Caria Ningsih, SE, MSi
(Dosen Ekonomi,
& Pengurus Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi
Islam,
Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Pendidikan Indonesia)
Dunia pendidikan
Indonesia seolah mendapat
‘angin surga’ atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-VI I 2008, tentang bahwasannya pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20 persen dari
APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Pemerintah
pun segera merespon keputusan
MK tersebut. APBN 2011, anggaran pendidikan sebesar Rp
225,2 triliun atau
20% dari APBN.
Namun faktanya peningkatan anggaran pendidikan pada APBN
2011 tidak mampu menghilangkan ‘nuansa’ liberalisasi maupun komersialisasi (komodifikasi)
pendidikan Indonesia.UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Walapun UU BHP telah dibatalkan oleh MK, namun sekarang bergulir RUU PT
yang memiliki semangat yang sama, yaitu otonomi lembaga pendidikan. Akuntabilitas,
transparansi serta efisiensi birokrasi dianggap sebagai solusi dari
permasalahan pendidikan di Indonesia, yang dinilai bersumber dari inefisiensi
birokrasi. Namun di balik itu semua, berubahnya bentuk institusi pendidikan
menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam
memperoleh pendidikan. Hal ini merupakan penyelewengan terhadap tujuan dan
filosofi
pendidikan Indonesia.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DITJEN-DIKTI), Dengan rumusan
UNESCO meratifikasi Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi, Higher Education
Long Term Strategy (HELTS).HELTS IV (2003-2010),diarahkan
untuk menciptakan persaingan antar PT di dalam negeri (The Nation’s Competitiveness), menghidupkan semangat otonomi, serta penyehatan ke-Organisasian (Organizational Health). Berbagai
program penguatan manajemen pendidikan tinggi ditawarkan Bank Dunia, DUE (Development for Undergraduate Education),
dan sebagainya.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan
tinggi di Indonesia memang telah masuk dalam paradigma baru. Dimana paradigma
baru pendidikan tinggi ini telah mengubah peran dan fungsi pemerintah, melalui
Dirjen-Dikti, yang semula sebagai penanggungjawab pendidikan tinggi, menjadi
hanya sekedar fasilitator saja.
Pada RUU
PT, pasal
85 kebolehan PTN menyelenggarakan badan usaha.
Pasal ini menjadi legalitas bagi
PTN untuk tidak hanya focus pada aktivitas mencetak intelektual dan peneliti yang handal dengan penemuan-penemuan yang produktif untuk masyarakat, akan tetapi harus membagi
perhatian bahkan bisa jadi kegiatan badan usaha ini akan lebih menyedot perhatian
PT serta menyelewengkan mereka dari visi,
misi dan, tujuan
PT yang seharusnya fokus pada pendidikan dan pengajaran, menjadi fokus kepada bisnis,
apalagi ketika pendanaan dari pemerintah pada kenyataannya tidak mencukupi. Pada institusi berorientasi bisnis,
proses belajar mengajar tidak lagi menjadi prioritas utama. Dan ini adalah pelanggaran terhadap Tri Drama PT yang
pertama yaitu pendidikan.
Pengelolaan institusi yang tidak independen, dan
bergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan akan menyebabkan PT sebagai
salah satu pusat riset juga bergantung pada keinginan pihak-pihak yang berkepentingan
tersebut (lihat pasal 97). Akibat
lanjutannya, PT hanya akan menghasilkan lulusan yang diserap oleh perusahaan
asing atau menyelesaikan permasalahan asing namun tidak peka dan mampu
menyelesaikan permasalahan dalam negeri. Manusia yang terbentuk hanyalah
manusia yang kapitalis dan pragmatis yang hidupnya bergantung keadaan dan tidak
mandiri.Jelaslah telah terjadi komodifikasi pendidikan
Indonesia.
Komodifikasi pendidikan
Indonesia merupakan konsekuensi Ekonomi
Neoliberal. Hal ini dibuktikan dengan semenjak Indonesia bergabung dalam
World Trade Organization (WTO).Sejak
diterbitkannya UU no 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Sebagai
konsekuensinya Indonesia pun makin terbuka lagi terhadap segala produk asing,
termasuk produk pendidikan. Ini merupakan bukti penerapan ekonomi neoliberal di
Indonesia. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh
kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi
sektor pendidikan. Sebagai anggota WTO Indonesia juga harus menandatangani General
Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi
perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya.
Indonesia juga memiliki UU PMA (Penanaman Modal Asing) dan Perpres no. 77 tahun
2007 dan Perpres no.111 tahun 2007, yang
di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74, dimasukkan
sektor pendidikan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor asing
dengan penyertaan modal maksimum 49 %.
Neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat
memuliakan mekanisme pasar. Dalam ekonomi neoliberal, campur tangan negara
walaupun diakui diperlukan, namun harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan
sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar (Revisond Baswier, 2009). Penerapan neoliberalisme menemukan
momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas
di negara-negara berkembang.
Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF),
merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket
kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang
menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut meliputi: (1)
pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi;
(2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4)
pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia pada akhir 1980 hingga kini rekomendasi atau
resep Konsensus Washington ternyata telah diimplementasikan. Indonesia,
misalnya, telah melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan
meratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO) pada 1995. Pelaksanaan agenda-agenda
ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia
dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat
disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah
bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu,
pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan
USAID.
Berdasarkan analisis penulis, besarnya anggaran
pendidikan pada APBN 2011 kemungkinan besar ‘bertujuan’ untuk ‘menyehatkan’ Badan
Hukum Pendidikan (BHP), baik pada tingkat sekolah dasar, menengah sampai
perguruan tinggi, agar menjadi Badan Hukum (perusahaan) yang ‘layak jual’
(baca: diprivatisasi). Analogi yang sama seperti yang terjadi pada INDOSAT yang
‘dijual’ ke perusahaan SingTel, Singapura, justru pada saat INDOSAT sedang
mengalami pertumbuhan laba secara pesat.
Dengan adanya otonomi daerah dan otonomi
pendidikan, maka corporate akan dengan mudah secara langsung ke
daerah-daerah dan sekolah-sekolah yang memiliki potensi besar untuk dijadikan
sebagai pasar untuk mendapatkan tenaga kerja murah, mengambil kekayaan alam
daerah secara langsung dengan menggunakan SDM lokal sebagai pekerja, dan
memperkokoh penanaman nilai-nilai asing (Sekularisme, Liberalisme,
Individualisme, dan gender) untuk tetap menjadikan generasi bangsa ini secara
sukarela menjadi komprador asing dan tenaga kerja murah untuk kepentingan
asing. Standar-standar mutu pendidikan akan diarahkan sesuai dengan keinginan
mereka dengan menggunakan pemeringkatan melalui Human Development Indeks
(HDI), Programme for International Student Assessment (PISA), Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) dan Organization for Economic
Cooperation Development (OECD)/Organisasi Kerja sama dan Pembangunan
Ekonomi. Standar-standar ini secara tidak langsung menjadikan negara-negara
maju dapat menguasai pasar dunia sekaligus melakukan kontrol dan pengawasan
ketat terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Pemerintah pun telah
melegalisasi privatisasi pendidikan dengan dikeluarkannya UU No 20 tahun 2003
tentang penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Badan Hukum Pendidikan
(BHP) dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Untuk melegalkan program-program yang ditawarkan,
negara-negara berkembang termasuk Indonesia diikat oleh komitmen-komitmen
global, yaitu atas nama pendidikan hak asasi manusia (HAM, Konvensi Hak Anak)
dan konferensi Dakkar tentang Education For All yang dikoordinasi oleh
lima perwakilan multilateral dari jaringan PBB-Organisasi Pendidikan dan
Kebudayaan PBB (UNESCO), Organisasi Pendanaan Pendidikan Anak-anak PBB (UNICEF)
dan Bank Dunia. kerjasamapemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, program USAID-Decentralized Basic Education (Pendidikan Dasar yang Terdesentralisasi) bekerjasama dengan pemerintah daerah dan
UPI untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. DBE1 dan UPI menggunakan pendekatan dengan pola terfokus, pendampingan yang intensif,
serta didukung dengan jangkauan yang
tidak terlaluluas. DBE hanya membina beberapa sekolah di dua gugus per kabupaten/kota, di dalam kabupaten yang jumlahnya juga terbatas.Lembaga-lembaga tersebut memberikan
bantuan gratis melalui program-program percontohan untuk selanjutnya dilakukan
secara mandiri, contoh CLCC melalui UNICEF-UNESCO dan World Bank, MBE/DBE oleh
USAID-USA, BEP oleh AusAid-Australia, DBEP dari Belanda, dll. Akibatnya sejumlah program dalam dunia pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi menjadi profit oriented.
Jelaslah bahwa carut marutnya dunia pendidikan di
Indonesia merupakan salah satu dampak dari penerapan ekonomi neoliberal di
Indonesia. Kebobrokan sistem ekonomi Kapitalis, berdampak pula pada kebobrokan
sistem pendidikan nasional.
1 komentar:
Thanks ya sob udah share .......................
bisnistiket.co.id
Posting Komentar