Generasi
Pragmatis : Akibat Sistem Pendidikan Miskin
Visi
Oleh: Isnaeni
Universitas
Airlangga
Selama
bumi dengan segala kehidupannya masih eksis, pasti akan kita jumpai wujud
kelompok-kelompok yang komitmen memperjuangkan terciptanya bangsa yang besar,
sebagai tonggak sebuah Negara. Salah satu elemen bangsa yang merupakan core kekuatan suatu Negara adalah
generasi muda, sehingga kebesaran suatu bangsa dapat dicirikan oleh kualitas
generasi mudanya. Generasi yang dilahirkana oleh suatu negara dengan kepribadian
unggul dalam konteks memahami keberadaan dirinya sebagai mahluk ciptaan Allah
dengan tugas pokok menjalankan ibadah selama hidupnya, akan menciptakan generasi
pemimpin yang luar biasa tangguhnya. Terkait dengan kualifikasi tersebut,
setiap negara pasti akan memiliki ciri yang spesifik tergatung pada pola
pemerintahan yang dianutnya. Negara Islam pasti memiliki pola yang berbeda
dengan negara sekuler dalam menyiapkan generasinya untuk mewujudkan bangsa yang
besar, karena tolok ukur dan value
yang hendak diraih juga berbeda. Versi islam dalam mencirikan Negara yang besar
adalah Negara yang memiliki komitmen tinggi untuk merealisasikan rahmatan lil
‘alamin dan ini hanya dapat dicapai dengan dukungan para generasi yang shaleh,
bertaqwa kepada Allah SWT, yang memahami, menyadari dan melaksanakan tanggung
jawabnya kepada Allah, Rasul, dan seluruh kaum muslimin sebagai refleksi hablum
minallah wa hablum minannas. Generasi yang memiliki ciri seperti ini insya
Allah akan senantiasa mengemban dakwah Islam untuk mengembalikan kemuliaan
Islam
dan kaum muslimin. Ciri tersebut akan menjadi landasan yang kokoh bagi
generasi dalam berkiprah meraih prestasi baik di bidang keilmuan atau
pengembangan teknolgi maupun dalam meniti karier.
Dalam
dunia pendidikan, ada korelasi yang signifikan antara pemerintah sebagai
lembaga “eksekutif” dengan generasi bangsa sebagai pelaksana yang bersentuhan
secara langsung dengan derap perjuangan menuju bangsa yang beradab dan memiliki
daya saing tinggi terutama di kancah internasional. Penyelenggaran pendidikan
terutama yang di manage oleh
pemerintah dikatakan tidak atau kurang visioner dengan kata lain miskin visi. Sebenarnya lebih tepat kalau dikatakan
bahwa visi yang dicanangkan oleh Diknas sebagai pemangku kepentingan dalam
dunia pendidikan hanya bersifat normatf, dengan menggunakan standar luaran dan outcome yang tidak relevan dengan
potensi, kultur dan budaya bangsa. Selain itu, target capaian mencerdaskan
kehidupan bangsa tidak jelas kualifikasinya. Kriteria bangsa yang cerdas tidak
pernah dielaborasi dengan jelas, sehingga setiap penyelenggara proses
pendidikan memaknai bangsa yang cerdas menurut standar yang tidak baku. Sebagai
contoh visi di salah satu pendidikan tinggi (PT) disebutkan menghasilkan
lulusan yang unggul, inovatif, mandiri dan mampu bersaing baik di tingkat
nasional maupun internasional sesuai disiplin ilmu yang ditekuninya. Instrumen
yang dijadikan alat untuk mengukur keberhasilan PT dalam mencetak para
intelektual atau para pakar di bidang ilmunya juga bersifat kuantitatif dan
sangat pragmatis. Beberapa indikator yang sekarang menjadi tolok ukur kualitas
dan performa intelektual adalah jumlah publikasi internasional, level Scopus, jumlah penelitian dan
kerjasama internasional, jumlah doktor dan jumlah professor. Dalam skala mikro
indikator kinerja suatu proses pembelajaran dianggap memenuhi standar mutu bila
mampu menghasilkan lulusan dengan indeks prestasi tinggi (maksimak 4), waiting time for getting first job nol
bulan bahkan bila perlu diinden dengan gaji pertama tinggi. Ini semua merupakan
produk sistem pendidikan yang pragmatis, yang menurut Syaukah (2011) sebagai
faktor pendorong esensial bagi rusaknya kualitas generasi. Oleh karena itu,
tidaklah heran apabila lahirnya para intelektual berpacu dengan rusaknya kehidupan
dan tumbuh kembangnya berbagai permasalahan di masyarakat yang tidak kunjung
terselesaikan. Hal ini bisa dimengerti, sistem atau lebih spesifik program yang
digelar oleh pemerintah melalui comprehensive
partnership misalnya, tidak dilakukan melalui studi kelayakan yang memadai
dan bahkan tanpa memperhatikan proyeksi
ke depan terkait output dan outcome secara nasional. Program
internasionalisasi tidak diproyeksikan untuk menyelesaikan problematika bangsa,
artinya, masalah bangsa yang mana yang dapat diselesaikan dengan program
tersebut tidak pernah dielaborasi dengan jelas. Apa yang bisa dilakukan oleh
para pemegang nilai Scopus tertinggi di Indonesia dalam menyelesaikan masalah
bangsa, juga tidak jelas. Bagaimana kontribusi para generasi muda sebagai
produk pendidikan pragmatis dalam menyelesaikan problematika bangsa?. Karena
mereka dicetak tanpa proses yang benar berbasis pada tujuan yang hakiki,
sangatlah tidak mungkin kalau kita harapkan mereka mampu berproses
menyelesaikan problematika bangsa. Selama berproses dalam pendidikan dan
pembelajaran baik formal maupun nonformal mereka tidak disentuhkan dengan
tujuan pendidikan yang relevan dengan problematikan bangsa, seperti yang
tersirat dalam visi pendidikan. Para peserta didik harus memaknai sendiri, apa
arti inovatif? Bahwa mereka dituntut melakukan inovasi-inovasi untuk peka
merespon kejadian di alam yang terkait permasalahan umat. Fenomena ini tidak
pernah dijelaskan untuk diimplementasikan, bukan sekedar slogan. Elemen visi
mandiri sangat bertentangan dengan konsep internasionalisasi baik dalam bentuk
kerjasama penelitian maupun kerjasama yang lain. Seharusnya para lulusan
dikondisikan mampu menjual local wisdom
kita yang kaya raya dengan konsep kehidupan yang luar biasa luhurnya. Bagaimana
perjuangan Rasulullah dan para Wali melakukan syiar Islam menjadi contoh
konkrit bentuk pembelajaran yang melibatkan umat untuk berproses menegakkan
kebenaran yang hakiki. Realitasnya, semua konsep yang luhur dan bersifat
universal tersebut mulai ditinggalkan, beralih kiblat ke konsep internasionalisasi
yang sekarang semakin booming.
Sebagai
bekal untuk berkompetisi dengan bangsa lain di zaman sekarang memang tidak ada
pilihan kecuali: generasi suatu negara harus “menguasai” ilmu pengetahuan dan
teknologi serta ilmu lain terkait socio-culture
secara proporsional dengan tuntutan global. Inilah yang dijadikan satu satunya
standar mutu pendidikan yang mencerminkan kegagalan pemerintah selaku pemangku
kepentingan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa memperhitungkan modal
aqidah fikriyah, proses berfikir berbasis pada kesadaran akan integritas Sang Khaliq
sebagai pencipta dan manusia ciptaan Nya yang harus taat pada semua ketentuan
Nya. Ada satu aspek penting yang hilang dan menjadi Pekerjaan Rumah kita semua
bahwa prosesi pembentukan karakter (character
building) selama ini tidak dijadikan unsur utama yang harus dikembangkan
secara berimbang dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan.
Pemahaman akan keseimbangan antara syahsiyah, Tsaqofah dan ilmu kehidupan tidak
dikembangkan secara proporsional baik melalui pendidikan formal maupun informal
mulai dari pra sekolah sampai dengan PT. Bagaimana menanamkan dan
mengkristalkan pemahaman serta kesadaran anak didik akan pentingnya aqidah yang
mendasari seluruh aktivitasnya dalam berproses meningkatkan ilmu pengetahuan
dan ilmu kehidupan, sekarang ini semakin langka.
Pergeseran
paradigma dalam sebuah visi “pencetakan” generasi yang cerdas dan tangguh serta
unggul terjadilah secara nasional bahkan internasional, karena semua ingin
pragmatis, instan tanpa melalui proses yang benar dan syar’i. Ketika para
generasi bangsa yang menyandang atribut intelektual gagal memberikan solusi
terhadap problematika bangsa, mengindikasikan kesalahan sistemik dalam mencetak
para generasi cerdas yang paham benar akan responsibilitasnya sebagai manusia
ciptaan Allah. Pemerintah memiliki syaukah (wewenang) untuk mewujudkan Negara
yang dicita-citakan, sehingga kontribusi pemerintah dalam mewujudkan bangsa
yang besar menjadi tanggung jawab logis yang tidak mungkin dihindari, sesuai
hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Setiap kamu
adalah penggembala (pemimpin) dan setiap kamu pasti akan dimintai pertanggung
jawaban dari gembalaannya. Pemimpin adalah penggembala (rakyat). Dia akan
dimintai pertanggung jawaban dari rakyat yang digembalakannya”. Korelasi
holistik antara pemerintah dan generasi bangsa yang “harmonis” akan melahirkan
bangsa yang besar dalam arti mampu menjamin kehidupan rakyatnya berlangsung
sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Dengan demikian, visi untuk mewujudkan
bangsa yang besar, tangguh, kompetitif, inovatif, sejahtera lahir dan bathin
akan segera terealisasikan. Adalah sangat ironis kalau Negara bercita-cita
mewujudkan bangsa yang besar, sementara tidak berkontribusi penuh dalam
membangun generasi yang tangguh. Oleh karena itu, kaji ulang terhadap visi dan
system pendidikan sudah mendesak untuk dilakukan. Standar pendidikan juga perlu
dikembalikan kepada kemampuan bangsa Indonesia dalam membangun negaranya, tentu
saja sesuai dengan kapasitas dan potensinya.
Generasi
yang bagaimana yang memiliki potensi untuk mewujudkan bangsa yang besar?.
Apakah generasi yang gaul?. Generasi yang berduit, anak pejabat, yang paling
dekat dengan pejabat, yang mendapat fasilitas khusus, sehingga segala
kemauannya terpenuhi?. Apakah generasi yang genius, berotak brilliant?. Apakah
mereka yang selalu sukses dalam menempuh pendidikan dalam semua strata atau
jenjang?. Apakah mereka yang suskses mengembangkan bisnis atau wirausaha?.
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, kita wajib kembali ke syariat Islam.
Generasi yang tangguh untuk memperjuangkan bangsa yang besar tidak dapat
diperoleh secara instant, namun
sebaliknya melalui berbagai proses seperti yang dituntunkan al-Qur’an dalam
surat Luqman ayat 12-17. Luqman mengawali penyiapan generasi yang tangguh
dengan menanamkan tauhid, agar anaknya tidak menyekutukan Allah SWT, karena
tindakan itu jelas merupakan kezaliman yang besar. Dosanyapun termasuk dosa
yang tidak terampuni. Luqman kemudian mengingatkan anaknya akan perintah Allah
agar bersyukur kepada Nya, kepada kedua orang tuanya, karena pengorbanan dan
kasih sayang yang telah diberikan oleh mereka. Luqman juga mengajarkan tentang
muraqabatullah (pengawasan Allah), bahwa tidak ada satupun perbuatan manusia
yang luput dari pemantauan Nya. Luqman pun memerintahkan anaknya agar
mendirikan sholat dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar serta bersabar terhadap
musibah yang menimpanya. Luqman dengan tegas melarang anaknya memalingkan muka
dari manusia karena sombong dan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Beliaupun
memerintahkan anaknya untuk tawadhu’.
Proses untuk membangun bangsa yang peduli
terhadap masalah umat sangat erat kaitannya dengan upaya mencetak generasi muda
sebagai agent of change, yang sadar
akan tanggung jawabnya untuk mengusung konsep perubahan dari masyarakat
jahiliyah yang professional menuju
masyarakat rahmatan lil’alamin. Membangun generasi yang cerdas dan tangguh
berbasis potensi yang dimilikinya dengan landasan konsep yang dituntunkan oleh
Luqman adalah tuntutan dasar dalam mewujudkan bangsa yang besar, bukan bangsa
yang pragmatis. Sistem pendidikan yang berlaku sampai saat ini mencetak
generasi muda cenderung sebagai user
dari suatu keadaan, bukannya sebagai creator
atmosfer kehidupan yang kondusif untuk terciptanya masyarakat yang aman,
sejahtera dan memiliki tanggung jawab penuh sebagai mahluk ciptaan Allah yang senantiasa
menjalankan konsep amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam sebuah buku yang ditulis
oleh Bobby DePorter &Mike Hernacki (2002), disebutkan bahwa belajar
memiliki banyak unsur, antara lain pelajaran dan keterampilan akademis,
keterampilan berpikir, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan manajemen. Dalam
mengakses unsur-unsur tersebut, diperlukan potensi yang meliputi fisik yang
sehat, kreativitas, semangat, motivasi, peka terhadap lingkungan, siap
menanggung beban atau risk taker,
mobilitas dan cita-cita tinggi. Nilai-nilai dan keyakinan dalam pribadi para
generasi dalam mengimplementasikan kemampuannya hendaknya dikembangkan sesuai
dengan tuntutan syariat baik mulai masa kanak-kanak sampai dewasa, dibentuk
oleh budaya dan keluarga dalam lingkungn yang suportif. Nilai-nilai dapat
dibentuk baik melalui pendidikan formal di berbagai jenjang maupun pendidikan
non-formal mulai dari kandungan.
Pertanyaan
berikutnya adalah siapakah yang paling kompeten menyiapkan dan membangun
generasi atau bangsa yang cerdas dan berpendidikan?. Jawabannya adalah tripartite agent lah yang kompeten dalam menyiapkan generasi yang
berpendidikan dan cerdas serta memegang teguh aqidah dan syariat, yaitu
keluarga, masyarakat dan lingkungan serta pemerintah atau Negara. Output pendidikan melalu jalur keluarga
akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah
masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut sampai
ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang
tua. Kontribusi masyarakat dalam menyiapkan generasi cerdas diwujudkan dalam
bentuk partisipasi menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif. .Negara
melalui kebijakan pemerintah harus mampu memfasilitasi proses pendidikan dan
pembelajaran untuk menghasilkan produk yang pada jenjang tertinggi dikemas
sebagai output dan outcome Tri Dharma Perguruan Tinggi.. Misi ketiga agent tersebut hanya dapat berkembang secara
optimal atau terwujud sesuai konsep Luqman apabila diimplementasikan dalam
sistem yang menegakkan syariat Islam. Jaminan terhadap solusi problematika
bangsa terkait terpuruknya daya saing, penyalagunaan sistem eksplorasi kekayaan
alam Indonesia, manipulasi politik pendidikan, manipulasi biaya pendidikan atau bisnis pendidikan insya Allah dapat
direduksi dengan senjata tegaknya syariat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar