Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Selasa, 01 Juli 2008

Di Atas Sungai, Di Tepi Jendela

Iman adalah mutiara

Di dalam hati manusia

Tiap kuputar lagu sendu dari Raihan, perempuan itu selalu berdiri di tepi jendela. Matanya selalu menatap jauh lurus ke aliran sungai Citarum yang bergemuruh. Aku acapkali perhatikannya. Kadang terbersit perasaan untuk mengenal. Bahkan lebih dari sekedar “mengenal”. Namun, jarak kamarku dengan kamarnya terlalu jauh. Terpisah oleh bentangan sungai yang membelah kota Bandung ini.

Di sepanjang sungai yang airnya mirip bajigur, di sekitar Tamansari Bandung, rumah-rumah berjajar, kamar-kamar bertingkat didirikan dan disewakan. Ada yang permanen. Ada pula yang sekadarnya. Semua laku bak kacang goreng. Mulai mahasiswa tingkat pertama hingga akhir, pegawai toko, waitress, pemandu lagu, scoring girl, WTS kelas teri, banci yang sering berkeliaran di sekitar Dago, semuanya mencari kost di sekitar sini.


Aku salah satu dari mereka. Sudah sekitar 3 bulan aku menjadi SSG sekaligus pegawai di supermarket Daarut Tauhid. Meski gaji tidak seberapa, aku coba sisihkan sebagian buat menyewa kamar 2×3 m. Sisanya aku kirim ke Ambu di Banjaran. Aku pilih kamar yang berbatasan langsung dengan sungai agar aku bisa melihat air yang beriak-riak dengan latar belakang gunung Tangkuban Perahu yang tersembul di balik pepohonan. Sejak kecil aku memang terbiasa dengan suasana alam. Rumahku sendiri di Banjaran tepat di sebuah kaki bukit dengan sungai yang mengalir di bawahnya. Bisa saja aku tinggal di Gegerkalong, Pesantren DT. Tapi aku memilih tidak bergantung pada fasilitas yang DT berikan.

Aku ingin belajar mandiri dan mencoba bertahan hidup dengan caraku. Biar di sela-sela waktu kerja, sepulang kerja, sekitar Isya, sebelum mandi aku bisa duduk-duduk di pinggir jendela sambil minum teh manis hangat. Tape butut yang aku beli di Cihapit hampir selalu memutar lagu yang itu-itu saja. Saat itulah, ketika diputar lagu Iman Mutiara, aku selalu melihat perempuan berkerudung itu berdiri di tepi jendela.

ooOoo



Tanpamu iman bagaimanalah

Merasa diri hamba padaNya

Mungkin ini lagu kenangannya. Lagu yang selalu dia dendangkan bersama teman-temannya sepulang pengajian. Atau lagu yang selalu menyemangati dia ketika kondisi futur menghinggapi dirinya. Bukankah tidak ada yang lebih menggetarkan di dunia ini ketika hati dan otak kita terkenang pada suatu hal yang pernah singgah? Atau malah dia seorang jamaah DT juga yang sedang menghapalkan lagu. Atau semuanya hanya kebetulan saja. Kebetulan saja dia ingin berdiri di tepi jendela setiap aku putar lagu ini. Tidak mustahil kan?

Dugaan seperti itu sebenarnya bukan masalah yang harus dimasukan ke otakku. Hidupku sudah penuh dengan hal-hal yang tak terduga. Sampai sekali waktu, ketika aku sedang memandangnya, perempuan itu tersenyum. Sontak aku terhenyak. Kupalingkan mata agar tidak ketahuan kalau aku memandangi dia sejak tadi. Sambil melirik kanan-kiri kalau-kalau dia tersenyum ke arah penghuni kamar yang lainnya. Tapi tidak ada satu kamar pun yang terbuka malam itu. Berarti dia tersenyum kepadaku. Aku coba balas senyumnya sambil perlahan aku tundukan pandanganku darinya. Sekilas aku melihat dia tersenyum kembali. Kikuknya aku.

ooOoo



Iman tak dapat diwarisi

Dari seorang ayah yang bertakwa

Sejak saat itu, aku terbius oleh senyum perempuan berkerudung di seberang kamarku. Ada perasaan tak biasa tentang pandanganku kepadanya. Entah itu perasaan apa. Yang jelas setiap pulang kerja, aku jadi selalu memutar lagu itu. Berharap dia melihat dan tersenyum kembali. Akupun berjanji pada diriku sendiri tentang dirinya.Pernah suatu kali aku mata-matai penghuni rumah kosan itu, tapi perempuan itu tidak sekali pun keluar dari rumah. Padahal aku menunggunya selepas shalat shubuh di masjid hingga pukul 8 pagi. Kebetulan hari itu aku tidak ada kerja. Suatu ketika sepulang kerja, aku menemukan secarik kertas berwarna merah muda tepat di bawah pintu kamarku.

Assalamu alaykum, akhi syukran ya selalu memutarkan lagu favorit ana.

Seorang hamba yang dhaif: Fitri.

Apa berlebihan kalau dibilang aku sudah jatuh cinta padanya?

Tapi namanya juga manusia yang memiliki naluri pasti ada kecenderungan ke sana. Terlebih dihadapkan kepada sosok yang seperti dia. Wajahnya yang lembut, senyumnya yang menawan, kerudungnya yang lebar, mengingatkan aku pada cerita ustadz yang dulu mengajarku di rumah kala Abah masih ada. Ustadz berkata kalau surga itu indah sekali. Di sana, taman dialiri telaga susu hingga harum bunganya pun belum pernah seorang manusia menciumnya. Subhanallah andai akhirat adalah sebuah kertas, akan kupotong saat bunga-bunga surga bermekaran dan air telaga susu mengalir dengan lembut. Aku akan membawanya ke mana-mana. Aku akan menciumnya dalam-dalam dan tak sedikit pun aku lepaskan.

Itulah kedahsyatan perempuan berkerudung tadi. Apalagi saat matanya memandang arus sungai, saat senyum tercerah menjadi satu-satunya fenomena terindah yang muncul di tengah kekumuhan rumah-rumah tepi sungai. Saat kerudungnya tergerai tertiup angin, aku mendapatkan cekaman-cekaman yang mempesona seolah aku begitu dekat dan tahu segala sesuatu tentang dirinya. Padahal pengetahuanku tentang dirinya hanya sebatas menduga-duga dari mata, senyum dan kerudung saja.

Esoknya aku menemukan lagi secarik kertas merah muda di bawah pintu. Isinya seperti sebuah pertanyaan; Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Jagalah imanmu sebab besok atau lusa siapa yang tahu dia masih ada.

Aku jelas-jelas tidak mengerti apa maksudnya. Mengapa harus keluar kata-kata yang berbelit-belit begitu. Kenapa harus memusingkan kata cinta kalau memang ada yang mencintai. Agh! Otakku ternyata terlalu bebal untuk mengerti apa yang dia maksud. Aku bermaksud bertanya kepada perempuan di tepi jendela yang aku kira si pengirim kertas-kertas ini. Namun, sejak pesan terakhir yang aku terima, tak sekalipun ia perhatikan aku lagi. Berkali-kali aku sengaja memainkan volume lagu kesukaannya. Tapi hasilnya nihil! Dia tetap saja memandang arus sungai Citarum. Sampai aku sendiri menjadi capek melihatnya. Di satu sisi perasaan di hati ini semakin tak tertahan.

Walau apapun caranya jua

Engkau mendaki gunung yang tinggi

Engkau merentas lautan api namun tak jua dimiliki

Jika tidak kembali pada Allah

Mungkin pernyataan itu ada kaitannya dengan lagu ini. Tapi aku tetap saja tak mengerti. Apalagi sejak perempuan berkerudung itu enggan perhatikan aku. Dia makin asyik dengan dunianya yang sepi, dingin, hampa dalam kesenyapan malam, deru air sungai, bulan purnama, siluet Tangkuban Perahu, suara kendaraan, bunyi suara tukang nasi goreng dan lainnya.

Seketika itu juga janjiku tentang dia seakan terhempas angin topan yang datang secara tiba-tiba. Niatan untuk mengenalnya lebih jauh menjadi haru-biru. Walaupun tidak selayaknya seorang muslim berputus asa. Sejak itu aku tidak bersemangat lagi pulang begitu kerja selesai. Ritual menyalakan tape butut pun seolah jadi sesuatu yang tabu. Malam itu tepat pukul 22.00, sepulang kajian di DT, aku menemukan beberapa carik kertas yang sudah sedikit lecek dan menguning. Aku tatap lebih dalam. Bentuk hurufnya sama seperti yang selalu aku terima sebelumnya. Dengan perasaan ingin tahu yang menggebu aku segera bersandar di kursi lantas membacanya:

Namaku Nur Fitri. Saat ini usiaku 22 tahun. Aku lulusan pesantren di Tasikmalaya. Bapakku adalah pemilik pesantren itu. Keluargaku termasuk keluarga terpandang. Aku sendiri anak ke sebelas dari dua belas bersaudara. Dulu aku adalah seorang santriwati teladan di pesantren. Dari ilmu-ilmu alat hingga bernasyid selalu aku yang dikedepankan. Lagu Iman Mutiara selalu aku nyanyikan setiap pulang dari masjid bareng sahabat-sahabatku. Keistimewaanku bukan berarti membuat aku semakin betah. Aku justru pergi dari pesantren. Ini aku lakukan sebagai protes kepada bapak yang menjodohkanku dengan pilihan yang bapak mau. Padahal aku sudah punya pilihan dan ingin sekolah yang lebih tinggi lagi di Bandung. Dengan bantuan seorang teman, aku tiba di Bandung. Demi menghidupi diri sendiri dan biaya sekolah, aku bekerja menjadi pelayan part time sambil memberi privat anak-anak SD hingga suatu malam di kamar kos, aku diperkosa oleh pacar temanku itu. Kesucian dan keyakinan hidup yang aku bangun selama ini seakan hancur berkeping-keping. Seketika itu aku hancur. Akhirnya dengan bersusah payah aku mencoba membangun duniaku kembali dengan air mata dan kesakitan. Segala apa yang aku punya, apa yang Allah berikan, aku jual sebagai bentuk kesakitan dan frustasi.

Suatu ketika ada seorang akhwat menghampiriku. Ketika itu aku menangis sendirian di pojokan mushola sambil membaca al-Quran kenang-kenangan juara MTQ antar pesantren. Padahal sejam sebelumnya aku baru memuaskan seorang babah pemilik perusahaan kayu dari Semarang. Sungguh menggelikan ketika akhwat tadi mengatakan terpesona dengan suaraku. Dia tak sadar kalau mulut ini memang mendayu-dayu dan indah. Tapi sebenarnya hatiku berdarah. Aku hanya bisa tersenyum getir. Tapi kedekatan dia, cara dia memberikan perhatian, sungguh merupakan bahasa kalbu yang baru bagiku. Aku terhenyak dan mengingat kembali segala sesuatu yang ada jauh sebelum aku datang ke kota ini. Setiap hari dia menemuiku. Setiap hari dia memberi tulisan-tulisan bernada nasihat. Setiap hari juga dia kirim SMS untuk mengingatkan shalat tahajud. Padahal setiap malam itu dia kirim SMS, aku sedang berada didekapan laki-laki yang selalu berganti-ganti. Setiap minggu juga dia selalu berikan selebaran berwarna putih-biru dan ujung-ujungnya ajakan untuk ikut Qudwah. Begitu dia bilang.

Aku makin takjub ketika dengan tulus dia menawarkan kakak laki-lakinya kepadaku. Digenggamnya tanganku erat dan meluncurkan kata-kata itu. Meski akhirnya dia tahu siapa sebenarnya aku tapi tidak menyurutkannya untuk berhenti berkata. Ah, diam-diam air mataku mulai menetes melihat ketulusan sahabatku yang satu ini. Namun setiap pelanggan menjemput, aku diingatkan kembali bahwa imanku telah hilang entah ke mana. Karenanya, ucapan dan permintaan tulus sahabatku itu seakan masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tapi di lubuk terdalam aku butuh semua yang dia katakan. Jujur aku butuh itu. Aku butuh kedamaian. Aku capek hidup di dunia yang kotor ini. Hidupku yang sebenarnya bukan di alam nista ini. Dalam keadaan seperti itu, tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Aku memang sudah terbiasa menangis dalam hati. Tapi tidak meratap seperti halnya saat itu. Ketika akhwat tadi mencegahku dijemput oleh mucikari pengelola night club tempatku bekerja. Ia malah diperkosa oleh kaki tangan si mucikari sebagai balasan penolakanku untuk bekerja lagi. Ratapanku semakin menyanyat ketika kakak sahabatku–yang akan dijodohkan kepadaku–meninggal ketika mencoba menolong adiknya yang sedang diperkosa. Tiga buah tusukan sangkur tepat menusuk jantung kiri dan lambungnya. Sungguh aku tidak tahan.

