Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Sabtu, 28 Mei 2011

Kebinasaan Bangsa-Bangsa Arogan (Tafsir QS al-Fajr [89]: 6-13)


Oleh Rokhmat S. Labib

]أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ$ إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ$ الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِيْ الْبِلاَدِ$ وَثَمُوْد الَّذِيْنَ جَابُوْا الصَّخْرَ بِالْوَادِ$ وَفِرْعَوْنَ ذِيْ اْلألَوْتَادِ$ الَّذِيْنَ طَغَوْا فِيْ الْبِلَادِ$ فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ$ فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ [
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad, yaitu penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri lain; kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah; dan kaum Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat kerusakan dalam negeri itu. Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.
(QS al-Fajr [89]: 6-13)


labib.jpg (400×264)Ayat-ayat ini terdapat dalam surat al-Fajr. Dalam ayat sebelumnya, Allah Swt. menyampaikan sumpah beberapa kali dengan muqsam bih (obyek yang dijadikan sebagai sumpah) berbeda-beda. Allah Swt. bersumpah dengan al-fajr (fajar); layâlin ‘asyr (malam yang sepuluh); asy-syaf‘ wa al-watr (yang genap dan yang ganjil); dan al-layl idzâ yasr (malam jika berlalu).
Banyaknya kata sumpah di awal surat ini makin menegaskan kepastian terjadinya perkara yang disumpahkan, yakni azab terhadap orang kafir.[1] Kepastian itu makin kuat dengan firman Allah Swt., Hal fî dzâlika qasam li dzi hijr (Pada yang demikian itu terdapat sumpah yang dapat diterima oleh orang-orang yang berakal) (QS al-Fajr [89]: 5), setelah menyampaikan sumpah-sumpah itu.

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Alam tara kayfa fa‘ala Rabbuka bi ‘Ad, Irâm dzât al-‘imâd. Meskipun khithâb (seruan) ini ditujukan kepada Nabi saw., ia berlaku umum.[2] Digunakannya uslûb (gaya) istifhâm taqrîri[3] (pertanyaan retoris) menunjukkan bahwa peristiwa yang disebutkan dalam ayat-ayat ini bukan perkara asing bagi bangsa Arab. Peristiwa yang melibatkan tiga kaum itu—‘Ad, Tsamud, dan Fir‘aun beserta para pengikutnya—telah masyhur bagi mereka.
Kaum ‘Ad dan Tsamud masing-masing tinggal di negeri Arab. Peristiwa tentang kehancuran kedua kaum itu mereka dengar secara mutawâtir dari generasi ke generasi. Al-Quran juga memberitakan, puing-puing kehancuran kedua kaum itu mereka ketahui dengan jelas (QS al-‘Ankabut [29]: 38).
Adapun berita tentang kebinasaan Fir‘aun beserta tentaranya mereka peroleh dari tetangga mereka, orang-orang Ahlul Kitab. Negeri Fir‘aun pun berdekatan dengan negeri mereka. Demikian masyhurnya berita tentang kehancuran bangsa-bangsa itu, seolah-olah mereka menyaksikan sendiri kejadiannya: Alam tara (Apakah kamu tidak melihat).
‘Ad adalah nama satu kabilah Arab pada masa dulu. Mereka hidup setelah lenyapnya kaum Nabi Nuh as. (QS al-A‘raf [7]: 69). Kepada mereka Allah Swt. mengutus Nabi Hud as. (QS al-A‘raf [7]: 65). Menurut para mufassir, kabilah itu dinamai ‘Ad karena mereka adalah keturunan ‘Ad bin Aush bin Iram bin Sam bin Nuh as. Sebagaimana Bani Hasyim disebut dengan Hasyim atau Bani Tamim disebut dengan Tamim, Bani ‘Ad juga bisa disebut dengan ‘Ad.[4]
Iram—nama kakek mereka—dalam ayat itu berkedudukan sebagai badal atau athaf bayân;[5] bahwa kaum ‘Ad yang dimaksud ayat ini adalah ‘Ad al-ûlâ (kaum ‘Ad generasi pertama) yang juga dikenal dengan sebutan Iram, bukan kaum ‘Ad al-akhîrah yang hidup setelah itu. [6]
Ada pula mufassir yang menafsirkan Iram sebagai nama negeri kaum ‘Ad sehingga kata Iram dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai mudhâf ilayh. Akan tetapi, mudhâf-nya dihilangkan dan taqdîr-nya: 'Ad ahl Iram (‘Ad penduduk negeri Iram).[7] Negeri itu terletak di sebelah selatan Jazirah Arab, tepatnya antara Amman dan Hadhramaut, yang juga dikenal dengan sebutan Ahqaf.[8]
Secara bahasa, kata al-‘imâd berarti bangunan yang tinggi.[9] Jika dipahami dengan makna haqîqî, berarti mereka memiliki bangunan-bangunan yang tinggi.[10] Makna ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat asy-Su‘ara (Lihat: QS asy-Syu‘ara [26]: 128-129).
Bisa pula kata dzât al-‘imâd merupakan kinâyah untuk menunjukkan perawakan dan tubuh mereka yang tinggi seperti tiang.[11] Laksana tiang, tubuh mereka juga kuat dan perkasa. (Lihat: QS al-A‘raf [7]: 69).
Allah Swt. kemudian berfirman: allatî lam yukhlaq mitsluhâ fi al-bilâd. Menurut sebagian mufassir, kata allatî kembali pada kota yang memiliki bangunan-bangunan tinggi,[12] namun pendapat ini ditolak oleh mufassir lainnya. Jika kembali pada kota, kata yang digunakan semestinya bukan lam yukhaq (belum pernah diciptakan), namun lam yu’mal (belum pernah dibuat).[13] Menurut mereka, kata allati kembali pada kabilah sehingga sifat tersebut merupakan sifat dari kabilah itu sendiri. Maknanya: Belum pernah diciptakan kabilah seperti mereka dalam hal ketinggian, kekuatan, dan kebesaran tubuhnya.[14] Tampaknya, pendapat kedua ini lebih tepat.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa Tsamûd al-ladzi jâbû ash-shakhr bi al-wâd. Kaum Tsamud adalah kaum Nabi Shalih as. (QS al-A‘raf [7]: 73). Mereka hidup setelah dibinasakannya kaum ‘Ad (QS al-A‘raf [7]: 74) dan tinggal di daerah Hijr (QS al-Hijr [15]: 80); sebuah daerah yang berada di antara Hijaz dan Tabuk.[15] Dalam ayat itu dikisahkan, mereka memotong batu-batu yang keras di wadi, yakni di Wadî al-Qurrâ. Mereka melakukan itu untuk membangun gedung-gedung tempat tinggal mereka.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa Fir‘aun dzî al-awtâd. Fir‘aun yang dimaksud dalam ayat ini adalah penguasa Mesir pada masa diutusnya Nabi Musa as. Adapun kata awtâd berarti pasak. Muhammad Azzah memahaminya dengan makna hakiki; menurut mereka awtâd adalah bangunan-bangunan piramid yang besar dan kokoh yang ada di Mesir.[16] Sebaliknya, Ibnu Abbas tidak memaknainya secara hakiki. Menurutnya, yang dimaksud dengan awtâd adalah tentara dan pasukan yang dimiliki Fir‘aun. Sebab, keberadaan para tentara itu dapat menopang dan mengokohan kekuasaannya.[17]
Jika dicermati, ada kesamaan di antara ketiga kaum tersebut. Mereka semua adalah kaum yang besar dan kuat. Terhadap karunia Allah Swt itu, sikap mereka pun sama. Anugerah itu tidak membuat mereka menjadi hamba Allah yang bersyukur. Sebaliknya, semua itu justru membuat mereka menjadi kaum yang arogan dan suka membangkang perintah-Nya.
Kaum ‘Ad dengan sombong berkata, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?” (QS Fushilat [41]: 15). Mereka pun menantang Nabi Hud as. untuk mendatangkan azab (QS al-A‘raf [7]: 70). Kaum Tsamud pun bersikap demikian. Mereka menantang Nabi Shalih as. untuk mendatangkan azab (QS al-A‘raf [7]: 77); seolah-olah dengan kekuatan mereka, mereka mampu menghadapi azab Allah. Fir‘aun tak kalah sombongnya. Ia bahkan mengaku sebagai Tuhan yang paling tinggi (QS an-Nazi‘at [79]: 24).
Sikap mereka itu digambarkan Allah Swt. dalam ayat selanjutnya: al-ladzîna thagaw fî al-bilâd (yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri). Kata alladzîna merujuk pada ketiga kaum yang disebutkan sebelumnya: ‘Ad, Tsamud, dan Fir‘aun. Ketiga-tiganya melakukan pembangkangan dan tindakan melampaui batas. Secara bahasa, kata at-tughyân berarti tindakan melampaui batas.[18]
Ayat berikutnya memperjelas tindakan melampaui batas yang mereka lakukan. Allah Swt. berfirman: fa aktsarû fîhâ al-fasâd (lalu mereka berbuat kerusakan dalam negeri itu). Fasâd adalah kebalikan dari ash-shalah. Sebagaimana kata shalâh meliputi semua bentuk-bentuk kebajikan, kata fasâd juga mencakup semua perbuatan dosa.[19] Sikap mendustakan rasul, mengingkari risalahnya, dan membangkang seruan dakwah yang dilakukan oleh ketiga kaum itu jelas dapat dikatagorikan sebagai perbuatan fasâd.
Amat banyak tindakan lalim dan kerusakan yang mereka lakukan. Kaum ‘Ad tidak sekadar mengingkari Nabi Hud as. dan risalahnya, namun mereka juga menghinanya. Mereka menyebut utusan Allah itu sebagai orang gila (QS Hud [11]: 54) dan mengecamnya sebagi pendusta (QS al-A‘raf [7]: 67).
Kaum Tsamud pun tak jauh berbeda. Selain menolak untuk beriman kepada Nabi Shalih as. dan risalahnya, mereka juga menuduhnya sebagai orang yang terkena sihir (QS asy-Syu‘ara [26]: 153). Mereka berani membunuh unta Nabi Shalih as. yang menjadi bukti kenabiannya dan merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Shalih as. dan keluarganya (QS an-Naml [27]: 49).
Demikian pula dengan Fir‘aun. Kendati telah banyak bukti kebenaran yang ditunjukkan nabi Musa as., dia tetap tidak mau beriman. Dia justru menuduh bukti-bukti itu sebagai sihir (QS al-A‘raf [7]: 75). Tidak hanya itu, Fir‘aun dan kaumnya berusaha membunuhnya. Bahkan ketika Musa as. menyingkir dari Mesir pun, mereka tetap mengejarnya (QS Yunus [10]: 90). Dia dan pasukannya menindas Bani Israil ketika masih tinggal di Mesir. Bahkan dengan keji, ia dan pasukannya membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil (QS al-A‘raf [7]: 127, 129).
Karena mereka telah melampaui batas dan membuat berbagai kerusakan di muka bumi, maka Allah Swt. menurunkan azab-Nya. Allah Swt. berfirman: Fa shabba ‘alayhim sawtha adzâb (Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab).
Bentuk dan macam azab yang ditimpakan kepada mereka dijelaskan dalam ayat-ayat lain. Kaum ‘Ad dihancurkan dengan suara mengguntur yang membuat mereka menjadi seperti sampah banjir (QS al-Mukminun [23]: 41). Allah Swt. juga mengirimkan angin yang membinasakan. Demikian dahsyatnya, hingga segala sesuatu yang diterpanya berubah laksana serbuk (QS adz-Dzariyat [51]: 41-42). Angin yang dikirimkan itu amat dingin dan kencang. Selama tujuh malam delapan hari mereka ditimpa angin tersebut terus-menerus hingga mereka mati bergelimpangan seperti tunggul-tunggul kurma yang telah lapuk. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang masih tersisa (QS al-Haqqah [69]: 6-8).
Azab yang pedih juga diterima kaum Tsamud. Mereka ditimpa gempa sehingga mereka menjadi mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka (QS al-A‘raf [7]: 78). Mereka juga dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur di waktu pagi (QS al-Hijr [15]: 83). Akibat suara keras itu, mereka berubah laksana rumput-rumput kering yang dikumpulkan yang empunya kandang (QS al-Qamar [54]: 31).
Demikian juga dengan Fir‘aun. Diktator yang amat kejam itu akhirnya mati dengan amat mengenaskan. Ia dan pasukannya ditenggelamkan di laut saat mengejar Nabi Musa as. dan pengikutnya (QS al-A‘raf [7]: 135; Yunus [10]: 9).

Kesudahan Bangsa-bangsa Arogan

Ayat-ayat ini mengisahkan kesudahan tiga bangsa yang arogan, berlaku lalim dan sewenang-wenang, melakukan pembangkangan, dan suka berbuat kerusakan. Mereka tidak saja mendustakan rasul dan mengingkari risalahnya, namun mereka berupaya keras menghalangi dakwahnya. Berbagai cara mereka tempuh; mulai dari penyebaran opini negatif terhadap dakwah dan pengembannya hingga cara-cara fisik—penyiksaan dan pembunuhan. Akan tetapi, semua upaya mereka gagal total. Mereka semua akhirnya justru binasa dilibas azab Allah Swt. yang mahadahsyat. Kekuatan, kebesaran, dan kekuasaan yang mereka banggakan sama sekali tidak kuasa melindungi mereka dari azab Allah Swt.
Dalam sejarah panjang kehidupan manusia, mereka tidak sendiri. Dalam al-Quran, amat banyak dikisahkan kesudahan bangsa-bangsa arogan. Bangsa-bangsa yang memiliki sikap dan perilaku seperti mereka akhirnya mengalami nasib yang sama. Mereka semua merasakan pedihnya azab Allah Swt.
Kaum Nabi Nuh as. yang sombong dan membangkang akhirnya musnah ditelan banjir bandang. Kaum Nabi Luth as. yang tidak menggubris peringatan nabinya akhirnya binasa setelah ditimpa hujan batu. Abrahah dan pasukan gajahnya yang hendak menghancurkan Baitullah juga binasa sebelum menyentuh Ka’bah. Hanya dengan kerikil yang dilontarkan burung ababil, mereka menemui ajal mereka.
Dikisahkannya kehancuran bangsa-bangsa itu seharusnya menjadi pelajaran amat penting bagi seluruh manusia. Bagi kaum kafir, kaum yang menyombongkan kekuatan dan kebesarannya, kisah-kisah tersebut seharusnya menyadarkan mereka akan kelemahan mereka di hadapan Allah Swt. Padahal azab yang ditimpakan Allah kepada kaum kafir itu masih sebagian kecil. Azab yang ditimpakan Allah Swt. di dunia ini juga baru pendahuluan dari azab-Nya yang sebenarnya. (Lihat: QS an-Nahl [16]: 61).

Adapun bagi kaum Mukmin, kisah itu dapat memperteguh keimanan mereka. Betapa pun beratnya siksaan yang mereka rasakan dari orang kafir, itu tidak boleh menggoyahkan keimanan mereka. Kaum kafir yang sering terlihat perkasa itu pasti akan mengalami nasib sama dengan pendahulunya: kehancuran! (Lihat: QS al-Isra' [17]: 81).

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []



1 Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 227.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 30; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
2 Al-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 532.
4 Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 151; Shihâb al-Dîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 337.
5 Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, vol. 15 (Qathar: Idarât Ihyâ’a al-Tsurats al-Islâmî, 1989), 222.
6 Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 4 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 735; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 803.
7 Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, vol. 9 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 737.
8 Muhammad Azzah, At-Tafsîr al-Hadîts, vol. 1 (tt: Dar al-Gharb, 2000), 532; Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 224. Pendapat ini didasarkan pada QS al-Ahqaf: 21.
9 Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr ash-Shihah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 551.
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20 (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 31; Burhanuddin al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 416.
11 Al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 337.
12 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 465.
13 Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 225.
14 Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân, vol. 9, 737; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 221; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20, 3; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 2027.
15 Al-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 530.
16 Muhammad Azzah, Atl-Tafsîr al-Hadîts, vol. 1 (tt: Dar al-Gharb, 2000), 532.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20, 32; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, vol. 4, 2028.
18 Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 225.
19 Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, vol. 6, 153.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...