Di bawah adalah tulisan Kwik Kian Gie yang menyatakan Subsidi BBM adalah bohong. Jika kita teliti, itu memang benar.
Sesungguhnya
biaya produksi minyak dari menggali minyak, kilang, hingga distribusi
ke Pom Bensin menurut KKG adalah US$ 10/brl. Ada baiknya kita naikan
saja jadi US$ 15/brl untuk memberi keuntungan bagi pendukung
Neoliberalisme yang mengatakan Subsidi BBM itu ada. Itu sudah termasuk
keuntungan yang cukup besar bagi para operator dan distributor.
Taruhlah rate 1 US$ = Rp 10.000 dan 1 barrel = 159 liter.
Jika harga minyak Rp 4.500/liter, artinya Rp 715.500/brl atau US$ 71/brl.
Jadi
dengan biaya produksi hanya US$ 15/brl dan harga jual US$ 71/brl,
sebetulnya pemerintah untung US$ 56/brl. Bayangkan jika produksi BBM
kita 1 tahun 350 juta barel. Pemerintah untung US$ 19,6 milyar atau Rp
196 trilyun/tahun.
Itu
kalau pakai harga “Subsidi” Rp 4.500/liter. Kalau pakai harga Pertamax
yang Rp 9000/liter, pemerintah untung Rp 392 trilyun/tahun.
Benar kalau kita adalah negara bukan penghasil minyak seperti Singapura atau Jepang yang harus beli minyak dari negara lain.
Tapi
Indonesia memproduksi sendiri minyaknya sebesar 907 ribu barel/hari.
Bahkan mungkin lebih jika tidak dikadali perusahaan minyak asing yang
mengelola 90% minyak kita. Sementara kebutuhan BBM “Subsidi” itu hanya
740 ribu bph. Jadi masih untunglah pemerintah. Mau harga minyak dunia
naik sampai US$ 200/brl pun sebetulnya biaya produksi minyak di
Indonesia tidak akan berubah. Paling banter cuma US$ 15/brl.
Cuma
ya itu beda pemikiran ekonom kerakyatan atau Islam dibanding ekonom
Neoliberal yang berpihak pada perusahaan-perusahaan minyak asing. Meski
untung, mereka tetap bilang rugi.
Padahal
minyak itu adalah milik bersama rakyat Indonesia. Bukan milik
perusahaan minyak atau pemerintah Indonesia. Jadi tak pantas dijual
dengan harga “Internasional”.
Simulasi Harga Minyak dalam bentuk XLS bisa didownload di sini:
Kita
akan tahu bahwa meski harga minyak dunia US$ 200/brl, Indonesia tetap
untung dgn harga Rp 4500/ltr atau US$ 71 brl mengingat biaya produksi
hanya US$ 15/brl.
Lihat
perbandingan beda pandangan antara pemahaman untung/rugi penjualan
minyak antara pemikiran Ekonom Islam/Rakyat dengan Ekonom Neoliberal
yang dipengaruhi Yahudi.
Di
zaman Nabi ada Yahudi yang menjual air dengan harga tinggi kepada
rakyat. Harap diketahui, hingga sekarang harga air di Arab Saudi lebih
mahal daripada harga minyak karena air di sana sangat langka. Namun
setelah dibeli ummat Islam sumur airnya, Nabi membagikannya gratis
kepada rakyat. Ini karena rakyat harus bisa mendapatkan kebutuhan
hidupnya dengan mudah.
Perbandingan di bawah dengan asumsi:
1 barel = 159 liter
1 US$ = Rp 10.000
Produksi minyak Indonesia = 907 ribu bph
Kebutuhan BBM “Subsidi” dgn harga Rp 4500/ltr (US$ 71/brl) = 740 ribu bph
Total biaya produksi minyak Indonesia = US$ 15/brl
HARGA MINYAK DUNIA (US$/BRL)
| ||||
Persepsi Untung/Rugi |
60
|
120
|
200
|
400
|
Ekonom Islam/Rakyat |
56
|
56
|
56
|
56
|
Ekonom Neoliberal |
11
|
-49
|
-129
|
-329
|
Saat
harga “Minyak Dunia” tinggi, kaum Neolib memandang Indonesia rugi.
Padahal dibanding biaya produksi yang tetap, sebetulnya untung.
Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan “mengurangi beban subsidi BBM“, mengakui bahwa selama ini tidak pernah ada subsidi dalam BBM.
“Masih
ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan,” katanya
dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/03/2012), terkait rencana
kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi
salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wamen ESDM.
Mungkin
Anggito tidak akan pernah memberikan pengakuan seperti itu kalau saja
tidak karena ada Kwik Kian Gie yang telah lama menyampaikan pendapatnya
bahwa isu “subsidi” adalah pembohongan publik, dan pendapat itu diulangi
lagi dalam acaratalkshow tersebut di atas.