Selembar lainnya hanya berisi sebuah kalimat: Terima kasih Pram, kau telah mengingatkan aku tentang iman. Sesuatu yang bertahun-tahun aku coba kubur tapi tak pernah sedikit pun dia mati.

Hah?! Bagaimana dia tahu namaku? Sontak aku terkejut ketika di kertas tersebut jelas sekali tertulis namaku. Apakah selama ini dia mencari tahu tentang aku juga. Kalau begitu perasaan aku dan dia ternyata sama. Kami saling merindukan masing-masing. Aku segera bergegas menuju jendela kamar untuk menyapa perempuan di tepi jendela itu. Belum sempat aku menggerakan tangan, perempuan itu tersenyum lantas melambaikan tangan dan masuk ke dalam. Benarkah ini kisah perempuan yang suka lagu Iman Mutiara itu?

Esoknya aku datangi rumah bertingkat di seberang sungai. Niatku saat itu untuk mengungkapkan segalanya dan meminta penjelasan dia. Tapi tak ada seorang pun yang tahu tentang Fitri. Penghuni kamar yang jendelanya menghadap sungai sekarang bernama Irma, seorang scoring girl yang terlalu liar di mataku. Aku merasa seisi rumah kos itu menyembunyikan Fitri. Karenanya setiap pagi aku menunggu di depan rumah itu. Sampai seorang tetangga memanggil aku.

“Pram, Saya dengar kamu mencari seseorang ya?” katanya.

“Ya,” jawabku singkat.

“Kamar itu memang pernah ditinggali Fitri. Tapi itu enam bulan yang lalu.”

“Enam bulan yang lalu?” aku keheranan.

“Benar enam bulan yang lalu. Entah kenapa dia melompat ke sungai dan meninggal. Sengaja cerita itu disembunyikan biar yang kos tidak takut. Masalahnya kematian dia sedikit janggal. Kayaknya dia bukan bunuh diri tapi dibunuh. Kamu kenal Fitri dari mana?”

“Innalillahi,” Saat itu juga aku bergegas pulang. Tak tahu harus melakukan apa. Tapi aku sempat menuliskan sebuah kalimat di agenda harianku: Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Jagalah imanmu sebab besok atau lusa siapa yang tahu dia masih ada. Ya, semoga begitu Fit![]



Untuk Aku, Kamu, dan Mereka

September 2005

Keterangan:

Abah = bapak (Sunda)

Ambu = ibu (Sunda)

Babah = Panggilan utk bapak-bapak beretnis Cina

Bajigur = minuman khas Jawa Barat

Banjaran = Kecamatan kecil di selatan Bandung

Butut = Jelek (Sunda)

Cihapit = Nama jalan tempat jualan barang loak di Bandung

Scoring Girl = Perempuan penghitung angka di meja bilyar

Waitress = pelayan

—-

Erzu Koryna Friska adalah seorang pemimpi di pinggiran Kota Kembang, Bandung. Pengamat dan pemerhati dunia gaib meski belum pernah bertemu dengan makhluk gaib.

[diambil dari Majalah SOBAT Muda, edisi 020/Tahun ke-2/Juni-Juli 2006]

Pejantan Sejati

By: Koko Nata
“Sudah siap pesta Al ? Let’s Party!” seru Dodo. Dua tangannya mendorong Al, Jai, dan Toni masuk ke sebuah cafe di areal plaza semanggi.

Hingar bingar musik menyambut kedatangan mereka. Teriakan DJ menyemangati seisi ruangan temaram untuk bergoyang. Lampu kerlap-kerlip menyirami tubuh-tubuh yang asyik bercengkrama. Tawa gembira dan bau parfum bercampur keringat menyeruak. Wajah-wajah polos yang setiap pagi berseragam putih abu-abu telah berubah jadi pangeran dan putri kota.

Ini untuk pertama kalinya Al menikmati dunia gemerlap malam. Kemeriahan seperti ini hanya pernah dilihatnya di televisi. Beginilah suasana pesta. Inilah kafe full music. Inilah irama techno. It’s party time. Inilah kehidupan malam Jakarta.


“Yiha!!! ” teriak Dodo yang langsung ikut menghentakkan badan. Teriakannya hampir tak terdengar. Tertelan dentuman musik.

“Nggak ada acara potong kue nih!” tanya Al heran, agak berteriak.

“Itu sih acara pesta anak TK, Al!” sahut Toni.

“Mungkin sudah dari tadi. Kita ngucapin selamat dulu sama tuan rumah yuk.” Jai mendorong bahu Al ke depan. Seorang gadis menjadi bunga primadona kumbang. Dialah Rani, si ratu pesta. Pakaian mengkilap tanpa lengan dengan rok menggantung beberapa senti di bawah lutut, membuatnya terlihat dewasa beberapa tahun. Al mengikuti Jai mengucapkan selamat pada Rani. Setelah itu ia kembali mengekori Jai mencari minuman pelepas dahaga.

Di sebuah sofa berwarna merah, Al menghempaskan diri. Tak jauh darinya duduk sepasang remaja. Al tak mengenalinya. Tapi ia memastikan usianya belum menyentuh angka dua puluh. Asap rokok mengepul dari mulut si cowok. Jambulnya nampak basah dan keras. Kancing bajunya terbuka. Memamerkan petak dada tegap. Gadis pasangannya duduk merapat, mendekap si cowok. Menikmati hembusan asap dari mulut si cowok. Sesekali mereka menegak cairan kuning dari gelas berkaki di meja.

Al mengalihkan pandangannya. Menyapu seluruh pengunjung ruangan. Semua bergaya trendy. Dandanan serupa iklan pakaian di majalah dan televisi. Pantas saja Dodo menganggap penampilannya anak mami sekali. Kemeja lengan pendek putih bergaris hitam yang ujungnya tersimpan rapi di balik celana kain casual hitam. Pantofel licin senada celana menyelubungi kakinya.

Al menduga-duga, kalau Bunda tahu ia datang ke tempat seperti ini apa yang akan dikatakannya? Pasti Al tidak akan pernah sampai di sini. Untuk pergi saja ia sempat menyamarkan informasi tempat pesta.

“Cuma pesta ulang tahun kok, Bun! Bukan pergi kelayapan macem-macem,” ujar Al beberapa jam yang lalu.

“Tempatnya di mana? “

“Al kurang tahu persis. Nanti pergi bareng Jai. Dodo bawa mobil. Dia jemput ke sini.”

Bunda diam menimbang. Tak yakin dengan ucapan Al.

“Ayah percaya sama kamu, Al. Tapi apakah pergi ke pesta malam ini sangat penting dan tidak bisa dibatalkan.” Ayah ikut buka suara.

Al menghela napas panjang. Jika Ayah sudah angkat bicara ia jadi agak segan.

“Rina itu teman sekelas Al, Yah. Duduknya tepat di depan Al. Nggak enak kalau sampe nggak datang. Al juga sempet diledek anak bau kencur lantaran nggak pernah keluar malam,” ujar Al lirih.

“Tidak perlu diambil hati ejekan mereka. Buat apa keluar malam kalau tiada artinya. Keluar malam boleh saja kalau ada perlu.”

Al ingin tertawa mendengar kalimat Bunda yang mirip syair lagu begadangnya Rhoma Irama.

“Omongan Bunda kayak lagu begadang aja.” Ayah tersenyum. Rupanya ia sadar juga. Untuk beberapa saat ketegangan agak cair.

“Gimana, Yah? Al boleh pergi, kan?”

Hening untuk beberapa saat.

“Jam berapa kamu pulang?”

“Belum tahu. Tapi Al usahain secepetnya. Sebelum tengah malam, deh!”

“Janji!”

“Janji, Yah!”

“Baiklah kamu boleh pergi”

Yes!!! Al mengepalkan tangan ke udara.

Ekspresi wajah Bunda datar. Ia tak berkata apa-apa meninggalkan Al dan Ayah. Ayah mengambil tempat duduk di samping Al. Tangan kanannya merangkul Al. Pelan ia berkata. “Ingat Ayah dan Bunda percaya padamu. Tolong jaga kepercayaan itu.” Tepukan pelan dirasakan Al di bahu. Ayah mengikuti langkah Bunda menuju dapur.

Al mengingat baik-baik ucapan Ayahnya itu. Kepercayaan. Ya, kepercayaan! Tidak berbuat macam-macam. No smoke, No alcohol and especially No free sex!

“Woi, Al! Bengong aja. Minum nih!” Jai sudah berada di depannya, menyodorkan segelas minuman seraya duduk di sampingnya. Toni ikut duduk di sebelah Jai Kepalanya terangguk-angguk mengikuti irama musik.

“Apaan, ni?”

“Tenang aja! Cuma cola biasa!”

“Lo takut amat sih, Al, nyantai ajalah kita nggak bakal mabok kok!”

Toni menyulut sebatang rokok. Menawarkan pada Jai dan Al. Spontan Al menggeleng. Sedang Jai mengambil satu. Meminjam pematik api dari Toni. Mengisap dalam sebelum menghembuskannya. Asap berputar-putar di sekitar wajah Jai.

“Kamu ngerokok juga, Jai?” Al terkejut. Nggak nyangka Jai yang agak pendiam dan terkesan sedikit bijak perokok juga.

“Sekali-sekali aja, Al. Apalagi kalo lagi suntuk!”

Al masih menatap lekat Jai dan Toni. Ingin sebenarnya ia menjauh dari dua temannya itu. Meskipun tidak merokok. Dia ikut mengisap asap rokok tersebut. Jadi perokok pasif.

“Sekali-kali ngerokok itu nggak papa, Al. Nggak jantan kalo nggak ngerokok!” cetus Toni.

“Letak jantannya di mana, Ton?” gugat Al.

“Ya, di berani ngerokoknya itu. Berani menempuh resiko. Rokok lambang kejantanan cowok melawan mitos rokok merusak kesehatan. Itu kan cuma slogan orang-orang-orang lemah yang penyakitan.”

“Itu bukan mitos, Ton. Emang bener kok. Ngerokok bisa merusak kesehatan.”

“Buktinya Omku sudah belasan tahun merokok tetap segar bugar tuh.”

“Belum aja. Nanti deh cepat atau lambat bakal terganggu juga paru-parunya.” Al teguh berpendapat. Ia sudah kenyang mendapat penjelasan dari Ayah tentang bahaya rokok. Ia juga pernah melihat sendiri sahabat Ayah yang sekarat gara-gara terlalu banyak merokok. Sahabat Ayah itu harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit sebelum meregang nyawa dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. Pengalaman itu begitu membekas di benak Al. Maka dari itulah ia selalu memegang teguh prinsip bahwa merokok itu merusak kesehatan. Baik itu kesehatan badan maupun kesehatan kantong.

“Sudah nggak perlu ribut. Itu hak Al kalo dia nggak mau ngerokok, Ton.” Jai menengahi. “Aku nggak terlalu sepakat kalo ngerokok itu jadi simbol kejantanan. “Tapi emang sih kalo cowok ngerokok itu terlihat keren.”

Al agak tersudut. Secara tak langsung Jai mendukung Toni.

“Yup setuju banget. Selain itu cowok jantan juga selalu suka tantangan. Berpetualang. Olahraganya keras. Maka dari itu fisiknya harus kuat, berotot. Kayak cowok itu tuh.” Toni menunjuk seorang cowok kekar yang baru lewat.

Al mengawasi sosok yang baru melintas itu. Dia hanya mengenakan rompi. Lekuk-lekuk kekar lengannya terlihat jelas. Bentuk perut six pack dan dada bidangnya sungguh membuat iri. Wajahnyapun terlihat sangat lelaki. Bekumis dan berjambang. Tampangnya persis model iklan produk perawatan pria di televisi. Pria yang selalu digambarkan merontokkan hati para gadis.

Al tidak bisa membantah ucapan Toni. Ia sepakat bahwa tipe ideal cowok memang harus macho seperti cowok barusan. Iapun sependapat bahwa cowok jantan pasti suka tantangan dan selalu berani menghadapi petualangan beresiko.

“Cowok jantan selalu jadi pujaan cewek, Al. Lo lihat aja di sini. Cowok-cowok macho pasti punya gebetan.”

“Jadi maksud lo kalo nggak punya gebeten nggak jantan gitu?” sergah Jai.

“Maksud gua bukan begitu. Tapi lo perhatiin sendiri. Cewek mana sih yang nggak mau sama cowok macho atletis?”

“Ah sudahlah. Kayaknya bakal ada lelang dansa tuh. Kita lihat yuk!” Jai menyudahi topik pembicaraan cowok jantan. Kerumunan beberapa meter di depan menarik perhatian. Ketiganya bergabung dalam lingkaran manusia di dekat panggung.

Sungguh Al tak begitu paham. Dari mana asal muasal permainan yang digelar ini. Rina bersedia menjadi pacar semalam orang yang berani membayar dengan harga tertinggi. Memang, sih, uangnya akan disumbangkan ke sebuah yayasan panti asuhan. Tapis rasanya kok aneh ada lelang seperti ini.

Al melirik pergelangan tangannya. Sudah tiga puluh menit dari pukul sepuluh malam. Teringat janjinya pada Ayah. Tidak boleh pulang lewat dari tengah malam. Al meninggalkan kerumunan manusia yang ditingkahi teriakan-teriakan nilai uang. Menyepi di sudut ruangan. Menikmati cola. Sendiri.

Acara selanjutnya sungguh di luar dugaan Al. Parade cowok jantan.Tiga pria bertelanjang dada berdiri di panggung. Sorot lampu mempertegas setiap lekuk tubuh yang terlatih itu. Mereka bergoyang seraya bertepuk tangan pelan di atas kepala. Memamerkan kebagusan rupa dan keelokan tubuh.

Ketiga pria itu menantang siapapun yang merasa perkasa dan jantan untuk maju. Adu panco dengan ketiga cowok itu. Selain itu akan dilangsungkan adu nyali, siapa yang berani adu minum bir. Mereka yang merasa punya badan tegap dan nyali besar maju. Membuka pakaian dan ikut memamerkan tubuh mereka. Musik makin keras menghentak gendang telinga. Penonton riuh memberi semangat. Kekuatan otot, kebagusan rupa dan kegarangan wajah seolah menyimbolkan keperkasaan sejati. Al terpaku di tempatnya.

ooOoo



Al memandang pantulan wajah dan tubuhnya pada cermin toilet cafe. Tampangnya cukup terlihat jantan dengan hiasan kumis tipis di atas bibir. Badannya lumayan tegap meskipun balutan lemak agak menyembul di pinggang dan perut.

Perlu sedikit perubahan untuk terlihat jantan, bisik hatinya. Al mengeluarkan ujung bajunya dari pinggang celana. Kancing kemeja atas sedikit dibuka. Al membasahi telapak tangannya, mengacak-acak rambut, lalu meratakannya lagi dengan sisiran tangan.

“Terlihat lebih jantan sekarang,” pujinya sendiri.

Seseorang mendekat dari belakang. Berdiri di samping Al. Ternyata dia cowok macho yang lewat di depan Al saat membahas masalah kejantanan dengan teman-temannya. Al bisa lebih jelas mengamati sosok itu.

Al harus mengakui, secara fisik si cowok perfect. Rambut-rambut kasar di atas bibir, dagu dan sebagian pipi membuatnya terlihat garang. Kulit wajah dan tubuh bersih bersinar tanpa noda. Mungkin rajin dirawat juga, pikir Al. Ia menaksir usia si cowok, mungkin sekitar dua puluh limaan.

“Ada yang aneh ?” tanya si cowok tiba-tiba. Suaranya empuk seperti penyiar radio anak muda.

Al tergagap, “eh, nggak, maaf.” Ia salah tingkah. Al mundur beberapa meter dari wash table. Al jongkok di sudut toilet yang agak gelap. Membetulkan Kaus kakinya yang melorot.

Seseoarang masuk lagi ke dalam toilet. Mendekati si macho yang masih bercermin. Tampangnya tidak kalah keren dengan si macho. Hanya saja penampilannya lebih rapi, klimis. Stelan jas casual membalut tubuh proporsionalnya.

“Hai, honey, pulang yuk!”

Telinga Al menegak, mendengar kalimat itu. Matanya melihat si rapi memeluk si macho dari belakang. Si macho berbalik. Keduanya berpandangan. Lalu…

Hampir satu menit Al terpaku tak berkedip. Pemandangan di depannya sungguh unbelieveable.

“O, honey, kumis dan jenggotmu harusnya dipotong,” keluh si rapi.

Si macho menyentuh bibir si rapi dan berkata lirih, “tapi kau suka, kan?”

“Iya sih, lalu mereka menempel lagi. Erat dan…

Hoek! Al mual seketika. Ia langsung keluar toilet. Sungguh kalau tak melihat dengan kepala sendiri ia tak akan percaya kalau dua cowok sempurna itu gay. Al duduk jongkok sambil memegangi perutnya.

ooOoo

Sendiri, Al pulang menumpang taksi. Ketiga temannya masih larut dalam pesta. Suasana pesta makin memanas. Menggila. Bukan hanya pria-pria kekar saja yang ada. Entah dari mana muncul pula perempuan-perempuan berpakaian minim. Acara sudah semakin bebas. Tak jelas lagi mana undangan mana yang bukan. Tak jelas lagi antara remaja SMA dan kaum dewasa. Semua lepas berpesta.

Di dalam taksi Al merenung. Bayang-bayang kemesraan si rapi dan si macho terus memenuhi benaknya. Al berusaha mengusirnya. Fisik sempurna ternyata tak menjamin seseorang berkepribadian sempurna pula.

Al teringat obrolannya dengan Ayah suatu malam.

“Kejantanan seorang pria itu lebih pada kepribadian, Al. Pada sikap dan tingkah laku. Kalau dengan merokok seseorang dikatakan jantan, bagaimana dengan kaum waria yang gemulai tapi merokok juga? Bagaimana seseorang bisa dikatakan jantan bila ia ingin menghilangkan stress dan tekanan hidupnya dengan minum-minum dan memakai obat-obatan terlarang?

“Simbol-simbol pria sejati yang sering digambarkan di televisi tak akan bisa menutupi sikap dan tingkah laku asli seseorang. Ia seperti topeng yang sering membuat kita tertipu. Pejantan sejati tak akan menggunakan topeng untuk menarik perhatian orang lain. Jadilah diri sendiri. Dengar hati nuranimu.”

Kelebat bayang-bayang hitam pepohonan berseliweran di luar. Temaram lampu jalan mengiringi laju taksi. Satu dua mobil ikut menderu bersaing. Dingin alami bercampur hembusan AC perlahan menusuk badan Al.

Sayup-sayup dari radio taksi mengalun Pejantan Tangguhnya Sheila On 7

Jantan… pejantan tangguh

Itu yang kuharap ada padaku

Agar… agar diriku

Bisa melumpuhkan tingkah liarmu…

FLPDepok.multiply.com, 121105

—-

Koko Nata Kusuma, nama lengkapnya. Lahir di Palembang 19 April 1980. Koko Nata telah menulis banyak buku fiksi, beberapa di antaranya: Kucing Tiga Warna, Semua Atas Nama Cinta, Ketika Nyamuk Bicara, dan Can You Keep The Secret. Lulusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya ini sekarang menjadi Ketua Forum Lingkar Pena Cabang Depok. Silahkan kontak via e-mail ke: ko2nata@gmail.com. Cuap-cuapnya juga bisa dinikmati di: http://kokonata.multiply.com.

[diambil dari Majalah SOBAT Muda, edisi 019/Tahun ke-2/Mei 2006]

Beragama Kok Bebas?

Jamaah Ahmadiyah masih bisa senyam-senyum. Pasalnya mereka lagi di atas angin. Setelah kasus Monas, justru umat Islam yang menuntut pembubaran Ahmadiyah jadi terdakwa. Bukan cuma itu, umat Islam juga malah berantem sendiri di berbagai daerah.

Ini semua terjadi atas nama kebebasan berkeyakinan dan beragama. Menurut para pendukungnya, seperti AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), Ahmadiyah nggak boleh dibubarkan. Melarangnya sama dengan melanggar HAM dan kebebasan beragama.

Sebenarnya gimana sih soal kebebasan beragama? Apa bener Islam tuh selalu maksain keyakinannya pada pemeluk agama lain? En apa bener Ahmadiyah itu adalah islami? Itu semua kita bahas di gaulislam edisi ini. Loading…


Soal Ahmadiyah

Umat Islam memang pantes geram en kesel. Sebab, SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri yang dikeluarkan pada Senin, 9 Juni 2008 lalu sekadar “peringatan” untuk Jamaah Ahmadiyah. Bukan melarang apalagi membubarkan kelompok tersebut. Rencananya para ulama dan tokoh-tokoh Islam akan kembali meminta pemerintah untuk membuat SKB tentang pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah. Belum ada perubahan “status” SKB sampai tulisan ini dibuat.

Eksistensi jamaah Ahmadiyah juga didukung oleh sejumlah kalangan, di antaranya ya AKKBB itu. Para penggiat Ahmadiyah juga berkampanye kalo ajaran mereka nggak menyimpang dari Islam. Di koran Republika pada 23 Mei 2008, misalnya, mereka menulis kalo Ahmadiyah itu bagian dari jamaah Islam.

Pendapat mereka juga diperkuat oleh sejumlah orang yang mengaku kyai. Para ‘kyai’ ini bilang kalo kitab Tadzkirah yang dijadikan pegangan oleh jamaah Ahmadiyah, hanyalah kumpulan fatwa. Bukan kitab suci seperti yang dituduhkan banyak orang. Kesimpulan sejumlah kyai ini, tuduhan bahwa Ahmadiyah itu sesat adalah mengada-ada dan ngawur.

Pendukung Ahmadiyah yang lain adalah jamaah AKKBB. Bagi mereka, ajaran Ahmadiyah kudu dibela. Pasalnya dalam UUD 45 pasal 29 ayat 2, kan negara wajib menjaga kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Negara nggak mengatur mau berkeyakinan apa dan ibadahnya bagaimana, yang penting semua agama dan aliran layak hidup di bumi Indonesia. Lagian, kata mereka, itu adalah hak asasi manusia. Nggak boleh ada kelompok manapun yang memaksakan keyakinannya pada orang lain, atau melarang keyakinan tertentu.

Of course, pernyataan bahwa ajaran Ahmadiyah itu sesat, bukan cuma isapan jempol. Kitab Tadzkirah yang dikatakan sejumlah orang yang mengaku ‘kyai’ itu bukan cuma kumpulan fatwa lho, tapi sudah dianggap wahyu muqaddas (wahyu yang disucikan). Kemudian pengakuan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) sebagai nabi juga bukan tuduhan, emang dari sononya ia ngaku begitu. MGA berkata, “Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku RasulNya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatkan manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya’qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad saw, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi“. (Haqiqatul Wahyi, h. 72). (Majalah Sinar Islam (terbitan Ahmadiyah) edisi 1 Nopember 1985).

MGA juga mengkafirkan orang-orang yang tidak beriman kepadanya; “Seseorang yang tidak beriman kepadaku, ia tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. (Haqiqat ul-Wahyi, hal. 163). Juga perkataannya, “Sikap orang yang sampai dakwahku kepadanya tapi ia tak mau beriman kepadaku, maka ia kafir. (S.k. al-Fazal, 15 Januari 1935)

Bro en sis, Jemaah Ahmadiyah jelas-jelas mengkafirkan kaum muslimin. Basyiruddin, adik Mirza Ghulam Ahmad, berkata: Di Lucknow, seseorang menemuiku dan bertanya: “Seperti tersiar di kalangan orang ramai, betulkah Anda mengafirkan kaum Muslimin yang tidak menganut agama Ahmadiyah?” Kujawab: “Tak syak lagi, kami memang telah mengafirkan kalian!” Mendengar jawabanku, orang tadi terkejut dan tercengang keheranan (Anwar Khilafat, h. 92)

Ucapannya lagi: “Barangsiapa mengingkari Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul Allah, sesungguhnya ia telah kufur kepada nash Quran. Kami mengafirkan kaum Muslimin karena mereka membeda-bedakan para rasul, mempercayai sebagian dan mengingkari sebagian lainnya. Jadi, mereka itu kuffar!” (S.k. al-Fazal, 26 Juni 1922)

Dan Basyir Ahmad menegaskan lagi “Setiap orang yang beriman kepada Muhammad tapi tidak beriman kepada Ghulam Ahmad, dia kafir, kafir, tak diragukan lagi kekafirannya” (Review of Religions, No. 35; Vol. XIV, h. 110)

Nah lho, kalo ternyata udah mengaku sebagai nabi, bahkan mengkafirkan orang lain yang nggak mengimaninya, apa itu nggak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah? Kalo begitu, kyai-kyai yang kemarin ngebelain Ahmadiyah dari mana mereka punya alasan, ya? Jangan-jangan mereka juga kena dibohongin jamaah Ahmadiyah.

Guyz, makanya kamu kudu prihatin deh, kenapa aliran sesat itu dibiarkan tumbuh subur di tanah air. Malah jamaah Ahmadiyah ini diistimewakan oleh pemerintah. Khalifah IV Ahmadiyah di London, Thahir Ahmad pernah diundang ke Indonesia di masa reformasi. Kedatangannya atas prakarsa seorang cendekiawan muslim Indonesia. Waktu itu Khalifah IV ini disambut dan dipeluk oleh Ketua MPR yang juga tokoh reformasi kala itu.

