Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Minggu, 29 Januari 2012

Ancaman Liberalisasi dan Ketergantungan Pangan di balik RUU Pangan


401532_351827031510392_100000492933214_1466117_1640823559_n.jpg (960×505)
Catatan Kritis atas RUU Pangan
RUU Pangan yang merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan saat ini sedang di bahas oleh DPR bersama Pemerintah, banyak mengandung kelemahan, bahkan menyimpian potensi bahaya dan merugikan masyarakat banyak.  Berbagai kelemahan dan bahaya itu seperti yang bisa dilihat dalam paparan berikut.
Terdapat beberapa catatan kritis atas RUU ini baik secara umum maupun pasal per pasalnya.  Untuk kritik umum terhadap RUU ini setidaknya meliputi point-point berikut:
Pertama, RUU ini jelas sekali mengusung spirit neo liberal.  RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan.  Hal itu tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada swasta untuk mengimpor pangan.  Bahkan impor pangan menjadi salah satu sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan.  Sumber impor itu disamakan dengan sumber dalam negeri.  Padahal ketergantungan pangan kepada asing melalui impor jika hal itu terjadi pada pangan pokok dan pangan strategis maka sama saja menggadaikan stabilitas di dalam negeri kepada asing.  Bahkan pada titik tertentu ketergantungan itu bisa dijadikan alat politik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pihak asing bahkan hingga untuk merubah sistem di suatu negara.  Contoh ketergantungan Uni Sovyet kepada gandum impor yang merupakan pangan pokok penduduknya, oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu sebab dan jalan yang digunakan oleh barat untuk menghancurkan Uni Sovyet kala itu.
Kedua, RUU ini melanggengkan ketergantungan pangan kepada impor. RUU ini tidak mengusung spirit swa sembada pangan.  RUU ini hanya menitikberatkan pada ketersediaan pangan, bukan pada bagaimana pangan dicukupi dari produksi dalam negeri dan bagaimana pangan diproduksi di dalam negeri oleh para petani dan produsen pangan lainnya.  Keharusan terwujudnya ketersediaan pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan minimal enam bulan; jangka waktu dua kali panen beras, kedelai, dan tanaman pangan lainnya; mengharuskan impor dijadikan sumber cadangan pangan dimana pangan impor itu sudah masuk enam bulan sebelum masa panen.  Maka impor pangan menjadi sesuatu yang lumrah bahkan keharusan.  Bisa jadi hal itu akan turut membatasi perencanaan dan pengembangan produksi pangan.  Sebab toh dengan impor, ketersediaan pangan bisa diwujudkan tanpa harus capek-capek memproduksinya di dalam negeri dan tidak butuh waktu lama melalui serangkaian penelitian panjang, juga tidak perlu repot membangun infrastruktur terkait produksi pangan dan infrastruktur lainnya secara umum.
Ketiga, RUU ini tidak secara tegas membedakan antara pangan pokok, pangan strategis dengan yang lainnya.  Penentuannya diserahkan kepada peraturan pemerintah dan menjadi bagian dari wewenang Badan Otoritas Pangan (BOP) yang akan dibentuk.  Dengan tidak adanya ketegasan itu, akibatnya seolah semua pangan itu sama saja dan diperlakukan sama yaitu diurusi, menjadi fokus dan konsern pemerintah.  Tidak adanya ketegasan itu juga bisa berimplikasi tidak adanya penekanan dan fokus dalam melakukan perencanaan, penelitian, pengembangan dan budidaya pangan.
Keempat, RUU ini membuka peluang bagi terjadinya kolusi pejabat dengan pengusaha.  Hal itu diantaranya dengan pasal yang mengatur bahwa pemerintah dapat menunjuk badan usaha untuk mengelola cadangan pangan. Disitu hanya disebut badan usaha, artinya bisa berupa badan usaha swasta dan tidak harus BUMN atau BUMD.
Kelima, RUU ini menggunakan pendekatan pangan sebagai komoditas bisnis semata selain sebagai komoditas politik.  Pangan khususnya pangan pokok tidak dianggap sebagai kebutuhan pokok yang pemenuhannya bagi tiap-tiap individu harus dijamin oleh pemerintah atau negara.  Diantara implikasinya, pendekatan pendistribusian pangan hanya bertumpu pada mekanisme harga.  Dan ini adalah ide pokok kapitalisme yang telah terbukti gagal dalam mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil diantara masyarakat.
Keenam, RUU ini membenarkan swasta memiliki dan mengelola cadangan pangan, artinya swasta dibenarkan memiliki stok pangan.  Jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa cadangan pangan itu harus mencukupi untuk kebutuhan minimal enam bulan, itu artinya swasta dibenarkan untuk memiliki stok pangan yang diperkirakan cukup untuk kebutuhan pasar selama enam bulan berikutnya.  Ketentuan ini sama saja membenarkan swasta (para pedagang besar) membeli produk pangan petani jauh sebelum panen atau dengan sistem ijon.  Apalagi petani untuk melakukan produksi perlu modal yang makin besar dengan dicabutnya berbagai subsidi terkait pertanian, sementara disisi lain pemerintah tidak memberikan bantuan, maka situasi itu membuat para petani lebih rentan terjerat rentenir dan perdagangan cara ijon.  Karena sudah mendapat modal dari pedagang maka pada saat panen harga akan ditentukan oleh pedagang pemberi modal atau pinjaman itu.  Para petani tidak akan memiliki posisi tawar.  Disinilah nilai tawar petani akan makin tergerus dan akibatnya tingkat kesejahteraan para petani sulit untuk membaik, bahkan bisa sebaliknya akan cenderung terus turun.  Begitu pula, pada saat panen raya, para pedagang besar bisa membeli produk petani yang tentu saja sering kali dengan harga murah dengan alasan panen raya, lalu stok pangan itu disimpan, dan baru dikeluarkan pada saat harga tinggi.  Betul bahwa di dalam RUU ini ada pasal yang melarang penimbunan pangan pokok dan ada ancaman administratif (pasal 50) dan ancaman pidana penjara 10 tahun atau denda Rp 10 miliar (pasal 128).  Tetapi, karena adanya legalisasi swasta untuk memiliki dan mengelola cadangan pangan sendiri, maka pengaturan jumlah stok pangan yang boleh dimiliki swasta (pasal 49) akan menjadi satu kesulitan tersendiri.  Kompromi dua ketentuan itu akan melahirkan batas maksimal stok pangan pokok bagi para pedagang dalam jumlah yang besar.  Dan jika itu terjadi, maka itulah celah yang bisa dimanfaatkan oleh swasta (khususnya pedagang besar) untuk mengontrol harga dengan mengontrol suplay.  Kemungkinan ini membuat swasta (para pedagang) bisa lebih menentukan dalam mengontrol harga pangan khususnya pangan pokok di pasar.  Sementara disisi lain, RUU ini tidak menegaskan peran Badan Otoritas Pangan (BOP) untuk menyerap produksi petani atau memberikan proteksi kepada para petani agar diantaranya tidak terjerat ijon.  Ketika pemerintah kalah dengan swasta dalam menyerap produk petani itu, maka dengan alasan keharusan pemerintah memiliki cadangan pangan, dengan sangat mudah impor akan dilakukan dan menjadi sesuatu yang lumrah bahkan keharusan.   Apalagi selama ini rente dalam jumlah besar lebih mudah didapat dari impor itu sebab impor dilakukan dengan volume sangat besar mencapai ratusan ribu bahkan jutaan ton.  Padahal biaya politik yang makin besar juga memperbesar dorongan perburuan rente itu.
Ketujuh, RUU ini mempunyai tujuan menjamin pangan yang sehat, bergizi, bermutu, bebas dari bahan membahayakan kesehatan.  Untuk itu RUU ini memberi aturan tentang sanitasi, kemasan, bahan tambahan pangan, iradiasi pangan, standar mutu dan pemeriksaan laboratorium, dsb.  Semua itu ditetapkan sebagai tanggungjawab produsen pangan yang memproduksi pangan untuk diedarkan kepada masyarakat.  Maksud yang baik itu dalam pelaksanaannya berpeluang justru menyulitkan bagi masyarakat, khususnya pengusaha pangan olahan yang termasuk  Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan usaha rumah tangga.  Hal itu seperti peraturan standarisasi dalam hal produksi obat, yang pada akhirnya memberatkan para produsen obat dengan skala kecil dan menengah sebab mereka harus membeli peralatan produksi dan laboratorium baru yang sebagian besarnya diimpor, sehingga pada akhirnya yang pertama-tama mendapatkan keuntungan adalah korporasi asing.  Melihat hal itu, maka jika implementasi RUU pangan ini dilakukan secara saklek dan ketat serta tidak ada kekhususan bagi pelaku usaha olahan pangan yang termasuk UMKM dan industri rumah tangga, dimana mereka akhirnya diperlakukan sama dengan industri yang sudah mapan, maka justru akan bisa mematikan para pengusaha UMKM dan rumah tangga itu, atau minimalnya memberatkan mereka.  Jika implementasinya saklek, maka pihak yang diuntungkan, yang jelas adalah perusahaan yang sudah mapan, industri peralatan produksi dan laboratorium termasuk bahan-bahan untuk pemeriksaan laboratorium, yang bisa diduga banyak diantaranya adalah produk impor.
Kedelapan, RUU ini mengusung spirit meminimalkan peran dan campur tangan langsung negara dalam mengurusi kepentingan masyarakat.  RUU ini mengarahkan agar negara berperan sekedar menjadi regulator, sementara pelaksanaan praktisnya diserahkan kepada swasta.  Hal yang sama sudah diberlakukan pada sektor-sektor lainnya seperti pada pengelolaan migas.  Hal itu tarlihat dari dibentuknya Badan Otoritas Pangan (BOP) yang diposisikan mirip dengan BPH Migas.  Sementara perum Bulog ditiadakan dan digabungkan ke dalam BOP.  Sementara untuk menjamin ketersediaan pangan, hal itu mlalui kerjasama dengan badan usaha.  Padahal dengan dileburnya perum Bulog ke dalam BOP artinya tidak ada lagi badan usaha negara (BUMN) yang menjalankan peran perum Bulog.  Lalu siapa nantinya yang akan menggantikan? Dalam hal ini BOP jelas agak didesain bukan untuk melakukan secara langsung peran yang dimainkan oleh perum Bulog diantaranya pembelian produksi petani.  Jika demikian halnya, maka swastalah yang akan lebih berperan.
Disamping kritik secara umum di atas, kritik rinci pasal demi pasal dapat dilihat pada paparan berikut:
Pasal 1 ayat 3: Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi Pangan yang beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat individu, baik jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
Point ini belum secara tegas menyatakan swa sembada pangan.  Spirit swa sembada bahkan tidak dicantumkan sebagai salah satu asas RUU ini.  Disamping itu, cakupan kemandirian ini juga terlalu luas karena mencakup semua yang disebut pangan.  Ini menunjukkan RUU tidak memiliki fokus, tidak jelas pangan mana yang harus mandiri dan mana yang tidak harus.  Itu artinya kemandirian pangan itu mencakup semua pangan.  Tidak ada pembedaan antara pangan pokok, pangan strategis dan yang bukan.  Hal itu juga bisa berimplikasi RUU ini kehilangan orientasi.  Akibatnya justru tidak tertangani semua karena orientasinya tidak jelas dan tidak ada prioritas.
Pasal 1 ayat 4: Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan individu, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta sesuai dengan keyakinan, dan budaya, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Point ini mencerminkan pandangan khas kapitalisme yang menjadikan tolok ukur agregat dan pertumbuhan sebagai patokan.  Point ini tidak berbicara tentang distribusi pangan, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan tiap individu.  Point ini hanya berbicara ketersediaan pangan.  Itu artinya, adanya kuantitas pangan yang sebanding dengan angka kebutuhan atau demand.  Sementara keterjangkauan seperti biasanya hanya diukur dengan harga yang terjangkau bagi rata-rata penduduk.  Padahal pada faktanya pasti ada sebagian masyarakat yang daya belinya dibawah harga terjangkau itu.
Pasal 1 ayat 6: Ketersediaan Pangan adalah tersedianya Pangan yang beranekaragam dari hasil produksi dalam negeri, cadangan Pangan nasional, dan/atau pemasukan Pangan dari luar negeri.
Point ini menyamakan antara sumber penyediaan pangan antara sumber dalam negeri dan sumber luar negeri.  Kata “dan/atau” menegaskan kesetaraan itu.  Bahkan sumber luar negeri dimungkinkan menjadi alternatif yang mengalahkan sumber dalam negeri.
Pasal 2: Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas: a. kedaulatan, b. kemandirian, c. ketahanan, d. keamanan, e. manfaat dan lestari, f. pemerataan, g. keadilan, dan h. berkelanjutan.
Pasal ini belum memperlihatkan adanya spirit swa sembada pangan.  Hilangnya spirit swa sembada berakibat disamakannya antara sumber dalam negeri dengan sumber luar negeri.  Itu artinya impor pangan diposisikan sama dengan produksi dalam negeri.  Implikasinya, nantinya tidak ada strategi, upaya dan kerja keras dari segala lini terkait untuk mewujudkan swa sembada guna mencukupi kebutuhan pangan dari sumber dalam negeri.  Ini menunjukkan dominannya nalar pragmatis.  Nalar yang dipakai adalah kalau bisa dicukupi dari impor, apalagi harga impor lebih murah, kenapa harus capai-capai memproduksinya di dalam negeri, melakukan penelitian yang butuh waktu, menyiapkan infrastruktur produksi, menyediakan berbagai sarana pendukung, memberi dukungan finansial dan sebagainya?  Dalam hal ini, tampak dominan pola pikir pedagang dan bukan pola pikir negarawan.  Ini menunjukkan kuatnya spirit liberalisme dan kuatnya pengaruh pemilik modal dalam RUU Pangan ini.  Tidak terlihatnya spirit swa sembada itu merupakan indikasi belum munculnya spirit membebaskan diri dari ketergantungan.  Agaknya spirit inilah yang memang mendominasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negeri ini.
Pasal 4: Penyelenggaraan Pangan bertujuan untuk: a. meningkatkan kemampuan melakukan Produksi Pangan secara mandiri; b. … Apa yang dimaksud produksi pangan secara mandiri? Apakah produsen pangan bisa memproduksi pangan secara mandiri?  Jika itu maksudnya, itu juga bermakna bahwa para petani, nelayan, peternak kecil, dan seperti mereka harus bisa melakukan produksi secara mandiri.  Lalu apakah itu juga berarti tidak perlu adanya bantuan, subsidi, dan keberpihakan pemerintah kepada mereka?  Jika demikian maksudnya tentu ini sangat berbahaya.  Itu benar-benar menunjukkan spirit dan watak neo liberal dari RUU ini.  Jika petani, nelayan, peternak kecil dan produsen pangan seperti mereka dituntut untuk melakukan produksi secara mandiri, tidak boleh mengharap peran, bantuan dan keberpihakan pemerintah, lalu mereka harus bergulat dengan produsen besar bahkan harus bergulat dengan produk pangan impor baik produk pertanian, peternakan, perikanan dan pangan olahan, jelas itu sama artinya membiarkan mereka mati pelan-pelan.  Padahal produk impor itu di negaranya sana termasuk di negara maju sekalipun tetap mendapat bantuan, subsidi dan proteksi dari pemerintahnya sehingga bisa bertahan di dalam negerinya dan bersaing di tingkat internasional.
Pasal 5: Lingkup pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi: a. perencanaan Pangan; b. Ketersediaan Pangan; c. keterjangkauan Pangan; d. penganekaragaman Pangan; e. Keamanan Pangan; f.  kelembagaan;  g. pembiayaan; dan h. peran serta masyarakat.
Ketersediaan pangan artinya berbicara jumlah stok pangan yang mencukupi jumlah kebutuhan.  Keterjangkauan berbicara pada tingkat harga rata-rata yang dinilai masih bisa dijangkau oleh konsumen.  Jadi kalau stok bahan pangan cukup sehingga harga rata-rata bisa dipertahankan pada tingkat yang dianggap terjangkau, maka itu sudah memenuhi tujuan.  Pengaturan penyelenggaraan pangan tidak berbicara tentang pendistribusian pangan sampai kepada tiap-tiap individu rakyat.  RUU ini tetap “konsisten” menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengatur ditribusi yaitu menyandarkan pada mekanisme harga. Padahal mekanisme itu telah terbukti gagal.  Betapa selama ini kita disuguhi tontonan setiap Ramadhan, menjelang hari Raya, dan sebagainya, di mana para pejabat selalu berbicara bahwa stok bahan pangan cukup.  Namun seringkali harga tak terkendali.  Dan yang pasti, selalu saja ada sebagian rakyat yang tidak bisa menjangkau pangan yang layak.
Pasal 6-12 mengatur perencanaan pangan.  Di dalamnya masih ada ketidakjelasan pembagian peran dan tanggungjawab pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.  Pasal-pasal ini juga tidak membagi siapa yang membuat rencana pangan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek atau tahunan, sebaliknya semua harus membuat rencana tersebut.  Hanya disebutkan (pasal 8 ayat 4) Perencanaan Pangan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal-pasal tentang perencanaan ini tidak secara jelas membagi tingkatan rencana pangan yang harus dibuat oleh pemeritah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.  Ketidakjelasan itu berpotensi menyulitkan dalam implementasinya.  Apalagi disebutkan (pasal 9) rencana pangan tingkat nasional harus memperhatikan diantaranya kebutuhan dan usulan provinsi, rencana tingkat provinsi harus memperhatikan diantaranya kebutuhan dan usulan kabupaten/kota, sedangkan rencana tingkat kabupaten/kota haus memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota.  Sementara di pasal 12 disebutkan rencana pangan nasional menjadi pedoman penyusunan rencana pangan provinsi dan rencana pangan provinsi menjadi pedoman penyusunan rencana pangan kabupaten/kota; dimana semuanya menjadi pedoman semua pihak dalam pengembangan pangan.
Itu artinya, usulan dan kebutuhan kabupaten/kota diperhatikan untuk membuat rencana provinsi, kebutuhan dan usulan provinsi diperhatikan untuk mmebuat rencana nasional.  Itu artinya kebutuhan dan usulan kabupaten/kota menjadi pokok yang diperhatikan dalam pembuatan rencana.  Sementara di sisi lain, rencana provinsi harus berpedoman kepada rencana nasional, dan rencana kabupaten/kota harus berpedoman pada rencana provinsi. Bagaimana mengimplementasikan perencanaan seperti itu?
Di pasal 11 disebutkan: Rencana pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sekurang-kurangnya memuat: a. Produksi Pangan dan kebutuhan konsumsi; b. cadangan Pangan; c. pemasukan Pangan ke wilayah Negara Republik Indonesia; d. pengeluaran Pangan dari wilayah Negara Republik Indonesia; e. penganekaragaman Pangan; f. distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan; g. pengendalian harga; h. Keamanan Pangan; i. penelitian dan pengembangan Pangan; j. pembiayaan; k. kelembagaan; dan l. aspek peningkatan kesejahteraan produsen Pangan.
Jika diperhatikan point yang dibold itu artinya kabupaten/kota dan rencana provinsi juga harus merencanakan berapa produksi dan kebutuhan pangan tahunan di tiap provinsi dan kabupaten/kota. Lalu rencana produksi dan kebutuhan itu dijadikan dasar pembuatan rencana impor dan ekspor pangan.  Itu artinya secara implisit tiap provinsi dan kabupaten/kota berwenang merencanakan impor pangan sendiri-sendiri dan itu harus direncanakan untuk penyusunan rencana provinsi dan nasional.  Dengan begitu, secara implisit daerah yaitu provinsi dan kabupaten/kota diberi wewenang membuat rencana impor pangan dan berikutnya daerah boleh mengimpor pangan sendiri.  Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan tentang pengeolaan cadangan pangan oleh daerah.
Pasal 13 (6) Upaya mewujudkan ketersediaan Pangan dilakukan dengan: … b. mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan …. F. membangun kawasan sentra Produksi Pangan.
Pasal 13 (6) b dan f ini bisa dijadikan dasar dan justifikasi legal bagi pelaksanaan dan pengembangan food estate yang sudah digagas dan dimulai saat ini yang mendapat kritik dari banyak pihak.  Pasal ini memberi peluang masuknya korporasi multinasional untuk mengembangkan produksi pangan dalam skala sangat luas.  Sayangnya pasal ini tidak membatasi hal itu dengan batasan apapun.  Bisa jadi food estate itu akan dibenarkan juga untuk produksi pangan pokok dan produksi pangan yang melibatkan para petani kecil.  Dengan skala usaha yang besar, area tanam yang sangat luas, penggunaan sarana dan pra sarana yang modern, memungkinkan produksi pangan sistem food estate itu dilakukan dengan sangat efisien yang menjadikan biaya per satuan produk akan kecil.  Ditambah lagi bisa saja korporasi yang mengembangkan food estate itu juga mendapat berbagai insentif dari pemerintah termasuk insentif fiskal karena dianggap sebagai investasi besar yang layak mendapat kemudahan, apalagi jika dijustifikasi untuk mewujudkan kemandirian pangan.  Sementara hal yang sama tidak bisa dilakukan atau diperoleh oleh para petani. Akibatnya para petani bisa jadi disamping harus bersaing dengan produk pangan impor yang harganya murah karena mendapat banyak dukungan dari pemerintah mereka, juga harus menghadapi tekanan persaingan dari korporasi yang mengembangkan food estate yang juga bisa menjual produknya dengan harga murah karena efisiensi yang tinggi, mendapat berbagai insentif dari pemerintah dan infrastrukturnya dibangun dengan biaya dari APBN.  Disini akhirnya para petani mungkin saja ke depan akan menghadapi himpitan dari produk impor, produk dalam negeri hasil dari food estate, dan tekanan ongkos produksi yang terus meningkat karena pemerintah menghilangkan subsidi dari mereka.  Mungkin ada yang mengangkap hal itu sebagai kekhawatiran yang berlebihan.  Namun tetap saja kemungkinan itu ada dan indikasi-indikasi yang ada kuat menunjukkan ke arah sana.
RUU ini seolah-olah menutup peluang investor asing bergerak dalam budidaya dan produksi pangan seperti di atur dalam pasal 125: (1) Pengembangan usaha Pangan dapat dilakukan oleh pelaku usaha asing. (2) Pelaku usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menanamkan modal di luar budidaya Pangan. Namun hal itu dengan mudah bisa “diakali” dengan jalan asing membentuk perusahaan di dalam negeri melalui kerjasama dengan pelaku usaha dalam negeri dimana  mayoritas modalnya dimiliki asing, apalagi peluang untuk itu terbuka lebar sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal.
Ditambah lagi pelaku usaha masih bisa mendapat bantuan pembiayaan dari pemerintah.  Peluang itu diberikan oleh pasal 123: (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat membantu pembiayaan pengembangan usaha Pangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mendukung program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (2) Bantuan pembiayaan di bidang Pangan meliputi: a. subsidi teknologi; b. sarana dan prasarana Ketersediaan Pangan; c. penurunan tarif ekspor; dan d. penetapan harga dasar.  Pasal ini jelas menyatakan yang bisa mendapat fasilitas bantuan itu adalah pelaku usaha dan itu tentu saja bukan petani, nelayan, peternak, dsb.  Sebab istilah pelaku usaha lebih berkonotasi perusahaan.  Pasal ini justru membuka peluang terjadinya kongkalingkong penguasa pengusaha.  Sebab alasan pemberian fasilitas itu sangat fleksibel “mendukung program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah”.  Sementara untuk petani dan nelayan hanya seperti yang diatur dalam pasal 124: (1) Pemerintah menjamin kemudahan pembiayaan kegiatan sebelum dan sesudah Produksi Pangan yang dilakukan oleh Petani dan Nelayan. (2) Kemudahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa penyediaan fasilitas kredit bagi Petani dan Nelayan.  Jadi pemerintah bukan memberikan bantuan pembiayaan tetapi hanya menjamin kemudahan pembiayaan.  Mestinya, pemerintah disamping menjamin kemudahan pembiayaan bagi petani dan nelayan, pemerintah juga harus memberikan bantuan pembiayaan dalam bentuk pinjaman tanpa bunga atau bahkan pemberian, dan bukan berupa kredit dengan bunga lunak, subsidi teknologi, pupuk, sarana dan prasarana, peralatan, dsb.
Pasal 14. Pemerintah mengamankan harga Pangan Pokok, pengelolaan cadangan Pangan Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok kepada masyarakat untuk menjamin Ketersediaan Pangan.
Apa yang dimaksud mengamankan di sini?  Kriteria aman dalam hal ini apa?  Lalu apa tolok ukur distribusi Pangan Pokok kepada masyarakat untuk menjamin Ketersediaan Pangan itu? Apakah yang dimaksud aman jika stok mencukupi sesuai perkiraan jumlah kebutuhan, dan harga pangan “terkendali”?  Apakah tolok ukur distribusi adalah yang penting Pangan Pokok itu tersedia di pasar dengan tingkat harga yang “terkendali” itu, lalu tentang sampai tidaknya pangan itu kepada tiap-tiap individu diserahkan ke mekanisme harga?  Jika demikian, pasal ini sama saja tidak  ada artinya dan tidak merubah apa-apa dari yang selama ini terjadi.  Jadi tetap saja tayangan sebagian masyarakat makan nasi aking, dan mengkonsumsi makanan yang kurang layak, akan tetap menghiasi layar televisi.
Pasal 15: (1) Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri, cadangan Pangan, dan pemasukan Pangan dari luar negeri. (2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diutamakan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri.
Pasal ini menyamakan impor dengan produksi dalam negeri.  Impor ditetapkan menjadi salah satu sumber pasti untuk menjamin ketersediaan pangan.  RUU Pangan ini hanya menitikberatkan pada ketersediaan pangan. Bukan bagaimana cara produk pangan ini dihasilkan dari petani dalam negeri. Kalau begini, impor produk pangan merupakan suatu hal yang lumrah.  Yang dipentingkan adalah ketersediaan pangan.  Meski ada klausul produksi dalam negeri diutamakan, namun tidak ada tujuan swa sembada.  Itu artinya impor menjadi keniscayaan dimana volumenya disesuaikan dengan selisih antara perkiraan jumlah produksi dalam negeri dengan total kebutuhan.  Sementara produksi dalam negeri dilakukan apa adanya tanpa dukungan maksimal dari pemerintah sebab tidak ada tujuan swa sembada.  Keniscayaan impor itu bahkan sangat besar pada produk-produk yang selama ini produksinya tidak mendapat prioritas seperti kedelai, gandum, jagung, buah-buahan, dsb.
Dengan begitu besarnya peran impor untuk menjamin ketersediaan pangan maka itu akan memberikan implikasi kerentanan.  Sebab pangan di dalam negeri akan besar dipengaruhi oleh situasi pasar pangan internasional yang selama ini banyak dipengaruhi oleh spekulan.
Selama ini impor pangan khususnya beras yang mencapai dua juta ton pertahun kental dengan aksi mencari rente dan tak jarang sarat dengan korupsi dan kolusi.  Apalagi impor itu harus dilakukan oleh swasta melalui tender impor.  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Insititut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri mengatakan, kehadiran kartel multinasional pangan dalam penyusunan RUU Pangan sangat beralasan. Pasalnya, saat ini devisa impor produk pangan di Indonesia ditaksir melebihi US$ 50 miliar per tahunnya. Didin menyebutkan, penelitian yang dibuatnya pernah merilis sebetulnya impor beras merupakan rekayasa belaka. Bukan pada aspek pengamanan stok pangan pemerintah. Langkah tersebut tidak lain hanya mencari rent seeking. (kabarbisnis.com, 7/12/11).
Keniscayaan impor itu makin dipertegas dengan adanya kewajiban pemerintah untuk menetapkan cadangan pangan (pasal 23).  Keterlibatan swasta dalam cadangan pangan ini menjadi keharusan. Pasal 25 (2) menyatakan Pemerintah mengembangkan pola kemitraan yang setara antara Pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, dan elemen masyarakat dalam cadangan Pangan dan pengembangan mutu.  Cadangan pangan yang harus selalu tersedia minimal untuk mencukupi kebutuhan selama 6 (enam) bulan.  Pasal 26 (1) Jumlah Pangan yang harus tersedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ditetapkan sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat paling singkat untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. Jangka waktu enam bulan itu sama dengan hampir dua kali masa tanam padi, kedelai, kacang, dsb.  Itu artinya jumlah cadangan pangan untuk dua kali masa panen ke depan harus dijamin.  Bisa jadi hal itu bisa berdampak buruk pada produksi di dalam negeri.
Pasal 20 : pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan teknologi untuk peningkatan Produksi Pangan. Pasal 21: Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi penggunaan dan pengembangan sarana dan prasarana dalam upaya untuk meningkatkan Produksi Pangan berkelanjutan. Pasal seperti ini lemah. Pasal ini menempatkan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bersubstitusi dalam sistem Produksi Pangan, bukan saling melengkapi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa saling tuding jika gagal menjalankan kewajiban menjaga ketersediaan dan keamanan pangan.
Pasal 30 (3) Cadangan Pangan Pemerintah dapat dilakukan melalui pembelian Pangan Pokok pada saat panen raya oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (4) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memiliki cadangan Pangan Pokok.
Kata dapat itu artinya tidak terbatas pada hal itu.  Kata dapat itu artinya hanya sebuah opsi, bukan keharusan.  Itu artinya, pembelian pangan pokok pada saat panen raya dari para produsen seperti petani misalnya, tidak menjadi prioritas.  Padahal dengan mekanisme pembelian produksi petani itu, pemerintah sebenarnya bisa menjaga harga jual produksi petani dan memperbaiki kesejahteraan petani.  Cara paling mudah mewujudkan cadangan pangan itu adalah dengan cara impor.  Cara itu dibenarkan dan ditegaskan pada pasal 15. Opsi impor itu disetarakan dengan pemenuhan dari sumber produksi dalam negeri.  Itu artinya demi melaksanakan kewajiban memiliki cadangan pangan itu pemerintah kabupaten/kota dibenarkan melakukan impor pangan.  Sebab jika produksi pangan di kabupaten/kota tersebut tidak mencukupi, sementara angka cadangan pangan wajib terpenuhi, dari mana lagi untuk memenuhi itu jika bukan dari impor.  Opsi pembelian dari kabupaten/kota lain rasanya akan menjadi sulit.  Sebab kabupaten/kota lain juga memiliki kewajiban yang sama.  Dengan kebijakan otonomi daerah dalam pengelolaan pangan ini, maka antar daerah satu dengan yang lain bisa jadi akan terjadi ketimpangan.
Pasal 33: Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan dan distribusi Pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan Pangan tertentu yang bersifat pokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan usaha itu bisa saja berupa badan usaha swasta.  Peran Bulog dalam RUU ini dikebiri.  Bulog bahkan akan ditiadakan dan dilebur menjadi BOP (Badan Otoritas Pangan).  Ini sama saja membuka ruang bagi terjadinya kongkalikong penguasa pengusaha.
Pasal 34 (3) Cadangan Pangan masyarakat dikelola di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga.  Hal demikian berbahaya bagi stabiitas harga pangan.  Sebab dengan dibenarkan mengelola cadangan pangan, pedagang dibenarkan menumpuk dan menyimpan pangan pokok seperti beras minimal untuk angka kebutuhan enam bulan ke depan.  Harga pangan pada akhirnya bisa dipermainkan oleh para pedagang.
Diantara spirit yang diusung RUU ini adalah desentralisasi atau otonomi pangan sejak perencanaan, produksi, sarana pra sarana, pengelolaan Cadangan Pangan, distribusi dan sebagainya.  Ini justru membuka pintu liberalisasi di sektor pangan.  Atau mungkin liberalisasi itulah jiwa sebenarnya dari RUU ini.
RUU ini jika dikatakan bertujuan menciptakan ketahanan pangan, maka yang ada bukan seperti itu melainkan justru meyuburkan liberalisasi pangan.  Sebab pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah mulai perencanaan, produksi, pengadaan, pengelolaan cadangan pangan, distribusi dsb, akan membuka pintu liberalisasi diantaranya lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi yang terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak profitable. Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga tidak menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan utama dan beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara daerah yang defisit pangan bakal semakin terjepit, karena terus bergantung pada impor. Dalam kondisi tersebut, maka pintu-pintu liberalisasi akan terbuka. Dari pintu-pintu kecil di daerah itulah, kapitalisme akan masuk membawa kepentingan asing, untuk kemudian menguasai pangan strategis secara nasional.
Jika hal seperti itu terjadi di sebagian besar pemda, maka kepentingan asing pun semakin menguasai pengelolaan pangan di negeri ini. Desentralisasi pangan seperti itu justru akan menciptakan ketidakseragaman dalam pengelolaan pangan. Ada pemda yang protektif, namun ada pula yang liberal. Kondisi demikian bakal menciptakan ketidakstabilan di level nasional.
Pasal 43 : (1) Pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin keterjangkauan Pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan/atau individu. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kebijakan di bidang: a. distribusi; b. perdagangan; c. pengendalian harga; d. pemasaran, dan/atau  e. konsumsi Pangan.  Sementara di penjelasannya dinyatakan: Keterjangkauan Pangan merupakan kondisi kemudahan masyarakat, rumah tangga, dan/atau individu memperoleh Pangan.
Memang seolah-olah jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan tiap individu diberikan melalui RUU ini dengan apa yang dinyatakan di pasal 44 (2): Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan untuk menjamin agar setiap individu dapat memperoleh Pangan dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan keanekaragaman, dengan harga yang terjangkau.
Pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme pemberian jaminan itu?  Tanpa adanya penjelasan mekanisme pemberian jaminan itu, maka jaminan itu sendiri bisa dikatakan sebagai jaminan kosong. Apalagi ketentuan pasal ini masih mengaitkan jaminan itu dengan ungkapan “dengan harga terjangkau”.  Dua pasal ini tidak menjelaskan tolok ukur kapan pangan itu dikatakan terjangkau.  Dengan memperhatikan ruh dari RUU ini yaitu kapitalisme liberalisme, maka tolok ukur keterjangkauan itu hampir bisa dipastikan adalah tingkat harga rata-rata yang dinilai masih terjangkau.  Lalu diasumsikan bahwa dengan tingkat harga itu masyarakat tidak akan kesulitan memperoleh pangan.  Keterjangkauan pangan yang dimaksud tentu bukan bahwa tiap individu dijamin bisa memperoleh pangan dan terpenuhi kebutuhan pokoknya atas pangan.
Pasal 48: (1) Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan. (2) Pengaturan Perdagangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. pengendalian harga Pangan dan inflasi; b. manajemen cadangan Pangan; dan c. menciptakan iklim usaha Pangan yang sehat.