Jika
pun “benar” Pemerintah rugi, bisa jadi Pertamina dipaksa membeli minyak
Indonesia yang 90% dikelola oleh perusahaan2 minyak AS seperti Chevron
dan Exxon dengan harga New York. Jika begitu, solusinya adalah di
Nasionalisasi. Cina dan Norwegia mengelola minyak mereka dengan BUMN
mereka. Arab Saudi, Iran, dan Venezuela juga sudah menasionalisasi
perusahaan minyak asing yang dulu memonopoli minyak mereka. Sekarang
mereka makmur karena penerimaannya bertambah karena tidak dibohongi oleh
perusahaan2 minyak asing.
Selama
90% kekayaan alam kita dikuasai asing, selama itu pula Indonesia
melarat. Harga minyak naik, bukannya untung malah rugi karena ceritanya
“Subsidi” bertambah berat. Harga minyak turun juga “Mengeluh” karena
penerimaan berkurang. Tidak pernah bersyukur makanya kena siksa Allah
terus.
“Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [Ibrahim 7]
Satu
wujud syukur kita dengan kekayaan alam kita adalah dengan mengelolanya
sendiri sehingga bisa menikmati seluruh hasilnya. Bukan justru
mengabaikannya dan menyerahkannya ke pihak asing sehingga akhirnya
asinglah yang menikmati hasilnya sementara rakyat Indonesia jadi miskin
dan melarat.
BBM DISUBSIDI ADALAH OMONG KOSONG
Percakapan antara Djadjang dan Mamad
Oleh Kwik Kian Gie
Pemerintah
berencana tidak membolehkan kendaraan berpelat hitam membeli bensin
premium, karena harga Rp. 4.500 per liter jauh di bawah harga pokok
pengadaannya. Maka pemerintah rugi besar yang memberatkan APBN.
Apakah
benar begitu ? Kita ikuti percakapan antara Djadjang dan Mamad.
Djadjang (Dj) seorang anak jalanan yang logikanya kuat dan banyak baca.
Mamad (M) seorang Doktor yang pandai menghafal.
Dj
: Mad, apa benar sih pemerintah mengeluarkan uang tunai yang lebih
besar dari harga jualnya untuk setiap liter bensin premium ?
M
: Benar, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa semakin tinggi harga
minyak mentah di pasar internasional, semakin besar uang tunai yang
harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadakan bensin. Indopos
tanggal 3 Juli 2008 mengutip SBY yang berbunyi : “Jika harga minyak USD
150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp.
320 trilyun. Kalau USD 160, gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp.
254 trilyun hanya untuk BBM.”
Dj
: Jadi apa benar bahwa untuk mengadakan 1 liter bensin premium
pemerintah mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4.500 ? Kamu kan doktor Mad,
tolong jelaskan perhitungannya bagaimana ?
M
: Gampang sekali, dengarkan baik-baik. Untuk mempermudah perhitungan
buat kamu yang bukan orang sekolahan, kita anggap saja 1 USD = Rp.
10.000 dan harga minyak mentah USD 80 per barrel. Biaya untuk mengangkat
minyak dari perut bumi (lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya
transportasi rata-rata ke semua pompa bensin = USD 10 per barrel. 1
barrel = 159 liter. Jadi agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual
sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan uang sebesar (USD 10 :
159) x Rp. 10.000 = Rp. 628,93 – kita bulatkan menjadi Rp. 630 per
liter. Harga minyak mentah USD 80 per barrel. Kalau dijadikan satu liter
dalam rupiah, hitungannya adalah : (80 x 10.000) : 159 = Rp. 5.031,45.
Kita bulatkan menjadi Rp. 5.000. Maka jumlah seluruhnya kan Rp. 5.000
ditambah Rp. 630 = Rp. 5.630 ? Dijual Rp. 4.500. Jadi rugi sebesar Rp.
1.130 per liter (Rp. 5.630 – Rp. 4.500). Kerugian ini yang harus ditutup
oleh pemerintah dengan uang tunai, dan dinamakan subsidi.
Dj
: Hitung-hitunganmu aku ngerti, karena pernah diajari ketika di SD dan
diulang-ulang terus di SMP dan SMA. Tapi yang aku tak paham mengapa kau
menghargai minyak mentah yang milik kita sendiri dengan harga minyak
yang ditentukan oleh orang lain ?
M : Lalu, harus dihargai dengan harga berapa ?
Dj
: Sekarang ini, minyak mentahnya kan sudah dihargai dengan harga jual
dikurangi dengan harga pokok tunai ? Hitungannya Rp. 4.500 – Rp. 630 =
Rp. 3.870 per liter ? Kenapa pemerintah dan kamu tidak terima ? Kenapa
harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga yang Rp. 5.000 ?
M
: Kan tadi sudah dijelaskan bahwa harga minyak mentah di pasar dunia
USD 80 per barrel. Kalau dijadikan rupiah dengan kurs 1 USD = Rp. 10.000
jatuhnya kan Rp. 5.000 (setelah dibulatkan ke bawah).
Dj : Kenapa kok harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga di pasar dunia ?
M
: Karena undang-undangnya mengatakan demikian. Baca UU no. 22 tahun
2001 pasal 28 ayat 2. Bunyinya : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi
diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Nah,
persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran yang dicatat dan
dipadukan dengan rapi di mana lagi kalau tidak di New York Mercantile
Exchange atau disingkat NYMEX ? Jadi harga yang ditentukan di sanalah
yang harus dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga
pokok.
Dj
: Paham Mad. Tapi itu akal-akalannya korporat asing yang ikut membuat
Undang-Undang no. 22 tahun 2001 tersebut. Mengapa bangsa Idonesia yang
mempunyai minyak di bawah perut buminya diharuskan membayar harga yang
ditentukan oleh NYMEX ? Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi
menyatakannya bertentangan dengan konstitusi kita. Putusannya bernomor
002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : “Harga
Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia.”
M : Kan sudah disikapi dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) ?
Dj
: Memang, tapi PP-nya yang nomor 36 tahun 2004, pasal 27 ayat (1) masih
berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi
untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME
PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”. Maka sampai sekarang
istilah “subsidi” masih dipakai terus, karena yang diacu adalah harga
yang ditentukan oleh NYMEX.
M : Jadi kalau begitu kebijakan yang dinamakan “menghapus subsidi” itu bertentangan dengan UUD kita ?
Dj
: Betul. Apalagi masih saja dikatakan bahwa subsidi sama dengan uang
tunai yang dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi
menyesatkan. Uang tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah tidak ada,
karena milik bangsa Indonesia yang terdapat di bawah perut bumi wilayah
Republik Indonesia.
Menurut
saya jiwa UU no. 22/2001 memaksa bangsa Indonesia terbiasa membayar
bensin dengan harga internasional. Kalau sudah begitu, perusahaan asing
bisa buka pompa bensin dan dapat untung dari konsumen bensin Indonesia.
Maka kita sudah mulai melihat Shell, Petronas, Chevron.
M
: Kembali pada harga, kalau tidak ditentukan oleh NYMEX apakah mesti
gratis, sehingga yang harus diganti oleh konsumen hanya biaya-biaya
tunainya saja yang Rp. 630 per liternya ?
Dj
: Tidak. Tidak pernah pemerintah memberlakukan itu dan penyusun pasal
33 UUD kita juga tidak pernah berpikir begitu. Sebelum terbitnya UU
nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, pemerintah menentukan harga atas
dasar kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya. Sikap dan
kebijakan seperti ini yang dianggap sebagai perwujudan dari pasal 33 UUD
1945 yang antara lain berbunyi : ”Barang yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Dengan
harga Rp. 2.700 untuk premium, harga minyak mentahnya kan tidak
dihargai nol, tetapi Rp. 2.070 per liter (Rp. 2.700 – Rp. 630). Tapi
pemerintah tidak terima. Harus disamakan dengan harga NYMEX yang ketika
itu USD 60, atau sama dengan Rp. 600.000 per barrel-nya atau Rp. 3.774
(Rp. 600.000 : 159) per liternya. Maka ditambah dengan biaya-biaya tunai
sebesar Rp. 630 menjadi Rp. 4.404 yang lantas dibulatkan menjadi Rp.
4.500.
Karena
sekarang harga sudah naik lagi menjadi USD 80 per barrel pemerintah
tidak terima lagi, karena maunya yang menentukan harga adalah NYMEX,
bukan bangsa sendiri.
Dalam
benaknya, pemerintah maunya dinaikkan sampai ekivalen dengan harga
minyak mentah USD 80 per barrel, sehingga harga bensin premium menjadi
sekitar Rp. 5.660, yaitu:
Harga minyak mentah : USD 80 x 10.000 = Rp. 800.000 per barrel.
Per liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah dengan
biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660
Per liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah dengan
biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660
Karena tidak berani, konsumen dipaksa membeli Pertamax yang komponen harga minyak mentahnya sudah sama dengan NYMEX.
M
: Kalau begitu pemerintah kan kelebihan uang tunai banyak sekali,
dikurangi dengan yang harus dipakai untuk mengimpor, karena konsumsi
sudah lebih besar dibandingkan dengan produksi.
Dj
: Memang, tapi rasanya toh masih kelebihan uang tunai yang tidak jelas
ke mana perginya. Kaulah Mad yang harus meneliti supaya diangkat menjadi
Profesor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar