Oleh: Hj Nida Sa’adah
SE,AK (Muslimah HTI)
Pendahuluan
Ada sebuah pertanyaan besar yang mengganjal di kepala banyak
orang sekarang ini, mengapa dahulu umat Muslim bisa begitu maju dan jauh
mengungguli bangsa lain dalam hal ilmu pengetahuan? Mengapa sekarang keadaannya
menjadi terbalik? Adakah sesuatu yang salah?
Pada masa Daulah Islam tegak yang
dimulai dengan kepemimpinan Rasulullah di Madinah, model pendidikan sudah mulai dirintis dan Rasulullah pun sangat
menghargai ilmu pengetahuan. Pada masa kekhilafahan Islam, pendidikan diberikan
kepada seluruh warga negara tanpa biaya. Pemerintah saat itu benar-benar
menyadari bahwa pelajar adalah sebuah investasi masa depan bagi keberlangsungan
Islam.
Dalam Al-Quran terdapat banyak
sekali anjuran untuk menuntut ilmu, perintah agar kita membaca (‘iqra),
berobservasi (a falaa yarauna), explorasi (a falaa
yanzhuruuna), dan ekspedisi (siiruu fil ardhi). Sangat banyak pula ayat-ayat
Al-Quran yang menyatakan keutamaan orang yang berilmu, contoh yang paling
terkenal adalah QS. Al Mujaadilah 11:
Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Orang yang berilmu mempunyai
kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan masyarakat. Al-Quran
menggelari golongan ini dengan pelbagai gelaran mulia dan terhormat yang
menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah Ta’ala
dan makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun fil Ilm” (Ali Imran :
7), “Ulul al-Ilmi” (Ali Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Ali Imran : 190),
“al-Basir” dan “as-Sami’ ” (Hud : 24), “al-A’limun” (al-A’nkabut : 43),
“al-Ulama” (Fatir : 28), “al-Ahya’ ” (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan
gelaran mulia lain.
Begitu gencarnya ayat-ayat tentang
orang berilmu didengungkan, sehingga belajar dan mencari ilmu pengetahuan diyakini sebagai kewajiban bagi setiap
individu Muslim, dengan implikasi berdosalah mereka yang tidak melakukannya.
Menuntut ilmu menjadi sebuah ibadah fardhu
‘ain bagi seorang Muslim. Ia mendorong terciptanya masyarakat
sains yang merupakan pondasi dari lahirnya peradaban Islam.
A.Garis-Garis Besar Politik Ekonomi
Islam Untuk Pendidikan
Politik
ekonomi dalam Islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan
primer (al-hajat al-asasiyah/basic needs) tiap-tiap individu dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier (al-hajat
al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam
masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup khas.
Menjadi sebuah keharusan bagi
negeri-negeri Islam merancang politik ekonominya sendiri berdasarkan pemikiran
komprehensif yang dianutnya, yaitu aqidah Islam. Artinya, kebijakan ekonomi
negeri-negeri Islam harus berupa hokum-hukum syara` yang digali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dalil-dalil
yang ditunjukkan oleh keduanya. Maka kebijakan ekonomi selain itu adalah
kebijakan yang rusak. Rancangan dan usaha penerapannya tidak mengantarkan
kecuali pada bertambahnya akumulasi masalah-masalah ekonomi, semakin miskinnya
manusia, pengabadian keterbelakangan dan ketertekanan.
Kebutuhan
primer menurut pandangan Islam terbagi dua. Pertama, kebutuhan primer bagi tiap
individu rakyat. Kedua, kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan.
Kebutuhan primer bagi tiap individu
adalah adalah sandang, pangan, dan papan. Ketiganya merupakan basic needs bagi setiap individu. Adapun
yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan,
pengobatan, dan pendidikan.
