sebuah tinjauan filosofis dalam perspektif Aqidah Islam
Hubungan agama dan negara telah lama menjadi bahan polemik. Apakah agama dan negara harus dipisahkan ataukah justru harus disatukan? Jika keduanya disatukan maka apakah negara yang berhak mengatururusan agama ataukah justru agama yang mengatur urusan negara? Apakahagama dan negara harus dianggap setara dan berdaulat dalam domainnya masing-masing ataukah salah satu menjadi sub-ordinat bagi yang lain?Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang menjadi simpul perdebatan dalam pokok bahasan ini, yaitu
bagaimanakah bentuk hubungan yang ideal antara agama dan negara.
Pemisahan Agama dari Negara = Sekularisasi Negara
Dalam tradisi kristen, terkait dengan hubungan antara agama dan negara ini, kita mengenal eksistensi dua kekuasaan yang mengurus dua “wilayah” yurisdiksi yang berbeda. Paus, yang memimpin gereja, memegang otoritas dalam urusan spiritual-keagamaan. Di sisi lain, raja, yang memimpin negara, memegang otoritas dalam urusan politik-keduniaan. Pemisahan antara kepengurusan agama dan negara atau antara otoritas spiritual (secerdotium) dan otoritas politik keduniaan (regnum) inilah yang kemudian dikenal dengan doktrin dua pedang atau doktrin Gelasian.[1] Pemisahan kekuasaan agama dan negara ini menemukan dalilnya di salah satu ungkapan yang ada dalambibel (Markus), “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada tuhan apa yang wajib kamu berikan kepada tuhan”.
Terlepas dari justifikasi normatif yang ada dalam sumber ajaran kristen-barat tersebut, pemisahan antara agama dan negara sebenarnya lebih dilatarbelakangi oleh persepsi awal bahwa urusan agama dan negaramerupakan dua perkara yang berbeda. Peresepsi itu menghantarkan mereka kepada kepercayaan bahwa keduanya harus ditangani oleh dua otoritas yang berbeda pula. Memang,
terdapat anggapan bahwa dengan adanya dua kekuasaan ini bukan berarti
bahwa urusan keduanya sepenuhnya terpisah, bahkan keduanya harus
bekerjasama dan saling melengkapi. Namun, pemisahan itu sendiri, minimal, mengungkap secara jelas bahwa mereka menganggap urusan dunia berbeda karakter dengan urusan agama, seolah keduanya berada dalam dua ruang dimensi yang berbeda.
Masyarakat Barat memiliki persepsi bahwa urusan agama adalah
urusan manusia dengan Tuhan-nya, yaitu urusan yang berkaitan dengan
masalah-masalah keakhiratan, alam spiritual yang sakral dan adi-duniawi
(transenden).Sedangkan urusan negara terkait
dengan masalah-masalah yang muncul akibat interaksi sosial antar
manusia di dunia, seperti kriminalitas, persengketaan perdata, ekonomi
masyarakat, kekuasaan, perang, dll. Urusan agama terkait dengan masalah jiwa (spirit), sedangkan urusan negara terkait dengan urusan raga. Oleh karena itu, kedua urusan ini tidak boleh disatukan, agama dan negara harus dipisahkan karena memiliki bidang garap yang berbeda.
Belakangan, pemahaman seperti itu ternyata mulai merambah ke dalam tubuh kaum muslimin. Pada tahun 1925, seorang ulama al-Azhar Mesir, Syaikh Ali Abdur Raziq, mengungkapkan pemahaman yang tidak jauh berbeda. Dalam bukunya, al-Islam wa Ushulul Hukm, dia menyatakan,“kekuasaan (wilayah) Rasul saw atas kaumnya merupakan kekuasaan ruhaniyah yang bersumber dari keimanan dalam hati. Ketundukannya bersifat tulus dan sempurna yang kemudian diikuti oleh ketundukan anggota badan. Sementara
itu kekuasaan negara merupakan kekuasaan materiil (madiyah), ia
bergantung pada ketundukan fisik tanpa ada kaitannya dengan hati. Kekuasaan
yang itu (agama) merupakan kekuasaan hidayah menuju Allah serta
petunjuk kepadaNya, sedangkan kekuasaan yang ini (negara) adalah
pemeliharaan kemaslahatan hidup dan kemakmuran dunia. Yang itu adalah agama (diin), sedangkan yang ini adalah dunia. Yang itu untuk Allah, sedangkan yang ini untuk manusia. Yang itu adalah kepemimpinan agama, sedangkan yang ini adalah kepemimpinan politik. Duhai alangkah jauhnya jarak antara politik (siyasah) dengan agama (diin).”[2]
Ir. Soekarno malah lebih jauh dari itu. Dia memandang alasan perlunyapemisahan agama dari negara bukan
hanya karena domain dari keduanya yang ada di dua wilayah yang berbeda,
namun juga karena apabila dipisahkan maka keduanya akan menemukan
kebebasannya masing-masing. Sebaliknya, apabila keduanya disatukan maka masing-masing akan menjadi belenggu bagi yang lain. Tatkala membela proyek pemisahan agama dari negara yang digulirkan oleh Kemal Ataturk, Soekarno berkata, “maksud
pemimpin-pemimpin Turki-muda itu bukanlah maksud jahat akan menindas
agama Islam, merugikan agama Islam, mendurhakai agama Islam, tetapi
ialah justru akan menyuburkan agama Islam itu, atau setidak-tidaknya,
memerdekakan agama Islam itu dari ikatan-ikatan yang menghalangi ia
punya kesuburan, yakni ikatan-ikatan negara, ikatan-ikatannya
pemerintah, ikatan-ikatannya pemegang kekuasaan yang zalim dan sempit
fikirannya. Dan
sebaliknya pun, maka kemerdekaan agama dari ikatan negara itu berarti
juga kemerdekaan negara dari ikatan anggapan-anggapan agama yang jumud,
yakni kemerdekaan negara dari hukum-hukum tradisi dan faham-faham Islam
kolot yang sebenarnya bertentangan dengan jiwanya Islam sejati, tetapi
nyata selalu menjadi rintangan bagi gerak-geriknya negara ke arah
kemajuan dan kemodernan. Islam dipisahkan dari negara, agar supaya islam menjadi merdeka dan negara pun menjadi merdeka. Agar supaya Islam berjalan sendiri. Agar supaya Islam subur, dan negara pun subur pula.”[3] Konsep negara yang dipisahkan dari agama inilah yang disebut konsep negara sekuler.
Urusan Negara Dalam Kacamata Aqidah Islam
Jika pemisahan antara otoritas agama dan dunia (agama dan negara)itu didasari oleh anggapan bahwa urusan agama (keakheratan)dan urusan duniaitu berbeda dan terpisah, maka ini merupakan suatu pemahaman yang tidak bisa dimengerti oleh Islam. Pasalnya, dalam pandangan Aqidah Islam, urusan dunia dan akhirat bukan dua hal yang terpisah sedikit pun. Bahkan, keadaan manusia di akhirat tiada lain ditentukan oleh bagamana keadaan dia di dunia.Bahagia
atau sengsaranya manusia di akhirat, apakah mendapat nikmat atau justru
siksa, ditentukan oleh bagamana dia mengelola seluruh hidupnya di dunia
ini. Benang
merah yang menghubungkan antara dunia dan akhirat adalah: (1) seluruh
amal perbuatan manusia yang telah dilakukan; (2) perhitungan (hisab) dan
penimbangan atas seluruh amal-perbuatan tersebut, serta (3) ajaran
Islam yang wajib digunakan sebagai aturan hidup di dunia sekaligus
sebagai tolak ukur dalam menilai seluruh amal-perbuatan manusia pada
hari perhitungan nanti. Oleh
karena itu, yang akan menjadi urusan kita di akhirat itu tiada lain
adalah segala urusan yang kita jalani di dunia ini, artinya, segala
urusan dunia ini akan menjadi urusan di akhirat, dan urusan akhirat
tiada lain adalah pertanggungjawaban atas segala urusan yang kita jalani
di dunia. Jadi keduanya adalah satu. Allah berfirman, yang kurang-lebih terjemahannya:
“Dan
diletakkanlah kitab (catatan amal) itu, maka kamu lihat orang-orang
yang berbuat dosa dirundung ketakutan melihat apa yang tertulis padanya,
dan mereka berkata, “Kitab apakah ini; ia tidak meninggalkan perkara
yang kecil ataupun yang besar kecuali ia perhitungkan juga.” Mereka dapati segala yang pernah mereka lakukan tertulis di sana. Dan Rabbmu tidak akan berbuat zalim kepada siapapun.” (TQS. al-Kahfi: 49)
“Dan Kami letakkan timbangan-timbangan keadilan pada hari kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan terzalimi sedikit pun. Meskipun kebaikan itu hanya sekecil biji sawi, maka Kami akan tetap mendatangkannya, dan cukuplah Kami sebagai penghisabnya.” (TQS. al-Anbiya’: 47)
“Demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semuanya tentang segala yang pernah mereka amalkan -di dunia-.” (TQS. al-Hijr: 92-93)
Dr. Abdul Qadir ‘Audah menggambarkan hubungan ini dengan sangat tepat:
“hukum-hukum Islam dengan segala jenis dan macamnya diturunkan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap aktivitas duniawi selalu memiliki aspek ukhrowi. Maka
aktivitas ibadah, sosial kemasyarakatan, persanksian,
perundang-undangan atau pun kenegaraan semuanya memiliki pengaruh yang
dapat dirasakan di dunia … akan tetapi, perbuatan yang memiliki pengaruh
di dunia ini juga memiliki pengaruh lain di akhirat, yaitu pahala dan
sanksi akhirat”.[4]
Kebutuhan Mutlak Masyarakat Terhadap Pemerintahan
Di sisi lain,
kita semua menyadari bersama bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
tidak mungkin bisa hidup tanpa bermasyarakat, sementara kehidupan
masyarakat tidak mungkin dapat berjalan dengan baik kecuali dengan
keberadaan institusi politik (negara) yang mengatur mereka, sebagaimana
pernyataan Ibnu Taimiyah, “karena
sesungguhnya kemaslahatan umat manusia tidak akan terpenuhi secara
sempurna kecuali dengan adanya interaksi di antara mereka mengingat
bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain, sementara itu, tatkala
berinteraksi, mereka mutlak membutuhkan pemimpin”[5]. Senada
dengan itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu
perangkat yang lazim (tabi’at alami) bagi umat manusia[6].
Islam: Semua Urusan, Termasuk Politik, Harus Dijalankan Dengan Islam
Ketika
kepemimpinan politik merupakan kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan soaial masyarakat, maka pertanyaan yang kemudian timbul
adalah: apakah perkara-perkara yang menjadi urusan negara, yang tidak
bisa lepas dari kehidupan sosial manusia ini, juga akan menjadi bagian
dari urusan yang dihisab oleh Allah pada hari akhir? Jika
jawabnya “ya”, maka bukankah urusan dunia yang menjadi domain negara
itu juga harus dijalankan sesuai standar yang digunakan oleh Allah dalam
menghisab? Jika “ya”, maka apabila manusia ingin selamat bukankah segala urusan negara itu juga harus dijalankan menurut aturan Allah? Jika jawabnya “ya”, maka bukankah urusan negara ini juga merupakan bagian dari urusan agama? Jika jawabnya “ya”, maka akankah kita masih mengatakan bahwa urusan agama dan urusan politik keduniaan itu terpisah? Tentu saja tidak. Ibnu Taimiyah menyatakan, ”ketahuilah
bahwa kekuasaan dalam mengatur kepentingan masyarakat merupakan salah
satu dari kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia
tidak bisa tegak kecuali dengan keberadaannya”.[7]
Maka, sangat
naif jika ada anggapan bahwa urusan politik adalah urusan kotor dan
duniawi sehingga tidak relevan dengan tabiat agama yang suci dan
transenden. Tapi
di sisi lain, mereka juga percaya bahwa manusia tidak mungkin hidup
tanpa adanya otoritas politik yang mengatur kehidupan masyarakat. Politik
dan kekuasaan dianggap kotor dan tidak boleh dikaitkan dengan agama,
tetapi, pada saat yang sama, ia juga dianggap mutlak dibutuhkan dan
pasti dijalankan. Jelas
pemahaman seperti ini hadir dari luar Islam, karena Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk selalu terikat dengan Islam dalam seluruh urusan
yang mereka jalankan di dunia ini. Islam adalah diin yang diturunkan oleh Allah agar menjadi petunjuk bagi manusia dalam mengatur segala urusan dunia mereka
demi kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat, Islam bukan agama ritual
belaka yang harus dibatasi ruang tertentu dan disingkirkan dari sebagian
urusan kehidupan yang dijalankan oleh manusia.(titok Priastomo /www.globalmuslim.web.id)
[1] Lihat: Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, kajian historis dari zaman Yunani kuno sampai zaman modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hal.169-188
[2] Ali Abdur Raziq. Al Islam wa Ushulul Hukm (tp: Mathba’ah Mishr, 1925) halaman 69
[3] Soekarno,
Apa Sebab Turki Memisahkan Agama Dari Negara, dalam Di Bawah Bendera
Revolusi jilid I (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi,
1964) hal. 405
[4] Abdul Qodir ‘Audah, Al Islam baina Jahli Abna’ihi wa ‘Ajzi ‘Ulama’ihi (tt: al Itihad al Islami al ‘Alami lil Munadhomat ath thulabiyah, 1985) hal.8
[5] Ibnu Taimiyah. as Siyasah asy Syar’iyyah fii Ishlah ar Ra’iy wa ar Ra’iyyah(Beirut: Dar al Afaq al Jadidah, 1983) halaman 138
[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2006) hal. 238
[7] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar