Oleh: Hafidz Abdurrahman
Bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk
menunaikannya, maka kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya, saat
itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji. Jika karena satu dan
lain hal dia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat
menunaikanya, maka dia dinyatakan tidak berdosa, karena telah berazam
saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya. Namun, jika dia mempunyai ghalabatud dzan (dugaan
kuat) bahwa kemampuannya akan hilang, sebelum menunaikan haji, maka dia
tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, wajib menunaikan haji
saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Lihat, al-‘Allamah Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 660).
Penyelenggaraan Haji
Selain masalah hukum syara’, yang terkait dengan syarat, wajib dan rukun
haji, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga ada masalah hukum ijra’i, yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah.
Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu (Syawal,
Dzulqa’dah dan Dzulhijjah) dan tempat (Makkah, Mina, Arafah dan
Muzdalifah, termasuk Madinah) tertentu, maka dibutuhkan pengaturan yang
baik oleh negara.
Hukum ijra’i, sebagai bentuk pengaturan, yang notabene merupakan
derivasi dari hukum syara’, tentu tidak boleh menabrak hukum syara’ itu
sendiri. Sebagai contoh, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU No
13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum
syara’, khususnya ketentuan tentang usia baligh. Ketentuan seperti ini
tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan. Selain
itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan
(manajerial), yaitu basathah fi an-nidzam (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat) dan ditangani oleh orang yang profesional.
Karena itu, Khilafah sebagai satu negara, yang menaungi lebih dari 50 negeri kaum Muslim, bisa menempuh beberapa kebijakan:
1- Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah,
dari pusat hingga ke daerah. Karena ini terkait dengan masalah
administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga
memudahkan calon jamaah haji dan umrah. Dengan prinsip basathah fi an-nidzam, sur’ah fi al-injaz dan
ditangani oleh orang yang profesional, maka urusan ini bisa dilayani
dengan cepat dan baik. Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait
dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah
asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan
dalam mengurus kesehatan jamaah, termasuk departemen perhubungan dalam
urusan transportasi massal.
2- Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka besar
dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh
para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram
(Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan
kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara
Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus
urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi,
apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan
sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan
udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Di zaman
Sultan ‘Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi
massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah
haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun
ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah).
Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan
logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
3- Penghapusan visa haji dan umrah: Kebijakan ini merupakan
konsekuensi dari hukum syara’ tentang kesatuan wilayah yang berada dalam
satu negara. Karena seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai
penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa.
Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor.
Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir,
baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.
4- Pengaturan kuota haji dan umrah: Khalifah berhak untuk mengatur
masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi
para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus
memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua,
kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan
berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji dan umrah,
sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan
diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik, jika
negara Khilafah mempunyai data base seluruh rakyat di wilayahnya,
sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah.
5- Pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah: Pembangunan ini telah
dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan
Masjidil Haram, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal
dan penyediaan logistik bagi jamaah haji dan umrah. Hal yang sama akan
terus-menerus dilakukan oleh Khilafah di masa mendatang. Namun, harus
dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan
situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan
kembali memori jamaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun
peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka.
Manasik Haji dan Umrah
Selain aspek ijra’i, yang tidak kalah penting tentu pelaksanaan manasiknya itu sendiri. Hanya saja, karena ini menyangkutkaifiyyah manasik,
maka negara tidak akan mengadopsi tatacara tertentu dalam pelaksanaan
manasik. Sebaliknya diserahkan kepada masing-masing individu jamaah.
Namun demikian, untuk memastikan manasik ini berjalan dengan baik,
bimbingan dan pendampingan bisa dilakukan. Khususnya bagi yang
membutuhkan. Karena itu, Khilafah akan menyiapkan para pembimbing dan
pendamping jamaah haji dalam jumlah yang memadai.
Mulai tanggal 8 Dzulhijjah, sarana dan prasarana di Mina telah
dipersiapkan, termasuk akomodasi dan logistik yang dibutuhkan oleh
jamaah yang hendak melaksanakan Tarwiyah. Demikian juga Arafah, yang
digunakan oleh para jamaah haji saat wukuf, dan Muzdalifah yang
digunakan mabit tanggal 9 Dzulhijjah. Demikian juga Mina yang digunakan untuk melakukan Jumrah ‘Aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra, hingga mabit,
baik bagi yang mengambil Nafar Awwal (11-12 Dzulhijjah) maupun Tsani
(11-13 Dzulhijjah) dipersiapkan sedemikian oleh negara, sehingga manasik
yang dilakukan jamaah di tempat tersebut bisa dilaksanakan dengan
sempurna.
Negara tidak hanya bertanggung jawab menyediakan akomodasi dan logistik,
tetapi juga transportasi massal yang memadai dan efektif, sehingga
jamaah tidak terjebak kemacetan sehingga menganggu jadwal mereka. Dari
Makkah-Mina (8 Dzulhijjah) untuk melakukan Tarwiyah; Mina-Arafah (9
Dzulhijjah) untuk melakukan Wukuf; Arafah-Muzdalifah (9-10 Dzulhijjah)
untuk melakukan Wukuf-Mabit, Muzdalifah-Mina (10 Dzulhijjah) untuk
melakukan Jumrah ‘Aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra, hingga mabit; Mina-Makkah-Mina
(10 Dzulhijjah) untuk melakukan Thawaf Ifadhah-Sai dan Mabit,
Mina-Makkah (12-13 Dzulhijjah) kembali ke Baitullah bagi Nafar Awwal
maupun Tsani, selanjutnya untuk melakukan Thawaf Wada’.
Secara Khusus, Khalifah akan menyampaikan khutbah ‘Arafah, di Masjid
Namirah, dan memimpin Wukuf para jamaah. Di Arafah, negara akan memasang
fasilitas sound system yang
memadai, termasuk layar raksasa di beberapa titik, sehingga seluruh
jamaah haji bisa menyaksikan dan mendengarkan khutbah Arafah Khalifah.
Pesan Khalifah ini merupakan pesan penting yang akan mereka bawa ke
negeri mereka masing-masing. Dengan begitu, hanya ada satu khutbah saat
Wukuf, yaitu Khutbah Khalifah, bukan khutbah sendiri-sendiri. Satu
bahasa, bahasa Arab, yang merupakan bahasa resmi negara.
Mereka pun bisa menyampaikan syakwa (pengaduan)
kepada Khalifah, terhadap para kepala daerah mereka masing-masing,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Umar terhadap para
walinya. Wallahu a’lam. (mediaumat.com/www.syahidah.web.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar