Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Selasa, 01 Juli 2008

Di Atas Sungai, Di Tepi Jendela

Iman adalah mutiara

Di dalam hati manusia

Tiap kuputar lagu sendu dari Raihan, perempuan itu selalu berdiri di tepi jendela. Matanya selalu menatap jauh lurus ke aliran sungai Citarum yang bergemuruh. Aku acapkali perhatikannya. Kadang terbersit perasaan untuk mengenal. Bahkan lebih dari sekedar “mengenal”. Namun, jarak kamarku dengan kamarnya terlalu jauh. Terpisah oleh bentangan sungai yang membelah kota Bandung ini.

Di sepanjang sungai yang airnya mirip bajigur, di sekitar Tamansari Bandung, rumah-rumah berjajar, kamar-kamar bertingkat didirikan dan disewakan. Ada yang permanen. Ada pula yang sekadarnya. Semua laku bak kacang goreng. Mulai mahasiswa tingkat pertama hingga akhir, pegawai toko, waitress, pemandu lagu, scoring girl, WTS kelas teri, banci yang sering berkeliaran di sekitar Dago, semuanya mencari kost di sekitar sini.


Aku salah satu dari mereka. Sudah sekitar 3 bulan aku menjadi SSG sekaligus pegawai di supermarket Daarut Tauhid. Meski gaji tidak seberapa, aku coba sisihkan sebagian buat menyewa kamar 2×3 m. Sisanya aku kirim ke Ambu di Banjaran. Aku pilih kamar yang berbatasan langsung dengan sungai agar aku bisa melihat air yang beriak-riak dengan latar belakang gunung Tangkuban Perahu yang tersembul di balik pepohonan. Sejak kecil aku memang terbiasa dengan suasana alam. Rumahku sendiri di Banjaran tepat di sebuah kaki bukit dengan sungai yang mengalir di bawahnya. Bisa saja aku tinggal di Gegerkalong, Pesantren DT. Tapi aku memilih tidak bergantung pada fasilitas yang DT berikan.

Aku ingin belajar mandiri dan mencoba bertahan hidup dengan caraku. Biar di sela-sela waktu kerja, sepulang kerja, sekitar Isya, sebelum mandi aku bisa duduk-duduk di pinggir jendela sambil minum teh manis hangat. Tape butut yang aku beli di Cihapit hampir selalu memutar lagu yang itu-itu saja. Saat itulah, ketika diputar lagu Iman Mutiara, aku selalu melihat perempuan berkerudung itu berdiri di tepi jendela.

ooOoo



Tanpamu iman bagaimanalah

Merasa diri hamba padaNya

Mungkin ini lagu kenangannya. Lagu yang selalu dia dendangkan bersama teman-temannya sepulang pengajian. Atau lagu yang selalu menyemangati dia ketika kondisi futur menghinggapi dirinya. Bukankah tidak ada yang lebih menggetarkan di dunia ini ketika hati dan otak kita terkenang pada suatu hal yang pernah singgah? Atau malah dia seorang jamaah DT juga yang sedang menghapalkan lagu. Atau semuanya hanya kebetulan saja. Kebetulan saja dia ingin berdiri di tepi jendela setiap aku putar lagu ini. Tidak mustahil kan?

Dugaan seperti itu sebenarnya bukan masalah yang harus dimasukan ke otakku. Hidupku sudah penuh dengan hal-hal yang tak terduga. Sampai sekali waktu, ketika aku sedang memandangnya, perempuan itu tersenyum. Sontak aku terhenyak. Kupalingkan mata agar tidak ketahuan kalau aku memandangi dia sejak tadi. Sambil melirik kanan-kiri kalau-kalau dia tersenyum ke arah penghuni kamar yang lainnya. Tapi tidak ada satu kamar pun yang terbuka malam itu. Berarti dia tersenyum kepadaku. Aku coba balas senyumnya sambil perlahan aku tundukan pandanganku darinya. Sekilas aku melihat dia tersenyum kembali. Kikuknya aku.

ooOoo



Iman tak dapat diwarisi

Dari seorang ayah yang bertakwa

Sejak saat itu, aku terbius oleh senyum perempuan berkerudung di seberang kamarku. Ada perasaan tak biasa tentang pandanganku kepadanya. Entah itu perasaan apa. Yang jelas setiap pulang kerja, aku jadi selalu memutar lagu itu. Berharap dia melihat dan tersenyum kembali. Akupun berjanji pada diriku sendiri tentang dirinya.Pernah suatu kali aku mata-matai penghuni rumah kosan itu, tapi perempuan itu tidak sekali pun keluar dari rumah. Padahal aku menunggunya selepas shalat shubuh di masjid hingga pukul 8 pagi. Kebetulan hari itu aku tidak ada kerja. Suatu ketika sepulang kerja, aku menemukan secarik kertas berwarna merah muda tepat di bawah pintu kamarku.

Assalamu alaykum, akhi syukran ya selalu memutarkan lagu favorit ana.

Seorang hamba yang dhaif: Fitri.

Apa berlebihan kalau dibilang aku sudah jatuh cinta padanya?

Tapi namanya juga manusia yang memiliki naluri pasti ada kecenderungan ke sana. Terlebih dihadapkan kepada sosok yang seperti dia. Wajahnya yang lembut, senyumnya yang menawan, kerudungnya yang lebar, mengingatkan aku pada cerita ustadz yang dulu mengajarku di rumah kala Abah masih ada. Ustadz berkata kalau surga itu indah sekali. Di sana, taman dialiri telaga susu hingga harum bunganya pun belum pernah seorang manusia menciumnya. Subhanallah andai akhirat adalah sebuah kertas, akan kupotong saat bunga-bunga surga bermekaran dan air telaga susu mengalir dengan lembut. Aku akan membawanya ke mana-mana. Aku akan menciumnya dalam-dalam dan tak sedikit pun aku lepaskan.

Itulah kedahsyatan perempuan berkerudung tadi. Apalagi saat matanya memandang arus sungai, saat senyum tercerah menjadi satu-satunya fenomena terindah yang muncul di tengah kekumuhan rumah-rumah tepi sungai. Saat kerudungnya tergerai tertiup angin, aku mendapatkan cekaman-cekaman yang mempesona seolah aku begitu dekat dan tahu segala sesuatu tentang dirinya. Padahal pengetahuanku tentang dirinya hanya sebatas menduga-duga dari mata, senyum dan kerudung saja.

Esoknya aku menemukan lagi secarik kertas merah muda di bawah pintu. Isinya seperti sebuah pertanyaan; Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Jagalah imanmu sebab besok atau lusa siapa yang tahu dia masih ada.

Aku jelas-jelas tidak mengerti apa maksudnya. Mengapa harus keluar kata-kata yang berbelit-belit begitu. Kenapa harus memusingkan kata cinta kalau memang ada yang mencintai. Agh! Otakku ternyata terlalu bebal untuk mengerti apa yang dia maksud. Aku bermaksud bertanya kepada perempuan di tepi jendela yang aku kira si pengirim kertas-kertas ini. Namun, sejak pesan terakhir yang aku terima, tak sekalipun ia perhatikan aku lagi. Berkali-kali aku sengaja memainkan volume lagu kesukaannya. Tapi hasilnya nihil! Dia tetap saja memandang arus sungai Citarum. Sampai aku sendiri menjadi capek melihatnya. Di satu sisi perasaan di hati ini semakin tak tertahan.

Walau apapun caranya jua

Engkau mendaki gunung yang tinggi

Engkau merentas lautan api namun tak jua dimiliki

Jika tidak kembali pada Allah

Mungkin pernyataan itu ada kaitannya dengan lagu ini. Tapi aku tetap saja tak mengerti. Apalagi sejak perempuan berkerudung itu enggan perhatikan aku. Dia makin asyik dengan dunianya yang sepi, dingin, hampa dalam kesenyapan malam, deru air sungai, bulan purnama, siluet Tangkuban Perahu, suara kendaraan, bunyi suara tukang nasi goreng dan lainnya.

Seketika itu juga janjiku tentang dia seakan terhempas angin topan yang datang secara tiba-tiba. Niatan untuk mengenalnya lebih jauh menjadi haru-biru. Walaupun tidak selayaknya seorang muslim berputus asa. Sejak itu aku tidak bersemangat lagi pulang begitu kerja selesai. Ritual menyalakan tape butut pun seolah jadi sesuatu yang tabu. Malam itu tepat pukul 22.00, sepulang kajian di DT, aku menemukan beberapa carik kertas yang sudah sedikit lecek dan menguning. Aku tatap lebih dalam. Bentuk hurufnya sama seperti yang selalu aku terima sebelumnya. Dengan perasaan ingin tahu yang menggebu aku segera bersandar di kursi lantas membacanya:

Namaku Nur Fitri. Saat ini usiaku 22 tahun. Aku lulusan pesantren di Tasikmalaya. Bapakku adalah pemilik pesantren itu. Keluargaku termasuk keluarga terpandang. Aku sendiri anak ke sebelas dari dua belas bersaudara. Dulu aku adalah seorang santriwati teladan di pesantren. Dari ilmu-ilmu alat hingga bernasyid selalu aku yang dikedepankan. Lagu Iman Mutiara selalu aku nyanyikan setiap pulang dari masjid bareng sahabat-sahabatku. Keistimewaanku bukan berarti membuat aku semakin betah. Aku justru pergi dari pesantren. Ini aku lakukan sebagai protes kepada bapak yang menjodohkanku dengan pilihan yang bapak mau. Padahal aku sudah punya pilihan dan ingin sekolah yang lebih tinggi lagi di Bandung. Dengan bantuan seorang teman, aku tiba di Bandung. Demi menghidupi diri sendiri dan biaya sekolah, aku bekerja menjadi pelayan part time sambil memberi privat anak-anak SD hingga suatu malam di kamar kos, aku diperkosa oleh pacar temanku itu. Kesucian dan keyakinan hidup yang aku bangun selama ini seakan hancur berkeping-keping. Seketika itu aku hancur. Akhirnya dengan bersusah payah aku mencoba membangun duniaku kembali dengan air mata dan kesakitan. Segala apa yang aku punya, apa yang Allah berikan, aku jual sebagai bentuk kesakitan dan frustasi.

Suatu ketika ada seorang akhwat menghampiriku. Ketika itu aku menangis sendirian di pojokan mushola sambil membaca al-Quran kenang-kenangan juara MTQ antar pesantren. Padahal sejam sebelumnya aku baru memuaskan seorang babah pemilik perusahaan kayu dari Semarang. Sungguh menggelikan ketika akhwat tadi mengatakan terpesona dengan suaraku. Dia tak sadar kalau mulut ini memang mendayu-dayu dan indah. Tapi sebenarnya hatiku berdarah. Aku hanya bisa tersenyum getir. Tapi kedekatan dia, cara dia memberikan perhatian, sungguh merupakan bahasa kalbu yang baru bagiku. Aku terhenyak dan mengingat kembali segala sesuatu yang ada jauh sebelum aku datang ke kota ini. Setiap hari dia menemuiku. Setiap hari dia memberi tulisan-tulisan bernada nasihat. Setiap hari juga dia kirim SMS untuk mengingatkan shalat tahajud. Padahal setiap malam itu dia kirim SMS, aku sedang berada didekapan laki-laki yang selalu berganti-ganti. Setiap minggu juga dia selalu berikan selebaran berwarna putih-biru dan ujung-ujungnya ajakan untuk ikut Qudwah. Begitu dia bilang.

Aku makin takjub ketika dengan tulus dia menawarkan kakak laki-lakinya kepadaku. Digenggamnya tanganku erat dan meluncurkan kata-kata itu. Meski akhirnya dia tahu siapa sebenarnya aku tapi tidak menyurutkannya untuk berhenti berkata. Ah, diam-diam air mataku mulai menetes melihat ketulusan sahabatku yang satu ini. Namun setiap pelanggan menjemput, aku diingatkan kembali bahwa imanku telah hilang entah ke mana. Karenanya, ucapan dan permintaan tulus sahabatku itu seakan masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tapi di lubuk terdalam aku butuh semua yang dia katakan. Jujur aku butuh itu. Aku butuh kedamaian. Aku capek hidup di dunia yang kotor ini. Hidupku yang sebenarnya bukan di alam nista ini. Dalam keadaan seperti itu, tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Aku memang sudah terbiasa menangis dalam hati. Tapi tidak meratap seperti halnya saat itu. Ketika akhwat tadi mencegahku dijemput oleh mucikari pengelola night club tempatku bekerja. Ia malah diperkosa oleh kaki tangan si mucikari sebagai balasan penolakanku untuk bekerja lagi. Ratapanku semakin menyanyat ketika kakak sahabatku–yang akan dijodohkan kepadaku–meninggal ketika mencoba menolong adiknya yang sedang diperkosa. Tiga buah tusukan sangkur tepat menusuk jantung kiri dan lambungnya. Sungguh aku tidak tahan.

Selembar lainnya hanya berisi sebuah kalimat: Terima kasih Pram, kau telah mengingatkan aku tentang iman. Sesuatu yang bertahun-tahun aku coba kubur tapi tak pernah sedikit pun dia mati.

Hah?! Bagaimana dia tahu namaku? Sontak aku terkejut ketika di kertas tersebut jelas sekali tertulis namaku. Apakah selama ini dia mencari tahu tentang aku juga. Kalau begitu perasaan aku dan dia ternyata sama. Kami saling merindukan masing-masing. Aku segera bergegas menuju jendela kamar untuk menyapa perempuan di tepi jendela itu. Belum sempat aku menggerakan tangan, perempuan itu tersenyum lantas melambaikan tangan dan masuk ke dalam. Benarkah ini kisah perempuan yang suka lagu Iman Mutiara itu?

Esoknya aku datangi rumah bertingkat di seberang sungai. Niatku saat itu untuk mengungkapkan segalanya dan meminta penjelasan dia. Tapi tak ada seorang pun yang tahu tentang Fitri. Penghuni kamar yang jendelanya menghadap sungai sekarang bernama Irma, seorang scoring girl yang terlalu liar di mataku. Aku merasa seisi rumah kos itu menyembunyikan Fitri. Karenanya setiap pagi aku menunggu di depan rumah itu. Sampai seorang tetangga memanggil aku.

“Pram, Saya dengar kamu mencari seseorang ya?” katanya.

“Ya,” jawabku singkat.

“Kamar itu memang pernah ditinggali Fitri. Tapi itu enam bulan yang lalu.”

“Enam bulan yang lalu?” aku keheranan.

“Benar enam bulan yang lalu. Entah kenapa dia melompat ke sungai dan meninggal. Sengaja cerita itu disembunyikan biar yang kos tidak takut. Masalahnya kematian dia sedikit janggal. Kayaknya dia bukan bunuh diri tapi dibunuh. Kamu kenal Fitri dari mana?”

“Innalillahi,” Saat itu juga aku bergegas pulang. Tak tahu harus melakukan apa. Tapi aku sempat menuliskan sebuah kalimat di agenda harianku: Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Jagalah imanmu sebab besok atau lusa siapa yang tahu dia masih ada. Ya, semoga begitu Fit![]



Untuk Aku, Kamu, dan Mereka

September 2005

Keterangan:

Abah = bapak (Sunda)

Ambu = ibu (Sunda)

Babah = Panggilan utk bapak-bapak beretnis Cina

Bajigur = minuman khas Jawa Barat

Banjaran = Kecamatan kecil di selatan Bandung

Butut = Jelek (Sunda)

Cihapit = Nama jalan tempat jualan barang loak di Bandung

Scoring Girl = Perempuan penghitung angka di meja bilyar

Waitress = pelayan

—-

Erzu Koryna Friska adalah seorang pemimpi di pinggiran Kota Kembang, Bandung. Pengamat dan pemerhati dunia gaib meski belum pernah bertemu dengan makhluk gaib.

[diambil dari Majalah SOBAT Muda, edisi 020/Tahun ke-2/Juni-Juli 2006]

Pejantan Sejati

By: Koko Nata
“Sudah siap pesta Al ? Let’s Party!” seru Dodo. Dua tangannya mendorong Al, Jai, dan Toni masuk ke sebuah cafe di areal plaza semanggi.

Hingar bingar musik menyambut kedatangan mereka. Teriakan DJ menyemangati seisi ruangan temaram untuk bergoyang. Lampu kerlap-kerlip menyirami tubuh-tubuh yang asyik bercengkrama. Tawa gembira dan bau parfum bercampur keringat menyeruak. Wajah-wajah polos yang setiap pagi berseragam putih abu-abu telah berubah jadi pangeran dan putri kota.

Ini untuk pertama kalinya Al menikmati dunia gemerlap malam. Kemeriahan seperti ini hanya pernah dilihatnya di televisi. Beginilah suasana pesta. Inilah kafe full music. Inilah irama techno. It’s party time. Inilah kehidupan malam Jakarta.


“Yiha!!! ” teriak Dodo yang langsung ikut menghentakkan badan. Teriakannya hampir tak terdengar. Tertelan dentuman musik.

“Nggak ada acara potong kue nih!” tanya Al heran, agak berteriak.

“Itu sih acara pesta anak TK, Al!” sahut Toni.

“Mungkin sudah dari tadi. Kita ngucapin selamat dulu sama tuan rumah yuk.” Jai mendorong bahu Al ke depan. Seorang gadis menjadi bunga primadona kumbang. Dialah Rani, si ratu pesta. Pakaian mengkilap tanpa lengan dengan rok menggantung beberapa senti di bawah lutut, membuatnya terlihat dewasa beberapa tahun. Al mengikuti Jai mengucapkan selamat pada Rani. Setelah itu ia kembali mengekori Jai mencari minuman pelepas dahaga.

Di sebuah sofa berwarna merah, Al menghempaskan diri. Tak jauh darinya duduk sepasang remaja. Al tak mengenalinya. Tapi ia memastikan usianya belum menyentuh angka dua puluh. Asap rokok mengepul dari mulut si cowok. Jambulnya nampak basah dan keras. Kancing bajunya terbuka. Memamerkan petak dada tegap. Gadis pasangannya duduk merapat, mendekap si cowok. Menikmati hembusan asap dari mulut si cowok. Sesekali mereka menegak cairan kuning dari gelas berkaki di meja.

Al mengalihkan pandangannya. Menyapu seluruh pengunjung ruangan. Semua bergaya trendy. Dandanan serupa iklan pakaian di majalah dan televisi. Pantas saja Dodo menganggap penampilannya anak mami sekali. Kemeja lengan pendek putih bergaris hitam yang ujungnya tersimpan rapi di balik celana kain casual hitam. Pantofel licin senada celana menyelubungi kakinya.

Al menduga-duga, kalau Bunda tahu ia datang ke tempat seperti ini apa yang akan dikatakannya? Pasti Al tidak akan pernah sampai di sini. Untuk pergi saja ia sempat menyamarkan informasi tempat pesta.

“Cuma pesta ulang tahun kok, Bun! Bukan pergi kelayapan macem-macem,” ujar Al beberapa jam yang lalu.

“Tempatnya di mana? “

“Al kurang tahu persis. Nanti pergi bareng Jai. Dodo bawa mobil. Dia jemput ke sini.”

Bunda diam menimbang. Tak yakin dengan ucapan Al.

“Ayah percaya sama kamu, Al. Tapi apakah pergi ke pesta malam ini sangat penting dan tidak bisa dibatalkan.” Ayah ikut buka suara.

Al menghela napas panjang. Jika Ayah sudah angkat bicara ia jadi agak segan.

“Rina itu teman sekelas Al, Yah. Duduknya tepat di depan Al. Nggak enak kalau sampe nggak datang. Al juga sempet diledek anak bau kencur lantaran nggak pernah keluar malam,” ujar Al lirih.

“Tidak perlu diambil hati ejekan mereka. Buat apa keluar malam kalau tiada artinya. Keluar malam boleh saja kalau ada perlu.”

Al ingin tertawa mendengar kalimat Bunda yang mirip syair lagu begadangnya Rhoma Irama.

“Omongan Bunda kayak lagu begadang aja.” Ayah tersenyum. Rupanya ia sadar juga. Untuk beberapa saat ketegangan agak cair.

“Gimana, Yah? Al boleh pergi, kan?”

Hening untuk beberapa saat.

“Jam berapa kamu pulang?”

“Belum tahu. Tapi Al usahain secepetnya. Sebelum tengah malam, deh!”

“Janji!”

“Janji, Yah!”

“Baiklah kamu boleh pergi”

Yes!!! Al mengepalkan tangan ke udara.

Ekspresi wajah Bunda datar. Ia tak berkata apa-apa meninggalkan Al dan Ayah. Ayah mengambil tempat duduk di samping Al. Tangan kanannya merangkul Al. Pelan ia berkata. “Ingat Ayah dan Bunda percaya padamu. Tolong jaga kepercayaan itu.” Tepukan pelan dirasakan Al di bahu. Ayah mengikuti langkah Bunda menuju dapur.

Al mengingat baik-baik ucapan Ayahnya itu. Kepercayaan. Ya, kepercayaan! Tidak berbuat macam-macam. No smoke, No alcohol and especially No free sex!

“Woi, Al! Bengong aja. Minum nih!” Jai sudah berada di depannya, menyodorkan segelas minuman seraya duduk di sampingnya. Toni ikut duduk di sebelah Jai Kepalanya terangguk-angguk mengikuti irama musik.

“Apaan, ni?”

“Tenang aja! Cuma cola biasa!”

“Lo takut amat sih, Al, nyantai ajalah kita nggak bakal mabok kok!”

Toni menyulut sebatang rokok. Menawarkan pada Jai dan Al. Spontan Al menggeleng. Sedang Jai mengambil satu. Meminjam pematik api dari Toni. Mengisap dalam sebelum menghembuskannya. Asap berputar-putar di sekitar wajah Jai.

“Kamu ngerokok juga, Jai?” Al terkejut. Nggak nyangka Jai yang agak pendiam dan terkesan sedikit bijak perokok juga.

“Sekali-sekali aja, Al. Apalagi kalo lagi suntuk!”

Al masih menatap lekat Jai dan Toni. Ingin sebenarnya ia menjauh dari dua temannya itu. Meskipun tidak merokok. Dia ikut mengisap asap rokok tersebut. Jadi perokok pasif.

“Sekali-kali ngerokok itu nggak papa, Al. Nggak jantan kalo nggak ngerokok!” cetus Toni.

“Letak jantannya di mana, Ton?” gugat Al.

“Ya, di berani ngerokoknya itu. Berani menempuh resiko. Rokok lambang kejantanan cowok melawan mitos rokok merusak kesehatan. Itu kan cuma slogan orang-orang-orang lemah yang penyakitan.”

“Itu bukan mitos, Ton. Emang bener kok. Ngerokok bisa merusak kesehatan.”

“Buktinya Omku sudah belasan tahun merokok tetap segar bugar tuh.”

“Belum aja. Nanti deh cepat atau lambat bakal terganggu juga paru-parunya.” Al teguh berpendapat. Ia sudah kenyang mendapat penjelasan dari Ayah tentang bahaya rokok. Ia juga pernah melihat sendiri sahabat Ayah yang sekarat gara-gara terlalu banyak merokok. Sahabat Ayah itu harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit sebelum meregang nyawa dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. Pengalaman itu begitu membekas di benak Al. Maka dari itulah ia selalu memegang teguh prinsip bahwa merokok itu merusak kesehatan. Baik itu kesehatan badan maupun kesehatan kantong.

“Sudah nggak perlu ribut. Itu hak Al kalo dia nggak mau ngerokok, Ton.” Jai menengahi. “Aku nggak terlalu sepakat kalo ngerokok itu jadi simbol kejantanan. “Tapi emang sih kalo cowok ngerokok itu terlihat keren.”

Al agak tersudut. Secara tak langsung Jai mendukung Toni.

“Yup setuju banget. Selain itu cowok jantan juga selalu suka tantangan. Berpetualang. Olahraganya keras. Maka dari itu fisiknya harus kuat, berotot. Kayak cowok itu tuh.” Toni menunjuk seorang cowok kekar yang baru lewat.

Al mengawasi sosok yang baru melintas itu. Dia hanya mengenakan rompi. Lekuk-lekuk kekar lengannya terlihat jelas. Bentuk perut six pack dan dada bidangnya sungguh membuat iri. Wajahnyapun terlihat sangat lelaki. Bekumis dan berjambang. Tampangnya persis model iklan produk perawatan pria di televisi. Pria yang selalu digambarkan merontokkan hati para gadis.

Al tidak bisa membantah ucapan Toni. Ia sepakat bahwa tipe ideal cowok memang harus macho seperti cowok barusan. Iapun sependapat bahwa cowok jantan pasti suka tantangan dan selalu berani menghadapi petualangan beresiko.

“Cowok jantan selalu jadi pujaan cewek, Al. Lo lihat aja di sini. Cowok-cowok macho pasti punya gebetan.”

“Jadi maksud lo kalo nggak punya gebeten nggak jantan gitu?” sergah Jai.

“Maksud gua bukan begitu. Tapi lo perhatiin sendiri. Cewek mana sih yang nggak mau sama cowok macho atletis?”

“Ah sudahlah. Kayaknya bakal ada lelang dansa tuh. Kita lihat yuk!” Jai menyudahi topik pembicaraan cowok jantan. Kerumunan beberapa meter di depan menarik perhatian. Ketiganya bergabung dalam lingkaran manusia di dekat panggung.

Sungguh Al tak begitu paham. Dari mana asal muasal permainan yang digelar ini. Rina bersedia menjadi pacar semalam orang yang berani membayar dengan harga tertinggi. Memang, sih, uangnya akan disumbangkan ke sebuah yayasan panti asuhan. Tapis rasanya kok aneh ada lelang seperti ini.

Al melirik pergelangan tangannya. Sudah tiga puluh menit dari pukul sepuluh malam. Teringat janjinya pada Ayah. Tidak boleh pulang lewat dari tengah malam. Al meninggalkan kerumunan manusia yang ditingkahi teriakan-teriakan nilai uang. Menyepi di sudut ruangan. Menikmati cola. Sendiri.

Acara selanjutnya sungguh di luar dugaan Al. Parade cowok jantan.Tiga pria bertelanjang dada berdiri di panggung. Sorot lampu mempertegas setiap lekuk tubuh yang terlatih itu. Mereka bergoyang seraya bertepuk tangan pelan di atas kepala. Memamerkan kebagusan rupa dan keelokan tubuh.

Ketiga pria itu menantang siapapun yang merasa perkasa dan jantan untuk maju. Adu panco dengan ketiga cowok itu. Selain itu akan dilangsungkan adu nyali, siapa yang berani adu minum bir. Mereka yang merasa punya badan tegap dan nyali besar maju. Membuka pakaian dan ikut memamerkan tubuh mereka. Musik makin keras menghentak gendang telinga. Penonton riuh memberi semangat. Kekuatan otot, kebagusan rupa dan kegarangan wajah seolah menyimbolkan keperkasaan sejati. Al terpaku di tempatnya.

ooOoo



Al memandang pantulan wajah dan tubuhnya pada cermin toilet cafe. Tampangnya cukup terlihat jantan dengan hiasan kumis tipis di atas bibir. Badannya lumayan tegap meskipun balutan lemak agak menyembul di pinggang dan perut.

Perlu sedikit perubahan untuk terlihat jantan, bisik hatinya. Al mengeluarkan ujung bajunya dari pinggang celana. Kancing kemeja atas sedikit dibuka. Al membasahi telapak tangannya, mengacak-acak rambut, lalu meratakannya lagi dengan sisiran tangan.

“Terlihat lebih jantan sekarang,” pujinya sendiri.

Seseorang mendekat dari belakang. Berdiri di samping Al. Ternyata dia cowok macho yang lewat di depan Al saat membahas masalah kejantanan dengan teman-temannya. Al bisa lebih jelas mengamati sosok itu.

Al harus mengakui, secara fisik si cowok perfect. Rambut-rambut kasar di atas bibir, dagu dan sebagian pipi membuatnya terlihat garang. Kulit wajah dan tubuh bersih bersinar tanpa noda. Mungkin rajin dirawat juga, pikir Al. Ia menaksir usia si cowok, mungkin sekitar dua puluh limaan.

“Ada yang aneh ?” tanya si cowok tiba-tiba. Suaranya empuk seperti penyiar radio anak muda.

Al tergagap, “eh, nggak, maaf.” Ia salah tingkah. Al mundur beberapa meter dari wash table. Al jongkok di sudut toilet yang agak gelap. Membetulkan Kaus kakinya yang melorot.

Seseoarang masuk lagi ke dalam toilet. Mendekati si macho yang masih bercermin. Tampangnya tidak kalah keren dengan si macho. Hanya saja penampilannya lebih rapi, klimis. Stelan jas casual membalut tubuh proporsionalnya.

“Hai, honey, pulang yuk!”

Telinga Al menegak, mendengar kalimat itu. Matanya melihat si rapi memeluk si macho dari belakang. Si macho berbalik. Keduanya berpandangan. Lalu…

Hampir satu menit Al terpaku tak berkedip. Pemandangan di depannya sungguh unbelieveable.

“O, honey, kumis dan jenggotmu harusnya dipotong,” keluh si rapi.

Si macho menyentuh bibir si rapi dan berkata lirih, “tapi kau suka, kan?”

“Iya sih, lalu mereka menempel lagi. Erat dan…

Hoek! Al mual seketika. Ia langsung keluar toilet. Sungguh kalau tak melihat dengan kepala sendiri ia tak akan percaya kalau dua cowok sempurna itu gay. Al duduk jongkok sambil memegangi perutnya.

ooOoo

Sendiri, Al pulang menumpang taksi. Ketiga temannya masih larut dalam pesta. Suasana pesta makin memanas. Menggila. Bukan hanya pria-pria kekar saja yang ada. Entah dari mana muncul pula perempuan-perempuan berpakaian minim. Acara sudah semakin bebas. Tak jelas lagi mana undangan mana yang bukan. Tak jelas lagi antara remaja SMA dan kaum dewasa. Semua lepas berpesta.

Di dalam taksi Al merenung. Bayang-bayang kemesraan si rapi dan si macho terus memenuhi benaknya. Al berusaha mengusirnya. Fisik sempurna ternyata tak menjamin seseorang berkepribadian sempurna pula.

Al teringat obrolannya dengan Ayah suatu malam.

“Kejantanan seorang pria itu lebih pada kepribadian, Al. Pada sikap dan tingkah laku. Kalau dengan merokok seseorang dikatakan jantan, bagaimana dengan kaum waria yang gemulai tapi merokok juga? Bagaimana seseorang bisa dikatakan jantan bila ia ingin menghilangkan stress dan tekanan hidupnya dengan minum-minum dan memakai obat-obatan terlarang?

“Simbol-simbol pria sejati yang sering digambarkan di televisi tak akan bisa menutupi sikap dan tingkah laku asli seseorang. Ia seperti topeng yang sering membuat kita tertipu. Pejantan sejati tak akan menggunakan topeng untuk menarik perhatian orang lain. Jadilah diri sendiri. Dengar hati nuranimu.”

Kelebat bayang-bayang hitam pepohonan berseliweran di luar. Temaram lampu jalan mengiringi laju taksi. Satu dua mobil ikut menderu bersaing. Dingin alami bercampur hembusan AC perlahan menusuk badan Al.

Sayup-sayup dari radio taksi mengalun Pejantan Tangguhnya Sheila On 7

Jantan… pejantan tangguh

Itu yang kuharap ada padaku

Agar… agar diriku

Bisa melumpuhkan tingkah liarmu…

FLPDepok.multiply.com, 121105

—-

Koko Nata Kusuma, nama lengkapnya. Lahir di Palembang 19 April 1980. Koko Nata telah menulis banyak buku fiksi, beberapa di antaranya: Kucing Tiga Warna, Semua Atas Nama Cinta, Ketika Nyamuk Bicara, dan Can You Keep The Secret. Lulusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya ini sekarang menjadi Ketua Forum Lingkar Pena Cabang Depok. Silahkan kontak via e-mail ke: ko2nata@gmail.com. Cuap-cuapnya juga bisa dinikmati di: http://kokonata.multiply.com.

[diambil dari Majalah SOBAT Muda, edisi 019/Tahun ke-2/Mei 2006]

Beragama Kok Bebas?

Jamaah Ahmadiyah masih bisa senyam-senyum. Pasalnya mereka lagi di atas angin. Setelah kasus Monas, justru umat Islam yang menuntut pembubaran Ahmadiyah jadi terdakwa. Bukan cuma itu, umat Islam juga malah berantem sendiri di berbagai daerah.

Ini semua terjadi atas nama kebebasan berkeyakinan dan beragama. Menurut para pendukungnya, seperti AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), Ahmadiyah nggak boleh dibubarkan. Melarangnya sama dengan melanggar HAM dan kebebasan beragama.

Sebenarnya gimana sih soal kebebasan beragama? Apa bener Islam tuh selalu maksain keyakinannya pada pemeluk agama lain? En apa bener Ahmadiyah itu adalah islami? Itu semua kita bahas di gaulislam edisi ini. Loading…


Soal Ahmadiyah

Umat Islam memang pantes geram en kesel. Sebab, SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri yang dikeluarkan pada Senin, 9 Juni 2008 lalu sekadar “peringatan” untuk Jamaah Ahmadiyah. Bukan melarang apalagi membubarkan kelompok tersebut. Rencananya para ulama dan tokoh-tokoh Islam akan kembali meminta pemerintah untuk membuat SKB tentang pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah. Belum ada perubahan “status” SKB sampai tulisan ini dibuat.

Eksistensi jamaah Ahmadiyah juga didukung oleh sejumlah kalangan, di antaranya ya AKKBB itu. Para penggiat Ahmadiyah juga berkampanye kalo ajaran mereka nggak menyimpang dari Islam. Di koran Republika pada 23 Mei 2008, misalnya, mereka menulis kalo Ahmadiyah itu bagian dari jamaah Islam.

Pendapat mereka juga diperkuat oleh sejumlah orang yang mengaku kyai. Para ‘kyai’ ini bilang kalo kitab Tadzkirah yang dijadikan pegangan oleh jamaah Ahmadiyah, hanyalah kumpulan fatwa. Bukan kitab suci seperti yang dituduhkan banyak orang. Kesimpulan sejumlah kyai ini, tuduhan bahwa Ahmadiyah itu sesat adalah mengada-ada dan ngawur.

Pendukung Ahmadiyah yang lain adalah jamaah AKKBB. Bagi mereka, ajaran Ahmadiyah kudu dibela. Pasalnya dalam UUD 45 pasal 29 ayat 2, kan negara wajib menjaga kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Negara nggak mengatur mau berkeyakinan apa dan ibadahnya bagaimana, yang penting semua agama dan aliran layak hidup di bumi Indonesia. Lagian, kata mereka, itu adalah hak asasi manusia. Nggak boleh ada kelompok manapun yang memaksakan keyakinannya pada orang lain, atau melarang keyakinan tertentu.

Of course, pernyataan bahwa ajaran Ahmadiyah itu sesat, bukan cuma isapan jempol. Kitab Tadzkirah yang dikatakan sejumlah orang yang mengaku ‘kyai’ itu bukan cuma kumpulan fatwa lho, tapi sudah dianggap wahyu muqaddas (wahyu yang disucikan). Kemudian pengakuan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) sebagai nabi juga bukan tuduhan, emang dari sononya ia ngaku begitu. MGA berkata, “Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku RasulNya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatkan manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya’qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad saw, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi“. (Haqiqatul Wahyi, h. 72). (Majalah Sinar Islam (terbitan Ahmadiyah) edisi 1 Nopember 1985).

MGA juga mengkafirkan orang-orang yang tidak beriman kepadanya; “Seseorang yang tidak beriman kepadaku, ia tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. (Haqiqat ul-Wahyi, hal. 163). Juga perkataannya, “Sikap orang yang sampai dakwahku kepadanya tapi ia tak mau beriman kepadaku, maka ia kafir. (S.k. al-Fazal, 15 Januari 1935)

Bro en sis, Jemaah Ahmadiyah jelas-jelas mengkafirkan kaum muslimin. Basyiruddin, adik Mirza Ghulam Ahmad, berkata: Di Lucknow, seseorang menemuiku dan bertanya: “Seperti tersiar di kalangan orang ramai, betulkah Anda mengafirkan kaum Muslimin yang tidak menganut agama Ahmadiyah?” Kujawab: “Tak syak lagi, kami memang telah mengafirkan kalian!” Mendengar jawabanku, orang tadi terkejut dan tercengang keheranan (Anwar Khilafat, h. 92)

Ucapannya lagi: “Barangsiapa mengingkari Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul Allah, sesungguhnya ia telah kufur kepada nash Quran. Kami mengafirkan kaum Muslimin karena mereka membeda-bedakan para rasul, mempercayai sebagian dan mengingkari sebagian lainnya. Jadi, mereka itu kuffar!” (S.k. al-Fazal, 26 Juni 1922)

Dan Basyir Ahmad menegaskan lagi “Setiap orang yang beriman kepada Muhammad tapi tidak beriman kepada Ghulam Ahmad, dia kafir, kafir, tak diragukan lagi kekafirannya” (Review of Religions, No. 35; Vol. XIV, h. 110)

Nah lho, kalo ternyata udah mengaku sebagai nabi, bahkan mengkafirkan orang lain yang nggak mengimaninya, apa itu nggak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah? Kalo begitu, kyai-kyai yang kemarin ngebelain Ahmadiyah dari mana mereka punya alasan, ya? Jangan-jangan mereka juga kena dibohongin jamaah Ahmadiyah.

Guyz, makanya kamu kudu prihatin deh, kenapa aliran sesat itu dibiarkan tumbuh subur di tanah air. Malah jamaah Ahmadiyah ini diistimewakan oleh pemerintah. Khalifah IV Ahmadiyah di London, Thahir Ahmad pernah diundang ke Indonesia di masa reformasi. Kedatangannya atas prakarsa seorang cendekiawan muslim Indonesia. Waktu itu Khalifah IV ini disambut dan dipeluk oleh Ketua MPR yang juga tokoh reformasi kala itu.

Beragama, bebas?

Barangkali, susahnya memberantas aliran sesat seperti Ahmadiyah dikarenakan hari ini ada orang berteriak-teriak soal kebebasan berkeyakinan dan beragama. Menurut para pendukungnya, hal itu merupakan hak asasi manusia. Nggak boleh dipaksa atau dilarang. Udah mutlak kudu dijamin.

Pertanyaannya, apa iya kebebasan beragama juga berarti bebas untuk ngacak-ngacak agama? Kalo soal bebas memilih agama, sebenarnya udah nggak aneh dalam ajaran Islam. Agama kita emang nggak memaksakan manusia untuk masuk ke dalam agama Islam. Kamu pastinya udah apal betul dengan ayat, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”(QS al-Baqarah: 256). Ayat itu adalah garansi bahwa setiap insan nggak akan dipaksa memeluk agama Islam. Bo’ong banget kalo dikatakan bahwa Islam itu dipaksakan, apalagi dengan jalan kekerasan.

But, buat orang yang udah berada dalam agama Islam, nggak ada pilihan lain kecuali tunduk pada Islam. Allah Ta’ala berfirman;

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

“Sesungguhnya ucapan orang-orang beriman jika diseru kepada Allah dan RasulNya untuk berhukum di antara mereka adalah ‘kami mendengar dan kami taat’,” (QS an-Nuur [24]: 51)

Juga firmanNya (yang artinya):“Dan tidak pantas bagi orang beriman laki-laki dan orang beriman perempuan jika Allah dan RasulNya telah menetapkan satu keputusan, ada pilihan bagi mereka.” (QS al-Ahzab [33]: 36)

So, apa pantes seorang muslim menolak shalat lima waktu? Nggak puasa Ramadlan? Apalagi sampai mengacak-acak ajaran Islam, seperti ngaku-ngaku jadi nabi, jadi malaikat, dll. Untung aja nggak sampai ngaku jadi pocong atau kuntilanak. Halah!

Pada kenyataannya, nggak bakal ada umat beragama - agama manapun - yang rela ajarannya diacak-acak. Umat Kristiani, misalnya, pasti akan marah kalo jumlah tuhannya ditambah atau dikurangi. Atau Injil yang mereka pakai disebut bukan kitab suci, atau dianggap kurang. Atau lagi jika salibnya diubah, atau patung Yesus pada salib itu diganti dengan patung orang lain, pastinya mereka juga tidak terima bahkan marah. Betul nggak?

Ketika novel The Da Vinci Code karya Dan Brown keluar, banyak pastur dan tokoh Kristiani yang marah. Novel itu dianggap bisa merusak keyakinan umat Kristiani. Kemudian sejumlah buku dirilis oleh kalangan Kristiani untuk menyelamatkan keyakinan mereka. Maklum, dalam novel yang kemudian difilmkan oleh Tom Hanks, dikisahkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Padahal umat Kristiani percaya bahwa Yesus tidak menikah, apalagi Maria Magdalena dikenal sebagai seorang pelacur.

Begitu pula dengan agama-agama lainnya pasti umat mereka nggak bakal terima dan marah jika ajarannya diacak-acak. Umat Hindu misalnya pernah memprotes sampul novel Supernova karya Dewi Lestari karena membawa-bawa simbol agama mereka. Penyanyi Iwan Fals juga pernah berurusan dengan pengikut agama Hindu dalam kasus yang sama pada sampul kasetnya Manusia Setengah Dewa.

Jadi, kayaknya kebebasan beragama yang menjurus pada pengacauan agama atau penodaan agama, nggak bakal diterima oleh umat manusia. Lagian apa mau umat beragama saling menukar ajaran ibadahnya? Misalnya umat Kristiani kudu wajib shalat Jumat dan puasa Ramadlan sebulan penuh, atau orang Islam kalo meninggal jangan dikubur tapi dibakar dalam upacara Ngaben, dsb. Kayaknya nggak bakal ada yang rela tuh.

Lalu gimana dong kebebasan beragama yang sekarang lagi dikampanyekan? Wah, itu mah kampanye untuk menyudutkan Islam. Karena orang-orang yang berteriak kebebasan beragama selalu ngebelain Ahmadiyah, dan nyalahin kaum muslimin yang anti Ahmadiyah. Padahal udah jelas banget kalo jamaah Ahmadiyah itu ngerusak ajaran Islam.

Kalangan penyeru kebebasan beragama seperti AKKB juga sering menghina ajaran Islam. Guntur Romli, salah seorang aktivis AKKBB yang kena gebug FPI di Monas kemarin, dalam sebuah tulisannya di Jurnal Perempuan pernah memutarbalikkan ayat-ayat al-Quran untuk menghalalkan homoseksual dan lesbian. Ia juga pernah menulis di sebuah koran ibu kota kalau al-Quran itu hasil contekan dari kitab-kitab sebelumnya. Waduh, buruan tobat Mas!

Parahnya lagi, keberadaan mereka itu tak lebih dari perpanjangan tangan kaum imperialis Amerika Serikat. Ketika umat Islam di tanah air menuntut pembubaran Ahmadiyah, negara-negara Barat justru menekan pemerintah khususnya Departemen Agama agar tidak membubarkannya. Negara-negara itu adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris. Catet itu!

Sikap kita

Buat kita, udah jelas kalo beragama itu ada pedomannya. Nggak bisa kita berkeyakinan dan beribadah semau-maunya. Ngawur aja kalo orang bilang beragama itu bebas. Kalo begitu bisa-bisa orang bikin agama sendiri, nabi sendiri, kitab suci sendiri, bahkan punya tuhan sendiri (iiih).

Maka, semangat bebas dalam beragama itu nggak sejalan dengan ajaran Islam. Setiap muslim kudu taat en patuh pada syariat Islam dan berpegang pada akidah Islam. Kalo terjadi penyimpangan maka pelakunya kudu bertobat.

Terakhir, umat Islam kudu jernih ngelihat persoalan ini. Jangan gara-gara pemberitaan di televisi, majalah, koran en internet, kemudian kamu jadi bersimpati pada orang-orang yang menyuarakan kebebasan beragama. Padahal mereka tengah menyiapkan perangkap untuk merusak ajaran Islam. Ditambah lagi mereka punya misi untuk mempertahankan ajaran sesat Ahmadiyah.

Sayangnya, banyak orang Islam nggak nyadar. Mereka malah sibuk menyalahkan sesama muslim, lupa dengan masalah penodaan agama oleh Ahmadiyah. Sudah begitu, lebih rela berantem dengan ‘saudara sendiri’ ketimbang melawan musuh yang sesungguhnya. Lihat aja banyak kaum muslimin yang malah pada minta supaya FPI dibubarkan, bukannya ngelarang Ahmadiyah. Ah, kasihan umat Islam. Sudahlah agamanya dirusak, masih mau juga diadu domba. Hmm…. [iwan januar]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...