Pasal 48 RUU Pangan sama dengan pasal dan tujuan Bank Indonesia, yaitu pengelolaan inflasi dan nilai tukar. Ini berarti merupakan kebijakan pengendalian harga pangan tidak bisa lagi digunakan untuk menyejahterakan petani. Jika dikendalikan, harga pangan tidak bisa naik. Petani tidak bisa sejahtera. Jika kebijakan produksi dan perdagangan pangan dipakai untuk mengendalikan inflasi, kebijakan tersebut akan kehilangan kesempatan dan kekuatannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani. RUU Pangan ini justru menyandera nasib petani demi kepentingan moneter. Masalah inflasi sangat kompleks, mulai dari faktor moneter dan sektor riil, sektor dalam negeri dan luar negeri. Bahkan inflasi sangat erat dengan keberadaan uang fiat money yang nilainya secara terus menerus mengalami penurunan.  Pada sisi sektor riil, harga pangan beras hanyalah salah satu dari ribuan produk lain. Kebijakan inflasi terkait dengan produksi dan distribusi tentu ditujukan untuk mengendalikan harga semua produk yang mungkin memengaruhi harga secara agregat, tidak dikhususkan pada pangan pokok saja terutama beras. Meski harga pangan khususnya pangan pokok pengaruhnya terhadap angka inflasi lebih besar dari pangan non pokok dan produk lain.  Hal itu mengingat pangan pokok dibutuhkan oleh semua orang.  Maka pengendalian inflasi melalui kebijakan produksi dan perdagangan pangan agaknya akan lebih difokuskan pada pangan pokok terutama beras.  Jika itu yang terjadi, sementara, produk industri lain dibiarkan saja mengikuti pasar, tidak dikendalikan, itu sama saja mengendalikan nasib petani demi kestabilan angka inflasi.  Nilai tukar petani bisa terus tergerus seperti sekarang. Penurunan nilai tukar petani akan menurunkan kesejahteraan petani. Mestinya kebijakan pangan dan distribusi pangan lebih untuk mewujudkan swasembada pangan, meningkatkan kesejahteraan petani dan menjamin tiap-tiap individu tercukupi kebutuhannya akan pangan secara layak dilihat dari segala aspek.
Ketentuan Bab VI tetang Keamanan Pangan mulai pasal 61 - 92 dan Bab VII tentang Label dan Iklan Pangan, jika pelaksanaannya dipaksakan dan saklek bisa akan menambah beban dan kesulitan kepada para produsen pangan kecil dan menengah khususnya pelaku usaha kecil dan industri pangan rumahan.  Contoh, pasal 66 (1) Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi penyimpanan, pengangkutan, dan atau Peredaran Pangan, dalam rangka Sanitasi Pangan wajib: a.    memenuhi Persyaratan Sanitasi; b.    menjamin keamanan dan/atau keselamatan manusia; dan c.    menyelenggarakan program pemantauan dan pengawasan secara berkala. Pasal 82 (1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar Mutu Pangan dan pemeriksaan laboratorium. (2) Pemerintah dapat menetapkan  persyaratan agar Pangan terlebih dahulu diuji di laboratorium sebelum diedarkan….
Jika pelaksanaan pasal-pasal tentang sanitasi, kemasan, bahan tambahan, standar mutu, dsb, itu dilaksanakan secara saklek, maka tentu yang mengalami kesulitan jelas adalah para pelaku usaha kecil dan mungkun juga menengah.  Sebab mereka harus mengajukan sertifikasi, pengujian laboratorium, melakukan berbagai pengujian produk secara berkala, harus membeli peralatan, bahan-bahan kimia untuk pengujian, dan sebagainya.  Bagi pelaku usaha kecil masalah-masalah seperti itu tentu menjadi masalah besar, apalagi berkaitan dengan dana sementara mereka modal, aset dan skala usaha mereka masih kecil.  Semestinya ada perlakua khusus termasuk di dalamnya bantuan dalam berbagai bentuk kepada para pelaku usaha kecil untuk bisa memenuhi standar dan ketentuan pasal-pasal tersebut.
Berkaitan dengan kelembagaan yang mengurusi masalah pangan maka hal itu diatur dalam pasal 113-117.  Berdasarkan Pasal 113, Pemerintah membentuk Badan Otoritas Pangan. Badan ini memiliki dua fungsi: a. merumuskan kebijakan Pangan nasional; dan b. menjamin Ketersediaan Pangan nasional. Badan ini harus ada di ibu kota dan dapat dibentuk di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota.  Itu artinya badan ini didesain bukan tidak secara otomatis sebagai badan struktural yang memiliki struktur berjenjang hingga kabupaten/kota.  Tentang posisi badan ini diatur di pasal 115, yaitu badan ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.  RUU menambah jumlah badan dan dewan yang dibentuk langsung berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, yang jumlahnya sudah banyak.  Badan-badan itu seperti badan yang semi ad hoc. Sementara melihat dari fungsi dan wewenangnya, Badan Otoritas Pangan (BOP) ini sekaligus berperan sebagai regulator dan operator dalam masalah pangan.
Pasal 114 menetapkan BOP ini memiliki tugas dan wewenang antara lain:
a.    menyusun dan melaksanakan kebijakan Pangan yang terintegrasi antarwilayah, antarkomoditi, dan antarwaktu;
b.    mengendalikan laju konsumsi Pangan masyarakat dan penganekaragaman Pangan;
c.    merencanakan anggaran bagi seluruh kebijakan Pangan nasional; dan
d.    menetapkan jenis Pangan tertentu yang perlu diintervensi Pemerintah.
e.    melaksanakan dan/atau mengoordinasikan produksi, pengadaan, penyediaan, penyimpanan, distribusi, dan pengendalian harga Pangan tertentu;
f.    mewujudkan kecukupan sekaligus juga menyelamatkan kecukupan Pangan;
g.    menjamin Ketersediaan Pangan yang cukup baik jumlah, mutu, gizi,  nutrisi, higienis, dan keamanannya;
h.    menciptakan sistem dan mekanisme distribusi yang adil dan merata; dan
i.    menjamin ketersediaan dan stabilitas harga Pangan yang terjangkau daya beli masyarakat.
Cakupan tugas dan wewenang BOP ini bisa dikatakan meliputi berbagai sektor, mulai penganggaran, sektor pertanian, perikanan, kelautan, perdagangan, infrastruktur, kesehatan, dsb. Pelaksanaan berbagai tugas dan wewenang itu pasti akan melibatkan berbagai departemen dan instansi sektoral yang terkait.  Implementasi tugas dan wewenang BOP ini mungkin saja akan terhambat oleh ego sektoral, seperti yang selama ini terjadi, sehingga program-programnya tidak berjalan secara optimal.
Pembentukan BOP ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh kurang efektifnya peran Dewan Ketahanan Pangan Pangan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan; Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian; dan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang sudah diubah menjadi Perum Bulog dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003. Ketiga lembaga ini seperti yang diatur dalam pasal 142 nantinya akan dilebur dalam BOP.  RUU ini justru lebih jauh dari kesalahan perubahan Bulog menjadi perum.  Dengan perubahan menjadi Perum akhirnya Bulog bekerja mengikuti logika bisnis.  Jika ada untung maka Bulog masuk dan jika tidak ada untung Bulog menahan diri.  Sementara RUU ini justru menghilangkan Bulog dan meleburnya ke dalam BOP tanpa kejelasan peran.
Jika latar belakangnya demikian, maka pembentukan BOP dengan termasuk di dalamnya melebur ketiga badan dan dewan itu ke dalam BOP, tidak akan menyelesaikan masalah kekurangefektifan itu.  Justru konsep BOP ini sendiri sebagian peran Bulog yang ada selama ini akan dikebiri dan bisa jadi tak akan tertangani.  Peran Bulog untuk turut menjaga kesejahteraan petani dengan membeli produk petani khususnya beras pada saat panen raya tidak akan bisa dijalankan dengan baik dan tidak tergantikan oleh BOP.  Sebab dalam RUU ini tidak ada penegasan peran itu.  Disamping lembaga Bulog sendiri secara implisit menurut RUU ini akan ditiadakan dan dilebur dalam BOP.
Disamping itu, peran BOP dalam melaksanakan dan mengoordinasikan produksi pangan juga tidak akan bisa optimal.  Sebab terkait produksi misalnya, banyak hal yang akan ditangani oleh departemen dan instansi teknis lain yang bersifat sektoral.  Mungkin akan dikatakan hal itu tidak ada masalah sebab BOP nanti tinggal mengoordinasikan tugas dan peran berbagai departemen dan instansi sektoral agar semua melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diberikan dalam masalah pangan.  Hal itu sudah jelas tidak akan berhasil.  Sebab selama ini badan dan lembaga semi ad hoc seperti itu tidak pernah bisa menjalankan peran seperti itu.  Disamping itu, bukankah peran itu seharusnya dijalankan oleh menteri koordinator (Menko)?  Maka semestinya peran Menko yang harus dipertegas.  Yang diperlukan dalam hal ini sebenarnya adalah kepemimpinan yang kuat dan sistem dan struktur kelembagaan departemen yang saling sinergi, memiliki visi dan misi yang sama, ego sektoral dikikis.  Dan itu dalam sistem yang ada saat ini sulit diwujudkan selama pendekatan penyusunan kabinet dan penunjukkan pejabat termasuk menteri masih kental pertimbangan politik, bagi-bagi kekuasaan dan didasarkan pada komposisi dalam koalisi partai.  Juga sulit selama perilaku dan budaya yang dominan di berbagai instansi pemerintahan itu adalah budaya yang kental dengan politik kekuasaan, bukan budaya politik pelayanan dan budaya profesionalisme.
Pada Bab XI tentang Tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam pasal 118-121, tidak ada tugas memberikan jaminan atas akses pangan bagi tiap orang rakyat khususnya masyarakat miskin dan rawan pangan.  Yang ada hanya seperti tugas Pemerintah Pusat di pasal 119 c. mengatur dan mendorong peningkatan akses Pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan.  Seperti peran Pemerintah Provinsi di pasal 120 c. meningkatkan dan mencegah penurunan akses Pangan masyarakat.  Dan seperti tugas Pemerintah Kabupaten/kota di pasal 121 b. melakukan penanganan penyaluran Pangan untuk kelompok rawan Pangan tingkat kabupaten dan c. melakukan pencegahan dan pengendalian serta penanggulangan masalah Pangan sebagai akibat penurunan akses Pangan, mutu gizi, nutrisi, higienis, ketersediaan dan Keamanan Pangan.
Itulah beberapa catatan kritis atas RUU Pangan yang sedang dibahas untuk menggantikan UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan.  Jika RUU tersebut disahkan dengan muatan seperti itu maka akan menambah panjang daftar UU liberal yang sudah ada.  Dan itu artinya makin menambah kesulitan bagi rakyat. Pangkal dari semua itu adalah diadopsinya ideologi kapitalisme dan demokrasi yang memberikan hak kepada manusia untuk membuat hukum. Akhirnya hukum ditundukkan demi mengabdi demi kepentingan para politisi, cukong-cukong, korporasi mulitinasional dan asing sebagai panutan dan pemimpin ideologi kapitalisme. Untuk menghentkan semua itu dan memperbaikinya agar hukum mengabdi demi kebenaran dan kepentingan rakyat dan semua orang, memberikan ketenteraman dan kerahmatan kepada semua maka tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan meninggalkan ideologi kapitalisme demokrasi dan kemudian mengadopsi dan menerapkan Syariah Islam secara utuh dalam bingkai sistem politik Islam yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [ YA - LS HTI ]

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...