknya telah melekat pada perbuatan haram. Walhasil, akhlak seorang Muslim harus dibentuk berdasarkan al-Quran al-Karim. Dengan kata lain, akhlak seorang Muslim adalah refleksi dari pelaksanaan hukum-hukum Allah Swt.

Posisi Akhlak Dalam Syariah
Ada sebagian kaum Muslim yang memahami, bahwa kebangkitan umat harus dimulai dari kebangkitan akhlak. Mereka mengajukan sebuah asumsi, “Jika setiap individu memiliki akhlak yang baik maka masyarakat pun akan menjadi baik. Kemunduran dan kebangkitan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kebangkitan dan kemunduran akhlaknya.”
Mereka juga mengetengahkan dalil-dalil syariat untuk membangun argumentasi mereka. Dari al-Quran, mereka mengetengahkan surat al-Qalam ayat 4, sebagaimana dinukil di atas dan nash-nash yang senada. Dari as-Sunnah mereka juga berhujah dengan hadis yang berbicara tentang akhlak, sebagaimana yang juga dinukil di atas.
Benar, akhlak merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam. Namun demikian, kita tidak boleh memahami, bahwa akhlak yang dimaksud di sini sekadar sebagai nilai-nilai universal, yang terlepas sama sekali dengan konteks hukum syariat. Kejujuran, amanah, disiplin, rasa hormat, dan lain-lain merupakan nilai akhlak yang mulia. Semuanya adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh umat manusia tanpa memperhatikan agama, ras, suku dan jenis kelamin. Kaum Kristen, Budha, Yahudi, Konghucu, dan kaum kapitalis pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai itu; bahkan berusaha untuk menerapkannya. Kaum Muslim juga menjunjung tinggi dan berusaha menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupannya.
Namun demikian, seorang Muslim tatkala hendak menerapkan nilai-nilai yang sangat mulia itu, bukan didorong oleh sebuah motivasi bahwa nilai-nilai tersebut adalah nilai universal, tetapi karena hal itu diperintahkan oleh Allah Swt. Seorang Muslim bersikap jujur, karena ia memang diperintahkan oleh Allah Swt., bukan karena jujur itu bermanfaat atau nilai universal. Dengan kata lain, akhlak seorang Muslim adalah refleksi dari pelaksanaan syariat-Nya. Sebab, seluruh perbuatan seorang Muslim wajib bersandar pada syariat Islam. Di sisi lain, seorang Muslim harus memahami, kapan ia jujur, dan kapan ia tidak boleh jujur. Tatkala melakukan jual-beli dengan orang lain, ia harus jujur dan amanah. Sebaliknya, ketika dalam peperangan melawan kaum kafir, ia tidak diperbolehkan jujur membeberkan kekuatan kaum Muslim.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa akhlak merupakan bagian dari syariat Islam. Menurut pandangan Islam, akhlak bukan sekadar nilai universal yang berlaku di tengah-tengah manusia, tetapi sifat yang wajib dimiliki seorang Muslim, berdasarkan perintah dari Allah Swt. Dengan kata lain, akhlak adalah syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Benarkah Akhlak Sebagai Pembangkit Umat?
Bantahan atas pendapat yang menyatakan bahwa kebangkitan umat atau persoalan mendasar umat adalah bagaimana membangkitkan akhlaknya dapat diperinci sebagai berikut:
Pertama, sebenarnya konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan masyarakat dari sisi karakter maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat atau umat. Akhlak adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlak adalah salah satu variabel penting untuk membangkitkan individu.
Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat dan cara untuk mengubahnya. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, kita mesti memahami terlebih dulu unsur-unsur penyusun individu dan bagaimana cara membangkitkannya.
Masyarakat sendiri tersusun atas manusia, pemikiran, perasaan,dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Benar, manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menghasilkan perubahan masyarakat maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka, tetapi juga tersusun oleh pemikiran, perasaan, dan aturan. Selain itu, faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat bukanlah manusia sebagai individu, melainkan pemikiran dan aturan yang diterapkan.
Para penganut agama Budha terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung nilai-nilai akhlak, bahkan memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia. Namun demikian, warna masyarakat yang tersusun dari orang-orang Budha dan agama Budha adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Ini menunjukkan, bahwa faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan akhlak individunya.
Masyarakat di negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim yang terkenal jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur, disebut masyarakat yang tidak islami jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam tersebut adalah sistem aturan kufur. Negeri Baghdad ketika dikuasai bangsa Mongol tidak lagi disebut negara Islam, karena sistem yang diberlakukan setelah itu bukan lagi sistem Islam. Ini semua menunjukkan, bahwa perubahan akhlak individu tidak secara otomatis mengubah warna masyarakat. Bahkan, perubahan akhlak—sebagai nilai-nilai universal—sama sekali tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.
Masyarakat Jahiliah sebelum Islam juga menjunjung nilai-nilai akhlak yang tinggi—menghargai tamu, perwira, dan sebagainya. Sifat-sifat akhlak ini tidak berubah ketika mereka berubah menjadi masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa akhlak tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.
Walhasil, jika konteks pembicaraan kita adalah mengubah warna atau corak masyarakat maka aktivitas perubahannya tidak boleh difokuskan hanya pada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan pada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlak—sebagai nilai universal—bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlak. Namun, Anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa melekat pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekali. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlak. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram.
Dedikasi yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat pada diri anggota pasukan perang yang menjadi pembela sistem kufur. Akan tetapi, kita tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlak yang menempel pada sistem kufur semacam ini tidak memiliki arti sedikitpun dalam timbangan Islam. Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlak hanyalah sekadar bagian dari aturan-aturan Allah Swt. yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlak sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna masyarakat.
Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlak, atau menganggap bahwa akhlak bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam ayat 4 dan asy-Syu’ara ayat 137. Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat. Mereka tidak pernah mengkaji akhlak dalam bab fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlak adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Ketiga, seandainya kita mencermati bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, kita bisa menyimpulkan, bahwa akhlak yang dimiliki oleh kaum Muslim tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum Muslim tetap saja dalam posisi mundur. Mereka tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa yang akhlaknya lebih rendah dibandingkan dengan mereka.
Keempat, fakta juga telah menunjukkan bahwa propaganda-propaganda, seruan-seruan maupun buku-buku, selebaran, poster, dan lain-lain yang menyerukan akhlak sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum kaum Muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik, dan hukum. Ini juga membuktikan bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar dari perubahan masyarakat. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum Muslim.
Seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipahami, bahwa kami meremehkan akhlak atau tidak menganggap penting masalah akhlak. Namun, kami hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlak bukanlah persoalan utama kaum Muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat.
Surat al-Qalam ayat 4 dan Hadis Nabi saw. sebagaimana dinukil di atas dan nash-nash yang senada pengertiannya tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlak atau bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw. adalah perubahan akhlak. Para mufasir terkenal seperti Mujahid, ad-Dhahak, ath-Thabari, dan al-Qurthubi, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata khulq pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekadar “akhlak”, tetapi bermakna “dîn” (agama).

Catatan Kaki
1 Lihat Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.187.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...