Keberadaan pendidikan termasuk
diantara kebutuhan primer adalah berdasarkan hadits Imam Bukhari dari Abu Musa
dari Rasulullah saw bersabda:
ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﺑﻌﺜﻨﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﺍﻟﻌﻠﻢ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﻐﻴﺚ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ
ﺃﺻﺎﺏ ﺃﺭﻇﺎ
ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻨﻬﺎ ﻧﻘﻴﺔ ﻗﺒﻠﺖ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻓﺄﻧﺒﺘﺖ ﺍﻟﻜﻸ ﻭﺍﻟﻌﺸﺐ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ
ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻨﻬﺎ
ﺃﺟﺎﺩﺏ ﺍﻣﺴﻜﺖ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻓﻨﻔﻊ ﺍﷲ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺸﺮﺑﻮﺍ ﻭﺳﻘﻮﺍ
ﻭﺯﺭﻋﻮﺍ
ﻭﺃﺻﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺃﺧﺮﻯ ﺇﻧﻤ ﺎﻫﻲ ﻗﻴﻌﺎﻥ ﻻﺗﻤﺴﻚ ﺍﻟﻤﺎﺀ
ﻭﻻﺗﻨﺒﺖ
ﺍﻟﻜﻸ ﻓﺬﺍﻟﻚ ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻓﻘﻪ ﻓﻲ ﺩﻳﻦ ﺍﷲ ﻭﻧﻔﻌﻪ ﻣﺎ ﺑﻌﺜﻨﻲ ﺍﷲ ﺑﻪ
ﻓﻌﻠﻢ ﻭﻋﻠﻢ
ﻭﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺮﻓﻊ ﺑﺬﺍﻟﻚ ﺭﺃﺳﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﺒﻞ ﻫﺪﻯ ﺍﷲ ﺍﻟﺬﻱ
ﺃﺭﺳﻠﺖ ﺑﻪ
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang
dengannya aku diutus Allah, seperti air hujan yang menyirami bumi, diantara
bumi (tanah) itu ada tanah yang subur yang menerima air, lalu tumbuh darinya
rumput dan tanaman yang banyak, dan diantaranya ada tanah yang tandus yang
menahan air, dimana dengan air itu Allah memberi manfaat kepada manusia, mereka
minum, mengairi, dan menanam. Dan diantaranya mengenai kelompok tanah yang
lain, yaitu tanah yang terbalik yang tidak menahan air dan tidak tumbuh rumput,
maka yang demikian itu seperti orang yang mengerti agama Allah, dia mendapatkan
manfaat dengan apa yang Allah mengutus aku untuk membawanya, dan setelah dia
mengerti dia mengajarkannya.Dan seperti orang yang dengan (apa yang aku bawa)
itu tidak menjadikannya mengangkat kepala, serta tidak menerima petunjuk Allah
yang aku diutus untuk menyampaikannya.”
Dalam hadits ini Rasulullah saw
menyamakan penolakan dan penerimaan manusia terhadap ilmu dan petunjuk dengan
penerimaan tanah terhadap hujan, dan ada tidaknya pemanfaatan air hujan oleh
tanah. Air hujan termasuk diantara kebutuhan primer manusia, maka begitu juga
halnya dengan petunjuk dan ilmu. Dengan demikian menunjukkan bahwa ilmu
termasuk diantara kebutuhan primer.
Hal ini juga dikuatkan dengan sabda
Rasulullah saw:
ﻣﻦ
ﺍﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻳﺒﺚ ﺍﻟﺠﻬﻞ
“Diantara tanda-tanda (datangnya hari)
kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan”.(HR Bukhari, Muslim,
dan Ahmad dari Anas)
ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳﻘﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻳﻈﻬﺮﺍﻟﺠﻬﻞ
“Diantara tanda-tanda (datangnya hari) kiamat adalah
berkurangnya ilmu dan bertambah nyatanya kebodohan”.(HR
Bukhari dari Anas)
Sabda Rasul ini mengisyaratkan bahwa
hilangnya ilmu termasuk diantara tanda berakhirnya kehidupan dunia ini. Hal itu
menunjukkan bahwa ilmu termasuk diantara hal-hal yang eksistensinya merupakan
suatu keharusan. Kebutuhan primer ini merupakan suatu kewajiban yang harus
dijalankan oleh Negara.
Menyangkut pendidikan telah terdapat
ijma` shahabat terhadap pemberian nafkah para guru sejumlah tertentu yang
diambil dari baitul mal (kas Negara) sebagai upah bagi mereka. Diriwayatkan dari
jalan Ibnu Abi Syaibah dari Shadaqah ad-Dimasyqi dari al-Wadhiyah bin Atha`
yang berkata: “Di Madinah terdapat tiga
orang guru yang mengajar anak-anak. Umar member nafkah tiap-tiap dari mereka
lima belas dinar setiap bulan”. (15 dinar setara dengan 63,75 gram emas).
Di samping itu, Rasulullah saw telah
menentukan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh
anak-anak kaum muslimin. Ini membuktikan bahwa masalah pendidikan menjadi
tanggung jawab Negara.
Tanggung jawab Negara terhadap
pendidikan adalah sama, baik terhadap fakir miskin maupun orang kaya. Sebab
pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Disamping itu, harta yang
dibayarkan untuk para guru sebagaimana masa kepemimpinan Rasulullah dan para
khalifah, tidak dikhususkan untuk pendidikan anak-anak kaum fakir miskin,
tetapi bersifat umum meliputi fakir miskin dan orang kaya.
Meskipun pengadaannya bagi semua
manusia menjadi tanggung jawab Negara, namun seseorang tidak dilarang
mengadakan untuk dirinya sendiri. Sehingga boleh mendatangkan guru khusus untuk
anak-anaknya. Begitu juga, boleh bagi seorang guru mengambil upah. Adapun
bolehnya seorang guru mengambil upah, itu berdasarkan apa yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw. Bahwasanya beliau bersabda:
ﺇﻥ
ﺃﺣﻖ ﻣﺎ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺟﺮﺍ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ
“Sesungguhnya
sesuatu yang lebih berhak kamu mengambilnya sebagai upah adalah (dari mengajar)
kitabullah”. (HR Bukhari dari Ibnu Abbas)
Ini merupakan jaminan terhadap
pemenuhan kebutuhan pendidikan sebagai kebutuhan primer semua individu rakyat
satu-persatu secara menyeluruh. Dengan hokum-hukum tersebut, politik ekonomi
Islam untuk pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya terealisasikan secara
menyeluruh.
B.Penerapan
Pada Masa Khilafah Di Era Terdahulu
Berdasarkan sirah
Nabi saw dan tarikh Daulah Khilafah,
Negara Islam memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan
seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara untuk melanjutkan pendidikan ke
tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan
negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan
beban Negara yang diambil dari kas Baitul Mal (kas negara).
Sejarah
Islampun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis
bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan
tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya
seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium,
asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi
tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan
(Khalid, 1994).
Di
antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah
di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di
Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H
dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan,
lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di
tempat (Khalid, 1994).
Para pelajar
Madrasah Nizhamiyyah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan,
terlebih bagi mereka yang berprestasi. Aliran beasiswa sangat besar dari
pemerintah siap menjamin kesejahteraannya. Diantara fasilitas yang disediakan
di Nizhamiyyah adalah perpustakaan yang menyediakan buku sebanyak 6000 judul. Para
guru (Syekh)pun mendapat perhatian khusus. Pihak Negara memberikan gaji yang
sangat besar pada mereka. Guru pada saat itu dapat diklasifikasikan sebagai
berikut;
- al-Ustadz bil Kursi (Guru Besar yang memiliki
gelar Profesor Doktor,
guru Senior yang sudah teruji keilmuannya serta sudah mendapat gelar
kehormatan). Disamping mendapat dana pensiun, Negara juga
menjamin penuh kehidupan keluarga mereka. - al-Ustadz (guru dibawah al-Ustadz bil Kursi),
mereka juga menerima gaji
yang tidak sedikit dari pemerintah. - al-Ustadz al-Muntasib (Asisten Dosen/asisten
Guru Besar yang
senantiasa mendampingi Mahasiswa disaat menghadapi kesulitan dalam
belajar), Negara juga memberikan mereka gaji. - al-Mudarris (guru, tenaga pengajar yang belum
mendapat gelar Doktor),
yang juga digaji oleh Negara.
Para
ulama yang menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizhamiyyah adalah para ilmuan handal
yang teruji kemampuannya dalam bidang mereka masing-masing. Karena gaji yang
besar inilah, para guru betul-betul perhatian terhadap pendidikan dimana mereka
mengajar, sebab pemikirannya tidak terpecah untuk mencari penghasilan
lain.
Gaji para Dosen Madrasah
Nizhamiyyah sangatlah besar, bahkan Imam Ghazali pada saat beliau masih menjadi
Guru Besar, dengan gaji yang beliau terima dapat membeli kuda yang sangat
mahal. Bahkan paling mahal dan paling bagus kala itu. Sebab selain mengajar,
Imam Ghazali tidak memiliki usaha lain sebagai pemasukan keuangan keluarga.
Pada waktu itu, pihak Negara juga menyediakan dana untuk melakukan penelitian.
Hingga pada waktu itu sudah ditemukan mesin pendingin ruangan.
Madrasah
Al Mustanshiriah didirikan Khalifah Al Mustanshir di kota Baghdad. Pada sekolah
ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram
emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas
sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian.
Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus didirikan
pada abad ke enam hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di
sekolah ini terdapat fasilitas lain , seperti asrama siswa, perumahan staf
pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah
dan diskusi.
Diantara perpustakaan yang terkenal
adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M).
Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan
ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta,
kertas, dll. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di
perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar
Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasan karena mereka
mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini
terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan para khalifah memberikan
penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan
imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Pada
era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga
menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan
membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa,
lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan
untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh
pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).
Namun
perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak
melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta
dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak
orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar,
seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga
pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
Diantara
wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang
tertentu. Seperti wakaf untuk ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf
khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk
pendalaman fikih dan ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf
khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga
diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku
pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).
C.Konsep
Pembiayaan Negara Islam Untuk Pendidikan
Pembiayaan negara atas kebutuhan pokok
masyarakat dalam pendidikan haruslah mandiri, tidak boleh menggunakan dana asing. Karena pemanfaatan
dana asing akan menjadi alat
penjajahan bagi sebuah bangsa. Realitas saat ini menunjukkan bahwa
negara-negara berkembang, diantaranya negeri-negeri muslim telah terjajah oleh negara-negara kapitalis global karena mau
menerima dana untuk membiayai kebutuhan anggaran di bidang
pendidikan. Baik
yang melalui anggaran Negara atau yang ditawarkan langsung ke institusi
pendidikan yang bersangkutan.
Sistem
pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber
pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa
Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum
(termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad,
2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan
Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan
kharaj --yang merupakan kepemilikan negara-- seperti ghanimah, khumus
(seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak);
(2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima
(milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan
dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat
mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 :
60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika
dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan
timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka
negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh).
Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah
(pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).
Biaya
pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua)
kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait
dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua,
untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidkan, seperti bangunan
sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani,
1990).
D.Potensi
Kemampuan Ekonomi Indonesia
Telah
dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan
gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan
pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?
Berdasarkan
data yang disusun Fahmi Amhar (Al-Wai`ie No.122, 2010) dalam merumuskan APBN
Indonesia dengan paradigma syariah, didapat angka penerimaan anggaran sebesar
1.176,3 juta dinar atau setara dengan sekitar 1.764,45 triliun rupiah (1 dinar
= 4,25 gram emas). Dengan rincian sebagai berikut:
POS PENERIMAAN
|
DINAR (juta)
|
RUPIAH (triliun)
|
Bagian Fai & Kharaj (belum
diperhitungkan)
|
|
|
Bagian Kepemilikan Umum:
|
|
|
a. Minyak
|
121,5
|
182,25
|
b. Gas
|
178,9
|
268,35
|
c. Batubara
|
127,5
|
191,25
|
d. Emas & Mineral logam lainnya
|
33,5
|
50,25
|
e. BUMN Kelautan
|
48,9
|
73,35
|
f. Hasil Hutan
|
666,0
|
999,00
|
Bagian Sedekah/Zakat (belum
diperhitungkan)
|
|
|
JUMLAH PENERIMAAN
|
1.176,3
|
1.764,45
|
Sebagai
perbandingan, berikut ini adalah jumlah pendapatan dalam APBN Indonesia 2011
yang berjumlah hanya sekitar Rp.1.101 triliun(www.anggaran.depkeu.go.id). Itupun
dengan pemasukan terbesar dari pajak dan hutang yang sangat membebani
masyarakat:
PENDAPATAN NEGARA (miliar rupiah)
Dalam APBN Indonesia 2011
1.Penerimaan Perpajakan
|
|
a.
Pajak dalam negeri
|
827.246,2
|
b.
Pajak Perdagangan Internasional
|
23.009,3
|
2.Penerimaan Negara bukan
pajak
|
|
a.
Penerimaan SDA
|
163.119,2
|
b.
Bagian laba BUMN
|
27.590,4
|
c.
PNBP lainnya
|
45.166,6
|
d.
Pendapatan BLU
|
15.030,8
|
JUMLAH
|
1.101.162,5
|
Jika
jumlah penerimaan dari pemasukan negara jika Indonesia berparadigma APBN
Syariah dalam format Khilafah sebesar Rp.1.764 triliun tersebut digunakan untuk
membiayai anggaran pendidikan Indonesia tahun 2011 yang sebesar Rp.249 triliun maka
pemasukan anggaran Indonesia dalam format APBN Syariah sudah sangat memenuhi
kebutuhan anggaran tersebut. Tanpa harus berhutang atau mengenakan pajak. Bahkan
masih bisa dinaikkan 100% atau lebih, karena anggaran yang Rp.249 triliun
tersebut lebih banyak terserap ke gaji guru sekitar 80%. Sehingga peningkatan
jumlah anggaran bisa dialokasikan untuk sarana dan prasarana pendidikan. Dengan
catatan, jika di Indonesia diterapkan system hokum Islam termasuk dalam aspek
perekonomian.
Jika
digunakan untuk menutup pengeluaran Indonesia dalam APBN 2011 yang sekitar
Rp.836 triliun (www.anggaran.depkeu.go.id),
maka masih ada sisa pemasukan negara sekitar Rp.900 triliun. Jumlah itu bisa
dialokasikan untuk pelunasan hutang, pengentasan kemiskinan, dan anggaran riset
sains dan teknologi. Sehingga di awal berdirinya Daulah Khilafah (insya Allah) sudah tersedia dana yang cukup besar untuk
riset sains dan teknologi tanpa harus berhutang atau mencari sponsor ke perusahaan
swasta apalagi ke luar negeri. Hendaknya diperhatikan jumlah tadi belum
termasuk menghitung pos pemasukan negara dari fa`I dan kharaj yang juga ada
alokasi dana ke pendidikan dan jumlah wakaf untuk pengembangan riset sains dan
teknologi dari pribadi-pribadi kaya dalam Daulah Khilafah sebagaimana dulu yang
pernah terjadi pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah.
Kesimpulan
Mewujudkan
pendidikan gratis sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah
sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakmampuan
pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak
adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok
dan korup.
Sistem
politik ekonomi Islam yang menetapkan pendidikan sebagai kebutuhan primer
public secara gratis dan berkualitas hanya bisa diimplementasikan dalam system
kenegaraan Islam, yaitu Khilafah Islam.
BibliografiAl-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasa Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.p.), 1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 1990
Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics, (New Delhi : Goodword Books), 2002
Karim, Adiwarman (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT), 2001
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan
Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah Al-Maliyah Li 'Umar bin Khaththab),
Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta : ustaka Azzam), 2002
Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit
dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-Dawlah Al-Utsmaniyah 'Awamil al-Nuhudh wa
Asbab as-Suquth), Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar),
2004
Qahaf, Mundzir, Manajemen
Wakaf Produktif (Al-Waqf Al-Islami Tathawwuruhu Idaratuhu Tanmiyatuhu), Penerjemah
Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta : Khalifa), 2005
Rahman, Afzalur, Doktrin
Ekonomi Islam (Economics Doctrines of Islam), Jilid 1, Penerjemah Soeroyo
& Nastangin, (Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Wakaf), 1995
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul
'Ilmi lil Malayin), 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar