Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Senin, 12 November 2012

Peringati Hari Pahlawan Indosiar Kok Putar Film Antek Belanda

Upaya meminggirkan peran umat Islam dalam mengusir penjajah terus dilakukan oleh kelompok sepilis (sekularis, pluralis dan liberalis). Salah satunya dengan menayangkan film kontroversial Soegija di stasiun televisi Indosiar pukul 20.00 WIB  tepat di Hari Pahlawan 10 Nopember 2012.
Menurut Sejarawan Tian Anwar Bachtiar, televisi tersebut memang sengaja ingin mengangkat isu pluralisme sehingga ditayangkanlah film yang menceritakan kisah Pastur Albertus Soegija yang melawan Jepang. “Untuk memperlihatkan bahwa pahlawan itu bukan hanya Islam,” ujarnya kepada mediaumat.com, Ahad (11/11) melalui telepon seluler.
Sebetulnya orang-orang Sepilis selama ini kan susah kalau mau cari pahlawan dari kalangan Kristen. “Kecuali setelah kemerdekaan, sebelum kemerdekaan kan tidak ada,” ungkapnya.
Soegija melawan pun itu hanya kepada Jepang. Karena di zaman Jepang tidak ada orang Kristen yang tidak memusuhi Jepang. Karena Jepang menganggap Kristen itu mata-matanya Belanda, sehingga tidak pernah berpihak kepada orang Kristen.
Jadi kalau Soegija melawan Jepang itu tidak heroik. “Lantaran selama jadi pastur, Soegija digaji oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat Jepang datang, semua fasilitas bagi gereja dihapus, termasuk gaji para pastur dan biaya untuk gereja,”  bebernya.
Selama menjajah Indonesia, lanjut Tiar, Belanda membiayai semua jenis missi dan zending. Terlebih saat Partai Katolik menjadi pemenang di Parlemen Belanda. Karena itu, dalam sejarahnya, karena misi dan zending dibiayai pemerintah kolonial, tidak pernah tercatat ada pastur yang memberontak melawan Belanda.
Menurut Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Adian Husaini, Soegija berasal bukan dari keluarga Katolik, akhirnya memeluk Katolik setelah memasuki sekolah guru di Muntilan, asuhan Pater van Lith. Waktu masuk Muntilan, Soegija menyatakan dia ingin sekolah, tak mau jadi Katolik, tetapi pada tanggal 24 Desember 1909 Soegija dibaptis. Kemudian, “mengikuti jejak gurunya, dalam mewartakan Kristen,” ungkapnya.
Sedangkan Tiar berpendapat film ini terlalu menonjolkan sisi-sisi yang dianggap heroik dan kemanusiaan, sementara sisi yang lain seperti perselingkuhan misi Kristen dengan pemerintah Belanda tidak diangkat ke permukaan.
Memang itu hak dari orang-orang Katolik yang ingin menonjolkan perannya di negeri ini. lagi pula, Soegija memang sudah dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia.”Namun kalau lihat sepak terjang Soegija, untuk disebut sebagai pahlawan dalam pengertian yang sesungguhnya, masih perlu diperdebatkan,” kritiknya.
Akan tetapi, ia berpesan, jangan karena film ini masyarakat sengaja dilupakan akan fakta bahwa kristenisasi di negeri ini adalah salah satu buah dari kolonialisme Spanyol, Portugis, dan Belanda.  “Soal bagaimana penilaian, itu tergantung dai sudut pandang mana orang menilai. yang penting fakta sejarah jangan ada yang ditutupi,” tutupnya.
Sejarah secara gamlang dan terang benderang memperlihatkan pahlawan yang sesungguhnya untuk melawan dan mengusir penjajah hanyalah para ulama dan kaum Muslimin. Bahkan pertempuran melawan penjajah Inggris di Surabaya pada 10 Nopember 1945 terjadi lantaran adanya resolusi jihad dari KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya.
“Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang  melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945 itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya. Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945.
Kalau mau fair, harusnya pertempuran 10 Nopember itulah yang harusnya dijadikan film dan ditayangkan. Ini kok malah Soegija yang nyata-nyata menjadi antek Belanda.[] Joy dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...