Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Jumat, 30 November 2012

Residu Pembangunan dan Pengusaha Pejuang


UMAT+TERBAIK.jpg (640×424)Muhammad Karebet Widjajakusuma

Praktisi bisnis syariah bidang riset, konsultasi dan training manajemen dan motivaksi
Ketua Lajnah Khusus Pengusaha HTI
Muslimpreneur, tulisan kali ini saya mulai dengan sebuah kisah. Satu hari menjelang tenggat penulisan, saya mengisi sebuah sesi pelatihan berdurasi setengah hari di kawasan kota Bogor. Dalam perjalanan pulang, saya sempatkan mampir ke sebuah pusat jajanan tradisional untuk membeli oleh-oleh. Beragam kudapan tersaji di situ. Ada kelapa muda yang khusus didatangkan dari Pelabuhan Ratu Sukabumi hingga es doger yang sensasi rasanya bisa membuat lidah ‘keblinger’. Tak ketinggalan batagor yang bisa menggedor kantong kita untuk membuat repeat order. Pokoknya semua ada.

Kisah berlanjut. Saya pun memilih es doger kesukaan keluarga. Tak berapa lama, seorang gila ikut antri bersama saya. Yap orang gila!  Sosoknya gelap, tak berbaju. Rambutnya gimbal. Celananya lusuh dan compang-camping. Melihat itu, sontak para pembeli pun menjauh. Itu semua cukup membuat  saya risi. Namun perasaan itu hilang, ketika melihat sikap penjual es doger yang tetap tenang menanggapi kedatangan orang gila itu. Tanpa takut, ia menanyakan apa maksudnya ikut antri, apakah memang ingin meminta es doger jualannya?Orang gila itu menganggukkan kepalanya berkali-kali seolah ingin menyatakan ‘ya’. Saya pun luluh dan mengikhlaskan es doger pesanan saya untuk diberikan lebih dulu kepada orang gila itu. Tak dinyana, orang gila itu menolak. Dengan bahasa tubuhnya, ia minta pesanan itu dikembalikan kepada saya dan dia menunggu pesanannya sesuai urutan antrean. Setelah dia pergi, saya sodorkan sejumlah uang untuk membayari es doger itu. Kali ini giliran sang  pedagang yang menolak halus dengan senyumannya yang ramah.
Subhanallah, saya tepekur lama oleh pemandangan langka ini. Pertama, sikap penjual es doger yang begitu tulus dan ramah melayani orang gila ini. Meski sederhana, namun ini cermin kepedulian yang luar biasa yang bisa dilakukannya dan tidak semua kita bisa melakukannya. Kedua, sikap orang gila yang ternyata tidak melulu ‘gila’, ia masih mau antre dan tidak mau mendapatkan fasilitas ‘shortcut’ mendahului gilirannya. Meski aneh, namun sikap ini rasanya berlawanan dengan arus kebanyakan yang tidak suka dan sabar mengantre.
Muslimpreneur, fenomena orang gila kini sudah semakin mengkhawatirkan.   Menurut catatan WHO (2006), terdapat 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa atau depresi. Dari jumlah itu, menurut catatan Departemen Kesehatan, 2,5 jutanya telah menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Media Indonesia, 25 Agustus 2008). Data ini belum termasuk  tambahan pasien lain yang datang dari caleg yang batal menjadi aleg di DPR/DPRD. Meski lawas, namun data ini cukup untuk menunjukkan bahwa ini jumlah yang tidak sedikit! Terlebih sekarang, ketika depresi sangat mudah mendera bangsa ini dari semua pintu problem yang tersedia sangat banyak di negeri ini.
Yap, orang gila memang sosok korban yang kalah dalam peran pembangunan kapitalistik. Bahkan ada yang ekstrim menyebutnya sebagai residu pembangunan. Pemerintah menamakannya sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Apapun namanya, ia merujuk pada satu hal, yakni menjadi satu dari begitu banyak problem umat yang diakibatkan pembangunan kapitalistik.
Sebuah studi di Malaysia menjelaskan kepada kita bagaimana semua ini terjadi.Ide pembangunan kapitalistik  bermula di Amerika pada tahun 1947.  Amerika menjanjikan “pembangunan” ala Kapitalis atau Pasca-Klasikal kepada negeri-negeri Muslim yang baru ‘dimerdekakan’ ketika itu. Paradigmanya, menurut Rostow, tokoh utama falsafah pembangunan Pasca-Klasikal, dalam usaha mencapai kemajuan,  agama mestilah dihapuskan  karena ia dianggap sebagai penghalang (cultural block) bagi pembangunan. Pemikiran ini bersumber dari  paradigma sekulerisme yang memang memandang agama (Islam) sebagai bagian yang terpisah dari kehidupan. Jelas sudah, Islam yang membawa tata aturan lengkap dalam seluruh aspek kehidupan dicampakkan dan digantikan dengan tata aturan yang dibuat oleh manusia. Asas halal dan haram dihilangkan, digantikan dengan asas manfaat. Tujuan menghalalkan segala cara. Kebahagiaan hidup hanya diukur oleh 4 F, yakni kebahagian berbasis food, fashion, fun dan free sex. Akibatnya, pembangunan ala kapitalistik hanya dapat ‘dinikmati’ oleh mereka yang taat, tunduk dan patuh pada tata aturan sekuler yang menghalalkan segala cara. Mereka yang tidak setuju tidak bisa ikut ‘maju’, akan tersingkir, depresi lalu berubah menjadi residu pembangunan! Residu sebagai kriminal, gelandangan, pengemis, WTS, perilaku sex menyimpang (homo, lesbi dkk) dan akhirnya gila! Sesuatu yang tidak pernah terjadi ketika  Islam diterapkan di dua per tiga belahan dunia menjadi rahmat bagi semesta selama 14 abad!  Kontras memang. Kapitalisme menghasilkan residu pembangunan, sementara Islam menghasilkan kebahagiaan bagi semua umat, rahmatan lil ‘alamin.
Muslimpreneur, perhelatan Muslim Entrepreneur Forum memang sudah lama usai. Program-program tindak lanjutnya bagi pengusaha-pengusaha alumninya juga sudah bergulir di daerah-daerah. Namun pesan strategisnya agar kita benar-benar menjadi  pebisnis yang berkarakter ‘berkat’, berkah dan pejuang tak bisa ditunda-tunda lagi!  Problem umat sudah sangat banyak, tak elok jika pengusaha muslim justru turut andil memperbanyak atau bahkan menjadi bagian dari problem itu. Pengusaha Muslim harus ambil bagian dalam perjuangan untuk mengenyahkan kapitalisme dan menggantikannya dengan Islam. Jangan malah menikmatinya atau bahkan ikut andil menjadi penghasil residu pembangunan![] [www.globalmuslim.web.id]

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...