Beragama, bebas?

Barangkali, susahnya memberantas aliran sesat seperti Ahmadiyah dikarenakan hari ini ada orang berteriak-teriak soal kebebasan berkeyakinan dan beragama. Menurut para pendukungnya, hal itu merupakan hak asasi manusia. Nggak boleh dipaksa atau dilarang. Udah mutlak kudu dijamin.

Pertanyaannya, apa iya kebebasan beragama juga berarti bebas untuk ngacak-ngacak agama? Kalo soal bebas memilih agama, sebenarnya udah nggak aneh dalam ajaran Islam. Agama kita emang nggak memaksakan manusia untuk masuk ke dalam agama Islam. Kamu pastinya udah apal betul dengan ayat, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”(QS al-Baqarah: 256). Ayat itu adalah garansi bahwa setiap insan nggak akan dipaksa memeluk agama Islam. Bo’ong banget kalo dikatakan bahwa Islam itu dipaksakan, apalagi dengan jalan kekerasan.

But, buat orang yang udah berada dalam agama Islam, nggak ada pilihan lain kecuali tunduk pada Islam. Allah Ta’ala berfirman;

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

“Sesungguhnya ucapan orang-orang beriman jika diseru kepada Allah dan RasulNya untuk berhukum di antara mereka adalah ‘kami mendengar dan kami taat’,” (QS an-Nuur [24]: 51)

Juga firmanNya (yang artinya):“Dan tidak pantas bagi orang beriman laki-laki dan orang beriman perempuan jika Allah dan RasulNya telah menetapkan satu keputusan, ada pilihan bagi mereka.” (QS al-Ahzab [33]: 36)

So, apa pantes seorang muslim menolak shalat lima waktu? Nggak puasa Ramadlan? Apalagi sampai mengacak-acak ajaran Islam, seperti ngaku-ngaku jadi nabi, jadi malaikat, dll. Untung aja nggak sampai ngaku jadi pocong atau kuntilanak. Halah!

Pada kenyataannya, nggak bakal ada umat beragama - agama manapun - yang rela ajarannya diacak-acak. Umat Kristiani, misalnya, pasti akan marah kalo jumlah tuhannya ditambah atau dikurangi. Atau Injil yang mereka pakai disebut bukan kitab suci, atau dianggap kurang. Atau lagi jika salibnya diubah, atau patung Yesus pada salib itu diganti dengan patung orang lain, pastinya mereka juga tidak terima bahkan marah. Betul nggak?

Ketika novel The Da Vinci Code karya Dan Brown keluar, banyak pastur dan tokoh Kristiani yang marah. Novel itu dianggap bisa merusak keyakinan umat Kristiani. Kemudian sejumlah buku dirilis oleh kalangan Kristiani untuk menyelamatkan keyakinan mereka. Maklum, dalam novel yang kemudian difilmkan oleh Tom Hanks, dikisahkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Padahal umat Kristiani percaya bahwa Yesus tidak menikah, apalagi Maria Magdalena dikenal sebagai seorang pelacur.

Begitu pula dengan agama-agama lainnya pasti umat mereka nggak bakal terima dan marah jika ajarannya diacak-acak. Umat Hindu misalnya pernah memprotes sampul novel Supernova karya Dewi Lestari karena membawa-bawa simbol agama mereka. Penyanyi Iwan Fals juga pernah berurusan dengan pengikut agama Hindu dalam kasus yang sama pada sampul kasetnya Manusia Setengah Dewa.

Jadi, kayaknya kebebasan beragama yang menjurus pada pengacauan agama atau penodaan agama, nggak bakal diterima oleh umat manusia. Lagian apa mau umat beragama saling menukar ajaran ibadahnya? Misalnya umat Kristiani kudu wajib shalat Jumat dan puasa Ramadlan sebulan penuh, atau orang Islam kalo meninggal jangan dikubur tapi dibakar dalam upacara Ngaben, dsb. Kayaknya nggak bakal ada yang rela tuh.

Lalu gimana dong kebebasan beragama yang sekarang lagi dikampanyekan? Wah, itu mah kampanye untuk menyudutkan Islam. Karena orang-orang yang berteriak kebebasan beragama selalu ngebelain Ahmadiyah, dan nyalahin kaum muslimin yang anti Ahmadiyah. Padahal udah jelas banget kalo jamaah Ahmadiyah itu ngerusak ajaran Islam.

Kalangan penyeru kebebasan beragama seperti AKKB juga sering menghina ajaran Islam. Guntur Romli, salah seorang aktivis AKKBB yang kena gebug FPI di Monas kemarin, dalam sebuah tulisannya di Jurnal Perempuan pernah memutarbalikkan ayat-ayat al-Quran untuk menghalalkan homoseksual dan lesbian. Ia juga pernah menulis di sebuah koran ibu kota kalau al-Quran itu hasil contekan dari kitab-kitab sebelumnya. Waduh, buruan tobat Mas!

Parahnya lagi, keberadaan mereka itu tak lebih dari perpanjangan tangan kaum imperialis Amerika Serikat. Ketika umat Islam di tanah air menuntut pembubaran Ahmadiyah, negara-negara Barat justru menekan pemerintah khususnya Departemen Agama agar tidak membubarkannya. Negara-negara itu adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris. Catet itu!

Sikap kita

Buat kita, udah jelas kalo beragama itu ada pedomannya. Nggak bisa kita berkeyakinan dan beribadah semau-maunya. Ngawur aja kalo orang bilang beragama itu bebas. Kalo begitu bisa-bisa orang bikin agama sendiri, nabi sendiri, kitab suci sendiri, bahkan punya tuhan sendiri (iiih).

Maka, semangat bebas dalam beragama itu nggak sejalan dengan ajaran Islam. Setiap muslim kudu taat en patuh pada syariat Islam dan berpegang pada akidah Islam. Kalo terjadi penyimpangan maka pelakunya kudu bertobat.

Terakhir, umat Islam kudu jernih ngelihat persoalan ini. Jangan gara-gara pemberitaan di televisi, majalah, koran en internet, kemudian kamu jadi bersimpati pada orang-orang yang menyuarakan kebebasan beragama. Padahal mereka tengah menyiapkan perangkap untuk merusak ajaran Islam. Ditambah lagi mereka punya misi untuk mempertahankan ajaran sesat Ahmadiyah.

Sayangnya, banyak orang Islam nggak nyadar. Mereka malah sibuk menyalahkan sesama muslim, lupa dengan masalah penodaan agama oleh Ahmadiyah. Sudah begitu, lebih rela berantem dengan ‘saudara sendiri’ ketimbang melawan musuh yang sesungguhnya. Lihat aja banyak kaum muslimin yang malah pada minta supaya FPI dibubarkan, bukannya ngelarang Ahmadiyah. Ah, kasihan umat Islam. Sudahlah agamanya dirusak, masih mau juga diadu domba. Hmm…. [iwan januar]

Kamis, 12 Juni 2008

Kutunggu Kalian di Surga

Dua puluh lima tahun sudah usia pernikahanku. Alhamdulillah, aku telah dikaruniai empat orang anak, Firdaus (23 th), Nikmah Syahidah (20 th), Nurul Azizah (10 th), dan Akhmad Fikri (3 th). Kami merasa cukup dengan apa yang kami miliki, walaupun secara materi kehidupan keluarga kami sangatlah pas-pasan. Bahkan dengan penuh perhatian, istriku selalu membimbing dan mengingatkan anak-anakku untuk selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya. Itulah yang membuat aku ikhlas untuk meninggalkan mereka demi untuk dakwah Islam. Aku tidak merasa gentar dengan semua cobaan yang menimpa mereka karena Allah-lah yang akan menjadi penolong dan pelindungnya.


“Bi, ada telpon ! “panggil Nikmah.

Panggilan Nikmah membuatku harus menghentikan pekerjaanku. Bergegas aku menuju ke telpon. Setelah kuterima telpon, aku menghampiri Nikmah yang sedang menyuapi Fikri. ” Nikmah, Ummi mana ?” tanyaku pada anak perempuanku yang selalu membantu Umminya merawat adik-adiknya.

“Di belakang Bi, sedang nyuci pakaian”, jawab Nikmah.

Benar, kudapati istriku sedang mencuci pakaian. Walaupun begitu, tak pemah kulihat istriku mengeluh ataupun marah karena kerjaan di rumah begitu banyak. Bahkan di depanku dan anak-anak selalu menampakkan wajah yang ceria, walaupun kondisi badannya sedang letih dan tidak enak badan. Ya..Allah, aku bersyukur kepada-Mu di masa yang sulit ini istriku masih tetap tabah dan sabar.

Memang, semenjak pimpinan di perusahaan tempat aku kerja mengetahui aku terlibat dengan gerakan yang ingin menerapkan hukum-hukum Allah dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah–, pimpinanku langsung mem-PHK-ku. Apalagi, semenjak penguasa negeri ini bekerja sama dengan AS dan sekutu-sekutunya untuk menumpas habis para dai yang ingin memperjuangkan Islam. Semua lapangan pekerjaan menjadi tertutup. Banyak dari kalangan pejuang Islam yang kesulitan mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan anak-anak mereka pun tidak bisa sekolah, termasuk anak-anakku.

“Mi!” panggilku dengan lembut, seraya memegang tangannya. Sejenak aku merasakan betapa kasar tangan istriku, karena semua pekerjaan berat dia kerjakan sendiri. Berbeda pada waktu ketika kami baru menikah, kami masih sanggup mempekerjakan pembantu.

“Ummi capek?” tanyaku penuh perhatian.

“Nggak kok, Bi. Cuma kurang tidur aja, semalam Fikri nangis terus. Badannya panas.? Tapi, Alhamdulillah, sekarang Fikri sudah nggak apa-apa.” jawab istriku datar.

“Bener, Ummi nggak apa-apa?” tanyaku dengan nada tidak percaya.

“Duuh, Abi masak nggak percaya sih sama Ummi” ia meyakinkanku.

“lya deh percaya,” sahutku.

“Masak sih Abi nggak percaya sama Ummi. Ummi itu kan orangnya tegar, rajin, cantik, pinter, penyayang, pengertian, keibuan lagi.” godaku.

“Ah, Abi. Ummi jadi malu nih, dipuji gitu!” wajah istriku merah merona. Walaupun dalam kondisi yang sulit ini aku berusaha menghibur hati istriku. Karena semenjak situasi negeri ini berubah, istriku lebih banyak di rumah.

ooOoo

“Fikri, ayo mulutnya dibuka! Ak … ak … emm!” bujuk Nikmah kepada Fikri seraya menyuapi.

“Hayo … tinggal dua sendok lagi. Cepet dihabiskan, nanti keburu

dimakan mbak Nurul Iho.”

“Mbak, minta dong, Fik!” goda Nurul yang dari tadi sedang asik dengan buku Sirah Nabawinya.

“Tuh… kan, mbak Nurul minta! Ayo, buka lagi mulutnya.” seru Nikmah,

“ak … ak, iya pinter. Kalau makannya banyak nanti cepet besar, biar bisa nemenin

Abi.”

Terus terang aku merasa bangga dengan anak-anakku. Semua tumbuh dan berkembang dengan norrnal. Aku tidak mau membeda-bedakan kasih sayang di antara mereka. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku tidak hanya ingin anak-anakku mulia di mata manusia, namun lebih dari itu aku ingin mereka mulia di sisi Allah. Aku ingin mereka menjadi pengemban dakwah. Aku ingin mereka menjadi pejuang-pejuang Islam. Karena dengan Islamlah mereka akan mulia.

Alhamdulillah, keinginan seperti ini bukan hanya keinginanku, ternyata istriku juga bercita-cita demikian. Memang aku dan istriku berasal dari latar belakang yang sama, yaitu sama-sama aktivis dakwah. Maka wajarlah kalau keinginanku dan keinginan istriku sama. Dan aku pikir memang harus seperti itulah cita-cita kaum muslimin.

“Bi, … Abi kok bengong?” sapa istriku,

” Nih, Ummi bikinkan teh hangat. Di minum dulu Bi biar badan lebih enakan.”

Entah, setiap aku melihat wajah istriku, aku semakin sayang. Bahkan, seakan-akan semua masalah jadi hilang. Terlebih lagi, kalau aku memandang wajahnya hatiku menjadi tentram.

“Bi, Abi kok bengong lagi? Abi, mikirin apa? ” Tanya istriku dengan lembut.

“Nggak kok, Mi.” jawabku datar.

“Abi cuma mau ngomong sama Ummi, kalau sebenarnya Abi itu…….” sengaja aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku penasaran.

“Sebenarnya apa Bi? tanya istriku penasaran. Aku pun tetap diam.

“Aah Abi…. Ummi jadi semakin penasaran nih,” kata istriku tidak sabar.

“lya deh, sebenarnya…. Abi itu…..” kembali aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku bertambah penasaran.

“Tuh kan, Abi mulai lagi.” gerutu istriku dengan manja.

“lya deh, ini beneran.” Kataku membujuk. Sambil memandangi wajahnya kupegang tangannya, aku pun melanjutkan kata-kataku.

” Mi…, sebenamya Abi itu sangat sayang sama Ummi. Abi cinta sama Ummi.”

Kulihat wajah istriku merah merona seraya menundukkan wajahnya karena malu dan mungkin bahagia. Aku pikir untuk menunjukkan kasih sayang kepada istriku tidak cukup dengan perbuatan, tapi harus dengan kata-kata pula. Entah kenapa, yang pasti menurutku hal ini sangat penting untuk dilakukan para suami kepada istri mereka.

ooOo

“Nurul, Mas Daus sama Mbak Nikmah mana?” tanya istriku kepada Nurul. Memang seperti biasanya setelah sholat Isya’ berjamaah kami melanjutkan makan malam bersama. Disinilah, biasanya kami saling berbagi cerita, sekaligus aku jadikan untuk forum tausiyah bagi anak-anakku.

“Firdaus, bagaimana …. sudah sholat istikharah dan dipikir masak-masak rencanamu untuk mengkhitbah teman adikmu itu?” tanyaku membuka forum tausiyah.

“Sudah Bi.” jawab Firdaus.

“Daus sudah mantap dengan pilihan Daus. Lagi pula dia juga dakwahnya bagus.”

“Ya…, kalau memang itu pilihanmu dan kamu juga sudah mantap, Abi sama Ummi setuju saja.” Kataku kepada putraku yang sulung ini.

“Abi sama Ummi cuma bisa mengingatkan saja kalau orang berumah tangga itu tidak sama dengan ketika kita berjalan di jalan aspal yang mulus. Pasti akan ada saja cobaan dan godaan.”

“Daus, orang menikah itu tidak cukup hanya berbekal kemampuan biologis dan harta, namun yang harus diperhatikan pula adalah kesiapan ilmu dan mental untuk menghadapi segala sesuatu.” timpal istriku.

“Dan itu tidak hanya dari satu pihak namun harus berasal dari kedua belah pihak, suami dan istri.”

“Apalagi, di jaman dan situasi seperti sekarang kita harus sabar dan tabah,” ujar istriku melanjutkan nasehatnya.

“Daus, apa yang disampaikan oleh Ummi itu benar. Oleh karena itu ingat baik-baik pesan Ummi.” Ujarku menegaskan.

“Kalau begitu, besok kamis, kita datang ke orang tuanya.”

“Kalau begitu, biar dik Nikmah saja besok yang ngasih tahu ke Aisyah kalau kita mau ke sana.” pinta Daus ke adiknya.

ooOoo

“Mi, anak-anak sudah ngumpul di ruang tengah?” tanyaku pada istriku.

“Sudah Bi.”

Sesaat aku menjadi ragu. Karena aku tidak tega kalau anak-anakku sedih apalagi shock. Tapi Istriku meyakinkanku kalau mereka insya Allah siap menerima kenyataan ini. Dengan didampingi istriku aku pun keluar kamar untuk berbicara dengan arak-anakku, terutama Firdaus, Nikmah dan Nurul.

“Kalian tahu kenapa Abi mengumpulkan kalian sekarang?” tanyaku kepada anak-anak.

“Tidak Bi.” Jawab mereka hampir bersamaan.

“Sebetulnya ada berita yang ingin Abi sampaikan kepada kalian.” tegasku.

“Kita semua tahu, kalau kita ini hidup untuk beribadah kepada Allah Swt.” ujarku berusaha menjelaskan kepada mereka.

“Nurul sudah pemah dikasih tahu sama Ummi?” tanyaku kepada Nurul.

“Sudah Bi.” Jawab Nurul sambil menganggukkan kepalanya.

“Dan makna kebahagiaan bagi kita sebagai seorang muslim yang sebenamya bukanlah dengan mendapatkan harta yang banyak, bukan pula dengan mendapatkan wanita yang cantik atau pria yang tampan, bukan pula dengan mendapatkan jabatan dan kekuasaan, dan juga bukan mendapatkan popularitas,” aku melanjutkan penjelasan.

“Kebahagiaan bagi kita yang sebenarnya adalah apabila kita dizinkan oleh Allah masuk ke surga-Nya”.ucapku sainbil memperhatikan wajah anak-anak.

“Dan untuk bisa masuk ke dalam surga haruslah mendapat keridhoan dari Allah. Dan keridhoan Allah hanya bisa kita dapatkan kalau kita mau menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.”

“Dakwah adalah salah satu aktivitas yang diwajibkan oleh Allah kepada seluruh kaum muslimin. Tidak terkecuali Abi”. Begitulah aku berbicara panjang lebar berusaha untuk memberitahu hal yang sebenarnya. Sesekali aku melihat wajah Nurul yang tampak serius dan tegang. Mungkin karena dia belum begitu mengenal dunia dakwah yang sebenamya. Nurul menjadi agak tegang. Ini berbeda dengan kedua kakaknya yang sudah mengenal betul dunia ini..

“Abi yakin kalian sudah paham mengenai perkara ini. Dan itulah aktivitas Abi yang sebenarnya. Abi tahu benar risiko yang akan dihadapi, tapi tak sedikitpun Abi takut,” ujarku meyakinkan mereka.

Semakin lama aku menjelaskan seakan-akan mulut ini semakin berat untuk mengucapkan. Dan hatiku merasa tidak tega menyampaikan berita ini kepada anak-anak. Tapi bagaimana pun juga, mereka harus tahu.

“Daus … Nikmah …. dan Nurul … dua hari yang lalu teman Abi ditangkap oleh aparat kepolisian ketika usai sholat shubuh di masjid Al-Hasanah. Bukan hanya dia, Ustad Is dan Abu Raihan juga ditangkap,” aku berusaha menjelaskan.

“Mereka ditangkap karena aktivitas dakwah yang mereka lakukan.” Sambil menarik nafas dalam-dalam aku melanjutkan kembali penjelasanku.

“Sekarang ini, teman-teman Abi dan juga Abi sedang di mata-matai oleh Intelijen.”

Kulihat mata Nikmah mulai merah seakan-akan menahan air matanya. Tapi aku tetap melanjutkan kata-kataku.

“Oleh karena itu, untuk sementara Abi tidak bisa tinggal bersama kalian. Abi harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari intaian intelijen. Segala urusan dan keperluan sehari-hari kalian akan dibantu oleh paman Ali.”

Aku melihat air mata Nikmah dan Nurul mulai membasahi pipinya. Kuhapus air mata mereka satu persatu seraya mendekap mereka. Kudekati Anakku Firdaus, kupeluk ia erat-erat.? Tak terasa air mataku pun berlinang.

Keesokan harinya setelah sholat shubuh berjamaah, aku masuk ke kamar menemui istriku yang sedang menyiapkan pakaian yang akan kubawa. Kulihat air matanya membasahi pipinya.

“Mi.., Ummi jangan menangis. Ummi harus ikhlas mengahadapi semua ini.” Aku berusaha menegarkan hati istriku.

“Abi minta maaf kalau selama ini Abi mengecewakan Ummi. Abi minta maaf kalau Abi tidak bisa memberikan apa-apa untuk Ummi. Abi juga minta maaf kalau selmna ini Abi belum bisa membahagiakan Ummi dan anak-anak” ucapku.

Tak terasa dadaku basah oleh air mata istriku. Aku bisa merasakan betapa sedih hatinya.? Belum pemah aku melihat istriku menangis seperti ini.

“Menangislah Mi……. menangislah! Keluarkan semua air mata Ummi, biar hati Ummi menjadi lega.”

Setelah istriku selesai menangis, kudekap istriku seraya membisikkan, “Kalau Ummi masih ingin menangis, menangislah. Tapi Abi berpesan, setelah Abi pergi Ummi jangan pernah menangis. Ummi harus tegar menghadapi semua ini.” Kulepaskan dekapanku perlahan-lahan lalu kugandeng tangannya kuajak keluar dari kamar untuk berpamitan dengan anak-anakku.

Kulihat diruang tengah, anak-anak sudah menungguku.

“Nurul…., Nurul harus jadi anak yang baik ya. Bantu Ummi sama Mbak Nikmah. Jadilah Nurul seperti Fatimah binti Muhammad saw.,” ucapku lembut. Kucium pipi Nurul yang basah oleh air matanya. Kudekap erat tubuh mungil Nurul dan dia pun membalas pelukanku. Dalam hati aku bersyukur kepada Allah kalau aku sudah diberi istri yang shalehah dan anak-anak yang shaleh dan shalehah pula.

Kulepaskan pelukanku perlahan-lahan dari tubuh Nurul. Aku berdiri mendekati Nikmah yang dari tadi menangis sambil memeluk Umminya. Kupandangi Istriku yang dari tadi berusaha menenangkan Nikmah.

“Nikmah…, ayo lihat ke Abi” kata istriku dengan lembut sambil menghadapkan wajah Nikmah kepadaku.

Kulihat mata putriku yang pertama ini sembab dan berwama merah. Kudekap ia erat-erat sambil berkata,” jangan menangis. Setiap perjumpaan pasti akan ada perpisahan. Nikmah harus ikhlas menghadapi semuanya. Serahkan semua ini pada Allah”

Kulepaskan dekapan Nikmah perlahan-lahan, sambil kuseka air mata di pipinya. Perlahan-lahan kudekati anakku yang paling sulung. Berbeda dengan adik-adiknya, kulihat Firdaus lebih tegar menghadapi kenyataan ini. Kudekap juga anakku yang sulung ini.

“Jangan kecewakan Abi. Kamu harus menjadi pembela Islam. Kamulah satu-satunya harapan Abi saat ini. Jaga adik-adikmu dan Ummi,” tegasku.

“Kamu harus tegar dan sabar.” Kukecup keningnya sebagai tanda perpisahan.

Sebelum pergi, kuhampiri Istriku. Kukecup keningnya dan berpesan, “Jaga baik-baik anak-anak kita. Jadikan mereka seperti para sahabat Rasulullah. Jadikan mereka sebagai pembela dan pejuang-pejuang Islam.”

Kubuka pintu rumah perlahan-lahan, sambil memandangi mereka kuucapkan salam. Semakin jauh langkahku meninggalkan mereka, semakin yakin pula kalau kami akan bertemu lagi. Wahai Istriku dan anak-anakku, kalaupun di dunia kita tidak bisa bertemu lagi, kutunggu kalian di surga.[]

Saatnya Menjadi Orang “Aneh”

angkat royaSore tadi, selepas shalat Ashar yang menyejukkan, aku halaqoh (ngaji) kitab Min Muqowwimat an-Nafisiyah al-Islamiyah, dalam bahasa Indonesianya kitab ini dapat berarti “Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah”. Jujur, kitab ini jika dibaca sendiri saja bisa membuat mata menitikkan air mata, apalagi jika dibimbing oleh seorang Musyrif (pembimbing). Dan Musyrif ku telah dengan elegan menerangkan paragraf demi paragraf. Ada beberapa kalimat yang membuatku terenyuh. Beliau kurang lebih bilang kayak gini :


“Antum itu orang Aneh, mau-maunya, sore-sore waktunya istirahat, sejuk begini waktunya nyantai-nyantai, ehh.. malah capek-capek kesini untuk halaqoh.”

Aneh. Kami semua tahu, kata-kata itu bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan kami atau memarahi kami. Tapi kata-kata itu hanya untuk menyegarkan suasana. Kenapa? Karena kalau mau aneh-anehan, yang paling aneh itu justru beliau sendiri, udah dateng jauh-jauh cuman untuk ketemu sama kita-kita yang culun ini, trus ngisi halaqoh lagi, nggak dibayar lagi. Halaqohnya itupun gak sebulan sekali atau seminggu kali, tapi dua kali tiap minggu, ya, dua kali tiap minggu. Belum lagi kunjungan-kunjungan beliau yang rutin setiap minggu ke kos-kosan kami. SubhanaLlah.. Benar-benar “aneh” musyrifku ini. Kok mau-maunya gitu lho..

“Al-Quran, itulah yang menggerakkan kita untuk capek-capek kesini, yang menggerakkan kita untuk terus bergelut di jalan dakwah. Al-Quran-lah yang telah menuntun kita untuk melakukan kerja sebagaimana kerjanya para Nabi, mengemban dakwah.”

Ya, memang bab yang dibahas waktu itu adalah “Memelihara al-Quran”. Dan beliau menceritakan bagaimana para sahabat yang mulia memelihara al-Quran. Para sahabat RasulaLlah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membasahi lisannya dengan al-Quran, membacanya dengan sungguh-sungguh, menelaah ayat-ayatnya, mengamalkan isinya dan mendakwahkannya, hingga jari-jemarinya pun menjadi saksi, seolah-olah mereka seperti al-Quran yang berjalan. Jiwa merekapun tergetar oleh ayat-ayat adzab, dan hati mereka pun menjadi senang karena ayat-ayat rahmat. Air mata mereka bercucuran karena tunduk terhadap kemukjizatan dan keagungannya, serta patuh terhadap hukum-hukum dan hikmahnya.

Sesuatu yang paling berharga bagi kaum Muslim umumnya, dan para pengemban dakwah khususnya, adalah bahwa hendaknya al-Quran senantiasa menjadi penyiram hati mereka, dan teman setia yang mengiringi setiap langkah mereka. Karena al-Quran akan membimbing mereka untuk meraih semua kebaikan, dan mengangkat kedudukan mereka lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Mereka harus senantiasa memeliharanya di tengah malam dan penghujung siang, dengan membaca, menghafal dan mengamalkannya, sehingga mereka akan menjadi sebaik-baik generasi khalaf, mewarisi generasi salaf yang terbaik.

Begitulah isi paragraf ketiga dari kitab yang sedang kami bahas bab Memelihara al-Quran.

Kita semua tahu, saat ini, al-Quran ditempatkan di hati-hati kaum muslimin tidak pada tempatnya. Kaum Muslimin saat ini cenderung hanya menempatkan al-Quran dalam lemari-lemari mereka yang rapat tertutup debu, sehingga hati merekapun tertutupi dari hidayah yang ditunjukkan oleh al-Quran. Mereka tahu bahwa kitab mereka itu al-Quran, tetapi mereka tidak meyakini kebenaran al-Quran, terbukti, dalam hati mereka masih ada rasa keberatan jika al-Quran memerintahkan mereka untuk berjihad, jika al-Quran memerintahkan mereka untuk menegakkan hukum qishosh, jika al-Quran memerintahkan mereka untuk menutup aurat, memakai jilbab dan mengenakan kerudung secara sempurna. Jiwa mereka terbawa arus dunia yang begitu kencangnya menerpa, hingga mereka tak mampu melawannya. Hanya orang-orang yang “aneh” sajalah yang bisa melawannya.

Ya, orang-orang yang “aneh”, orang-orang yang menghabiskan waktu mereka di jalan dakwah, orang-orang yang memeras tenaga dan jiwa mereka untuk menerapkan al-Quran, yang tega menghabiskan kapasitas memori otaknya untuk memikirkan keterpurukan umat, menyeru umat menuju jalan yang Haq, dan menjauhkan mereka dari jalan yang bathil.

Inilah orang-orang yang sebagian besar masyarakat saat ini menyebutnya sebagai orang-orang “aneh”, orang-orang yang tidak silau dengan gemerlapnya uang, berlimpahnya harta benda, tingginya jabatan, atau banyaknya gelar. Mereka inilah orang-orang yang dalam hati mereka terkatakan, “Hanya Ridho dan pahala dari Allah-lah yang kami harapkan, karena Dialah penguasa hari dimana kami akan hidup abadi selamanya, ya, selamanya, abadi”

Huuuuhhhhh……. BismiLlahirrohmaanirrohiim, kini saatnya bagi diriku, untuk menjadi orang “aneh”, Ya Allah.. ridhoi lah.. AlhamduliLlah..

“Akan datang suatu kaum kepada Allah pada hari kiamat nanti. Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari.

Abu Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai RasuluLlah?”

RasuluLlah bersabda, “Bukan, tapi kalian mempunyai banyak kebaikan. Mereka adalah orang-orang fakir yang berhijrah. Mereka berkumpul dari berbagai penjuru bumi.”

Kemudian beliau bersabda, “Kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing.”

Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang terasing itu?”

Beliau SAW bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih, yang jumlahnya sedikit diantara manusia yang buruk. Orang yang menentang mereka lebih banyak dari pada orang yang menaatinya.”

(HR Ahmad dan ath-Thabraani dari Abdullah bin Amru, ia berkata: Pada suatu hari saat matahari terbit aku berda di dekat Rasulullah SAW., lalu beliau SAW bersabda (yang artinya): [seperti hadits diatas]… al-Haitsami berkata hadits ini dalam al-Kabir mempunyai banyak sanad. Para perawinya shahih).

Selasa, 27 Mei 2008

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu

Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu
Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah saw. meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau saw. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12 orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah melakukan aktivitas wakalah.

Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak-belakang dan bertentangan.
Pemilu di dalam sistem demokratik, terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiiiki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam Undang-undang no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan:
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.”
Adapun tugas, wewenang dan kewajiban lembaga legislatif di atas (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) diterangkan dalam Undang-undang No. 22 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Tugas dan kewenangan MPR dicantumkan dalam bagian keempat, pasal 11, yakni:
a. mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilu dalam Sidang Paripurna MPR.
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatakan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dan dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
g. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.
Sedangkan kewajiban anggota MPR diatur dalam pasal 13, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
c. menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional.
Sedangkan tugas dan wewenang DPR ditetapkan dalam pasal 26. Tugas dan wewenang DPR ada 16 perkara, di antaranya adalah:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kewajiban anggota DPR dijelaskan dalam pasal 29, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Tugas dan wewenang DPD diatur dalam pasal 42; sedangkan tugas dan wewenang DPRD dijelaskan dalam pasal 62.
Di dalam undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD & DPRD,? juga dijelaskan dengan sangat gamblang bahwa DPR, DPRD memiliki tiga fungsi yang menonjol, yakni: (1) fungsi legislasi, (2) anggaran, (3) pengawasan. [lihat undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; pasal 25 dan pasal 61]
Inilah fakta-fakta yang berhubungan dengan tugas, wewenang, dan kewajiban badan legislatif yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik sekuler.
Selain itu, pemilu dalam negara demokratik merupakan mekanisme pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekuleristik, Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang no. 12 tahun 2003, Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bab I Ketentuan Umum, yang menyatakan:
“Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Lebih dari itu, di dalam undang-undang yang sama juga dinyatakan bahwa partai politik maupun perorangan tidak boleh mengkampanyekan materi-materi yang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dalam pasal 74 1 dinyatakan:
“Dalam kampanye pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rejim demokratik-sekuleristik yang jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat -badan legislatif- adalah lembaga yang bertugas membuat dan mengesahkan undang-undang. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, prinsip utama negara demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox poputi vox def”. Prinsip ini telah menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara (lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang.
Pemilu Dalam Sistem Pemerintahan Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala negara (khalifah).
Pada dasamya, fakta majelis ummat - dalam pemerintahan Islam - berbeda dengan fakta parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Keanggotaan, mekanisme pengambilan pendapat, dan wewenang majelis ummat berbeda dengan kenggotaan, mekanisme pengambilan pendapat dan wewenang yang ada dalam parlemen demokratik.
Keanggotaan. Dari sisi keanggotaan, majelis umat terdiri dari muslim dan nonmuslim, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, nonmuslim tidak diperkenankan memberikan aspirasi dalam hal pemerintahan maupun hukum. Mereka hanya berhak menyampaikan koreksi atau aspirasi-aspirasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan penerapan hukum negara. Sedangkan dalam sistem demokrasi, muslim maupun nonmuslim diberi hak sepenuhnya untuk menyampaikan aspirasi dalam hal apapun secara muflak.
Mekanisme pengambilan pendapat. Dari sisi mekanisme pengambilan pendapat, majelis umat terikat dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Tidak ada musyawarah dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum syara’ dan pendapat-pendapat syar’iyyah. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan nash-nash al-Quran dan sunnah. Kaum muslim hanya diwajibkan untuk berijtihad menggali hukum-hukum syara’ dari keduanya. Pengambilan pendapat dalam masalah hukum, harus ditempuh dengan jalan ijtihad oleh seorang mujtahid yang memiliki kemampuan, bukan disidangkan kemudian ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Dengan kata lain, tidak semua orang berhak dan mampu menggali hukum (ijtihad). Hanya orang-orang yang memiliki kemampuan saja yang berhak mengambil hukum dari nash-nash syara’. Jika ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan pendapat syariat, maka perbedaan ini harus dikembalikan kepada pendapat yang rajih (lebih kuat). Suara mayoritas maupun musyawarah mufakat tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan definisi dari suatu perkara, baik definisi yang bersifat syari’iyyah maupun non syari’iyyah; misalnya, definisi tentang hukum syara’, masyarakat, akal, dan lain sebagainya; harus dikembalikan kepada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak di idefinisikan. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara semacam ini, prinsip suara mayoritas tidak berlaku, bahkan tidak boleh diberlakukan.[1]
3. Perkara-perkara yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, maka pengambilan keputusan dalam masalah ini harus dirujukkan kepada orang yang memang ahli dalam masalah ini. Misalnya, untuk menetapkan obat apa yang paling mujarab untuk sebuah penyakit, kita harus bertanya kepada seorang dokter ahli. Pendapat dokter harus diutamakan dibanding dengan pendapat-pendapat orang yang tidak ahli dalam masalah ini, meskipun suaranya mayoritas. Rasulullah saw. menganulir pendapat beliau, dan mengikuti pendapat Khubaib bin Mundzir. Sebab, Rasulullah saw. memahami, bahwa Khubaib adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan posisi yang harus ditempati kaum muslim untuk bertahan. Dalam perkara-perkara semacam ini, pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara mayoritas, sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi -tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
4. Perkara-perkara yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan, atau masalah teknis, maka pe-ngambilan keputusannya didasarkan pada suara mayoritas. Hanya pada perkara ini saja prinsip suara mayoritas ditegakkan. Dalam sejarah dituturkan, bahwa para shahabat pemah mengambil keputusan untuk menyongsong musuh di luar kota Madinah berdasarkan suara mayoritas.[2]
Prinsip-prinsip pengambilan pendapat semacam ini tentu saja berbeda dan bertentangan secara diametral dengan mekanisme pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi. Dalam pandangan Islam, pengambilan pendapat hanya terjadi dalam hal-hal teknis dan perkara-perkara yang tidak mem-butuhkan penelitian dan kajian, Ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mekanisme pengambilan pendapat yang dilakukan oleh majelis umat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh anggota parlemen demokratik.
Kewenangan. Dari sisi kewenangan, majelis umat memiliki 4 kewenangan sebagai berikut;
1. Setiap hal yang termasuk dalam kategori masyurah (perkara-perkara yang bisa dimusyawarahkan; misalnya masalah teknis dan perkara yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian) yang berhubungan dengan urusan dalam negeri harus diambil berdasarkan pendapat majelis umat, misalnya, urusan ketatanegaraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat. Hal-hal yang berada di luar kategori masyurah, maka pendapat majelis umat tidak harus diambil. Pendapat majelis umat tidak harus diambil dalam urusan politik luar negeri, keuangan dan militer.
Majelis umat berhak meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap seluruh kegiatan yang terjadi sehari-hari, baik menyangkut urusan dalam negeri, keuangan maupun militer. Pendapat majelis umat dalam hal semacam ini bersifat mengikat selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at. Jika terjadi perbedaan pendapat antara majelis umat dengan penguasa dalam menilai suatu kegiatan dilihat dari sisi hukum syara’, maka semua itu dikembalikan kepada mahkamah madzalim.
2. Majelis umat berhak menyampaikan mosi tidak percaya kepada para wali dan mu’awwin. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat, dan khalifah wajib memberhentikan mereka.
3. Hukum-hukum yang akan diberlakukan khalifah dalam perundang-undangan disampaikan kepada majelis umat. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak mendiskusikan dan mengeluarkan pendapat, tetapi pendapatnya tidak mengikat.
4. Kaum muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak membatasi calon khalifah, dan pendapat mereka dalam hal ini bersifat mengikat, sehingga calon lain tidak dapat diterima.
Adapun fungsi parlemen (legislatif) yang paling menonjol di dalam sistem pemerintahan demokratik ada dua.
1. Menentukan policy dan membuat undang-undangan. Untuk itu, dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
2. Mengontrol badan eksektutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang teiah ditetapkan. Untuk itu, badan legislative diberi hak kontrol yang bersifat khusus.[3]
Fakta di atas menunjukkan bahwa, majelis umat dalam sistem pemerintahan Islam berbeda dengan parlemen yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Bahkan, keduanya adalah institusi yang saling bertolak belakang dan saling bertentangan.
Majelis umat tidak boleh disejajarkan dengan parlemen-demokratik. Sebab asas, tujuan, wewenang dan kewajiban keduanya berbeda dan saling bertentangan. Menyamakan majelis umat dengan parlemen yang ada di dalam sistem demokrasi sama artinya dengan menyamakan kebenaran dengan kekufuran. Untuk itu, seorang muslim tidak boleh mengidentikkan majelis ummat dengan parlemen, apalagi membuat analog hukum. Pasalnya, keduanya memiliki fakta sangat berbeda dan bertentangan.
Hukum Mencalonkan dan Dicalonkan Menjadi Anggota Parlemen Dalam Sistem Demokrasi
Meskipun hukum asal pemilu untuk memilih wakil rakyat (perwakilan) adalah mubah, namun demikian, seorang muslim tetap harus memperhatikan syarat-syarat yang ada di dalamnya. Selama syarat-syaratnya sesuai dengan al-Quran dan sunnah, maka absahlah aqad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika syarat-syaratnya bertentangan dengan al-Quran dan sunnah, maka aqad perwakilan itu batal.
Lantas, di dalam konteks sistem pemerintahan demokratik, apakah seorang muslim diperbolehkan mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi Islam dan kaum muslim di dalam parlemen? Dengan kata lain, apakah seorang muslim boleh menjadikan parlemen -dalam sistem demokratik-sebagai jalan untuk mendakwahkan dan menyua-rakan aspirasi umat Islam? Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya, ketika seorang telah menjalin aqad wakalah dengan orang lain sesuai dengan syarat-syarat Islam, maka absahlah syarat tersebut. Bila si fulan mewakilkan aspirasinya kepada fulan yang lain, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Demikian juga dalam pemilu saat ini. Seorang muslim boleh dicalonkan atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi. Bila perkara yang diwakalahkan adalah perkara mubah, sedangkan rukun dan syarat sah wakalahnya telah dipenuhi, maka sahlah aqad wakalah tersebut.
Namun, persoalannya tidak berhenti hingga di sini saja, akan tetapi berlanjut pada pertanyaan, “Apakah seorang yang dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat tersebut -ketika hendak memperjuangkan aspirasi dari orang yang mewakilkan- menggunakan cara dan wasilah yang sesuai dengan syariat Islam atau tidak? Dengan kata lain, apakah dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, wakil rakyat tersebut menggunakan cara-cara dan wasilah Islamiy ataukah tidak? Lantas, apakah pemilu dan parlemen merupakan wasilah Islamiy atau tidak?
Dalam konteks pemilu saat ini, seorang wakil rakyat harus menjadi anggota parlemen dan mengikuti seluruh mekanisme parlemen tatkala hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui parlemen. Sebab, ketika seseorang hendak berjuang melalui parlemen maka, orang tersebut harus berkecimpung dan terlibat di dalamnya. Tanpa melibatkan dan berkecimpung di dalamnya, seseorang - yang berjuang via parlemen- tidak mungkin bisa menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, parlemen dan seluruh mekanisme yang ada di dalamnya jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa menyatakan dengan tegas bahwa, parlemen (dengan sistem seperti sekarang ini) bukanlah wasilah syar’iy untuk memperjuangkan aspirasi Islam dan kaum muslim, Pasalnya, mekanisme parlemen jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Untuk itu, seorang muslim tetap tidak boleh mewakilkan suaranya kepada orang yang hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui wasilah yang tidak syar’iy (parlemen). Dengan ungkapan lain, seorang muslim tidak boleh menjalin aqad wakalah dengan scseorang yang menggunakan wasilah non-syar’iy untuk memperjuangkan aspirasinya.
Fakta pertentangan parlemen -asas dan mekanismenya-? dengan Islam terlihat dalam perkara-perkara berikut ini;
Pertama, asas yang digunakan pijakan untuk menetapkan undang-undang tidak merujuk kepada ‘aqidah dan syariat Islam, akan tetapi dibangun berdasarkan paham demokrasi-sekulerisme.
Pada dasamya, fungsi legislasi (penetapan hukum) merupakan fungsi paling menonjol dari parlemen. Jika fungsi menetapkan hukum ini masih berada di tangan wakil rakyat (anggota parlemen) - sesuai dengan prinsip demokrasi, vox populi, vox dei-, maka kita bisa menyatakan dengan tegas, bahwa keberadaan parlemen semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam, tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, hak untuk menetapkan hukum ada di tangan Allah Swt. semata, bukan di tangan rakyat maupun wakil rakyat.
Di sisi yang lain, keberadaan pemilu dan parlemen juga ditujukan untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebab, pemilu dan parlemen adalah mekanisme yang di desain untuk melakukan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik. Pembentukan pemerintahan dan kekuasaan baru harus dilakukan melalui mekanisme pemilu dan parlemen.
Atas dasar itu, gagal atau tidaknya pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik sangat ditentukan oleh gagal atau tidaknya pemilu dan parlemen. Jika pemilu gagal atau digagalkan, maka pergantian kekuasaan tidak akan terjadi, alias terputuslah mata rantai pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik. Akan tetapi, jika mekanisme pemilu dan parlemen ini berjalan dengan normal, maka secara otomatis proses pergantian kekuasaan akan terjadi secara sukses.
Dari sini kita bisa menyatakan bahwa, jika kaum muslim mengikuti pemilu dan melibatkan diri di dalamnya, maka secara tidak langsung, mereka juga turut andil dalam memuluskan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik sekuler. Dengan ungkapan lain, mereka juga turut andil dalam melahirkan dan melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebaliknya, jika kaum muslim tidak melibatkan diri dalam pemilu dan parlemen, maka ia telah berperan dalam menggagalkan lahirnya pemerintahan dan kekuasaan demokratik sekuler. Artinya, ia telah berperan dalam menghentikan keberlangsungan sistem pemerintahan demokratik sekuler yang bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, mekanisme pengambilan pendapat di dalam parlemen didasarkan pada prinsip-prinsip pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi, bukan Islam. Prinsip pengambiian pendapat yang paling menonjol dalam sistem parlemen demokratik adalah suara mayoritas (voting). Padahal, pada perkara-perkara tertentu, voting jelas-jelas melanggar prinsip dan syariat Islam. Misalnya, untuk menetapkan status hukum zina, homo seks, dan lain sebagainya, tidak boleh ditempuh dengan cara voting. Cara penetapan hukumnya harus didasarkan pada prinsip ijtihad dan pendapat yang paling kuat (rajih). Penetapan hukum pada perkara-perkara semacam ini tidak boleh dilakukan dengan cara voting, akan tetapi dengan cara istinbath (menggali hukum dari nash-nash al-Quran).
Ketiga, dari sisi keanggotaan. Keberadaan orang-orang kafir di dalam parlemen yang tidak dibatasi kewenangan dan kewajibannya, telah membuka peluang bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim, Kasus di Nigeria membuktikan bahwa pemilu telah membuka pintu lebar bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Seharusnya, kewenangan dan hak orang-orang kafir di dalam parlemen harus dibatasi.
Dalam pandangan Islam, orang-orang kafir tidak boleh memberikan aspirasi atau pendapat dalam hal-hal yang menyangkut urusan? penetapan hukum dan pemerintahan. Mereka hanya diperbolehkan menyampaikan laporan-laporan tentang penyimpangan atau kesalahan dalam penerapan hukum, dan tidak diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasi dalam perkara-perkara selain itu. Dengan kata lain, orang kafir hanya diberi kewenangan untuk menyampaikan tindak penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa Islam, baik dalam hal buruknya penerapan syariat Islam di suatu daerah, atau kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa Islam. Selain perkara-perkara semacam ini, mereka dilarang menyampaikan aspirasi maupun kritik.
Dari keseluruhan penjelasan di atas, lantas, apakah seorang muslim tetap diperbolehkan melakukan wakalah (dalam hal aspirasi) dengan seseorang yang akan memperjuangkan aspirasinya melalui sebuah mekanisme yang jelas-jelas bathil, yakni parlemen? Jawabannya adalah sebagai beriku:
Meskipun antara rakyat dan calon wakil rakyat telah terjadi aqad wakalah dan sah, akan tetapi selama wakil rakyat tersebut memperjuangkan aspirasi rakyat melalui jalan yang diharamkan -parlemen dan pemilu- tentu akad wakalah itu menjadi batal dan rusak, walaupun pada awalnya, akad wakalah tersebut ditujukan untuk koreksi dan muhasabah. Sebab, syarat untuk duduk di dalam parlemen nyata-nyata bertentangan dengan syarat-syarat Islam.
Melihat fakta dan realitas parlemen dan pemilu sekarang ini, kita bisa menyimpulkan bahwa, melibatkan diri dalam dua aktivitas tersebut adalah tindakan haram. Sebab, untuk menjadi anggota parlemen, para wakil rakyat harus mengakui beberapa prinsip yang bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka harus mengakui dan menerima asas parlemen yang tidak berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, ada syarat-syarat bathil yang harus diakui oleh siapa saja yang hendak menjadi anggota parlemen.
Salah satu syarat yang bertentangan dengan aqidah Islam adalah: setiap calon wakil rakyat harus mengakui prinsip-prinsip sekuler sebagai asas dan dasar negara. Syarat ini harus dipenuhi oleh siapa saja yang ingin menjadi anggota parlemen. Padahal, pengakuan terhadap prinsip dasar sekuler ini jelas-jelas merupakan tindakan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Syarat-syarat tersebut tercantum dengan sangat jelas dalam undang-undang no. 23 tahun 2003, yang mengatur tentang kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dalam undang-undang no. 23 tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 20 disebutkan tentang sumpah yang harus diucapkan oleh anggota DPR, DPRD (pasai 56] dan DPD [pasal 36]. Isi sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakihn Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal 29 juga dinyatakan dengan sangat jelas bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban; (a) melaksanakan Pancasila, (b) melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan, (c) melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan seterusnya.
Fakta di atas telah menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk duduk di dalam parlemen adalah syarat-syarat bathil yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, seorang muslim wajib menolak syarat-syarat tersebut di atas. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap syarat yang tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, meskipun 100 syarat, adalah bathil.”
Jika syarat-syarat keanggotaan parlemen saja sudah bathil, tentunya memilih calon anggota parlemen pun menjadi tidak absah.
Walhasil, meskipun dari sisi wakalah antara calon wakil rakyat dengan rakyat sudah sesuai dengan prinsip Islam, akan tetapi dengan adanya syarat keanggotaan parlemen yang bathil, telah mengubah status hukum wakalah yang mubah menjadi haram. Sebab, wakil rakyat telah menggunakan wasilah yang tidak Islamiy untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain itu, mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen, keanggotaan, dan tujuan-tujuannya bertentangan secara diawetral dengan Islam. Keanggotaan seorang muslim di dalamnya tentu adalah sesuatu yang diharamkan. Meskipun ia hanya mengambil satu fungsi saja, yaitu ?fungsi kontrol dan koreksi.
Untuk memberikan gambaran sederhana fakta dan hukum mencalonkan dan dicalonkan menjadi anggota parlemen demokratik dapat diterangkan sebagai berikut:
Fulan-1 telah mengikat akad wakalah dengan fulan-2 dalam perkara aspirasi, koreksi dan pendapat Islam. Fulan-1 sebagai wakil sedangkan fulan-2 adalah muwakkil. Selanjutnya. keduanya mengucapkan sighat taukil. Pada kasus ini, akad wakalah telah terselenggara dan sah menurut syariat Islam. Sebab, syarat dan rukun wakalah telah terpenuhi. Selanjutnya, fulan-1 (wakil) pergi ke KPU mendaftarkan diri sebagai calon anggota wakil rakyat; atau bisa jadi, fulan-1 telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat, kemudian baru berakad wakalah dengan fulan-2.
Yang perlu dicermati adalah, pada saat wakil (fulan-1) mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil rakyat di KPU, dirinya harus mematuhi prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU. Selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak bertentangan dengan Islam, maka secara hukum wakil (fulan-1) diperbolehkan turut serta dan terlibat dalam parlemen dan pemilu. Akan tetapi, selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak sesuai dengan syariat dan ‘aqidah Islam -meskipun satu syarat- , maka wakil (fulan-1) diharamkan untuk meneruskan menjadi calon wakil rakyat yang berkecimpung di dalam parlemen. Sebab, syarat-syarat yang diajukan oleh KPU telah bertentangan dengan Islam.
Fakta saat ini menunjukkan bahwa ada syarat yang diajukan oleh KPU yang bertentangan dengan Islam. Di antaranya adalah, para calon wakil rakyat harus mengakui asas tunggal dan kesetiaannya dengan sistem sekuler. Pada kondisi semacam ini, maka calon wakil rakyat tidak mungkin bisa berkecimpung di dalam pemilu dan parlemen, dikarenakan pada langkah-langkah awal dirinya telah dicegat dengan syarat-syarat yang tidak Islamiy.
Jika syarat untuk menjadi wakil rakyat saja bathil, tentunya rakyat tidak boleh mencalonkan atau dicalonkan menjadi wakil rakyat.
Seandainya syarat-syarat menjadi anggota parlemen adalah sah, namun mekanisme pengambilan pendapat, tugas, fungsi, hak dan kewenangannya bertentangan dengan Islam, maka seorang muslim juga tidak boleh masuk dan menjadi anggota di dalamnya. Sebab, seorang muslim tidak dibenarkan berkecimpung dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan Syariat Islam atau tolong menolong dalam hal kemaksiatan. Allah Swt. berfirman, artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu sekalian dalam hal kebaikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan.” [al-Maidah: 2]
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa bekerjasama dan tolong menolong dalam kebathilan merupakan bagian dari kemaksiatan itu sendiri.
Hukum Menjadi Anggota Parlemen
Bila syarat-syarat untuk menjadi anggota parlemen nyata-nyata bertentangan dengan Islam, tentu kita tidak bisa menyatakan bahwa keanggotaan kaum muslim di dalam parlemen hanya dijadikan sebagai wasilah untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat, sehingga syarat yang bathil pun boleh diterima. Dengan kata lain, calon wakil rakyat absah-absah saja menerima syarat-syarat bathil itu selarna tujuannya adalah untuk melakukan koreksi dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Pernyataan semacam ini adalah pernyataan bathil yang tidak sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah yang suci tidak boleh ditempuh dengan ?cara-cara keji dan bertentangan dengan syariat Islam.
Di sisi yang lain, keanggotaan dalam parlemen mengharuskan dirinya untuk bertanggungjawab terhadap semua keputusan yang terlahir dari parlemen. Jika parlemen membuat keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam misalnya, undang-undang perbankan ribawiy, maka seluruh anggota parlemen bertanggungjawab atas keputusan itu. Walaupun keputusan itu tidak disetujui oleh beberapa wakil rakyat dari partai Islam, akan tetapi ketika keputusan itu telah ditetapkan, maka ia tetap dianggap sebagai keputusan parlemen, bukan keputusan atas nama sebagian anggota parlemen. Lantas, dalam kondisi semacam ini apa yang dilakukan oleh anggota parlemen muslim?
Dalam kondisi semacam ini setiap anggota parlemen yang konsens dengan syariat Islam harus keluar dari keanggotaan parlemen, dan tidak boleh hanya sekedar melakukan walk out; jika dirinya tidak bisa mencegah lahirnya keputusan-keputusan yang tidak islamiy. Sebab, seorang muslim harus menghindarkan diri dari keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Imam Nawawiy dalam syarah shahih Muslim, ketika menjelaskan hadits Rasulullah saw, “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ?hendaknya ia ubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, maka ubahlah dengan hati; dan ini adalah selemah-lemahnya iman.”[HR. Muslim]; menyatakan, bahwa maksud mengubah dengan hati di sini tidak cukup berdiam diri dan menolak dalam hati, akan tetapi ia harus menghindari kemungkaran tersebut. Maksudnya adalah, jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia harus menghindarkan diri dan tidak ikut campur dan teriibat di dalamnya, Misalnya, tatkala ada sekelompok orang sibuk membincangkan dan memutuskan aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam, maka jika dirinya tidak mampu mengubah keputusan itu, maka ia harus keluar dari forum tersebut dan menunjukkan sikap ketidaksenangannya. Ia tidak diperkenankan tetap duduk, atau bahkan menjadi anggota forum tersebut, meskipun hatinya menolak. [Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, lihat tentang bab al-Iimaan]
Para khalifah di masa kejayaan Islam menjatuhkan hukuman cambuk bagi orang yang berada di dalam majelis khamer, meskipun ia tidak ikut serta minum dan hatinya menolak. Para ulama memahami bahwa berdiam diri atau tetap berada di dalam majelis kemaksiatan sama artinya dengan melibatkan diri dalam kemaksiatan itu sendiri. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah saw. menggambarkan orang yang berdiam diri terhadap kemungkaran dengan setan bisu.
Haramnya seorang muslim berada dalam suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt., telah ditegaskan oleh Allah Swt. di dalam al-Quran al-Karirn. Dalam surat al-An’am ayat 68 disebutkan:
Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu. [al-An’am: 68].
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisaa’: 140
Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,“Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka“ [al-Nisaa’: 140]
Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika engkau melihat orang-orang kafir mengolok-olok al-Quran dengan kebohongan dan kedustaan dan olok-olok, ?maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka sampai mereka mengatakan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olokan dan pendustaannya.“[Ali al-Shabuniy, Shafwaatal-Tafaasir, juz I, hal.397] Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi saw. dan al-Quran, orang-orang musyrik itu lantas mencela dan mengolok-oloknya. Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka mengalihkan kepada pembicaraan lainnya.” [Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, juz II, hal.437]
Dalam menafsirkan surat al-Nisaa’:140, Ali al-Shabuniy berkata, “Telah diturunkan kepada kalian, suatu perintah yang sangat jelas bagi orang-orang yang nyata-nyata beriman. Perintah itu adalah; jika kalian mendengar al-Quran diingkari dan diolok-olok oleh orang-orang kafir dan para pengolok, maka janganlah kalian duduk bersama orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah itu, sampai mereka mengalihkan pada pembicaraan lain dan tidak lagi mengolok-olok al-Quran. Namun, jika kalian tetap duduk bersama mereka, maka kalian tidak ubahnya dengan mereka dalam hal kekufuran” [Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I, hal. 312]
Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‘iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan, bahwa orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, dan mengingkari ayat-ayat Allah, sementara forum itu tidak pernah berubah untuk meng-ingat Allah, maka siapapun yang ada di dalamnya -meskipun hatinya menolak- telah terjatuh kepada tindakan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok, dan mengingkari ayat-ayat Allah, di-qarinahkan {diindikasikan) dengan firmanNya, “sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka” [al-Nisaa’: 140]
Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap orang yang terlibat dalam dan berdiam diri terhadap forum-forum seperti itu, telah terjatuh kepada tindak keharaman, dan berserikat dalam kekufuran.
Lantas, apakah fakta parlemen kita sudah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah Swt., sehingga bisa diberlakukan hukum yang terkandung dalam surat al-An’am:68 dan al-Nisaa’:140? Jawabnya: parlemen kita telah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt. Ini didasarkan pada kenyataan berikut ini;
Pertama; MPR di negeri ini bertugas (sesuai dengan ketetapan MPR) mengangkat presiden dan wakil presiden. Apakah tindakan semacam ini tidak tergolong tindakan mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah. Sebab, pemimpin kaum muslim bukanlah presiden, raja, atau PM; akan tetapi khalifah/Imam/Amirul Mukminin. Sistem pemerintahan dalam Islam pun bukan presidensil, akan tetapi sistem Khilafah ?Islamiyyah. Lantas, apakah dibenarkan secara syar’iy, ada sekelompok orang berbondong-bondong menjadi anggota sebuah majelis untuk menelorkan produk-produk yang bertentangan dengan syari’at Allah; bahkan, memilih pemimpin dan mencgakkan sistem pemerintahan yang sangat bertentangan dengan Islam? Jawabnya sangat jelas: haram.
Kedua; mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen didasarkan pada prinsip suara mayoritas (voting). Apakah prinsip ini dibenarkan dalam Islam?
Dalam hal-hal tertentu mekanisme pengambilan keputusan memang didasarkan pada suara terbanyak. Misalnya, hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas praktis dan hal-hal yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian mendalam. Rasulullah saw. pemah mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota.
Selain perkara di atas, keputusan tidak boleh ditetapkan berdasarkan mekanisme voting. Contoh dari perkara yang tidak boleh ditetapkan berdasarkan voting adalah perkara-perkara yang telah ditetapkan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’. Misalnya, kewajiban mengerjakan sholat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan sholat lima waktu kita harus menunggu hasil voting terlebih dahulu? Kita tidak mungkin menjawab, bahwa untuk memutuskan apakah sholat harus dikerjakan atau tidak, harus didasarkan pada hasil voting terlebih dahulu. Sungguh, siapa saja yang menvoting, apakah sholat itu perlu dikerjakan atau tidak, maka dirinya telah terjatuh kepada perbuatan haram.
Keterangan ini semakin menguatkan bahwa, selama mekanisme dan aturan main parlemen bertentangan dengan Islam dan tidak pernah berubah, maka seorang muslim diharamkan menjadi anggotanya dan duduk-duduk di dalamnya, meskipun hatinya menolak dengan cara walk out. Pertanyaan berikutnya adalah, apa hukum berwakalah dengan seseorang yang mau menerima syarat-syarat yang bathil? Dcngan kata lain, bolehkah kita memilih seseorang untuk menyuarakan syariat Islam, sementara itu wakilnya tersebut mengakui syarat-syarat yang tidak Islamiy?
Jawabnya, akad semacam telah batal dari sisi asasnya. Sebab, jika kita tetap berwakalah dengan dirinya, sama artinya kita mengiyakan syarat-syarat non syar’iy yang telah diterima oleh calon wakil rakyat. Oleh karena itu, aqad wakalah yang dijalin dengan calon wakil rakyat yang mengiyakan syarat-syarat bathil adalah aqad yang bathal dan tidak boleh dilanjutkan. Mencalonkan diri atau orang lain untuk menjadi anggota parlemen meskipun ditujukan untuk menggunakan salah satu fungsi parlemen, yakni fungsi koreksi dan muhasabah, merupakan tindakan haram yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Benar, melakukan koreksi dan muhasabah merupakan kewajiban setiap kaum muslim. Akan tetapi, dalam melakukan koreksi dan muhasabah, seorang muslim mesti terikat dengan aturan-aturan Allah Swt. dan menggunakan cara dan wasilah yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
Seandainya berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah haram, lantas, apakah ada jalan lain untuk menerapkan syariat Islam selain melalui parlemen atau pemilu?
Kesalahan Paralaks
Pada dasarnya, pemilu dan parlemen bukanlah satu-satunya cara untuk memperjuangkan syariat Islam. Masih banyak cara dan altematif lain yang bisa ditempuh oleh kaum muslim untuk memperjuangkan tertegaknya syariat klam. Yang penting, cara yang ditempuh tersebut sesuai dengan aqidah dan syariat Islam.
Pada dasarnya, pandangan-pandangan keliru tentang pemilu dan parlemen beranjak dari kesalahan paralaks. Kesalahan paralaks ini telah mengakibatkan lahirnya fatwa-fatwa dan strategi perjuangan yang salah. Kesalahan paralaks ini terwajahkan pada pandangan-pandangan berikut ini.
1.Selama ini, pemilu dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kekuasaan dan menerapkan syari’at Islam. Meskipun mereka tidak menyatakan hal ini secara terbuka, akan tetapi alasan-alasan yang mereka ketengahkan telah menunjukkan dengan sangat jelas, keterjebakan mereka dalam kesalahan paralaks ini. Misalnya, alasan yang menyatakan, bahwa jika tidak mengikuti pemilu, maka parlemen akan dikuasai orang kafir. Muncul juga statement bahwa, mengikuti pemilu berhukum wajib berdasarkan kaedah “maa laa yatimm al-waajib illa bihi fahuwa waajib”; “akhdz akhaff al-dlararain”, dan sebagainya. Alasan-alasan ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mereka telah menganggap pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menerapkan syariat Islam.
2.Penerapan syariat Islam bisa ditempuh melalui jalan haram, selama di dalamnya ada kemashlahatan. Sebagian dari kaum muslim menyadari bahwa ada perkara dan mekanisme tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Misalnya, fungsi penetapan hukum (legislasi) serta mekanisme pemilu untuk mengangkat presiden. Padahal, kewenangan untuk menetapkan hukum tidak ada di tangan parlemen, akan tetapi di tangan Allah Swt. Dari sisi sistem pemerintahan, presiden bukanlah kepala negara yang absah menurut syariat. Kepala negara yang absah dalam pandangan Islam adalah khalifah, imam, atau amirul mukminin. Jika pemilu ditujukan untuk memilih presiden, sama artinya kita telah melanggengkan sistem pemerintahan republik yang sangat bertentangan dengan Islam. Sayangnya, calon-calon wakil rakyat dan sebagian besar masyarakat telah mengabaikan perkara-perkara ini, dengan alasan madlarat dan kemashlahatan umat.
Seharusnya, pemilu dipandang sebagai cara (uslub) untuk mengganti kepala negara dan memilih wakil rakyat yang berhukum mubah.
Tatkala kedudukan pemilu sebatas hanya uslub, maka hukum tentang pemilu ditetapkan berdasarkan mekanisme, dan syarat-syarat yang ada dalamnya. Selama syarat-syaratnya sejalan dengan syariat Islam, maka hukumnya tetap berada dalam wilayah mubah. Sebaliknya, tatkala di dalamnya ada mekanisme dan syarat yang bertentangan dengan Islam, maka terlibat maupun berkecimpung di dalamnya adalah tindak yang diharamkan oleh Allah Swt.[Selesai]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...