Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Minggu, 14 Agustus 2011

Pendidikan Gratis dan Bermutu Dalam Islam


262817_10150252409840658_175817530657_8053020_2995201_n.jpg (608×454)
Oleh: Hafidz Abdurrahman


Islam bukan hanya memandang pendidikan sebagai perkara penting, tetapi Islam telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat, bersama kesehatan dan keamanan. Karena itu, Islam bukan hanya menjamin terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan tetapi Islam juga mewajibkan setiap warga negara untuk menuntut ilmu, dan mewajibkan negara untuk memberikan layanan nomor satu kepada rakyatnya dalam bidang pendidikan.

Nabi bersabda, "Tuntutlah ilmu meski sampai ke Cina. Karena, menuntut ilmu hukumnya fardhu bagi setiap orang Muslim." (Al Khathib Al Baghdadi, ArRihlah fi Thalab Al Hadits; As Suyuthi, Jami' Al Masanid wa Al Marasil, Juz 1/463). Artinya, mengutip penjelasan Al 'Allamah Al Manawi, betapapun jauhnya tempat ilrnu itu berada, maka kita diperintahkan untuk mencarinya. Sebab, mencari ilmu hukumnya adalah fardhu (Al Manawi, Faidh Al Qadir, Juz 1/543). Dari sini, bisa disimpulkan bahwa kewajiban menuntut ilrnu tidak mengenal batas teritorial. Selain tidak mengenal batas teritorial, menuntut ilmu juga tidak mengenal batas waktu, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi kepada para sahabat. Mereka menuntut ilmu hingga wafat.

Menuntut ilmu merupakan kewajiban, di mana pendidikan merupakan proses ilmu tersebut ditransformasikan kepada masyarakat, maka kebutuhan akan pendidikan merupakan keniscayaan. Karena itu, negara wajib menjamin tersedianya layanan pendidikan untuk seluruh rakyatnya. Ini ditunjukkan dengan kebijakan Nabi SAW ketika menjadi kepala negara, saat menjadikan kaum kafir Quraisy sebagai tawanan, maka tebusan pembebasan mereka adalah dengan mengajari kaum Muslim baca tulis (Ibn Hisyam, as-Siroh an-Nabawiyah, Juz I/).

Hak Dasar Rakyat dan Kewajiban Negara

Ilmu merupakan kunci dunia dan akhirat. Dengan ilmu, dunia dan akhirat bisa dikuasai. Generasi terbaik umat Islam ini telah menguasai dunia, sekaligus mendapatkan kebaikan akhirat, melalui penguasaan mereka akan ilmu. Ilmu ini mereka peroleh melalui proses edukasi. Menyadari kebutuhan mereka akan ilmu, para sahabat pun terus-menerus belajar tanpa mengenal usia. Al Bukhari meriwayatkan, bahwa para sahabat Rasulullah SAW terusmenerus belajar, meski di usia mereka yang sudah senja (AI Bukhari, Shohih Al Bukhari, Juz 1/26). Demikian pula bagi para sahabat yang masih belia, mereka juga tidak mau ketinggalan. Ali bin Abi Thalib, yang disebut oleh Nabi sebagai pintu kota ilmu (babu al-Madinah), dan Ibn Abbas yang disebut sebagai penafsir Alquran (turjuman al-Qur'an) sama-sama telah belajar sejak usia 7 atau 8 tahun. Sayyidina 'Ali menuturkan, "Belajar di waktu kecil
seperti memahat di atas batu." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/162).

Pada zaman Nabi SAW dan para Khulafa' Rasyidin setelahnya, masjid Nabawi telah dijadikan sebagai tempat belajar. Nabi membentuk halqah ilmu, demikian juga para sahabat. Al Imam Al Yusi, dalam kitabnya, Al Qanun, menuturkan bahwa model penyampaian ilmu seperti sekarang sebenarnya bersumber dari praktik Nabi yang dilakukan kepada para sahabat Baginda di majelis-majelis ilmu. Ketika itu, masjid menjadi pusat belajar-mengajar. Umar menuturkan, "Barangkali orang yang masuk masjid, bisa diumpamakan sebagai kuda yang berhamburan. Jika dia melihat majelis kaumnya dan melihat orang yang dia kenal, maka dia duduk bersamanya." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/152). Hingga sekarang di Masjid Naba¬wi maupun Masjid Al Haram, hal¬qah ilmu ini masih berjalan.

Tidak hanya itu, menyadari akan kewajiban negara, “Imam adalah penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR Al Bukhari), maka negara Islam pun menyediakan infrastruktur pendidikan kelas satu untuk seluruh rakyatnya. Mulai dari sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga biaya pendidikan yang lebih dari memadai.

Pada zaman Abbasiyah, Al Kuttab (sekolah dasar) banyak didirikan oleh Khilafah, menyatu dengan masjid. Di sana juga dibangun perpustakaan. Pendidikan tinggi pertama pada zaman itu adalah Bait Al Hikmah, yang didirikan oleh Al Ma'mun (830 M) di Baghdad. Selain berfungsi sebagai pusat penerjemahan, juga digunakan sebagai pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium (Philip K Hitti, History of the Arabs, 514-515). Setelah itu,
baru muncul Akademi Nidzamiyyah yang dibangun antara tahun 1065-1067 M. Akademi yang kemudian dijadikan oleh Eropa sebagai model perguruan tinggi mereka (Reuben Levy, A Baghdad Chronide, Cambridge: 1929,193).

Di Cordoba, Spanyol, pada zaman itu juga telah berkembang Le Mosquet yang asalnya merupakan gereja, kemudian dialihfungsikan sebagai masjid, lengkap dengan madrasah, dengan berbagai fasilitas pendidikan lainnya. Lembaga pendidikan telah menelorkan ulama sekaliber Al Qurthubi, As Syathibi, dan lain-lain. Tidak hanya ahli tafsir dan usul, akademi pendidikan di era Khilafah juga berhasil melahirkan para pakar di bidang kedokteran seperti Ali At Thabari, Ar Razi, Al Majusi dan Ibn Sina; di bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan; astronomi dan matematika, Mathar, Hunain bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, Ali bin Isa Al Athurlabi dan lain-lain; geografi, seperti Yaqut Al Hamawi dan Al Khuwarizmi; historiografi, seperti Hisyam Al Kalbi, Al Baladzuri, dan lain-lain. Mereka merupakan produk akademi pendidikan di era Khilafah.

Gratis dan Bermutu

Fakta sejarah di era keemasan Islam di atas rnembuktikan, bahwa kualitas output pendidikan yang dihasilkan oleh Khilafah telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan kelas satu seperti itu diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Karena itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Khilafah bukanlah isapan jempol.

Pendidikan gratis tetapi bermutu bisa diwujudkan oleh Khilafah karena Khilafah mempunyai sumber pendapatan yang sangat besar. Selain itu, kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat melalui skim pembiayaan pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain. Dengan cara yang sama, negara juga bisa membangun infrastruktur pendidikan yang lebih dari memadai, serta mampu memberikan gaji dan penghargaan yang tinggi kepada ulama atas jasa dan karya mereka. Dari pendidikan dasar, menengah hingga atas, yang menjadi kewajiban negara, tidak sepeser pun biaya dipungut dari rakyat. Sebaliknya, semuanya dibiayai oleh negara. Anak-anak orang kaya dan miskin, sama-sama bisa mengenyam pendidik¬an dengan kualitas yang sama.

Dengan filosofi, "Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya." (HR Al Bukhari), kewajiban untuk memberikan layanan kelas satu di bi¬dang pendidikan ini benar-benar dipikul oleh negara. Jika kas negara tidak mencukupi, maka negara berhak mengambil pajak secukupnya dari kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan ini (Al 'Allamah Syaikh Taqiyuddn An Nabhani, Muqoddimatu Ad Dus¬tur, hal. 364-370).

Begitulah cara Islam, melalui institusi Khilafah, merealisasikan pendidikan gratis dan bermutu. Wallahu a'lam.

Mimpi Para Ulama Bukan Sembarang Mimpi


285153_10150253295555658_175817530657_8066003_6036616_n.jpg (288×398)Oleh : K.H. M. Shiddiq al-Jawi




Apakah Anda tadi malam bermimpi? Apa mimpi Anda? Kata orang, mimpi hanyalah kembang (bunga) orang tidur. Maksudnya, mimpi tidak bermakna signifikan. Tapi, sebenarnya tidak semua mimpi tak ada artinya.


Mimpi dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-hulmu (jamaknya : al-ahlaam), atau al-manaam, atau al-ru`yaa. Definisi mimpi adalah apa yang dilihat oleh orang yang bermimpi dalam tidurnya (maa yaraahu al-naa`im fi naumihi). (Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jamul Wasith, hlm. 195; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqahaa’, hlm. 142).


Menurut Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Sulthan bin Surur dalam kitabnya Tafsir Al-Ahlam Juz I hlm.131-132, mimpi itu secara garis besar ada 2 (dua) macam. Pertama, mimpi yang benar (shahih), yaitu mimpi yang berasal dari Lauhil Mahfuzh. Misalnya, mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Kedua, mimpi yang tidak benar, atau mimpi yang rusak (fasid). Mimpi jenis kedua ada beberapa macam. Di antaranya apa yang disebut haditsun nafs, yaitu cetusan perasaan jiwa. Misalnya orang yang dalam keadaan sadar menyaksikan sesuatu, lalu dalam mimpinya dia menyaksikan sesuatu itu.


Walhasil, mimpi itu tak semuanya omong kosong. Ada mimpi yang benar (shahih). Nah, bagi sebagian orang, mimpi yang benar ini merupakan inspirasi atau penguat motivasi untuk menghasilkan karya-karya agung (magnum opus) yang sangat monumental dan spektakuler. Para ulama tak sedikit menghasilkan berbagai prestasi atau karya besar dengan inspirasi mimpi seperti ini.


Imam Buwaithi, seorang mujtahid mazhab Syafi’i, berkata,"Imam Syafii datang kepada kami di Mesir dan dia banyak membantah Imam Malik. Maka akupun menuduhnya [yang bukan-bukan] namun aku tetap kebingungan. Aku pun memperbanyak sholat dan doa dengan harapan agar Allah menunjukkan kepadaku mana dari keduanya yang haq. Lalu aku melihat dalam mimpiku bahwa kebenaran ada bersama Imam Syafii…" (Musthafa Abdur Razaq, Tamhid li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, hal. 224; dikutip oleh Ahmad Nahrawi Abdus Salam, Al-Imam Asy-Syafii fi Madzhabaihi Al-Qadim wa Al-Jadid, hal. 71).


Imam Saifuddin Al-Amidi, pengarang kitab Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, berkata,"Aku bermimpi seakan-akan ada suara yang mengatakan,'Ini adalah rumah Imam Ghazali.' Aku pun masuk ke dalamnya dan aku temukan sebuah peti mayat (tabut). Lalu aku buka peti itu dan aku dapati Imam Ghazali ada di dalamnya dengan kain kafannya, yang terbuat dari kain katun. Lalu aku menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan aku pun menciumnya.' Ketika aku bangun, aku berkata pada diriku sendiri,'Adalah layak bagiku untuk menghapalkan perkataan Al-Ghazali.' Aku pun mengambil kitab Al-Mustashfa karya Imam Ghazali kemudian menghafalnya dalam waktu singkat." (Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Bab Tarjamah Al-Mu`allif, Juz 1, Beirut : Darul Fikr, 1996).


Imam Bukhari (194-256 H/810-870 M), penulis kitab hadits paling top, yaitu Shahih Al-Bukhari, pernah berkata,"Aku bermimpi melihat Nabi SAW, seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir mimpi. Ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadis Rasulullah SAW. Mimpi inilah antara lain yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' Ash-Shahih [Shahih al-Bukhari]." (Muhammad Muhammad Abu Syu'bah, Kitab Hadis Sahih yang Enam (fi Rihab As-Sunnah : Al-Kutub Ash-Shihah As-Sittah), Penerjemah Maulana Hasanudin, [Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa], 1991, hal. 46).


Imam Taqiyuddin An-Nabhani (1909-1977), pendiri Hizbut Tahrir, suatu hari pernah ditanya seseorang,"Bagaimana bisa terlintas dalam benak Anda untuk mendirikan Hizbut Tahrir?” Maka beliau menjawab,”Aku melihat Rasulullah SAW dalam mimpiku, sedang aku tengah duduk sendirian di Masjidil Aqsha. Lalu Rasulullah SAW berkata kepadaku,'Berdirilah dan berkhutbahlah kepada orang-orang!' Aku pun berkata,'Bagaimana aku akan berkhutbah sedangkan di masjid ini tidak ada seorang pun?' Rasulullah SAW berkata kembali kepadaku, 'Berdirilah dan berkhutbahlah kepada orang-orang!' Maka aku pun berdiri dan mulai berkhutbah. Tiba-tiba orang-orang mulai berdatangan, seorang demi seorang, serombongan demi serombongan hingga memenuhi Masjidil Aqsha dan masjid ini pun kemudian penuh sesak dengan orang-orang di dalamnya." (http://www.alokab.com/; dikutip oleh Muhammad Muhshin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Daulah Al-Khilafah, Baghdad : Kulliyah Ushuluddin Al-Jami’ah Al-Islamiyah, 2006, hal. 9).


Subhanallah, berkat pertolongan Allah SWT, Hizbut Tahrir kini telah tersebar luas di seluruh penjuru dunia. Itu bermula dari sebuah kelompok pengajian oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani di sebuah pojok di Masjidil Aqsha, Yerussalem, Palestina, tahun 1953. Kini Hizbut Tahrir terus menyebarkan dakwah dan perjuangannya untuk menegakkan Syariah dan Khilafah di lebih dari 45 negara, termasuk di Indonesia. Semoga ini adalah perwujudan dan makna dari mimpi Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah. Amien.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...