Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Kamis, 05 Januari 2012

POLITIK EKONOMI ISLAM UNTUK PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS DAN BEBAS BIAYA



Oleh: Hj Nida Sa’adah SE,AK (Muslimah HTI)

Pendahuluan
            Ada sebuah pertanyaan besar yang mengganjal di kepala banyak orang sekarang ini, mengapa dahulu umat Muslim bisa begitu maju dan jauh mengungguli bangsa lain dalam hal ilmu pengetahuan? Mengapa sekarang keadaannya menjadi terbalik? Adakah sesuatu yang salah?  
            Semenjak kebijakan komersialisasi pendidikan diterapkan, pendidikan semakin diposisikan sebagai sebuah komoditas jasa bagi orang yang sanggup membayar. Di Indonesia perubahan ini dapat ditengarai dengan semakin mahalnya harga pendidikan dan semakin susahnya pendidikan diakses oleh orang kebanyakan. Namun, terjadi kesalahan yang fundamental saat komersialisasi ini
diaplikasikan ke dalam pendidikan serta semua relasi sosialnya.
            Dalam sebuah sistem sosial, pendidikan memegang peran penting dalam perkembangan masyarakat dan membangun peradaban. Tanpa adanya pendidikan, hal ini akan sulit dilakukan. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya bisa diakses oleh semua orang. Kondisi ini akan memungkinkan terjadinya perkembangan mayarakat yang lebih cepat. Namun dengan komersialisasi pendidikan, kondisi optimal tadi tidak bisa terlaksana. Salah satunya adalah karena keterbatasan akses pendidikan akibat semakin tingginya biaya pendidikan. Sehingga status pendidikan saat ini, yang sudah dikategorikan sebagai komoditas haruslah dikaji ulang.
            Pada masa Daulah Islam tegak yang dimulai dengan kepemimpinan Rasulullah di Madinah, model pendidikan  sudah mulai dirintis dan Rasulullah pun sangat menghargai ilmu pengetahuan. Pada masa kekhilafahan Islam, pendidikan diberikan kepada seluruh warga negara tanpa biaya. Pemerintah saat itu benar-benar menyadari bahwa pelajar adalah sebuah investasi masa depan bagi keberlangsungan Islam.
            Dalam Al-Quran terdapat banyak sekali anjuran untuk menuntut ilmu, perintah agar kita membaca (‘iqra), berobservasi (a falaa yarauna), explorasi (a falaa yanzhuruuna), dan ekspedisi (siiruu fil ardhi). Sangat banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan keutamaan orang yang berilmu, contoh yang paling terkenal adalah QS. Al Mujaadilah 11:
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
                Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan pelbagai gelaran mulia dan terhormat yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah Ta’ala dan makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun fil Ilm” (Ali Imran : 7), “Ulul al-Ilmi” (Ali Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Ali Imran : 190), “al-Basir” dan “as-Sami’ ” (Hud : 24), “al-A’limun” (al-A’nkabut : 43), “al-Ulama” (Fatir : 28), “al-Ahya’ ” (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelaran mulia lain.
            Begitu gencarnya ayat-ayat tentang orang berilmu didengungkan, sehingga belajar dan mencari ilmu pengetahuan diyakini sebagai kewajiban bagi setiap individu Muslim, dengan implikasi berdosalah mereka yang tidak melakukannya. Menuntut ilmu menjadi sebuah ibadah fardhu ‘ain bagi seorang Muslim. Ia mendorong terciptanya masyarakat sains yang merupakan pondasi dari lahirnya peradaban Islam.          
A.Garis-Garis Besar Politik Ekonomi Islam Untuk Pendidikan
            Politik ekonomi dalam Islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer  (al-hajat al-asasiyah/basic needs) tiap-tiap individu dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup khas.
            Menjadi sebuah keharusan bagi negeri-negeri Islam merancang politik ekonominya sendiri berdasarkan pemikiran komprehensif yang dianutnya, yaitu aqidah Islam. Artinya, kebijakan ekonomi negeri-negeri Islam harus berupa hokum-hukum syara` yang digali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dalil-dalil yang ditunjukkan oleh keduanya. Maka kebijakan ekonomi selain itu adalah kebijakan yang rusak. Rancangan dan usaha penerapannya tidak mengantarkan kecuali pada bertambahnya akumulasi masalah-masalah ekonomi, semakin miskinnya manusia, pengabadian keterbelakangan dan ketertekanan.
            Kebutuhan primer menurut pandangan Islam terbagi dua. Pertama, kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat. Kedua, kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan.
            Kebutuhan primer bagi tiap individu adalah adalah sandang, pangan, dan papan. Ketiganya merupakan basic needs bagi setiap individu. Adapun yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan, dan pendidikan.
            Keberadaan pendidikan termasuk diantara kebutuhan primer adalah berdasarkan hadits Imam Bukhari dari Abu Musa dari Rasulullah saw bersabda:
ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﺑﻌﺜﻨﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﺍﻟﻌﻠﻢ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﻐﻴﺚ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﺃﺻﺎﺏ ﺃﺭﻇﺎ
ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻨﻬﺎ ﻧﻘﻴﺔ ﻗﺒﻠﺖ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻓﺄﻧﺒﺘﺖ ﺍﻟﻜﻸ ﻭﺍﻟﻌﺸﺐ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻨﻬﺎ
ﺃﺟﺎﺩﺏ ﺍﻣﺴﻜﺖ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻓﻨﻔﻊ ﺍﷲ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺸﺮﺑﻮﺍ ﻭﺳﻘﻮﺍ ﻭﺯﺭﻋﻮﺍ
ﻭﺃﺻﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺃﺧﺮﻯ ﺇﻧﻤ ﺎﻫﻲ ﻗﻴﻌﺎﻥ ﻻﺗﻤﺴﻚ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻭﻻﺗﻨﺒﺖ
ﺍﻟﻜﻸ ﻓﺬﺍﻟﻚ ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻓﻘﻪ ﻓﻲ ﺩﻳﻦ ﺍﷲ ﻭﻧﻔﻌﻪ ﻣﺎ ﺑﻌﺜﻨﻲ ﺍﷲ ﺑﻪ ﻓﻌﻠﻢ ﻭﻋﻠﻢ
ﻭﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺮﻓﻊ ﺑﺬﺍﻟﻚ ﺭﺃﺳﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﺒﻞ ﻫﺪﻯ ﺍﷲ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺭﺳﻠﺖ ﺑﻪ
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya aku diutus Allah, seperti air hujan yang menyirami bumi, diantara bumi (tanah) itu ada tanah yang subur yang menerima air, lalu tumbuh darinya rumput dan tanaman yang banyak, dan diantaranya ada tanah yang tandus yang menahan air, dimana dengan air itu Allah memberi manfaat kepada manusia, mereka minum, mengairi, dan menanam. Dan diantaranya mengenai kelompok tanah yang lain, yaitu tanah yang terbalik yang tidak menahan air dan tidak tumbuh rumput, maka yang demikian itu seperti orang yang mengerti agama Allah, dia mendapatkan manfaat dengan apa yang Allah mengutus aku untuk membawanya, dan setelah dia mengerti dia mengajarkannya.Dan seperti orang yang dengan (apa yang aku bawa) itu tidak menjadikannya mengangkat kepala, serta tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.”
            Dalam hadits ini Rasulullah saw menyamakan penolakan dan penerimaan manusia terhadap ilmu dan petunjuk dengan penerimaan tanah terhadap hujan, dan ada tidaknya pemanfaatan air hujan oleh tanah. Air hujan termasuk diantara kebutuhan primer manusia, maka begitu juga halnya dengan petunjuk dan ilmu. Dengan demikian menunjukkan bahwa ilmu termasuk diantara kebutuhan primer.
            Hal ini juga dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw:
ﻣﻦ ﺍﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻳﺒﺚ ﺍﻟﺠﻬﻞ
“Diantara tanda-tanda (datangnya hari) kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan”.(HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Anas)
ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳﻘﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻳﻈﻬﺮﺍﻟﺠﻬﻞ
“Diantara tanda-tanda (datangnya hari) kiamat adalah berkurangnya ilmu dan bertambah nyatanya kebodohan”.(HR Bukhari dari Anas)
            Sabda Rasul ini mengisyaratkan bahwa hilangnya ilmu termasuk diantara tanda berakhirnya kehidupan dunia ini. Hal itu menunjukkan bahwa ilmu termasuk diantara hal-hal yang eksistensinya merupakan suatu keharusan. Kebutuhan primer ini merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh Negara.
            Menyangkut pendidikan telah terdapat ijma` shahabat terhadap pemberian nafkah para guru sejumlah tertentu yang diambil dari baitul mal (kas Negara) sebagai upah bagi mereka. Diriwayatkan dari jalan Ibnu Abi Syaibah dari Shadaqah ad-Dimasyqi dari al-Wadhiyah bin Atha` yang berkata: “Di Madinah terdapat tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Umar member nafkah tiap-tiap dari mereka lima belas dinar setiap bulan”. (15 dinar setara dengan 63,75 gram emas).
            Di samping itu, Rasulullah saw telah menentukan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak-anak kaum muslimin. Ini membuktikan bahwa masalah pendidikan menjadi tanggung jawab Negara.
            Tanggung jawab Negara terhadap pendidikan adalah sama, baik terhadap fakir miskin maupun orang kaya. Sebab pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Disamping itu, harta yang dibayarkan untuk para guru sebagaimana masa kepemimpinan Rasulullah dan para khalifah, tidak dikhususkan untuk pendidikan anak-anak kaum fakir miskin, tetapi bersifat umum meliputi fakir miskin dan orang kaya.
            Meskipun pengadaannya bagi semua manusia menjadi tanggung jawab Negara, namun seseorang tidak dilarang mengadakan untuk dirinya sendiri. Sehingga boleh mendatangkan guru khusus untuk anak-anaknya. Begitu juga, boleh bagi seorang guru mengambil upah. Adapun bolehnya seorang guru mengambil upah, itu berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwasanya beliau bersabda:
ﺇﻥ ﺃﺣﻖ ﻣﺎ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺟﺮﺍ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ
Sesungguhnya sesuatu yang lebih berhak kamu mengambilnya sebagai upah adalah (dari mengajar) kitabullah”. (HR Bukhari dari Ibnu Abbas)
            Ini merupakan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan sebagai kebutuhan primer semua individu rakyat satu-persatu secara menyeluruh. Dengan hokum-hukum tersebut, politik ekonomi Islam untuk pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya terealisasikan secara menyeluruh.
B.Penerapan Pada Masa Khilafah Di Era Terdahulu
            Berdasarkan sirah Nabi saw dan tarikh Daulah Khilafah, Negara Islam memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban Negara yang diambil dari kas Baitul Mal (kas negara).
            Sejarah Islampun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).
            Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).
            Para pelajar Madrasah Nizhamiyyah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terlebih bagi mereka yang berprestasi. Aliran beasiswa sangat besar dari pemerintah siap menjamin kesejahteraannya. Diantara fasilitas yang disediakan di Nizhamiyyah adalah perpustakaan yang menyediakan buku sebanyak 6000 judul. Para guru (Syekh)pun mendapat perhatian khusus. Pihak Negara memberikan gaji yang sangat besar pada mereka. Guru pada saat itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut;
  1. al-Ustadz bil Kursi (Guru Besar yang memiliki gelar Profesor Doktor,
    guru Senior yang sudah teruji keilmuannya serta sudah mendapat gelar
    kehormatan). Disamping mendapat dana pensiun, Negara juga
    menjamin penuh kehidupan keluarga mereka.
  2. al-Ustadz (guru dibawah al-Ustadz bil Kursi), mereka juga menerima gaji
    yang tidak sedikit dari pemerintah.
  3. al-Ustadz al-Muntasib (Asisten Dosen/asisten Guru Besar yang
    senantiasa mendampingi Mahasiswa disaat menghadapi kesulitan dalam
    belajar), Negara juga memberikan mereka gaji.
  4. al-Mudarris (guru, tenaga pengajar yang belum mendapat gelar Doktor),
    yang juga digaji oleh Negara.
            Para ulama yang menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizhamiyyah adalah para ilmuan handal yang teruji kemampuannya dalam bidang mereka masing-masing. Karena gaji yang besar inilah, para guru betul-betul perhatian terhadap pendidikan dimana mereka mengajar, sebab pemikirannya tidak terpecah untuk mencari penghasilan lain.                                               
Gaji para Dosen Madrasah Nizhamiyyah sangatlah besar, bahkan Imam Ghazali pada saat beliau masih menjadi Guru Besar, dengan gaji yang beliau terima dapat membeli kuda yang sangat mahal. Bahkan paling mahal dan paling bagus kala itu. Sebab selain mengajar, Imam Ghazali tidak memiliki usaha lain sebagai pemasukan keuangan keluarga. Pada waktu itu, pihak Negara juga menyediakan dana untuk melakukan penelitian. Hingga pada waktu itu sudah ditemukan mesin pendingin ruangan.
            Madrasah Al Mustanshiriah didirikan Khalifah Al Mustanshir di kota Baghdad. Pada sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian.
            Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus didirikan pada abad ke enam hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain , seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
            Diantara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk  membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasan karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
            Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).
            Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
            Diantara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu. Seperti wakaf untuk ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).
C.Konsep Pembiayaan Negara Islam Untuk Pendidikan
            Pembiayaan negara atas kebutuhan pokok masyarakat dalam pendidikan haruslah mandiri, tidak boleh menggunakan dana asing. Karena pemanfaatan dana asing akan menjadi alat penjajahan bagi sebuah bangsa. Realitas saat ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang, diantaranya negeri-negeri muslim telah terjajah oleh negara-negara kapitalis global karena mau menerima dana untuk membiayai kebutuhan anggaran di bidang pendidikan. Baik yang melalui anggaran Negara atau yang ditawarkan langsung ke institusi pendidikan yang bersangkutan.
            Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
            Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj --yang merupakan kepemilikan negara-- seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
            Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).
            Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidkan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
D.Potensi Kemampuan Ekonomi Indonesia
            Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?
            Berdasarkan data yang disusun Fahmi Amhar (Al-Wai`ie No.122, 2010) dalam merumuskan APBN Indonesia dengan paradigma syariah, didapat angka penerimaan anggaran sebesar 1.176,3 juta dinar atau setara dengan sekitar 1.764,45 triliun rupiah (1 dinar = 4,25 gram emas). Dengan rincian sebagai berikut:
POS PENERIMAAN
DINAR (juta)
RUPIAH (triliun)
Bagian Fai & Kharaj (belum diperhitungkan)


Bagian Kepemilikan Umum:


a.       Minyak
121,5
182,25
b.      Gas
178,9
268,35
c.       Batubara
127,5
191,25
d.      Emas & Mineral logam lainnya
33,5
50,25
e.       BUMN Kelautan
48,9
73,35
f.       Hasil Hutan
666,0
999,00
Bagian Sedekah/Zakat (belum diperhitungkan)


JUMLAH PENERIMAAN
1.176,3
1.764,45
            Sebagai perbandingan, berikut ini adalah jumlah pendapatan dalam APBN Indonesia 2011 yang berjumlah hanya sekitar Rp.1.101 triliun(www.anggaran.depkeu.go.id). Itupun dengan pemasukan terbesar dari pajak dan hutang yang sangat membebani masyarakat:
PENDAPATAN NEGARA (miliar rupiah)
Dalam APBN Indonesia 2011
1.Penerimaan Perpajakan

a.       Pajak dalam negeri
827.246,2
b.      Pajak Perdagangan Internasional
23.009,3
2.Penerimaan Negara bukan pajak

a.       Penerimaan SDA
163.119,2
b.      Bagian laba BUMN
27.590,4
c.       PNBP lainnya
45.166,6
d.      Pendapatan BLU
15.030,8
JUMLAH
1.101.162,5
            Jika jumlah penerimaan dari pemasukan negara jika Indonesia berparadigma APBN Syariah dalam format Khilafah sebesar Rp.1.764 triliun tersebut digunakan untuk membiayai anggaran pendidikan Indonesia tahun 2011 yang sebesar Rp.249 triliun maka pemasukan anggaran Indonesia dalam format APBN Syariah sudah sangat memenuhi kebutuhan anggaran tersebut. Tanpa harus berhutang atau mengenakan pajak. Bahkan masih bisa dinaikkan 100% atau lebih, karena anggaran yang Rp.249 triliun tersebut lebih banyak terserap ke gaji guru sekitar 80%. Sehingga peningkatan jumlah anggaran bisa dialokasikan untuk sarana dan prasarana pendidikan. Dengan catatan, jika di Indonesia diterapkan system hokum Islam termasuk dalam aspek perekonomian.
            Jika digunakan untuk menutup pengeluaran Indonesia dalam APBN 2011 yang sekitar Rp.836 triliun (www.anggaran.depkeu.go.id), maka masih ada sisa pemasukan negara sekitar Rp.900 triliun. Jumlah itu bisa dialokasikan untuk pelunasan hutang, pengentasan kemiskinan, dan anggaran riset sains dan teknologi. Sehingga di awal berdirinya Daulah Khilafah (insya Allah)  sudah tersedia dana yang cukup besar untuk riset sains dan teknologi tanpa harus berhutang atau mencari sponsor ke perusahaan swasta apalagi ke luar negeri. Hendaknya diperhatikan jumlah tadi belum termasuk menghitung pos pemasukan negara dari fa`I dan kharaj yang juga ada alokasi dana ke pendidikan dan jumlah wakaf untuk pengembangan riset sains dan teknologi dari pribadi-pribadi kaya dalam Daulah Khilafah sebagaimana dulu yang pernah terjadi pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah.
Kesimpulan
            Mewujudkan pendidikan gratis sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup.
            Sistem politik ekonomi Islam yang menetapkan pendidikan sebagai kebutuhan primer public secara gratis dan berkualitas hanya bisa diimplementasikan dalam system kenegaraan Islam, yaitu Khilafah Islam.
Bibliografi
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasa Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.p.), 1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 1990
Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics, (New Delhi : Goodword Books), 2002
Karim, Adiwarman (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT), 2001
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah Al-Maliyah Li 'Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta : ustaka Azzam), 2002
Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-Dawlah Al-Utsmaniyah 'Awamil al-Nuhudh wa Asbab as-Suquth), Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), 2004
Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif (Al-Waqf Al-Islami Tathawwuruhu Idaratuhu Tanmiyatuhu), Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta : Khalifa), 2005
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam (Economics Doctrines of Islam), Jilid 1, Penerjemah Soeroyo & Nastangin, (Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Wakaf), 1995
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul 'Ilmi lil Malayin), 1983

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...