بسم الله الرحمن الرحيم
1.
Lonjakan ekonomi China tidak terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi itu
adalah hasil dari strategi yang direncanakan dan diatur dengan baik.
Dimulai pada masa Deng Xiaoping yang pada waktu itu dikenal oleh
sebagian orang dengan istilah “Politik Pintu Terbuka”. Setelah
Xiaoping, penggantinya menggunakan istilah “Kebangkitan Damai China”.
Kedua strategi tersebut -Politik Pintu Terbuka dan Kebangkinan Damai
China- pada substansinya berbicara tentang tranformasi China menjadi
kekuatan ekonomi dan menerjemahkan kekuatan ekonomi itu menjadi kekuatan
militer yang bisa mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi dan
perdagangan China. Begitu juga, kedua strategi itu ditujukan untuk
menghadapi setiap pihak yang akan meminimalkan misi China dalam
mempromosikan ideologinya secara kuat di luar negeri dan menghadapi
siapa saja dari kekuatan besar yang berusaha menghadang China, utamanya
Amerika Serikat. Disamping itu, kedua strategi itu juga dimaksudkan
untuk meredakan kekhawatiran tetangga China dan meyakinkan mereka akan
tidak adanya niyat China dalam memperluas hegemoninya di kawasan Asia
Pasifik.
2. Untuk merealisasi hal itu, China mengembangkan perekonomiannya melalui dua tahap: pertama, reformasi pedesaan. Kedua,
industrialisasi pedesaan dan reformasi perusahaan. Hal itu didukung
oleh beberapa faktor diantaranya upah buruh lokal yang murah, penguasaan
teknologi maju dari barat - teknologi maju dirahasiakan- dan Rusia,
urbanisasi yang cepat, eksport yang digerakkan oleh industri dan
penjualan barang-barang murah ke seluruh dunia. Sebagian besar ekspor
industri China adalah ke Jepang dan Jerman. Oleh karena itu China pada
era 80-an dan 90-an mengalami pertumbuhan ekonomi yang besar. Sejak
tahun 1979 sampai tahun 2010 rata-rata angka pertumbuhan PDB China
mencapai 9,91 %, dan tertinggi pernah mencapai 15,2 % pada tahun 1984.
Pada dekade pertama abad ini, China mencatatkan angka pertumbuhan PDB 13
% pada tahun 2007 sebelum akhirnya mengalami penurunan. Perekonomian
China belum benar-benar muncul kecuali pada dekade lalu. PDB China
melampaui PDB Italia pada tahun 2000, Prancis tahun 2005, Inggris tahun
2006, Jerman tahun 2007 dan akhirnya mengalahkan PDB Jepang pada tahun
2010 (Nin-Hai Tseng, ““China is richer, but most Chinese are still poor”, CNN
online, 17 Feb, 2011). Hal itu menjadikan China sebagai perekonomian
kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Sebagian pihak memprediksi,
China akan menjadi kekuatan perekonomian terbesar di dunia pada akhir
tahun 2019 (“How to gracefully step aside”, The
Economist online, 11 Januari 2011). Periode itu mendorong sebagian
orang China menganggap bahwa masa keemasan (Shengshi) China telah
datang.
3.
Masalah utama kedaulatan perekonomian China adalah bagaimana menjaga
kurs mata uang China Renminbi (juga dikenal dengan Yuan) pada tingkat
tertentu terhadap Dolar Amerika sehingga bisa menjamin ekspornya akan
tetap (harganya) murah dan atraktif mendorong negara-negara di seluruh
dunia mengimpor dari China. China merealisasi hal itu melalui sejumlah
sarana: Diantaranya sebagai contoh, ketika para pemilik pabrik di China
memperoleh pembayaran untuk barang ekspor mereka dalam bentuk Dolar AS,
dolar itu segera dirubah ke Yuan. Hal itu karena tender/transaksi
legal di pasar dalam negeri China adalah menggunakan Yuan. Para pemilik
pabrik harus membayar kepada para suplier, pekerja dan transaksi dalam
negeri (faktur, tagihan, biaya, dll) dalam mata uang Renminbi (Yuan).
Ini menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap Yuan. Sebab permintaan
Yuan meningkat dan mengakibatkan naiknya nilai Yuan terhadap Dolar.
Oleh karena itu Bank Sentral China menggunakan sejumlah teknik untuk
keluar dari masalah ekses Renminbi dari pasar dalam negeri. Diantaranya
adalah obligasi dalam negeri dan alat-alat finansial lainnya. Bank
Sentral China juga mengembalikan dolar yang diperolehnya ke perekonomian
Amerika Serikat melalui pembelian surat utang Amerika Serikat. Dengan
jalan ini pemerintah China mampu menghalangi naiknya nilai (kurs) mata
uangnya terhadap dolar. Dengan jalan ini China menjadi negara utama
pemberi utang kepada Amerika Serikat. Pada bulan Mei 2011 China
menguasai 26% dari surat berharga untuk pasar asing yang dikelola oleh
departemen keuangan Amerika Serikat (setara dengan 8% dari total utang
publik AS).
China
sangat keras membela kebijakan Yuan. Beijing berargumentasi jika nilai
Yuan naik dengan cepat hal itu akan berpengaruh negatif terhadap
ekspornya (sehingga komoditi China biayanya akan lebih banyak dan kurang
mampu bersaing di luar negeri). Jika itu terjadi maka pabrik-pabrik
akan terpaksa tutup dan akibatnya jutaan warga China akan menganggur.
Hal itu akan menjadi ancaman berbahaya terhadap kestabilan China.
4.
Ironisnya, Amerika -partner perdagangan terbesar China- sudah dan terus
memiliki peran besar dalam pertumbuhan ekonomi China. Hal itu dengan
jalan Amerika memberi Beijing status Most Favoured Nation (MFN).
Amerika Serikat terus memperbarui status Most Favoured Nation (MFN) itu
setiap tahun. Padahal ada ketidakseimbangan neraca perdagangan antara
AS dan China. Sampai status itu dibakukan pada tahun 2000. Dan Amerika
mentolerir ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan itu karena
menguntungkan bagi dua tujuan penting:
Pertama,
supaya China terus menerus disibukkan mengatur dan menjamin
sumber-sumber di seluruh dunia untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonominya. Hal itu memaksa China untuk mendapatkan resources lebih
banyak dan lebih banyak lagi. Sehingga China kurang memperhatikan
pengembangan kemampuan militernya. Penting diisyaratkan bahwa Amrika
mengalahkan Uni Soviet melalui politik perlombaan senjata seentara para
pembuat kebijakan di Washington meyakini bisa mengalahkan China melalui
perlombaan dalam aspek ekonomi.
Kedua,
untuk menciptakan kelas orang-orang China yang mencintai kapitalisme
dan nilai-nilai Amerika. Dengan begitu, China akan terancam untuk
memberikan perubahan demokratis. Dengan ungkapan lain, Amerika sudah
dan terus mengintai untuk memicu revolusi di China menentang Partai
Komunis melalui kelas menengah yang terpesona dengan kapitalisme.
Disamping
itu, Amerika Serikat menurunkan kemampuan China dalam memainkan peran
lebih besar di dalam urusan-urusan kawasan dan global. Amerika bekerja
agar pemerintahan China terus disibukkan oleh berbagai persoalan dalam
negeri dan luar negeri yang terjadi di sekitar China. Dan berikutnya
bisa diekploitasi masalah HAM berkaitan dengan perlakuan China terhadap
Tibet dan Xinjiang untuk menentang Beijing. Amerika juga memanfaatkan
masalah Taiwan, Korea Utara dan keamanan di kawasan Asia Pasifik untuk
menjamin penyerapan tenaga para politisi China dan menyibukkan mereka
dengan berbagai persoalan yang tiada putusnya.
5.
Amerika mengalami bencana yang dalam di Irak dan Afganistan disamping
sedang dilanda krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang memperuncing
hubungan Amerika-China. Amerika tidak lagi dinilai sebagai kekuatan
besar seperti dahulu. Dunia berubah dari satu kutub (uni polar) pada
tahun 1991 menjadi multi kutub (multi polar) setelah invasi Irak pada
tahun 2003. Ketika itu, kekuatan-kekuatan besar bersaing dengan Amerika
untuk mengontrol kawasan. China adalah salah satu diantara
negara-negara yang muncul ke permukaan. Ada sebagian intelektual di
Barat yang meyakini bahwa neraca kekuatan global sedang mengalami
perubahan pasti untuk kepentingan China. Beberapa buku yang menarik
perhatian telah diterbitkan diantaranya berjudul: In the Jaws of the Dragon: America’s Fate in the Coming Era of Chinese Hegemony -Dalam Cengkeraman Naga: Masa Depan Amerika Di Tengah Era Hegemoni China- (oleh Eamonn Fingleton, 2008); Juga buku berjudul: When China Rules the World: The End of the Western World and the Birth of a New Global Order -Kapan China Memimpin Dunia: Akhir Dunia Barat Dan Lahirnya Tatanan Dunia Baru- (oleh Martin Jacques, 2009); dan buku berjudul: The Beijing Consensus: How China’s Authoritarian Model Will Dominate the Twenty-First Century -Konsensus Bejing : Bagaimana Model Otoritarianisme China Akan Mendominasi Abad Ke-21- (oleh Stefan Halper, 2010).
Pada
konteks ekonomi tampak bagi seluruh dunia bahwa perekonomian China
telah melewati badai finansial dengan lebih baik dari Amerika dan
Eropa. Oleh karena itu, para pemimpin politik dan ekonomi Amerika
menyerang kebijakan Beijing secara agresiv terkait masalah penjagaan
nilai kurs Renminbi (Yuan) yang rendah. Mereka percaya hal itu akan
menyakiti prospek ekonomi Amerika untuk bangkit dari sakit dan
membahayakan kemampuan Amerika untuk bersaing di pasar global. Pada
Januari 2009, Mr. Geithner sebelum ia menjadi menteri keuangan AS
menyatakan: “presiden Obama meyakini -didukung dengan sejumlah
kesimpulan dari para ekonom secara luas- bahwa China bemain-main dengan
mata uangnya” (Jackies Calmes,”Geithner Hints at Harder Line on China Trade“,
New York Times Online, 22 Januari, 2009 ). Kritik-kritik ini tidak
pada tempatnya. Sebab penurunan nilai dolar itu berkaitan dengan
menurunnya cadangan federal untuk nilai dolar melalui pencetakan uang
dolar baru. Hal itu lebih kuat hubungannya (dengan penurunan nilai
dolar) dari pada kaitannya dengan bank sentral China yang mendukung
penurunan nilai Yuan. Disamping bahwa China belakangan mengijinkan
kenaikan nilai mata uangnya (Yuan), bukan karena tekanan Amerika, akan
tetapi karena memperhatikan fakta bahwa sebagian dari perekonomiannya
yaitu pasar property mengalamioverheating. Hal itu menyebabkan penurunan PDB China yang sekarang mencapai sekitar 8%.
Sedangkan
pada konteks militer, krisis finansial telah membuat Amerika Serikat
mengurangi daerah operasi militernya. Kementerian pertahanan AS
“Pentagon” mengumumkan penurunan besar dalam anggaran pertahanan.
Beberapa program persenjataan telah didrop.
Amerika Serikat secara resmi telah meninggalkan kebijakan terjun ke dua
medan perang pada saat yang bersamaan. Dalam alur ini, Amerika dan
sekutunya di kawasan Asia Pasifik menjadi jauh lebih perhatian dengan
kemampuan militer China dibanding sebelumnya, khususnya terhadap
angkatan laut China. Melemahnya hegemoni militer Amerika di dunia
memberikan dorongan kepada China untuk membesarkan otot militernya.
Sebagai contoh, pada November 2007 China melarang kapal induk USS Kitty
Hawk untuk sampai ke selat Victoria di Hongkong. Pada bulan Maret 2009
sejumlah kapal laut China mengancam kapal survei Amerika Serikat USNS
Impeccable di laut China selatan. Disamping China juga memodernisasi
armada kapal perusaknya, China juga berencana untuk mendapatkan dua
kapal pengangkut pesawat dan telah berinvestasi banyak dalam membangun
kelas baru konvensional, penyerang nuklir dan kapal selam balistik.
Menurut Seth Cropsey, mantan wakil sekretaris angkatan laut AS, China
dapat memiliki kekuatan kapal selam lebih besar dari yang dimiliki oleh
angkatan laut AS yang terdiri dari 75 kapal selam dalam jangka waktu 15
tahun ke depan. Pada waktu China memodernisasi kekuatan militernya, maka
menjadi sulit bagi Amerika untuk melindungi Taiwan. Menurut kajian
RAND tahun 2009, pada akhir tahun 2020, Amerika Serikat tidak akan bisa
lagi melindungi Taiwan dari serangan China. Disamping China
mengkonsentrasikan kekuatannya pada Taiwan, angkatan laut China juga
diproyeksikan menambah kekuatannya di laut China Selatan yang dianggap
sebagai pintu gerbang China ke Asia Pasifik dan jalur transportasi
hidrokarbon dunia.(Robert Kaplan, “The Geography of Chinese Power“, Foreign Affairs May/June 2010).
Sesuatu
yang memicu alarm Amerika adalah perkembangan cepat kekuatan militer
China dan ambisi Beijing dalam memanfaatkan kekuatan angkatan lautnya
untuk menghalangi sampainya kapal Amerika ke beberapa wilayah perairan
dan pelabuhan. Karenanya Amerika belakangan diminta untuk memperbarui
komitmen keamanannya dengan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik yang
meliputi Jepang, Australia, Indonesia dan Korea Selatan. Sebagaimana,
Amerika Serikat juga berjanji memberikan USD 6,4 miliar sebagai senjata
kepada Taiwan. Dalam kunjungan Obama ke negara-negara Asia Pasifik
tahun lalu, Obama setuju penempatan 2.500 pasukan angkatan laut secara
tetap di Australia dan menambah pesawat tempur seperti pembom B-52.
Obama juga mengumumkan untuk mensuplay 24 pesawat tempur F-16 C/D bekas
yang diperbarui kepada Indonesia. Obama juga memperingatkan China akan
perselisihan di laut China Selatan. Obama mengatakan: “saya sudah
mengarahkan team keamanan nasional saya untuk menjadikan eksistensi dan
misi kita di kawasan Asia Pasifik sebagai prioritas … termasuk perkara
yang vital, bukan hanya berkaitan dengan perekonomian kami akan tetapi
juga berkaitan dengan keamanan nasional kami”. Beberapa estimasi
memperkirakan bahwa nilai perdagangan yang melalui laut China Selatan
mencapai lima triliun dolar dimana bagian Amerika mencapai 1,2 triliun
dolar.(Robert Maginnis, “U.S. Declares Cold War With China“, Human Events online, 25 November 2011).
Sebagaimana
Amerika juga berupaya meningkatkan kerjasama perdagangan dengan
negara-negara kawasan Asia Pasifik melalui Perjanjian Kerjasama
Strategis Ekonomis Trans-Pasifik (the Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement -TTP)
untuk mengikat negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia,
Australia, Selandia Baru dan Singapura dengan ikatan ekonomi yang kuat
dan membatasi adanya komoditi China di negara-negara tersebut.
Ringkasnya
Tampak
bahwa China memanfaatkan kemunduran Amerika. China sekarang jauh lebih
tegas dalam masalah laut China Selatan dan masalah perbatasan yang
diperselisihkan dengan Jepang dan Vietnam. China jauh lebih berani dan
konfrontatif seputar permasalahan internasional. Dimana Beijing
belakangan bersikap melawan Amerika Serikat dan Barat di PBB dan memveto
resolusi Dewan Keamanan terkait Suria. Pada saat yang sama, kekuatan
militer China belum sanggup menghadapi Amerika Serikat. Namun kekuatan
militer China tetap siap untuk menghalangi sampainya kapal perang
Amerika ke sebagian jalur perairan dan pelabuhan -awal dari semacam
doktrin Monroe untuk China-. Pada saat yang sama, Amerika Serikat
bekerja menilai permusuhan China yang belakangan terbongkar. Amerika
Serikat siap menggunakan semua resourcesnya
untuk menghalangi China menggantikan posisinya pada dekade mendatang.
Seorang ilmuwan politik AS John Mearsheimer meredaksikan hal itu dengan
jalan yang berbeda. Ia mengatakan bahwa kekuatan hegemoni di belahan
bumi barat akan berusaha menghalangi China menjadi kekuatan yang
mengontrol belahan timur. Isyarat ini menjadi drama abad ini.
Akan
tetapi sebelum China bisa menjadi ancaman bagi Amerika Serikat, China
harus mengatasi sejumlah tantangan dalam negeri, yaitu: fokus berlebihan
terhadap ekspor, dan ancaman perekonomiannya mengalami pelambatan.
Pada tahun 2007 presiden Wen Jiabao mensifati perekonomian China sebagai
“tidak stabil, tidak seimbang, tak terkoordinasi dan tidak
berkelanjutan”. Masalah kependudukannya adalah aging populatin (populasi
yang menua yaitu persentase jumlah penduduk usia tua makin membesar
dibanding penduduk usia muda) -ini adalah akibat dari upaya Mao untuk
membatasi jumlah penduduk China- dimana jumlah penduduk yang berusia
diatas 60 tahun mencapai 178 juta jiwa. Jumlah ini akan menjadi dua
kalinya pada akhir tahun 2030. Masalah ini bukan hanya berarti makin
kecilnya angkatan kerja, akan tetapi masalah pemeliharaan orang-orang
yang sudah pensiun juga akan menjadi permasalahan sosial yang besar.
China juga menghadapi masalah pemilihan presiden baru oleh para elit
pada tahun ini. Skandal Bo Xilai telah menyingkap adanya kecemasan di
kalangan elit. Semua ini banyak bergantung pada bagaimana China
menangani permasalahan-permasalahan itu. Jika China menangani
masalah-masalah itu dengan buruk, maka dunia akan menyaksikan kehancuran
China dan bukan kemunculan China.
Hubungan-hubungan
China-Amerika menciptakan kesempatan besar kepada daulah al-Khilafah di
masa depan untuk mewujudkan perubahan di sejumlah medan. Ini akan
banyak bergantung pada titik sentral daulah al-Khilafah.
Sumber
utama energi China datang dari Timur Tengah dan negara-negara Asia
Tengah. Ini bisa memberikan pengaruh sangat besar untuk daulah
al-Khilafah dengan jalan sebagai berikut:
1.
Memaksa China untuk membuka front kedua dengan Amerika di kawasan
Pasifik. Hal itu bisa terealisasi dengan jalan mendorong China untuk
mengambil kembali Taiwan, dan penyatuan semananjung Korea melalui Korea
Utara. Ini secara otomatis akan mengantarkan pada peperangan dengan
Amerika. Dengan begitu akan memberikan kesempatan kepada daulah
al-Khilafah untuk membebaskan bumi-bumi kaum muslimin.
2.
Mendorong Cina untuk mengerahkan pasukan tambahan di perbatasannya
dengan India, dan mengancam untuk menyerang Arunachal Pradesh dan Aksai
Chin. Tujuan dari hal ini adalah agar India mengerahkan pasukannya
(melawan China), untuk menghalangi India memobilisasi pasukannya
menghadapi Pakistan (dengan asumsi negara Pakistan akan menjadi bagian
dari daulah al-Khilafah).
3.
Mendorong Cina untuk melepaskan Dolar dan Euro yang dimilikinya dengan
imbalan minyak dan gas murah. Hal ini akan menyebabkan masalah besar
bagi Amerika Serikat dan Eropa, dan tentu saja akan mengakhiri dominasi
ekonomi mereka.
4.
Memaksa China merubah perilakunya terhadap kaum muslimin di Turkistan
Timur dan juga terhadap kaum muslimin yang hidup di bagian lain dari
China. Wilayah Turkistan Timur merupakan pintu gerbang untuk
menyampaikan Islam ke China. Pintu gerbang lainnya adalah Taiwan. Jika
Taiwan dikuasai oleh daulah al-Khilafah maka Taiwan akan menjadi
semacam pengangkut pesawat yang tidak bisa ditenggelamkan dan bisa
digunakan untuk mengekspos kekuatan al-Khilafah terhadap daratan China
dan laut China selatan. Hal itu masih ditambah dengan dekatnya
Indonesia dan Malaysia. Semua itu akan memberi kekuatan besar kepada
daulah al-Khilafah di kawasan Asia Pasifik.[
Globalmuslim.web.id]