Ketua Lajnah Khusus Pengusaha HTI
Muslimpreneur, tulisan kali ini saya mulai dengan sebuah kisah. Satu hari menjelang tenggat penulisan, saya mengisi sebuah sesi pelatihan berdurasi setengah hari di kawasan kota Bogor. Dalam perjalanan pulang, saya sempatkan mampir ke sebuah pusat jajanan tradisional untuk membeli oleh-oleh. Beragam
kudapan tersaji di situ. Ada kelapa muda yang khusus didatangkan dari
Pelabuhan Ratu Sukabumi hingga es doger yang sensasi rasanya bisa
membuat lidah ‘keblinger’. Tak ketinggalan batagor yang bisa menggedor kantong kita untuk membuat repeat order. Pokoknya semua ada.
Kisah berlanjut. Saya pun memilih es doger kesukaan keluarga. Tak berapa lama, seorang gila ikut antri bersama saya. Yap orang gila! Sosoknya
gelap, tak berbaju. Rambutnya gimbal. Celananya lusuh dan
compang-camping. Melihat itu, sontak para pembeli pun menjauh. Itu
semua cukup membuat saya risi. Namun perasaan itu hilang, ketika
melihat sikap penjual es doger yang tetap tenang menanggapi kedatangan
orang gila itu. Tanpa takut, ia menanyakan apa maksudnya ikut antri, apakah memang ingin meminta es doger jualannya?Orang gila itu menganggukkan kepalanya berkali-kali seolah ingin menyatakan ‘ya’. Saya pun luluh dan mengikhlaskan es doger pesanan saya untuk diberikan lebih dulu kepada orang gila itu. Tak
dinyana, orang gila itu menolak. Dengan bahasa tubuhnya, ia minta
pesanan itu dikembalikan kepada saya dan dia menunggu pesanannya sesuai
urutan antrean. Setelah dia pergi, saya sodorkan sejumlah uang untuk membayari es doger itu. Kali ini giliran sang pedagang yang menolak halus dengan senyumannya yang ramah.
Subhanallah, saya tepekur lama oleh pemandangan langka ini. Pertama, sikap penjual es doger yang begitu tulus dan ramah melayani orang gila ini. Meski sederhana, namun ini cermin kepedulian yang luar biasa yang bisa dilakukannya dan tidak semua kita bisa melakukannya. Kedua, sikap orang gila yang ternyata tidak melulu ‘gila’, ia masih mau antre dan tidak mau mendapatkan fasilitas ‘shortcut’ mendahului gilirannya. Meski aneh, namun sikap ini rasanya berlawanan dengan arus kebanyakan yang tidak suka dan sabar mengantre.
Muslimpreneur, fenomena orang gila kini sudah semakin mengkhawatirkan. Menurut catatan WHO (2006), terdapat 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa atau depresi. Dari
jumlah itu, menurut catatan Departemen Kesehatan, 2,5 jutanya telah
menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Media Indonesia,
25 Agustus 2008). Data ini belum termasuk tambahan pasien lain yang datang dari caleg yang batal menjadi aleg di DPR/DPRD. Meski lawas, namun data ini cukup untuk menunjukkan bahwa ini jumlah yang tidak sedikit! Terlebih
sekarang, ketika depresi sangat mudah mendera bangsa ini dari semua
pintu problem yang tersedia sangat banyak di negeri ini.
Yap, orang gila memang sosok korban yang kalah dalam peran pembangunan kapitalistik. Bahkan ada yang ekstrim menyebutnya sebagai residu pembangunan. Pemerintah menamakannya sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Apapun
namanya, ia merujuk pada satu hal, yakni menjadi satu dari begitu
banyak problem umat yang diakibatkan pembangunan kapitalistik.
Sebuah studi di Malaysia menjelaskan kepada kita bagaimana semua ini terjadi.Ide pembangunan kapitalistik bermula di Amerika pada tahun 1947. Amerika
menjanjikan “pembangunan” ala Kapitalis atau Pasca-Klasikal kepada
negeri-negeri Muslim yang baru ‘dimerdekakan’ ketika itu. Paradigmanya,
menurut Rostow, tokoh utama falsafah pembangunan Pasca-Klasikal, dalam
usaha mencapai kemajuan, agama mestilah dihapuskan karena ia dianggap
sebagai penghalang (cultural block) bagi pembangunan. Pemikiran
ini bersumber dari paradigma sekulerisme yang memang memandang agama
(Islam) sebagai bagian yang terpisah dari kehidupan. Jelas
sudah, Islam yang membawa tata aturan lengkap dalam seluruh aspek
kehidupan dicampakkan dan digantikan dengan tata aturan yang dibuat oleh
manusia. Asas halal dan haram dihilangkan, digantikan dengan asas manfaat. Tujuan menghalalkan segala cara. Kebahagiaan hidup hanya diukur oleh 4 F, yakni kebahagian berbasis food, fashion, fun dan free sex. Akibatnya,
pembangunan ala kapitalistik hanya dapat ‘dinikmati’ oleh mereka yang
taat, tunduk dan patuh pada tata aturan sekuler yang menghalalkan segala
cara. Mereka yang tidak setuju tidak bisa ikut ‘maju’, akan tersingkir, depresi lalu berubah menjadi residu pembangunan! Residu sebagai kriminal, gelandangan, pengemis, WTS, perilaku sex menyimpang (homo, lesbi dkk) dan akhirnya gila! Sesuatu
yang tidak pernah terjadi ketika Islam diterapkan di dua per tiga
belahan dunia menjadi rahmat bagi semesta selama 14 abad!
Kontras memang. Kapitalisme menghasilkan residu pembangunan, sementara
Islam menghasilkan kebahagiaan bagi semua umat, rahmatan lil ‘alamin.
Muslimpreneur, perhelatan Muslim Entrepreneur Forum memang sudah lama usai. Program-program tindak lanjutnya bagi pengusaha-pengusaha alumninya juga sudah bergulir di daerah-daerah. Namun
pesan strategisnya agar kita benar-benar menjadi pebisnis yang
berkarakter ‘berkat’, berkah dan pejuang tak bisa ditunda-tunda lagi!
Problem umat sudah sangat banyak, tak elok jika pengusaha muslim justru
turut andil memperbanyak atau bahkan menjadi bagian dari problem itu. Pengusaha Muslim harus ambil bagian dalam perjuangan untuk mengenyahkan kapitalisme dan menggantikannya dengan Islam. Jangan malah menikmatinya atau bahkan ikut andil menjadi penghasil residu pembangunan![] [www.globalmuslim.web.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar