RUU
Pangan yang merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan saat ini sedang
di bahas oleh DPR bersama Pemerintah, banyak mengandung kelemahan,
bahkan menyimpian potensi bahaya dan merugikan masyarakat banyak.
Berbagai kelemahan dan bahaya itu seperti yang bisa dilihat dalam
paparan berikut.
Terdapat beberapa catatan kritis atas RUU ini baik secara umum maupun pasal per pasalnya. Untuk kritik umum terhadap RUU ini setidaknya meliputi point-point berikut:
Pertama, RUU ini jelas sekali mengusung spirit neo liberal. RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan. Hal itu tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada swasta untuk mengimpor pangan. Bahkan impor pangan menjadi salah satu sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan. Sumber impor itu disamakan dengan sumber dalam negeri. Padahal ketergantungan pangan kepada asing melalui impor jika hal itu terjadi pada pangan pokok dan pangan strategis maka sama saja menggadaikan stabilitas di dalam negeri kepada asing. Bahkan pada titik tertentu ketergantungan itu bisa dijadikan alat politik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pihak asing bahkan hingga untuk merubah sistem di suatu negara. Contoh ketergantungan Uni Sovyet kepada gandum impor yang merupakan pangan pokok penduduknya, oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu sebab dan jalan yang digunakan oleh barat untuk menghancurkan Uni Sovyet kala itu.
Terdapat beberapa catatan kritis atas RUU ini baik secara umum maupun pasal per pasalnya. Untuk kritik umum terhadap RUU ini setidaknya meliputi point-point berikut:
Pertama, RUU ini jelas sekali mengusung spirit neo liberal. RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan. Hal itu tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada swasta untuk mengimpor pangan. Bahkan impor pangan menjadi salah satu sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan. Sumber impor itu disamakan dengan sumber dalam negeri. Padahal ketergantungan pangan kepada asing melalui impor jika hal itu terjadi pada pangan pokok dan pangan strategis maka sama saja menggadaikan stabilitas di dalam negeri kepada asing. Bahkan pada titik tertentu ketergantungan itu bisa dijadikan alat politik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pihak asing bahkan hingga untuk merubah sistem di suatu negara. Contoh ketergantungan Uni Sovyet kepada gandum impor yang merupakan pangan pokok penduduknya, oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu sebab dan jalan yang digunakan oleh barat untuk menghancurkan Uni Sovyet kala itu.
Kedua,
RUU ini melanggengkan ketergantungan pangan kepada impor. RUU ini tidak
mengusung spirit swa sembada pangan. RUU ini hanya menitikberatkan
pada ketersediaan pangan, bukan pada bagaimana pangan dicukupi dari
produksi dalam negeri dan bagaimana pangan diproduksi di dalam negeri
oleh para petani dan produsen pangan lainnya. Keharusan terwujudnya
ketersediaan pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan minimal enam bulan;
jangka waktu dua kali panen beras, kedelai, dan tanaman pangan lainnya;
mengharuskan impor dijadikan sumber cadangan pangan dimana pangan impor
itu sudah masuk enam bulan sebelum masa panen. Maka impor pangan
menjadi sesuatu yang lumrah bahkan keharusan. Bisa jadi hal itu akan
turut membatasi perencanaan dan pengembangan produksi pangan. Sebab toh
dengan impor, ketersediaan pangan bisa diwujudkan tanpa harus
capek-capek memproduksinya di dalam negeri dan tidak butuh waktu lama
melalui serangkaian penelitian panjang, juga tidak perlu repot membangun
infrastruktur terkait produksi pangan dan infrastruktur lainnya secara
umum.
Ketiga,
RUU ini tidak secara tegas membedakan antara pangan pokok, pangan
strategis dengan yang lainnya. Penentuannya diserahkan kepada peraturan
pemerintah dan menjadi bagian dari wewenang Badan Otoritas Pangan (BOP)
yang akan dibentuk. Dengan tidak adanya ketegasan itu, akibatnya
seolah semua pangan itu sama saja dan diperlakukan sama yaitu diurusi,
menjadi fokus dan konsern pemerintah. Tidak adanya ketegasan itu juga
bisa berimplikasi tidak adanya penekanan dan fokus dalam melakukan
perencanaan, penelitian, pengembangan dan budidaya pangan.
Keempat,
RUU ini membuka peluang bagi terjadinya kolusi pejabat dengan
pengusaha. Hal itu diantaranya dengan pasal yang mengatur bahwa
pemerintah dapat menunjuk badan usaha untuk mengelola cadangan pangan.
Disitu hanya disebut badan usaha, artinya bisa berupa badan usaha swasta
dan tidak harus BUMN atau BUMD.
Kelima,
RUU ini menggunakan pendekatan pangan sebagai komoditas bisnis semata
selain sebagai komoditas politik. Pangan khususnya pangan pokok tidak
dianggap sebagai kebutuhan pokok yang pemenuhannya bagi tiap-tiap
individu harus dijamin oleh pemerintah atau negara. Diantara
implikasinya, pendekatan pendistribusian pangan hanya bertumpu pada
mekanisme harga. Dan ini adalah ide pokok kapitalisme yang telah
terbukti gagal dalam mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil
diantara masyarakat.
Keenam,
RUU ini membenarkan swasta memiliki dan mengelola cadangan pangan,
artinya swasta dibenarkan memiliki stok pangan. Jika dikaitkan dengan
ketentuan bahwa cadangan pangan itu harus mencukupi untuk kebutuhan
minimal enam bulan, itu artinya swasta dibenarkan untuk memiliki stok
pangan yang diperkirakan cukup untuk kebutuhan pasar selama enam bulan
berikutnya. Ketentuan ini sama saja membenarkan swasta (para pedagang
besar) membeli produk pangan petani jauh sebelum panen atau dengan
sistem ijon. Apalagi petani untuk melakukan produksi perlu modal yang
makin besar dengan dicabutnya berbagai subsidi terkait pertanian,
sementara disisi lain pemerintah tidak memberikan bantuan, maka situasi
itu membuat para petani lebih rentan terjerat rentenir dan perdagangan
cara ijon. Karena sudah mendapat modal dari pedagang maka pada saat
panen harga akan ditentukan oleh pedagang pemberi modal atau pinjaman
itu. Para petani tidak akan memiliki posisi tawar. Disinilah nilai
tawar petani akan makin tergerus dan akibatnya tingkat kesejahteraan
para petani sulit untuk membaik, bahkan bisa sebaliknya akan cenderung
terus turun. Begitu pula, pada saat panen raya, para pedagang besar
bisa membeli produk petani yang tentu saja sering kali dengan harga
murah dengan alasan panen raya, lalu stok pangan itu disimpan, dan baru
dikeluarkan pada saat harga tinggi. Betul bahwa di dalam RUU ini ada
pasal yang melarang penimbunan pangan pokok dan ada ancaman
administratif (pasal 50) dan ancaman pidana penjara 10 tahun atau denda
Rp 10 miliar (pasal 128). Tetapi, karena adanya legalisasi swasta untuk
memiliki dan mengelola cadangan pangan sendiri, maka pengaturan jumlah
stok pangan yang boleh dimiliki swasta (pasal 49) akan menjadi satu
kesulitan tersendiri. Kompromi dua ketentuan itu akan melahirkan batas
maksimal stok pangan pokok bagi para pedagang dalam jumlah yang besar.
Dan jika itu terjadi, maka itulah celah yang bisa dimanfaatkan oleh
swasta (khususnya pedagang besar) untuk mengontrol harga dengan
mengontrol suplay. Kemungkinan ini membuat swasta (para pedagang) bisa
lebih menentukan dalam mengontrol harga pangan khususnya pangan pokok di
pasar. Sementara disisi lain, RUU ini tidak menegaskan peran Badan
Otoritas Pangan (BOP) untuk menyerap produksi petani atau memberikan
proteksi kepada para petani agar diantaranya tidak terjerat ijon.
Ketika pemerintah kalah dengan swasta dalam menyerap produk petani itu,
maka dengan alasan keharusan pemerintah memiliki cadangan pangan, dengan
sangat mudah impor akan dilakukan dan menjadi sesuatu yang lumrah
bahkan keharusan. Apalagi selama ini rente dalam jumlah besar lebih
mudah didapat dari impor itu sebab impor dilakukan dengan volume sangat
besar mencapai ratusan ribu bahkan jutaan ton. Padahal biaya politik
yang makin besar juga memperbesar dorongan perburuan rente itu.
Ketujuh,
RUU ini mempunyai tujuan menjamin pangan yang sehat, bergizi, bermutu,
bebas dari bahan membahayakan kesehatan. Untuk itu RUU ini memberi
aturan tentang sanitasi, kemasan, bahan tambahan pangan, iradiasi
pangan, standar mutu dan pemeriksaan laboratorium, dsb. Semua itu
ditetapkan sebagai tanggungjawab produsen pangan yang memproduksi pangan
untuk diedarkan kepada masyarakat. Maksud yang baik itu dalam
pelaksanaannya berpeluang justru menyulitkan bagi masyarakat, khususnya
pengusaha pangan olahan yang termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) dan usaha rumah tangga. Hal itu seperti peraturan standarisasi
dalam hal produksi obat, yang pada akhirnya memberatkan para produsen
obat dengan skala kecil dan menengah sebab mereka harus membeli
peralatan produksi dan laboratorium baru yang sebagian besarnya diimpor,
sehingga pada akhirnya yang pertama-tama mendapatkan keuntungan adalah
korporasi asing. Melihat hal itu, maka jika implementasi RUU pangan ini
dilakukan secara saklek dan ketat serta tidak ada kekhususan bagi
pelaku usaha olahan pangan yang termasuk UMKM dan industri rumah tangga,
dimana mereka akhirnya diperlakukan sama dengan industri yang sudah
mapan, maka justru akan bisa mematikan para pengusaha UMKM dan rumah
tangga itu, atau minimalnya memberatkan mereka. Jika implementasinya
saklek, maka pihak yang diuntungkan, yang jelas adalah perusahaan yang
sudah mapan, industri peralatan produksi dan laboratorium termasuk
bahan-bahan untuk pemeriksaan laboratorium, yang bisa diduga banyak
diantaranya adalah produk impor.
Kedelapan,
RUU ini mengusung spirit meminimalkan peran dan campur tangan langsung
negara dalam mengurusi kepentingan masyarakat. RUU ini mengarahkan agar
negara berperan sekedar menjadi regulator, sementara pelaksanaan
praktisnya diserahkan kepada swasta. Hal yang sama sudah diberlakukan
pada sektor-sektor lainnya seperti pada pengelolaan migas. Hal itu
tarlihat dari dibentuknya Badan Otoritas Pangan (BOP) yang diposisikan
mirip dengan BPH Migas. Sementara perum Bulog ditiadakan dan
digabungkan ke dalam BOP. Sementara untuk menjamin ketersediaan pangan,
hal itu mlalui kerjasama dengan badan usaha. Padahal dengan dileburnya
perum Bulog ke dalam BOP artinya tidak ada lagi badan usaha negara
(BUMN) yang menjalankan peran perum Bulog. Lalu siapa nantinya yang
akan menggantikan? Dalam hal ini BOP jelas agak didesain bukan untuk
melakukan secara langsung peran yang dimainkan oleh perum Bulog
diantaranya pembelian produksi petani. Jika demikian halnya, maka
swastalah yang akan lebih berperan.
Disamping kritik secara umum di atas, kritik rinci pasal demi pasal dapat dilihat pada paparan berikut:
Pasal 1 ayat 3: Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi Pangan yang beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat individu, baik jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
Point ini belum secara tegas menyatakan swa sembada pangan. Spirit swa sembada bahkan tidak dicantumkan sebagai salah satu asas RUU ini. Disamping itu, cakupan kemandirian ini juga terlalu luas karena mencakup semua yang disebut pangan. Ini menunjukkan RUU tidak memiliki fokus, tidak jelas pangan mana yang harus mandiri dan mana yang tidak harus. Itu artinya kemandirian pangan itu mencakup semua pangan. Tidak ada pembedaan antara pangan pokok, pangan strategis dan yang bukan. Hal itu juga bisa berimplikasi RUU ini kehilangan orientasi. Akibatnya justru tidak tertangani semua karena orientasinya tidak jelas dan tidak ada prioritas.
Pasal 1 ayat 3: Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi Pangan yang beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat individu, baik jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
Point ini belum secara tegas menyatakan swa sembada pangan. Spirit swa sembada bahkan tidak dicantumkan sebagai salah satu asas RUU ini. Disamping itu, cakupan kemandirian ini juga terlalu luas karena mencakup semua yang disebut pangan. Ini menunjukkan RUU tidak memiliki fokus, tidak jelas pangan mana yang harus mandiri dan mana yang tidak harus. Itu artinya kemandirian pangan itu mencakup semua pangan. Tidak ada pembedaan antara pangan pokok, pangan strategis dan yang bukan. Hal itu juga bisa berimplikasi RUU ini kehilangan orientasi. Akibatnya justru tidak tertangani semua karena orientasinya tidak jelas dan tidak ada prioritas.
Pasal
1 ayat 4: Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi
negara sampai dengan individu, yang tercermin dari tersedianya Pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan
terjangkau serta sesuai dengan keyakinan, dan budaya, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Point
ini mencerminkan pandangan khas kapitalisme yang menjadikan tolok ukur
agregat dan pertumbuhan sebagai patokan. Point ini tidak berbicara
tentang distribusi pangan, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan tiap
individu. Point ini hanya berbicara ketersediaan pangan. Itu artinya,
adanya kuantitas pangan yang sebanding dengan angka kebutuhan atau
demand. Sementara keterjangkauan seperti biasanya hanya diukur dengan
harga yang terjangkau bagi rata-rata penduduk. Padahal pada faktanya
pasti ada sebagian masyarakat yang daya belinya dibawah harga terjangkau
itu.
Pasal
1 ayat 6: Ketersediaan Pangan adalah tersedianya Pangan yang
beranekaragam dari hasil produksi dalam negeri, cadangan Pangan
nasional, dan/atau pemasukan Pangan dari luar negeri.
Point ini menyamakan antara sumber penyediaan pangan antara sumber dalam negeri dan sumber luar negeri. Kata “dan/atau” menegaskan kesetaraan itu. Bahkan sumber luar negeri dimungkinkan menjadi alternatif yang mengalahkan sumber dalam negeri.
Pasal 2: Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas: a. kedaulatan, b. kemandirian, c. ketahanan, d. keamanan, e. manfaat dan lestari, f. pemerataan, g. keadilan, dan h. berkelanjutan.
Pasal ini belum memperlihatkan adanya spirit swa sembada pangan. Hilangnya spirit swa sembada berakibat disamakannya antara sumber dalam negeri dengan sumber luar negeri. Itu artinya impor pangan diposisikan sama dengan produksi dalam negeri. Implikasinya, nantinya tidak ada strategi, upaya dan kerja keras dari segala lini terkait untuk mewujudkan swa sembada guna mencukupi kebutuhan pangan dari sumber dalam negeri. Ini menunjukkan dominannya nalar pragmatis. Nalar yang dipakai adalah kalau bisa dicukupi dari impor, apalagi harga impor lebih murah, kenapa harus capai-capai memproduksinya di dalam negeri, melakukan penelitian yang butuh waktu, menyiapkan infrastruktur produksi, menyediakan berbagai sarana pendukung, memberi dukungan finansial dan sebagainya? Dalam hal ini, tampak dominan pola pikir pedagang dan bukan pola pikir negarawan. Ini menunjukkan kuatnya spirit liberalisme dan kuatnya pengaruh pemilik modal dalam RUU Pangan ini. Tidak terlihatnya spirit swa sembada itu merupakan indikasi belum munculnya spirit membebaskan diri dari ketergantungan. Agaknya spirit inilah yang memang mendominasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negeri ini.
Point ini menyamakan antara sumber penyediaan pangan antara sumber dalam negeri dan sumber luar negeri. Kata “dan/atau” menegaskan kesetaraan itu. Bahkan sumber luar negeri dimungkinkan menjadi alternatif yang mengalahkan sumber dalam negeri.
Pasal 2: Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas: a. kedaulatan, b. kemandirian, c. ketahanan, d. keamanan, e. manfaat dan lestari, f. pemerataan, g. keadilan, dan h. berkelanjutan.
Pasal ini belum memperlihatkan adanya spirit swa sembada pangan. Hilangnya spirit swa sembada berakibat disamakannya antara sumber dalam negeri dengan sumber luar negeri. Itu artinya impor pangan diposisikan sama dengan produksi dalam negeri. Implikasinya, nantinya tidak ada strategi, upaya dan kerja keras dari segala lini terkait untuk mewujudkan swa sembada guna mencukupi kebutuhan pangan dari sumber dalam negeri. Ini menunjukkan dominannya nalar pragmatis. Nalar yang dipakai adalah kalau bisa dicukupi dari impor, apalagi harga impor lebih murah, kenapa harus capai-capai memproduksinya di dalam negeri, melakukan penelitian yang butuh waktu, menyiapkan infrastruktur produksi, menyediakan berbagai sarana pendukung, memberi dukungan finansial dan sebagainya? Dalam hal ini, tampak dominan pola pikir pedagang dan bukan pola pikir negarawan. Ini menunjukkan kuatnya spirit liberalisme dan kuatnya pengaruh pemilik modal dalam RUU Pangan ini. Tidak terlihatnya spirit swa sembada itu merupakan indikasi belum munculnya spirit membebaskan diri dari ketergantungan. Agaknya spirit inilah yang memang mendominasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negeri ini.
Pasal
4: Penyelenggaraan Pangan bertujuan untuk: a. meningkatkan kemampuan
melakukan Produksi Pangan secara mandiri; b. … Apa yang dimaksud
produksi pangan secara mandiri? Apakah produsen pangan bisa memproduksi
pangan secara mandiri? Jika itu maksudnya, itu juga bermakna bahwa para
petani, nelayan, peternak kecil, dan seperti mereka harus bisa
melakukan produksi secara mandiri. Lalu apakah itu juga berarti tidak
perlu adanya bantuan, subsidi, dan keberpihakan pemerintah kepada
mereka? Jika demikian maksudnya tentu ini sangat berbahaya. Itu
benar-benar menunjukkan spirit dan watak neo liberal dari RUU ini. Jika
petani, nelayan, peternak kecil dan produsen pangan seperti mereka
dituntut untuk melakukan produksi secara mandiri, tidak boleh mengharap
peran, bantuan dan keberpihakan pemerintah, lalu mereka harus bergulat
dengan produsen besar bahkan harus bergulat dengan produk pangan impor
baik produk pertanian, peternakan, perikanan dan pangan olahan, jelas
itu sama artinya membiarkan mereka mati pelan-pelan. Padahal produk
impor itu di negaranya sana termasuk di negara maju sekalipun tetap
mendapat bantuan, subsidi dan proteksi dari pemerintahnya sehingga bisa
bertahan di dalam negerinya dan bersaing di tingkat internasional.
Pasal
5: Lingkup pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi: a. perencanaan
Pangan; b. Ketersediaan Pangan; c. keterjangkauan Pangan; d.
penganekaragaman Pangan; e. Keamanan Pangan; f. kelembagaan; g.
pembiayaan; dan h. peran serta masyarakat.
Ketersediaan
pangan artinya berbicara jumlah stok pangan yang mencukupi jumlah
kebutuhan. Keterjangkauan berbicara pada tingkat harga rata-rata yang
dinilai masih bisa dijangkau oleh konsumen. Jadi kalau stok bahan
pangan cukup sehingga harga rata-rata bisa dipertahankan pada tingkat
yang dianggap terjangkau, maka itu sudah memenuhi tujuan. Pengaturan
penyelenggaraan pangan tidak berbicara tentang pendistribusian pangan
sampai kepada tiap-tiap individu rakyat. RUU ini tetap “konsisten”
menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengatur ditribusi yaitu
menyandarkan pada mekanisme harga. Padahal mekanisme itu telah terbukti
gagal. Betapa selama ini kita disuguhi tontonan setiap Ramadhan,
menjelang hari Raya, dan sebagainya, di mana para pejabat selalu
berbicara bahwa stok bahan pangan cukup. Namun seringkali harga tak
terkendali. Dan yang pasti, selalu saja ada sebagian rakyat yang tidak
bisa menjangkau pangan yang layak.
Pasal
6-12 mengatur perencanaan pangan. Di dalamnya masih ada ketidakjelasan
pembagian peran dan tanggungjawab pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Pasal-pasal ini juga tidak membagi siapa yang membuat
rencana pangan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek atau
tahunan, sebaliknya semua harus membuat rencana tersebut. Hanya
disebutkan (pasal 8 ayat 4) Perencanaan Pangan ditetapkan dalam rencana
pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan
rencana tahunan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal-pasal tentang perencanaan ini tidak secara jelas membagi tingkatan rencana pangan yang harus dibuat oleh pemeritah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Ketidakjelasan itu berpotensi menyulitkan dalam implementasinya. Apalagi disebutkan (pasal 9) rencana pangan tingkat nasional harus memperhatikan diantaranya kebutuhan dan usulan provinsi, rencana tingkat provinsi harus memperhatikan diantaranya kebutuhan dan usulan kabupaten/kota, sedangkan rencana tingkat kabupaten/kota haus memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota. Sementara di pasal 12 disebutkan rencana pangan nasional menjadi pedoman penyusunan rencana pangan provinsi dan rencana pangan provinsi menjadi pedoman penyusunan rencana pangan kabupaten/kota; dimana semuanya menjadi pedoman semua pihak dalam pengembangan pangan.
Pasal-pasal tentang perencanaan ini tidak secara jelas membagi tingkatan rencana pangan yang harus dibuat oleh pemeritah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Ketidakjelasan itu berpotensi menyulitkan dalam implementasinya. Apalagi disebutkan (pasal 9) rencana pangan tingkat nasional harus memperhatikan diantaranya kebutuhan dan usulan provinsi, rencana tingkat provinsi harus memperhatikan diantaranya kebutuhan dan usulan kabupaten/kota, sedangkan rencana tingkat kabupaten/kota haus memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota. Sementara di pasal 12 disebutkan rencana pangan nasional menjadi pedoman penyusunan rencana pangan provinsi dan rencana pangan provinsi menjadi pedoman penyusunan rencana pangan kabupaten/kota; dimana semuanya menjadi pedoman semua pihak dalam pengembangan pangan.
Itu
artinya, usulan dan kebutuhan kabupaten/kota diperhatikan untuk membuat
rencana provinsi, kebutuhan dan usulan provinsi diperhatikan untuk
mmebuat rencana nasional. Itu artinya kebutuhan dan usulan
kabupaten/kota menjadi pokok yang diperhatikan dalam pembuatan rencana.
Sementara di sisi lain, rencana provinsi harus berpedoman kepada
rencana nasional, dan rencana kabupaten/kota harus berpedoman pada
rencana provinsi. Bagaimana mengimplementasikan perencanaan seperti itu?
Di pasal 11 disebutkan: Rencana pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sekurang-kurangnya memuat: a. Produksi Pangan dan kebutuhan konsumsi; b. cadangan Pangan; c. pemasukan Pangan ke wilayah Negara Republik Indonesia; d. pengeluaran Pangan dari wilayah Negara Republik Indonesia; e. penganekaragaman Pangan; f. distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan; g. pengendalian harga; h. Keamanan Pangan; i. penelitian dan pengembangan Pangan; j. pembiayaan; k. kelembagaan; dan l. aspek peningkatan kesejahteraan produsen Pangan.
Di pasal 11 disebutkan: Rencana pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sekurang-kurangnya memuat: a. Produksi Pangan dan kebutuhan konsumsi; b. cadangan Pangan; c. pemasukan Pangan ke wilayah Negara Republik Indonesia; d. pengeluaran Pangan dari wilayah Negara Republik Indonesia; e. penganekaragaman Pangan; f. distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan; g. pengendalian harga; h. Keamanan Pangan; i. penelitian dan pengembangan Pangan; j. pembiayaan; k. kelembagaan; dan l. aspek peningkatan kesejahteraan produsen Pangan.
Jika
diperhatikan point yang dibold itu artinya kabupaten/kota dan rencana
provinsi juga harus merencanakan berapa produksi dan kebutuhan pangan
tahunan di tiap provinsi dan kabupaten/kota. Lalu rencana produksi dan
kebutuhan itu dijadikan dasar pembuatan rencana impor dan ekspor
pangan. Itu artinya secara implisit tiap provinsi dan kabupaten/kota
berwenang merencanakan impor pangan sendiri-sendiri dan itu harus
direncanakan untuk penyusunan rencana provinsi dan nasional. Dengan
begitu, secara implisit daerah yaitu provinsi dan kabupaten/kota diberi
wewenang membuat rencana impor pangan dan berikutnya daerah boleh
mengimpor pangan sendiri. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan
tentang pengeolaan cadangan pangan oleh daerah.
Pasal
13 (6) Upaya mewujudkan ketersediaan Pangan dilakukan dengan: … b.
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan …. F. membangun kawasan
sentra Produksi Pangan.
Pasal
13 (6) b dan f ini bisa dijadikan dasar dan justifikasi legal bagi
pelaksanaan dan pengembangan food estate yang sudah digagas dan dimulai
saat ini yang mendapat kritik dari banyak pihak. Pasal ini memberi
peluang masuknya korporasi multinasional untuk mengembangkan produksi
pangan dalam skala sangat luas. Sayangnya pasal ini tidak membatasi hal
itu dengan batasan apapun. Bisa jadi food estate itu akan dibenarkan
juga untuk produksi pangan pokok dan produksi pangan yang melibatkan
para petani kecil. Dengan skala usaha yang besar, area tanam yang
sangat luas, penggunaan sarana dan pra sarana yang modern, memungkinkan
produksi pangan sistem food estate itu dilakukan dengan sangat efisien
yang menjadikan biaya per satuan produk akan kecil. Ditambah lagi bisa
saja korporasi yang mengembangkan food estate itu juga mendapat berbagai
insentif dari pemerintah termasuk insentif fiskal karena dianggap
sebagai investasi besar yang layak mendapat kemudahan, apalagi jika
dijustifikasi untuk mewujudkan kemandirian pangan. Sementara hal yang
sama tidak bisa dilakukan atau diperoleh oleh para petani. Akibatnya
para petani bisa jadi disamping harus bersaing dengan produk pangan
impor yang harganya murah karena mendapat banyak dukungan dari
pemerintah mereka, juga harus menghadapi tekanan persaingan dari
korporasi yang mengembangkan food estate yang juga bisa menjual
produknya dengan harga murah karena efisiensi yang tinggi, mendapat
berbagai insentif dari pemerintah dan infrastrukturnya dibangun dengan
biaya dari APBN. Disini akhirnya para petani mungkin saja ke depan akan
menghadapi himpitan dari produk impor, produk dalam negeri hasil dari
food estate, dan tekanan ongkos produksi yang terus meningkat karena
pemerintah menghilangkan subsidi dari mereka. Mungkin ada yang
mengangkap hal itu sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Namun tetap
saja kemungkinan itu ada dan indikasi-indikasi yang ada kuat menunjukkan
ke arah sana.
RUU
ini seolah-olah menutup peluang investor asing bergerak dalam budidaya
dan produksi pangan seperti di atur dalam pasal 125: (1) Pengembangan
usaha Pangan dapat dilakukan oleh pelaku usaha asing. (2) Pelaku usaha
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menanamkan modal di
luar budidaya Pangan. Namun hal itu dengan mudah bisa “diakali” dengan
jalan asing membentuk perusahaan di dalam negeri melalui kerjasama
dengan pelaku usaha dalam negeri dimana mayoritas modalnya dimiliki
asing, apalagi peluang untuk itu terbuka lebar sebagaimana diatur dalam
UU Penanaman Modal.
Ditambah
lagi pelaku usaha masih bisa mendapat bantuan pembiayaan dari
pemerintah. Peluang itu diberikan oleh pasal 123: (1) Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dapat membantu pembiayaan pengembangan usaha
Pangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mendukung program
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (2) Bantuan pembiayaan di bidang
Pangan meliputi: a. subsidi teknologi; b. sarana dan prasarana
Ketersediaan Pangan; c. penurunan tarif ekspor; dan d. penetapan harga
dasar. Pasal ini jelas menyatakan yang bisa mendapat fasilitas bantuan
itu adalah pelaku usaha dan itu tentu saja bukan petani, nelayan,
peternak, dsb. Sebab istilah pelaku usaha lebih berkonotasi
perusahaan. Pasal ini justru membuka peluang terjadinya kongkalingkong
penguasa pengusaha. Sebab alasan pemberian fasilitas itu sangat
fleksibel “mendukung program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah”.
Sementara untuk petani dan nelayan hanya seperti yang diatur dalam pasal
124: (1) Pemerintah menjamin kemudahan pembiayaan kegiatan sebelum dan
sesudah Produksi Pangan yang dilakukan oleh Petani dan Nelayan. (2)
Kemudahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa
penyediaan fasilitas kredit bagi Petani dan Nelayan. Jadi pemerintah
bukan memberikan bantuan pembiayaan tetapi hanya menjamin kemudahan
pembiayaan. Mestinya, pemerintah disamping menjamin kemudahan
pembiayaan bagi petani dan nelayan, pemerintah juga harus memberikan
bantuan pembiayaan dalam bentuk pinjaman tanpa bunga atau bahkan
pemberian, dan bukan berupa kredit dengan bunga lunak, subsidi
teknologi, pupuk, sarana dan prasarana, peralatan, dsb.
Pasal
14. Pemerintah mengamankan harga Pangan Pokok, pengelolaan cadangan
Pangan Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok kepada masyarakat untuk
menjamin Ketersediaan Pangan.
Apa
yang dimaksud mengamankan di sini? Kriteria aman dalam hal ini apa?
Lalu apa tolok ukur distribusi Pangan Pokok kepada masyarakat untuk
menjamin Ketersediaan Pangan itu? Apakah yang dimaksud aman jika stok
mencukupi sesuai perkiraan jumlah kebutuhan, dan harga pangan
“terkendali”? Apakah tolok ukur distribusi adalah yang penting Pangan
Pokok itu tersedia di pasar dengan tingkat harga yang “terkendali” itu,
lalu tentang sampai tidaknya pangan itu kepada tiap-tiap individu
diserahkan ke mekanisme harga? Jika demikian, pasal ini sama saja
tidak ada artinya dan tidak merubah apa-apa dari yang selama ini
terjadi. Jadi tetap saja tayangan sebagian masyarakat makan nasi aking,
dan mengkonsumsi makanan yang kurang layak, akan tetap menghiasi layar
televisi.
Pasal
15: (1) Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam
negeri, cadangan Pangan, dan pemasukan Pangan dari luar negeri. (2)
Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diutamakan
berasal dari Produksi Pangan dalam negeri.
Pasal
ini menyamakan impor dengan produksi dalam negeri. Impor ditetapkan
menjadi salah satu sumber pasti untuk menjamin ketersediaan pangan. RUU
Pangan ini hanya menitikberatkan pada ketersediaan pangan. Bukan
bagaimana cara produk pangan ini dihasilkan dari petani dalam negeri.
Kalau begini, impor produk pangan merupakan suatu hal yang lumrah. Yang
dipentingkan adalah ketersediaan pangan. Meski ada klausul produksi
dalam negeri diutamakan, namun tidak ada tujuan swa sembada. Itu
artinya impor menjadi keniscayaan dimana volumenya disesuaikan dengan
selisih antara perkiraan jumlah produksi dalam negeri dengan total
kebutuhan. Sementara produksi dalam negeri dilakukan apa adanya tanpa
dukungan maksimal dari pemerintah sebab tidak ada tujuan swa sembada.
Keniscayaan impor itu bahkan sangat besar pada produk-produk yang selama
ini produksinya tidak mendapat prioritas seperti kedelai, gandum,
jagung, buah-buahan, dsb.
Dengan
begitu besarnya peran impor untuk menjamin ketersediaan pangan maka itu
akan memberikan implikasi kerentanan. Sebab pangan di dalam negeri
akan besar dipengaruhi oleh situasi pasar pangan internasional yang
selama ini banyak dipengaruhi oleh spekulan.
Selama
ini impor pangan khususnya beras yang mencapai dua juta ton pertahun
kental dengan aksi mencari rente dan tak jarang sarat dengan korupsi dan
kolusi. Apalagi impor itu harus dilakukan oleh swasta melalui tender
impor. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Insititut Pertanian
Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri mengatakan, kehadiran kartel
multinasional pangan dalam penyusunan RUU Pangan sangat beralasan.
Pasalnya, saat ini devisa impor produk pangan di Indonesia ditaksir
melebihi US$ 50 miliar per tahunnya. Didin menyebutkan, penelitian yang
dibuatnya pernah merilis sebetulnya impor beras merupakan rekayasa
belaka. Bukan pada aspek pengamanan stok pangan pemerintah. Langkah
tersebut tidak lain hanya mencari rent seeking. (kabarbisnis.com,
7/12/11).
Keniscayaan
impor itu makin dipertegas dengan adanya kewajiban pemerintah untuk
menetapkan cadangan pangan (pasal 23). Keterlibatan swasta dalam
cadangan pangan ini menjadi keharusan. Pasal 25 (2) menyatakan
Pemerintah mengembangkan pola kemitraan yang setara antara Pemerintah,
sektor swasta, perguruan tinggi, dan elemen masyarakat dalam cadangan
Pangan dan pengembangan mutu. Cadangan pangan yang harus selalu
tersedia minimal untuk mencukupi kebutuhan selama 6 (enam) bulan. Pasal
26 (1) Jumlah Pangan yang harus tersedia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1), ditetapkan sesuai dengan kebutuhan konsumsi
masyarakat paling singkat untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. Jangka
waktu enam bulan itu sama dengan hampir dua kali masa tanam padi,
kedelai, kacang, dsb. Itu artinya jumlah cadangan pangan untuk dua kali
masa panen ke depan harus dijamin. Bisa jadi hal itu bisa berdampak
buruk pada produksi di dalam negeri.
Pasal
20 : pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan
teknologi untuk peningkatan Produksi Pangan. Pasal 21: Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi penggunaan dan
pengembangan sarana dan prasarana dalam upaya untuk meningkatkan
Produksi Pangan berkelanjutan. Pasal seperti ini lemah. Pasal ini
menempatkan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk
bersubstitusi dalam sistem Produksi Pangan, bukan saling melengkapi.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa saling tuding jika gagal
menjalankan kewajiban menjaga ketersediaan dan keamanan pangan.
Pasal
30 (3) Cadangan Pangan Pemerintah dapat dilakukan melalui pembelian
Pangan Pokok pada saat panen raya oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah. (4) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memiliki cadangan Pangan
Pokok.
Kata
dapat itu artinya tidak terbatas pada hal itu. Kata dapat itu artinya
hanya sebuah opsi, bukan keharusan. Itu artinya, pembelian pangan pokok
pada saat panen raya dari para produsen seperti petani misalnya, tidak
menjadi prioritas. Padahal dengan mekanisme pembelian produksi petani
itu, pemerintah sebenarnya bisa menjaga harga jual produksi petani dan
memperbaiki kesejahteraan petani. Cara paling mudah mewujudkan cadangan
pangan itu adalah dengan cara impor. Cara itu dibenarkan dan
ditegaskan pada pasal 15. Opsi impor itu disetarakan dengan pemenuhan
dari sumber produksi dalam negeri. Itu artinya demi melaksanakan
kewajiban memiliki cadangan pangan itu pemerintah kabupaten/kota
dibenarkan melakukan impor pangan. Sebab jika produksi pangan di
kabupaten/kota tersebut tidak mencukupi, sementara angka cadangan pangan
wajib terpenuhi, dari mana lagi untuk memenuhi itu jika bukan dari
impor. Opsi pembelian dari kabupaten/kota lain rasanya akan menjadi
sulit. Sebab kabupaten/kota lain juga memiliki kewajiban yang sama.
Dengan kebijakan otonomi daerah dalam pengelolaan pangan ini, maka antar
daerah satu dengan yang lain bisa jadi akan terjadi ketimpangan.
Pasal 33: Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan dan distribusi Pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan Pangan tertentu yang bersifat pokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33: Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan dan distribusi Pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan Pangan tertentu yang bersifat pokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan
usaha itu bisa saja berupa badan usaha swasta. Peran Bulog dalam RUU
ini dikebiri. Bulog bahkan akan ditiadakan dan dilebur menjadi BOP
(Badan Otoritas Pangan). Ini sama saja membuka ruang bagi terjadinya
kongkalikong penguasa pengusaha.
Pasal
34 (3) Cadangan Pangan masyarakat dikelola di tingkat pedagang,
komunitas, dan rumah tangga. Hal demikian berbahaya bagi stabiitas
harga pangan. Sebab dengan dibenarkan mengelola cadangan pangan,
pedagang dibenarkan menumpuk dan menyimpan pangan pokok seperti beras
minimal untuk angka kebutuhan enam bulan ke depan. Harga pangan pada
akhirnya bisa dipermainkan oleh para pedagang.
Diantara spirit yang diusung RUU ini adalah desentralisasi atau otonomi pangan sejak perencanaan, produksi, sarana pra sarana, pengelolaan Cadangan Pangan, distribusi dan sebagainya. Ini justru membuka pintu liberalisasi di sektor pangan. Atau mungkin liberalisasi itulah jiwa sebenarnya dari RUU ini.
RUU ini jika dikatakan bertujuan menciptakan ketahanan pangan, maka yang ada bukan seperti itu melainkan justru meyuburkan liberalisasi pangan. Sebab pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah mulai perencanaan, produksi, pengadaan, pengelolaan cadangan pangan, distribusi dsb, akan membuka pintu liberalisasi diantaranya lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi yang terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak profitable. Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga tidak menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan utama dan beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara daerah yang defisit pangan bakal semakin terjepit, karena terus bergantung pada impor. Dalam kondisi tersebut, maka pintu-pintu liberalisasi akan terbuka. Dari pintu-pintu kecil di daerah itulah, kapitalisme akan masuk membawa kepentingan asing, untuk kemudian menguasai pangan strategis secara nasional.
Diantara spirit yang diusung RUU ini adalah desentralisasi atau otonomi pangan sejak perencanaan, produksi, sarana pra sarana, pengelolaan Cadangan Pangan, distribusi dan sebagainya. Ini justru membuka pintu liberalisasi di sektor pangan. Atau mungkin liberalisasi itulah jiwa sebenarnya dari RUU ini.
RUU ini jika dikatakan bertujuan menciptakan ketahanan pangan, maka yang ada bukan seperti itu melainkan justru meyuburkan liberalisasi pangan. Sebab pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah mulai perencanaan, produksi, pengadaan, pengelolaan cadangan pangan, distribusi dsb, akan membuka pintu liberalisasi diantaranya lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi yang terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak profitable. Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga tidak menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan utama dan beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara daerah yang defisit pangan bakal semakin terjepit, karena terus bergantung pada impor. Dalam kondisi tersebut, maka pintu-pintu liberalisasi akan terbuka. Dari pintu-pintu kecil di daerah itulah, kapitalisme akan masuk membawa kepentingan asing, untuk kemudian menguasai pangan strategis secara nasional.
Jika
hal seperti itu terjadi di sebagian besar pemda, maka kepentingan asing
pun semakin menguasai pengelolaan pangan di negeri ini. Desentralisasi
pangan seperti itu justru akan menciptakan ketidakseragaman dalam
pengelolaan pangan. Ada pemda yang protektif, namun ada pula yang
liberal. Kondisi demikian bakal menciptakan ketidakstabilan di level
nasional.
Pasal
43 : (1) Pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin keterjangkauan
Pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan/atau individu. (2) Tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kebijakan di
bidang: a. distribusi; b. perdagangan; c. pengendalian harga; d.
pemasaran, dan/atau e. konsumsi Pangan. Sementara di penjelasannya
dinyatakan: Keterjangkauan Pangan merupakan kondisi kemudahan
masyarakat, rumah tangga, dan/atau individu memperoleh Pangan.
Memang
seolah-olah jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan tiap individu
diberikan melalui RUU ini dengan apa yang dinyatakan di pasal 44 (2):
Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan
atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan untuk menjamin
agar setiap individu dapat memperoleh Pangan dalam jumlah, mutu, aman,
merata, dan keanekaragaman, dengan harga yang terjangkau.
Pertanyaannya
adalah bagaimana mekanisme pemberian jaminan itu? Tanpa adanya
penjelasan mekanisme pemberian jaminan itu, maka jaminan itu sendiri
bisa dikatakan sebagai jaminan kosong. Apalagi ketentuan pasal ini masih
mengaitkan jaminan itu dengan ungkapan “dengan harga terjangkau”. Dua
pasal ini tidak menjelaskan tolok ukur kapan pangan itu dikatakan
terjangkau. Dengan memperhatikan ruh dari RUU ini yaitu kapitalisme
liberalisme, maka tolok ukur keterjangkauan itu hampir bisa dipastikan
adalah tingkat harga rata-rata yang dinilai masih terjangkau. Lalu
diasumsikan bahwa dengan tingkat harga itu masyarakat tidak akan
kesulitan memperoleh pangan. Keterjangkauan pangan yang dimaksud tentu
bukan bahwa tiap individu dijamin bisa memperoleh pangan dan terpenuhi
kebutuhan pokoknya atas pangan.
Pasal 48: (1) Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan. (2) Pengaturan Perdagangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. pengendalian harga Pangan dan inflasi; b. manajemen cadangan Pangan; dan c. menciptakan iklim usaha Pangan yang sehat.
Pasal 48: (1) Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan. (2) Pengaturan Perdagangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. pengendalian harga Pangan dan inflasi; b. manajemen cadangan Pangan; dan c. menciptakan iklim usaha Pangan yang sehat.
Pasal
48 RUU Pangan sama dengan pasal dan tujuan Bank Indonesia, yaitu
pengelolaan inflasi dan nilai tukar. Ini berarti merupakan kebijakan
pengendalian harga pangan tidak bisa lagi digunakan untuk
menyejahterakan petani. Jika dikendalikan, harga pangan tidak bisa naik.
Petani tidak bisa sejahtera. Jika kebijakan produksi dan perdagangan
pangan dipakai untuk mengendalikan inflasi, kebijakan tersebut akan
kehilangan kesempatan dan kekuatannya untuk meningkatkan kesejahteraan
petani. RUU Pangan ini justru menyandera nasib petani demi kepentingan
moneter. Masalah inflasi sangat kompleks, mulai dari faktor moneter dan
sektor riil, sektor dalam negeri dan luar negeri. Bahkan inflasi sangat
erat dengan keberadaan uang fiat money yang nilainya secara terus
menerus mengalami penurunan. Pada sisi sektor riil, harga pangan beras
hanyalah salah satu dari ribuan produk lain. Kebijakan inflasi terkait
dengan produksi dan distribusi tentu ditujukan untuk mengendalikan harga
semua produk yang mungkin memengaruhi harga secara agregat, tidak
dikhususkan pada pangan pokok saja terutama beras. Meski harga pangan
khususnya pangan pokok pengaruhnya terhadap angka inflasi lebih besar
dari pangan non pokok dan produk lain. Hal itu mengingat pangan pokok
dibutuhkan oleh semua orang. Maka pengendalian inflasi melalui
kebijakan produksi dan perdagangan pangan agaknya akan lebih difokuskan
pada pangan pokok terutama beras. Jika itu yang terjadi, sementara,
produk industri lain dibiarkan saja mengikuti pasar, tidak dikendalikan,
itu sama saja mengendalikan nasib petani demi kestabilan angka
inflasi. Nilai tukar petani bisa terus tergerus seperti sekarang.
Penurunan nilai tukar petani akan menurunkan kesejahteraan petani.
Mestinya kebijakan pangan dan distribusi pangan lebih untuk mewujudkan
swasembada pangan, meningkatkan kesejahteraan petani dan menjamin
tiap-tiap individu tercukupi kebutuhannya akan pangan secara layak
dilihat dari segala aspek.
Ketentuan
Bab VI tetang Keamanan Pangan mulai pasal 61 - 92 dan Bab VII tentang
Label dan Iklan Pangan, jika pelaksanaannya dipaksakan dan saklek bisa
akan menambah beban dan kesulitan kepada para produsen pangan kecil dan
menengah khususnya pelaku usaha kecil dan industri pangan rumahan.
Contoh, pasal 66 (1) Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan atau
proses produksi penyimpanan, pengangkutan, dan atau Peredaran Pangan,
dalam rangka Sanitasi Pangan wajib: a. memenuhi Persyaratan Sanitasi;
b. menjamin keamanan dan/atau keselamatan manusia; dan c.
menyelenggarakan program pemantauan dan pengawasan secara berkala.
Pasal 82 (1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk
diperdagangkan wajib memenuhi standar Mutu Pangan dan pemeriksaan
laboratorium. (2) Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar Pangan
terlebih dahulu diuji di laboratorium sebelum diedarkan….
Jika pelaksanaan pasal-pasal tentang sanitasi, kemasan, bahan tambahan, standar mutu, dsb, itu dilaksanakan secara saklek, maka tentu yang mengalami kesulitan jelas adalah para pelaku usaha kecil dan mungkun juga menengah. Sebab mereka harus mengajukan sertifikasi, pengujian laboratorium, melakukan berbagai pengujian produk secara berkala, harus membeli peralatan, bahan-bahan kimia untuk pengujian, dan sebagainya. Bagi pelaku usaha kecil masalah-masalah seperti itu tentu menjadi masalah besar, apalagi berkaitan dengan dana sementara mereka modal, aset dan skala usaha mereka masih kecil. Semestinya ada perlakua khusus termasuk di dalamnya bantuan dalam berbagai bentuk kepada para pelaku usaha kecil untuk bisa memenuhi standar dan ketentuan pasal-pasal tersebut.
Jika pelaksanaan pasal-pasal tentang sanitasi, kemasan, bahan tambahan, standar mutu, dsb, itu dilaksanakan secara saklek, maka tentu yang mengalami kesulitan jelas adalah para pelaku usaha kecil dan mungkun juga menengah. Sebab mereka harus mengajukan sertifikasi, pengujian laboratorium, melakukan berbagai pengujian produk secara berkala, harus membeli peralatan, bahan-bahan kimia untuk pengujian, dan sebagainya. Bagi pelaku usaha kecil masalah-masalah seperti itu tentu menjadi masalah besar, apalagi berkaitan dengan dana sementara mereka modal, aset dan skala usaha mereka masih kecil. Semestinya ada perlakua khusus termasuk di dalamnya bantuan dalam berbagai bentuk kepada para pelaku usaha kecil untuk bisa memenuhi standar dan ketentuan pasal-pasal tersebut.
Berkaitan
dengan kelembagaan yang mengurusi masalah pangan maka hal itu diatur
dalam pasal 113-117. Berdasarkan Pasal 113, Pemerintah membentuk Badan
Otoritas Pangan. Badan ini memiliki dua fungsi: a. merumuskan kebijakan
Pangan nasional; dan b. menjamin Ketersediaan Pangan nasional. Badan ini
harus ada di ibu kota dan dapat dibentuk di tingkat provinsi dan/atau
kabupaten/kota. Itu artinya badan ini didesain bukan tidak secara
otomatis sebagai badan struktural yang memiliki struktur berjenjang
hingga kabupaten/kota. Tentang posisi badan ini diatur di pasal 115,
yaitu badan ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
RUU menambah jumlah badan dan dewan yang dibentuk langsung berada di
bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, yang jumlahnya sudah
banyak. Badan-badan itu seperti badan yang semi ad hoc. Sementara
melihat dari fungsi dan wewenangnya, Badan Otoritas Pangan (BOP) ini
sekaligus berperan sebagai regulator dan operator dalam masalah pangan.
Pasal 114 menetapkan BOP ini memiliki tugas dan wewenang antara lain:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan Pangan yang terintegrasi antarwilayah, antarkomoditi, dan antarwaktu;
b. mengendalikan laju konsumsi Pangan masyarakat dan penganekaragaman Pangan;
c. merencanakan anggaran bagi seluruh kebijakan Pangan nasional; dan
d. menetapkan jenis Pangan tertentu yang perlu diintervensi Pemerintah.
e. melaksanakan dan/atau mengoordinasikan produksi, pengadaan, penyediaan, penyimpanan, distribusi, dan pengendalian harga Pangan tertentu;
f. mewujudkan kecukupan sekaligus juga menyelamatkan kecukupan Pangan;
g. menjamin Ketersediaan Pangan yang cukup baik jumlah, mutu, gizi, nutrisi, higienis, dan keamanannya;
h. menciptakan sistem dan mekanisme distribusi yang adil dan merata; dan
i. menjamin ketersediaan dan stabilitas harga Pangan yang terjangkau daya beli masyarakat.
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan Pangan yang terintegrasi antarwilayah, antarkomoditi, dan antarwaktu;
b. mengendalikan laju konsumsi Pangan masyarakat dan penganekaragaman Pangan;
c. merencanakan anggaran bagi seluruh kebijakan Pangan nasional; dan
d. menetapkan jenis Pangan tertentu yang perlu diintervensi Pemerintah.
e. melaksanakan dan/atau mengoordinasikan produksi, pengadaan, penyediaan, penyimpanan, distribusi, dan pengendalian harga Pangan tertentu;
f. mewujudkan kecukupan sekaligus juga menyelamatkan kecukupan Pangan;
g. menjamin Ketersediaan Pangan yang cukup baik jumlah, mutu, gizi, nutrisi, higienis, dan keamanannya;
h. menciptakan sistem dan mekanisme distribusi yang adil dan merata; dan
i. menjamin ketersediaan dan stabilitas harga Pangan yang terjangkau daya beli masyarakat.
Cakupan
tugas dan wewenang BOP ini bisa dikatakan meliputi berbagai sektor,
mulai penganggaran, sektor pertanian, perikanan, kelautan, perdagangan,
infrastruktur, kesehatan, dsb. Pelaksanaan berbagai tugas dan wewenang
itu pasti akan melibatkan berbagai departemen dan instansi sektoral yang
terkait. Implementasi tugas dan wewenang BOP ini mungkin saja akan
terhambat oleh ego sektoral, seperti yang selama ini terjadi, sehingga
program-programnya tidak berjalan secara optimal.
Pembentukan
BOP ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh kurang efektifnya peran Dewan
Ketahanan Pangan Pangan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan; Badan Ketahanan
Pangan Kementerian Pertanian; dan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang
sudah diubah menjadi Perum Bulog dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 2003. Ketiga lembaga ini seperti yang diatur dalam pasal 142
nantinya akan dilebur dalam BOP. RUU ini justru lebih jauh dari
kesalahan perubahan Bulog menjadi perum. Dengan perubahan menjadi Perum
akhirnya Bulog bekerja mengikuti logika bisnis. Jika ada untung maka
Bulog masuk dan jika tidak ada untung Bulog menahan diri. Sementara RUU
ini justru menghilangkan Bulog dan meleburnya ke dalam BOP tanpa
kejelasan peran.
Jika
latar belakangnya demikian, maka pembentukan BOP dengan termasuk di
dalamnya melebur ketiga badan dan dewan itu ke dalam BOP, tidak akan
menyelesaikan masalah kekurangefektifan itu. Justru konsep BOP ini
sendiri sebagian peran Bulog yang ada selama ini akan dikebiri dan bisa
jadi tak akan tertangani. Peran Bulog untuk turut menjaga kesejahteraan
petani dengan membeli produk petani khususnya beras pada saat panen
raya tidak akan bisa dijalankan dengan baik dan tidak tergantikan oleh
BOP. Sebab dalam RUU ini tidak ada penegasan peran itu. Disamping
lembaga Bulog sendiri secara implisit menurut RUU ini akan ditiadakan
dan dilebur dalam BOP.
Disamping
itu, peran BOP dalam melaksanakan dan mengoordinasikan produksi pangan
juga tidak akan bisa optimal. Sebab terkait produksi misalnya, banyak
hal yang akan ditangani oleh departemen dan instansi teknis lain yang
bersifat sektoral. Mungkin akan dikatakan hal itu tidak ada masalah
sebab BOP nanti tinggal mengoordinasikan tugas dan peran berbagai
departemen dan instansi sektoral agar semua melaksanakan tugas dan
tanggungjawab yang diberikan dalam masalah pangan. Hal itu sudah jelas
tidak akan berhasil. Sebab selama ini badan dan lembaga semi ad hoc
seperti itu tidak pernah bisa menjalankan peran seperti itu. Disamping
itu, bukankah peran itu seharusnya dijalankan oleh menteri koordinator
(Menko)? Maka semestinya peran Menko yang harus dipertegas. Yang
diperlukan dalam hal ini sebenarnya adalah kepemimpinan yang kuat dan
sistem dan struktur kelembagaan departemen yang saling sinergi, memiliki
visi dan misi yang sama, ego sektoral dikikis. Dan itu dalam sistem
yang ada saat ini sulit diwujudkan selama pendekatan penyusunan kabinet
dan penunjukkan pejabat termasuk menteri masih kental pertimbangan
politik, bagi-bagi kekuasaan dan didasarkan pada komposisi dalam koalisi
partai. Juga sulit selama perilaku dan budaya yang dominan di berbagai
instansi pemerintahan itu adalah budaya yang kental dengan politik
kekuasaan, bukan budaya politik pelayanan dan budaya profesionalisme.
Pada Bab XI tentang Tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam pasal 118-121, tidak ada tugas memberikan jaminan atas akses pangan bagi tiap orang rakyat khususnya masyarakat miskin dan rawan pangan. Yang ada hanya seperti tugas Pemerintah Pusat di pasal 119 c. mengatur dan mendorong peningkatan akses Pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan. Seperti peran Pemerintah Provinsi di pasal 120 c. meningkatkan dan mencegah penurunan akses Pangan masyarakat. Dan seperti tugas Pemerintah Kabupaten/kota di pasal 121 b. melakukan penanganan penyaluran Pangan untuk kelompok rawan Pangan tingkat kabupaten dan c. melakukan pencegahan dan pengendalian serta penanggulangan masalah Pangan sebagai akibat penurunan akses Pangan, mutu gizi, nutrisi, higienis, ketersediaan dan Keamanan Pangan.
Pada Bab XI tentang Tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam pasal 118-121, tidak ada tugas memberikan jaminan atas akses pangan bagi tiap orang rakyat khususnya masyarakat miskin dan rawan pangan. Yang ada hanya seperti tugas Pemerintah Pusat di pasal 119 c. mengatur dan mendorong peningkatan akses Pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan. Seperti peran Pemerintah Provinsi di pasal 120 c. meningkatkan dan mencegah penurunan akses Pangan masyarakat. Dan seperti tugas Pemerintah Kabupaten/kota di pasal 121 b. melakukan penanganan penyaluran Pangan untuk kelompok rawan Pangan tingkat kabupaten dan c. melakukan pencegahan dan pengendalian serta penanggulangan masalah Pangan sebagai akibat penurunan akses Pangan, mutu gizi, nutrisi, higienis, ketersediaan dan Keamanan Pangan.
Itulah
beberapa catatan kritis atas RUU Pangan yang sedang dibahas untuk
menggantikan UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Jika RUU tersebut
disahkan dengan muatan seperti itu maka akan menambah panjang daftar UU
liberal yang sudah ada. Dan itu artinya makin menambah kesulitan bagi
rakyat. Pangkal dari semua itu adalah diadopsinya ideologi kapitalisme
dan demokrasi yang memberikan hak kepada manusia untuk membuat hukum.
Akhirnya hukum ditundukkan demi mengabdi demi kepentingan para politisi,
cukong-cukong, korporasi mulitinasional dan asing sebagai panutan dan
pemimpin ideologi kapitalisme. Untuk menghentkan semua itu dan
memperbaikinya agar hukum mengabdi demi kebenaran dan kepentingan rakyat
dan semua orang, memberikan ketenteraman dan kerahmatan kepada semua
maka tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan meninggalkan ideologi
kapitalisme demokrasi dan kemudian mengadopsi dan menerapkan Syariah
Islam secara utuh dalam bingkai sistem politik Islam yaitu Khilafah
Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [ YA - LS
HTI ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar