SATU
Juni di negeri ini biasa diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila.
Tanggal tersebut merujuk pada pidato Presiden RI yang pertama, Ir.
Soekarno, yang memang bertepatan dengan tanggal 1 Juni 1945, tentang
Pancasila. Sejak itulah Hari Kelahiran Pancasila diperingati setiap
tahun. Jika dihitung sejak tahun 1945 hingga tahun ini, berarti
Pancasila sudah memasuki usia 66 tahun—sudah beranjak tua jika
diasosiasikan dengan manusia.
Namun,
di tengah peringatan Hari Kelahiran Pancasila itu, beberapa waktu
terakhir ini ada sejumlah kerisauan yang dilontarkan sejumlah kalangan.
Pasalnya, secara jujur harus diakui, Pancasila kini telah dilupakan oleh
banyak orang di negeri ini. Selama beberapa hari di bulan ini, Harian
Republika, misalnya, bahkan menyoroti secara khusus fenomena makin
terasingnya Pancasila, terutama di kalangan anak-anak terpelajar dari
level pendidikan rendah hingga perguruan tinggi.
Sebetulnya
kerisiauan ini ini sudah lama. Paling tidak, sekitar dua tahun lalu,
Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD melontarkan hal senada.
Menurut dia, Pancasila telah banyak dilupakan oleh banyak orang terutama
sejak Reformasi 1998. Sejak tahun 1978, ketika lahirnya Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pancasila telah ditempatkan
di sebuah sudut sejarah. “Setelah reformasi 98 Pancasila seolah hilang,
tidak ada lagi pejabat-pejabat resmi yang mengutip Pancasila lagi dalam
setiap pidatonya. Di kampus-kampus dan media juga hilang. Padahal
sebelum itu banyak sekali kutipan Pancasila," kata Mahfud (Detik.com,
30/5/2009).
Kerisauan
banyak kalangan makin bertambah seiring dengan munculnya isu NII,
melengkapi isu radikalisme bahkan terorisme akhir-akhir ini. Karena itu,
Komisi VIII dan Komisi X DPR RI menyepati Pancasila akan tetap
diajarkan di berbagai tingkatan pendidikan di Indonesia mulai tahun
pelajaran 2011/2012 ini. "Sesuai keputusan komisi VIII dan 10 maka pada
tahun ajaran ini akan ada pelajaran wajib Pancasila," kata anggota
Komisi VIII DPR RI asal Madura, MH Said Abdullah, dalam siaran persnya,
Sabtu (21/5) malam.
Menurut
Said, pelajaran Pancasila adalah pelajaran wajib di semua jenjang
tingkat pendidikan. Tidak hanya dari tingkat SD, namun tingkat
pendidikan paling rendah sekalipun, yakni pendidikan anak usia dini
(PAUD) juga harus menerima pelajaran Pancasila. "Termasuk jenjang
pendidikan perguruan tinggi," katanya menambahkan.
Anggota
fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menyatakan,
jika bangsa ini lengah dan mengabaikan Pancasila sebagai ideologi
bangsa, maka hal itu bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) nantinya. “Oleh karena itu, mari kita kembali pada
jatidiri kita dengan satu ideologi kebangsaan, yaitu Pancasila," ucap
Said Abdullah (Republika.co.id, 21/5/2011).
Penegasan
serupa disampaikan oleh cendekiawan senior Ahmad Syafii Ma’arif. Ia
menegaskan, revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mutlak
diperlukan, tak terkecuali oleh umat Islam. Hal ini karena Pancasila
merupakan pengejawantahan nilai-nilai dan prinsip Islam yang universal.
Karena itu, kata Ma’arif yang berbicara dalam diskusi menyoroti
Kebangsaan dan Kemanusiaan di Jakarta, Rabu (25/5), Pancasila bisa
diterima oleh semua golongan. Kegagalan aktualisasi Pancasila tidak bisa
digunakan sebagai alasan tidak mengamalkan dasar negara itu. Apalagi,
menurut dia, kegagalan itu bukan akibat Pancasila, tetapi lantaran
penyalahgunaan rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan. “Jangan
lagi ada pikiran Pancasila gagal,” katanya (Republika.co.id, 25/5/2011).
Yang
menarik, isu Pancasila sering muncul tiba-tiba dengan kemunculan
gerakan radikalisme, isu syariah Islam, termasuk isu Negara Islam atau
Khilafah Islam akhir-akhir ini. Tidak lain, karena isu-isu tersebut
dianggap sebagai antitesis terhadap Pancasila yang telah lama diklaim
sebagai dasar negara. Pertanyaannya: Mengapa isu Pancasila tidak
dimunculkan saat maraknya kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat
negara dan anggota parlemen dari tingkat daerah hingga tingkat pusat?
Mengapa isu Pancasila tidak muncul saat penguasa negeri ini menyerahkan
kekayaan alamnya ke pihak asing atas nama privatisasi? Mengapa isu
Pancasila juga tidak muncul saat negeri ini secara membabibuta
menerapkan ekonomi neoliberalisme? Bukankah semua itu yang malah lebih
pantas dianggap sebagai antitesis terhadap Pancasila?
Namun
demikian, tulisan berikut tidak akan membincangkan lebih jauh
Pancasila. Tulisan berikut—meski diberi judul, “Menafsir Ulang
Pancasila”—hanya ingin membahas ideologi-ideologi besar dunia. Hal ini
penting mengingat “ideologi” Pancasila saat ini bukan hanya berada di
tengah arus besar ideologi-ideologi besar dimaksud. Pancasila bahkan
sudah hanyut dan tenggelam ditelan arus besar ideologi-ideologi besar
terebut. Tegasnya, tulisan ini sekadar ingin memaparkan kembali realitas
ideologi-ideologi di dunia, termasuk posisi “ideologi” Pancasila di
dalamnya.
Realitas Ideologi
Secara
umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang
melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang
menjadi turunannya (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari
ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks
modern terdiri dari: (1) materialisme (al-madiyah); (2) sekularisme
(fashl ad-din ‘an al-hayah); (3) Islam (Al-Islam).
Akidah
ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta
dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan
dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan
setelah dunia ini (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian
melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan
(nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam
berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan
sebagainya.
Akidah
dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut
dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda')
dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar,
pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang
kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada
kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1)
Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2)
Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang
lahir dari akidah Islam.
Realitas Akidah Materialisme, Sekularisme, dan Islam
1. Materialisme.
Materialisme adalah akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan materi belaka. Materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial sehingga tidak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk). Dalam perspektif Karl Marx, peletak dasar ideologi Sosialisme-komunis, alam mengalami evolusi mengikuti hukum gerak materi; alam tidak membutuhkan Akal Holistik (Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003: 3). Senada dengan Marx, Lenin, ideolog sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM), menyatakan, "Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya." (Vladimir Ilich, 1870-1924).
Materialisme adalah akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan materi belaka. Materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial sehingga tidak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk). Dalam perspektif Karl Marx, peletak dasar ideologi Sosialisme-komunis, alam mengalami evolusi mengikuti hukum gerak materi; alam tidak membutuhkan Akal Holistik (Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003: 3). Senada dengan Marx, Lenin, ideolog sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM), menyatakan, "Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya." (Vladimir Ilich, 1870-1924).
Oleh
karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya adalah ateis
(mengingkari Tuhan). Bahkan penganut akidah ini memandang bahwa
keyakinan terhadap Tuhan (agama) adalah berbahaya bagi kehidupan. Dalam
bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama adalah "candu" masyarakat dan
"minuman keras" spiritual. Dalam manifesto politiknya, Lenin secara
ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan spiritual
yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat (Lenin, 1972:
83-87).
Pengingkaran
terhadap eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah keyakinan,
bahwa dunia ini harus diatur berdasarkan prinsip dialektika materialisme
yang melibatkan semua unsur materi, yakni: manusia, alam dan sarana
kehidupan (alat-alat produksi).
Dari
sini muncullah ideologi Sosialisme-komunis. Ideologi ini didasarkan
pada akidah materialisme. Ideologi ini berisi seperangkat aturan yang
khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia (politik, ekonomi,
sosial, pendidikan, budaya, dll); tentu di luar aspek religiusitas dan
spiritualitas manusia yang telah dia ingkari. Dalam sejarah, pengemban
terbesar dan terkemuka ideologi Sosialisme-komunis adalah Uni
Sovyet—sebelum bubar, selain Republik Rakyat China dan Korea Utara saat
ini.
2. Sekularisme.
Sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, akidah ini mengakui keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan. Singkatnya, sekularisme adalah akidah yang menetralkan (baca: memisahkan) agama dari kehidupan.
Sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, akidah ini mengakui keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan. Singkatnya, sekularisme adalah akidah yang menetralkan (baca: memisahkan) agama dari kehidupan.
Secara
historis, sekularisme merupakan akidah "jalan tengah" yang lahir pada
Abad Pertengahan, sebagai bentuk kompromi para pemuka agama yang
menghendaki kehidupan manusia harus tunduk pada otoritas mereka (dengan
mengatasnamakan agama), dengan para filosof dan cendekiawan yang menolak
otoritas agama dan dominasi para pemuka agama dalam kehidupan. Dengan
demikian, para penganut sekularisme sebetulnya tidak mengingkari Tuhan
(agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan agar Tuhan (agama)
tidak mengatur kehidupan mereka.
Pengingkaran
terhadap otoritas Tuhan ini selanjutnya melahirkan sebuah pandangan
bahwa manusialah—melalui mekanisme demokrasi—yang berwenang secara
mutlak untuk mengatur kehidupannya sendiri secara bebas, tanpa campur
tangan Tuhan (agama). Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme-sekular.
Ideologi ini berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya,
dll); tentu di luar aspek agama yang telah mereka singkirkan dari
kehidupan. Dalam sejarah ideologi Kapitalisme-sekular ini diterapkan
oleh negara-negara Eropa hingga saat ini. Adapun pengemban utama
ideologi ini adalah Amerika Serikat, yang dengan Kapitalisme globalnya,
mampu menjadi negara adidaya hingga hari ini, lengkap dengan segala
keburukannya.
3. Islam.
Islam adalah akidah yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta alam, manusia dan kehidupan ini; sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia. Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT.
Keyakinan terhadap eksistensi sekaligus otoritas Tuhan inilah yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak dan berhak membuat hukum, sementara manusia hanya sekadar pelaksananya saja. Dari sini lahirlah ideologi Islam.
3. Islam.
Islam adalah akidah yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta alam, manusia dan kehidupan ini; sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia. Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT.
Keyakinan terhadap eksistensi sekaligus otoritas Tuhan inilah yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak dan berhak membuat hukum, sementara manusia hanya sekadar pelaksananya saja. Dari sini lahirlah ideologi Islam.
Ideologi
ini juga berisi seperangkat aturan dalam berbagai aspek kehidupan
manusia (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, dll); termasuk
tentu saja yang menyangkut aspek religiusitas dan spiritualitas manusia,
atau yang menyangkut agama. Dalam sejarah, ideologi Islam diterapkan
oleh Rasulullah saw. sejak beliau mendirikan Daulah Islam di Madinah dan
oleh para khalifah sesudah beliau dalam sejarah panjang Kekhilafahan
Islam selama lebih dari 13 abad. Sayangnya, sejak Khilafah Islam
terakhir di Turki (Kekhilafahan Turki Utsmani) diruntuhkan oleh Inggris
melalui anteknya Mustafa Kamal Attaturk tanggal 3 Maret 1924, ideologi
Islam belum pernah diterapkan lagi hingga hari ini.
Menimbang Ideologi Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular dan Islam
Dari paparan di atas, manakah akidah/ideologi yang masuk akal (rasional) dan sesuai dengan fitrah manusia? Jawabannya adalah sebagai berikut:
Dari paparan di atas, manakah akidah/ideologi yang masuk akal (rasional) dan sesuai dengan fitrah manusia? Jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Sosialisme-komunis.
Dalam perspektif rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta, ideologi ini jelas tidak rasional. Alasannya: (a) Seluruh materi yang ada di dunia ini, termasuk manusia, memiliki keterbatasan dan bergantung pada yang lain. Akal kita yang jujur akan mengakui, bahwa segala yang terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang Tak Terbatas.
Dalam perspektif rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta, ideologi ini jelas tidak rasional. Alasannya: (a) Seluruh materi yang ada di dunia ini, termasuk manusia, memiliki keterbatasan dan bergantung pada yang lain. Akal kita yang jujur akan mengakui, bahwa segala yang terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang Tak Terbatas.
Itulah
Pencipta, Tuhan. (b) Manusia dan alam semesta memiliki keseimbangan,
keteraturan, harmoni, dan keindahan yang luar biasa; yang semua itu
tidak mungkin terjadi serba kebetulan tanpa ada Zat Yang menciptakan dan
mengendalikannya.
Adapun
secara fitrah, ideologi ini jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa
dalam diri manusia ada naluri beragama (religiusitas), yang mendorongnya
selalu cenderung untuk melakukan pengagungan/pemujaan kepada Zat Yang
lebih tinggi dari dirinya; baik mereka akui atau tidak; baik yang mereka
agungkan itu Tuhan Yang sebenarnya atau "Tuhan" palsu. Pada faktanya,
orang-orang ateis hanya mengalihkan pengagungan itu—yang seharusnya
kepada Tuhan—menjadi kepada manusia.
2. Kapitalisme-sekular.
Dalam tinjauan nalar, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur manusia adalah juga tidak rasional. Alasannya: (a) Pengingkaran atas otoritas itu telah melahirkan sikap manusia untuk membuat sendiri aturan bagi kehidupannya. Padahal manusia, sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa memahami hakikat dirinya sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah Pencipta-Nya, yakni Allah SWT.
Dalam tinjauan nalar, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur manusia adalah juga tidak rasional. Alasannya: (a) Pengingkaran atas otoritas itu telah melahirkan sikap manusia untuk membuat sendiri aturan bagi kehidupannya. Padahal manusia, sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa memahami hakikat dirinya sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah Pencipta-Nya, yakni Allah SWT.
Apabila
manusia tidak memahami hakikat dirinya sendiri, apalagi membuat aturan
yang terbaik bagi dirinya. (b) Tuhan—dalam hal ini Allah SWT—telah
menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui utusan (Rasul)-Nya untuk
mengatur kehidupan manusia. Secara rasional, al-Quran dapat dibuktikan
kebenarannya sebagai wahyu Allah. Karena itu, menjauhkan otoritas Tuhan
Yang Mahatahu untuk mengatur kehidupan manusia adalah tidak rasional.
Adapun
secara fitrah, manusia, ketika dibiarkan bebas membuat sendiri
peraturan bagi kehidupannya, terbukti melahirkan banyak perbedaan,
pertentangan, bahkan konflik. Peraturan yang dibuat juga sering
berubah-ubah sesuai dengan kecenderungan dan hawa nafsu manusia. Lebih
dari itu, fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat
manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa
nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, menciptakan banyak
kerusakan dan menimbulkan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi seperti
saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada rakyat melalui
mekanisme demokrasi.
3. Islam.
Dalam perspektif akal, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia adalah rasional. Alasannya: (a) Pada faktanya, di samping akal dapat membuktikan secara benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT itu ada, akal pun dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa al-Quran kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan secara rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang Mahakuasa. (b) Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat bagi umat manusia seluruhnya. Ini adalah fakta sejarah yang pernah terjadi dan berjalan selama-berabad-abad sejak zaman Nabi saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan Kekhilafahan Islam terakhir di Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan terhadap al-Quran yang dilakukan penguasa.
3. Islam.
Dalam perspektif akal, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia adalah rasional. Alasannya: (a) Pada faktanya, di samping akal dapat membuktikan secara benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT itu ada, akal pun dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa al-Quran kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan secara rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang Mahakuasa. (b) Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat bagi umat manusia seluruhnya. Ini adalah fakta sejarah yang pernah terjadi dan berjalan selama-berabad-abad sejak zaman Nabi saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan Kekhilafahan Islam terakhir di Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan terhadap al-Quran yang dilakukan penguasa.
Adapun
secara fitrah, pengakuan atas eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya
untuk mengatur manusia sesuai dengan fitrah manusia yang serba terbatas,
serba kurang, dan serba lemah; yang menjadikannya butuh pada yang lain.
Keserbaterbatasan, keserbakurangan, dan keserbalemahan manusia ini pada
faktanya membuktikan bahwa manusia membutuhkan berbagai peraturan bagi
kehidupannya yang tidak berasal dari dirinya, tetapi bersumber dari
al-Khalik, Tuhan Pencipta alam.
Posisi Pancasila
Jika
demikian, pertanyaannya adalah: Di manakah posisi Pancasila? Apakah
Pancasila bisa disebut sebagai ideologi? Ataukah Pancasila hanya
falsafah belaka yang tidak berdimensi apa-apa selain sebagai sebuah
dogma atau sekumpulan nilai yang bersifat normatif?
Jawaban
atas pertanyaan ini sebetulnya bisa ditunjukkan melalui dua pendekatan:
filosofis maupun praktis. Secara filosofis, jika kita sepakat dengan
paparan tentang konsep ideologi di atas, nyata sekali bahwa Pancasila
hanyalah sebuah falsafah atau sekumpulan nilai yang bersifat normatif
karena tidak melahirkan sistem atau seperangkat aturan apapun. Buktinya,
sampai hari ini tidak ada seorang ilmuwan, pakar atau cendekiawan di
negeri ini yang mampu merumuskan, misalnya, bagaimana wujud sistem
ekonomi Pancasila; bagaimana wujud sistem politik Pancasila; bagaimana
wujud sistem hukum Pancasila; atau bagaimana wujud sistem sosial dan
sistem pendidikan Pancasila?
Adapun
secara praktis, faktanya pengelola negara ini sejak zaman
Soekarno—sebagai perumus Pancasila—hingga rezim yang tegak saat ini
malah merujuk pada ideologi Sosialisme ataupun Kapitalisme dalam
mengelola negara ini. Dari sisi ekonomi, misalnya, zaman Soekarno lebih
bercorak sosialis—jika tidak dikatakan campuran sosialis dan kapitalis;
zaman Soeharto bercorak kapitalistik-liberal. Adapun pasca Orde Baru
negara ini menganut sistem ekonomi kapitalisme yang bercorak neoliberal.
Sementara itu, secara politik, yang diterapkan di negeri ini adalah
sistem demokrasi; dari mulai “Demokrasi Terpimpin” ala Soekarno di zaman
Orde Lama, “Demokrasi Pancasila” di zaman Orde Baru hingga “Demokrasi
Liberal” di zaman Orde Reformasi kini. Padahal demokrasi—meski
diembel-embeli Pancasila—tetaplah merupakan sistem politik yang
merupakan subsistem dari ideologi Kapitalisme maupun Sosialisme
Lalu,
kalau begitu, di mana posisi Pancasila? Pancasila sebetulnya tidak
pernah diterapkan oleh para penguasa di negeri ini. Karena hanya
merupakan falsafah, tidak benar-benar merupakan ideologi, para penguasa
negeri ini hanya merujuk pada ideologi selain Pancasila—baik bercorak
sosialistik ataupun kapitalistik—dalam mengelola negara ini, sebagaimana
hal itu dipraktikkan justru sejak Kelahiran Pancasila sekitar 66 tahun
lalu. Dengan kata lain, Pancasila hanyut bahkan tenggelam oleh arus
besar ideologi Kapitalisme-sekular saat ini, yang bercorak sangat
liberal. Walhasil, tidak aneh jika Pancasila akan selalu tergerus dan
terlindas justru oleh bangsanya sendiri, khususnya oleh para
penguasanya.
Pentingnya Ideologi Islam
Jika
memang para penguasa negeri ini pada faktanya selalu merujuk pada
ideologi di luar Pancasila, mengapa mereka tidak pernah tertarik apalagi
mau merujuk pada ideologi Islam? Mengapa selama bertahun-tahun mereka
selalu merujuk pada ideologi Kapitalisme-sekular? Padahal bukankah
Kapitalisme-sekular telah gagal bahkan di negeri Barat sendiri sebagai
tempat kelahirannya? Bukankah secara nalar (rasio, akal) maupun fitrah,
juga berdasarkan realitas sejarah manusia, terbukti bahwa hanya Islamlah
satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah manusia?
Sebaliknya,
bukankah Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular adalah ideologi
yang tidak rasional dan bertentangan dengan fitrah manusia; di samping
terbukti dalam sejarah telah menimbulkan banyak ekses negatif, kerusakan
dan kekacauan?
Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali ke pangkuan ideologi Islam.
Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali ke pangkuan ideologi Islam.
Caranya
adalah dengan menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah), yang
memang telah sesuai dengan fitrah manusia, dalam semua aspek kehidupan,
yang memang terpancar dari akidah Islam. Sebaliknya, sudah selayaknya
kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan yang berasal dari
ideologi Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular, yang nyata-nyata
bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan
kehidupan umat manusia.
Keengganan
manusia untuk diatur dengan aturan-aturan Allah hanyalah merupakan
bukti kesombongan, kelancangan dan kekurangajaran dirinya di hadapan
Penciptanya, Allah SWT, Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu. Jika kita
tetap bertahan untuk berkubang dalam aturan-aturan buatan manusia dan
tetap enggan diatur dengan aturan-aturan Allah, layaklah kita
merenungkan kembali firman Allah SWT. berikut:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).
Ya,
sekali ini kita patut merenungkan: Adakah hukum/aturan yang lebih baik
dibandingkan dengan hukum/aturan-aturan Allah?! Apakah
hukum/aturan-aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis dan
Kapitalisme-sekular—yang notabene buatan manusia yang serba terbatas,
serba kurang, dan serba lemah—yang lebih baik ataukah
hukum/aturan-aturan Islam yang notabene buatan Allah Pencipta manusia
Yang Mahatahu atas segala sesuatu?!
Lalu
mengapa kita tetap betah berkubang dalam sistem/aturan yang berasal
dari Kapitalisme-sekular yang terbukti buruk ini dan tidak segera
beranjak menuju sistem/aturan yang bersumber dari ideologi Islam sebagai
ideologi penebar rahmat?!
Sekaranglah saatnya bangsa ini mempertegas ideologi negaranya, tidak lain dengan ideologi Islam!
Sekaranglah saatnya bangsa ini mempertegas ideologi negaranya, tidak lain dengan ideologi Islam!
Wama tawfiqi illa billah! []
Arief B. Iskandar adalah penulis buku Tetralogi Dasar Islam dan editor buku Ilusi Negara Demokrasi, keduanya diterbitkan oleh Al-Azhar Press.
Daftar Bacaan:
‘Abduh, Ghanim, 1963, Naqd al-Isytirâkiyah al-Marksiyah, t.p., Al-Quds.
Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, Darul Bayariq, Beirut.
An-Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhâm al-Islâm, t.p., al-Quds.
Iskandar, Arief B., 2010. Tetralogi Dasar Islam, Al-Azhar Press, Bogor.
_______________, 2009. Ilusi Negara Demokrasi, Al-Azhar Press, Bogor.
Ismail, Muhammad Muhammad,. 1958, Al-Fikr al- Islâmi, t.p, Kairo.
Lenin, Collected Works, Progress Publishers, Moscow, 1972. Cet. ke-3.
Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, Darul Bayariq, Beirut.
An-Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhâm al-Islâm, t.p., al-Quds.
Iskandar, Arief B., 2010. Tetralogi Dasar Islam, Al-Azhar Press, Bogor.
_______________, 2009. Ilusi Negara Demokrasi, Al-Azhar Press, Bogor.
Ismail, Muhammad Muhammad,. 1958, Al-Fikr al- Islâmi, t.p, Kairo.
Lenin, Collected Works, Progress Publishers, Moscow, 1972. Cet. ke-3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar