1. Menekan daya beli masyarakat sehingga mereka akan semakin sengsara dan orang msikin akan semakin banyak. Kenaikan
BBM dipastikan akan meningkatkan inflasi sekitar 7 % , Kenaikan harga
bahan Pokok antara 5 - 10 %, kenaikan biaya transportasi dan distribusi
produksi barang anatar 30- 35 %. Bahkan sebelum pemerintah menetapkan
kenaikan harga tersebut harga-harga saat ini khususnya kebutuhan pokok
telah mengalami lonjakan. Selain itu, kegiatan bisnis khususnya pada
UMKM juga akan terpukul akibat membengkaknya biaya produksi sehingga
akan mendorong pemangkasan tenaga kerja yang berujung pada peningkatan
jumlah penggangguran. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin dipastikan
akan semakin bertambah karena daya beli mereka untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari mereka akan terpangkas akibat inflasi yang dipicu oleh
kenaikan BBM tersebut. Jumlah
orang Miskin di Indonesia berdasarkan data yang diakui oleh Pemerintah
per maret 2011 sebanyak 30, 2 juta jiwa , sementara kalau menggunakan
data penerima raskin (Beras Miskin) diatas 70 juta jiwa sedangkan
berdasarkan data World Bank masih diatas 100 juta. Adapun
program kompensasi yang direncanakan pemerintah dalam bentuk Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) nilainya, cakupan dan masa
pemberiannya sangat terbatas sehingga tidak dapat meredam dampak
kenaikan harga BBM. Buktinya, pemberian Bantuan Langusung Tunai (BLT)
yang pernah diberikan pemerintah disamping menimbulkan chaos di
tengah-tengah masyarakat, juga tidak dapat mengurangi angka kemiskinan
dan beban hidup masyarakat. Berdasarkan kenaikan BBM tahun 2005
kebijakan kenaikan BBM mengakibatkan kenaikan orang miskin sebesar 16
%. Maka Jumlah orang miskin akan semakin bertambah dengan peningkatan
yang fantasis.
2. BBM selama ini sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah. Hal
ini dapat ditunjukkan beberapa indikator antara lain: dari total jumlah
kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82%
merupakan kendaraan roda dua yang nota bene kebanyakan dimiliki oleh
kelas menengah bawah. SEmentara berdasarkan data SUSENAS 2010 pengguna
BBM bersubsidi terdiri dari 2 % orang kaya, 6 % kelompok Menengah
Keatas, 27 % kelompok Menengah dan 65 % Menengah ke bawah dan Miskin.
Sedangkan menurut BPH MIGAS tahun 2011 konsumsi premium terdiri dari
Sepeda Motor 40 %, Kendaraan Plat HItam 53 % dan Angkutan Umum 7 %.
3. Kebijakan kenaikan BBM sangat tidak adil. Hal
ini anggaran subsidi BBM tanpa skenario kenaikan harga, pada 1 April
2012 akan mencapai Rp178,62 triliun itu dinikmati oleh 230 juta orang.
Sementara Pemerintah dengan mudahnya menggelotorkan dana untuk
membail-out sektor keuangan dan perbankan yang hanya dinikmati oleh
segelintir orang. Pemerintah misalnya setiap tahunnya harus membayar
bunga obligasi rekap BLBI sebesar 13,2-14,3 persen yang menyedot
anggaran sekitar Rp 60 triliun pada tahun 2008[1].
Padahal obligasi yang baru jatuh tempo pada 2033 tersebut hanya
dinikmati oleh sejumlah perbankan pemerintah dan swasta yang sebagian
sahamnya kini dikuasai asing.
4. Penyebab
membengkaknya subsidi akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola
energi nasional. Anehnya kegagalan tersebut kemudian ditimpakan kepada
rakyat dengan menaikkan harga BBM. Bentuk-bentuk kegagagalan pemerintah tersebut antara lain:
a) Sejak
2006 sampai 2009 Indonesia kehilangan devisa negara hingga Rp 410,4
triliun akibat mengekspor gas bumi dengan harga yang terlampau murah,
sementara hasil penjualan gas bumi itu untuk mengimpor minyak.
b)
Dalam laporan investigasinya, BPK menyebutkan adanya potensi kerugian
negara akibat konsumsi BBM energi primer PLN yang disubsidi oleh negara.
Potensi kerugian tersebut mencapai Rp 17,9 triliun pada tahun 2009, dan
RP 19,7 triliun pada 2010.Kerugian ini muncul akibat PLN tidak bisa
menggunakan Gas karena gasnya di Impor.
c)
meningkatnya anggaran subsidi terjadi akibat kelalaian pemerintah
menyediakan transportasi publik yang aman dan nyaman sehingga penggunaan
kendaran pribadi seperti motor dan mobil pribadi makin membludak.
d)
Pemerintah tidak serius mengelola energi alternatif selain BBM yang
lebih murah. Gas misalnya meski murah dan produksinya di Indonesia
melimpah, malah lebih banyak diekspor. Berdasarkan data Kementerian
ESDM, dari total produksi 9,34 MMSCFD pada 2010, 52 % produksi gas
Indonesia diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (10%) dan
LNG 42%. Sisanya dibagi-bagi untuk industri (14%), PLN (8%), dan
lain-lain. Besarnya alokasi ekspor tersebut membuat permintaan domestik
seperti industri dan listrik banyak yang tidak terpenuhi. Sejumlah PLTG
milik PLN misalnya hingga kini terpaksa mengkonsumsi bahan bakar diesel
yang harganya tiga kali lipat dari gas. Akibatnya subbsidi untuk PLN
membengkak.
e) masih banyak pos-pos belanja lain yang justru sangat membebani APBN seperti belanja pembayaran pokok utang dan bunganya, infesiensi
penggunaan anggaran oleh pemerintah dan kebocoran anggaran akibat
korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Pada APBN-P 2011 misalnya, alokasi
pembayaran pokok utang dan bunganya masing-masing sebesar Rp 143,5
triliun dan Rp 106.5 triliun atau Rp 250 triliun. Selain itu, menurut
pejabat KPK, kebocoran ABPN dapat mencapai 30% dari total anggaran.
5. Kenaikan
harga BBM bersubsidi hanya akan menguntungkan Perusahaan Minyak Asing
yang bergerak di sektor hilir dan merugikan Pertamina sebagai BUMN
miliki negara. Dengan kenaikan harga BBM bersubsidi maka
disparitas harga BBM bersubsidi dengan non subsidi akan semakin kecil,
kondisi ini akan menggiring pengalihan pengguna premium ke Pertamax, sementara 90 % kebutuhan Pertamax masih harus di Impor.Sementara
harga jual bensin Petronas dan Shell lebih murah dibandingkan dengan
Pertamax Pertamina . Dengan biaya produksi yang lebih efisien dan
kualitas yang mungkin lebih baik maka produk-produk SPBU asing tersebut
akan lebih kompetitif dibandingkan SPBU Pertamina. Jika tidak ada
inovasi maka kegiatan bisnis Pertamina di sektor hilir menjadi tidak
kompetitif sehingga SPBU-SPBU yang terafiliasi dengan Pertamina (Dealer Owned Dealer Operated/DODO) akan
berpindah ke perusahaan-perusahaan minyak asing tersebut yang dinilai
lebih menguntungkan. Hal ini tentu akan merugikan Pertamina. Sudahlah
disektor hulu terdilusi, di sektor hilir pun kalah bersaing.
Konsenkuensi berikutnya, pendapatan negara dari Pertamina akan semakin
minim.
6. Mayoritas
pengelolaan migas saat ini dikuasai oleh swasta khususnya pihak asing
sehingga pendapatan negara dari migas sangat minim. Dari total
produksi minyak mentah di Indonesia pada 2010 hanya 16 persen yang
diproduksi oleh Pertamina. Sisanya dibagi-bagi oleh investor asing dan
swasta domestik seperti Chevron (42%) dan Total (10%). Konsekuensinya,
dari total produksi minyak mentah yang mencapai 300 juta barel, sebanyak
121 juta atau 40 persen diekpor ke mancanegara. Padahal di saat yang
sama Indonesia harus mengimpor 101 juta minyak mentah dari berbagai
negara untuk memproduksi BBM dalam negeri. Belum lagi, pemerintah
melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang
kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang
menyerahkannnya kepada Pertamina. Di sisi lain dengan UU Migas 22/2001,
Pertamina yang sebelumnya juga bertindak sebagai regulator disejajarkan
dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan
konsesi pengelolaan ladang minyak dari BP Migas. Kebijakan ini
berkebalikan dengan Malaysia, China dan sejumlah negara Amerika Latin
dimana pemerintah memberikan peran dominan kepada BUMN mereka untuk
mengelola migas mereka. Akibatnya pendapatan dari sektor tersebut lebih
banyak dinikmati swasta/asing ketimbang negara. Bukan itu saja, melalui
UU tersebut pendapatan pemerintah justru semakin berkurang. Jika pada
peraturan kontrak Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/ PSC) lama (1971) bagi hasil pemerintah kontraktor setelah cost recovery dan pajak sebesar 85:15, namun dengan peraturan PSC yang berlaku pasca UU No. 22/2001 nisabah tersebut dapat mencapai 63:37 (lihat: Oil & Gas Indonesia: Investment and Taxation Guide, PWC [2010])
7. Kegiatan
usaha Pertamina belum berjalan secara efisien khususnya dalam
memproduksi BBM sehingga biaya produksi menjadi lebih mahal. Menurut sejumlah sumber termasuk temuan BPK tahun 2008[2] disebutkan
sumber inefisiensi Pertamina antara lain: (a) pengadaan minyak mentah
dan BBM yang tidak efisien. Hal ini karena Pertamina mengimpor minyak
mentah dan BBM melalui jasa rekanan para (trader) sehingga
biaya pengadaan minyak impor semakin mahal bahkan sejumlah pengadaan
melalui penunjukan langsung yang biayanya lebih mahal; (b) Pertamina
lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri
sehingga biaya angkut lebih mahal. Ini terjadi karena Pertamina dari 137
Kapal yang dioperasikan Pertamina, 102 diantaranya disewa dari
perusahaan lain[3];
(c) dalam jumlah tertentu, Pertamina lebih memilih untuk mengimpor
dibandingkan membeli atau menggunakan hasil produksi dalam negeri yang
tidak membutuhkan biaya pengapalan; (d) Pertamina mengimpor BBM karena
keterbatasan kapasitas kilang Pertamina. Kapasitasnya hanya sebesar satu
juta barel perhari yang hanya sanggup memenuhi 63% kebutuhan dalam
negeri. Kapasitas kilang tersebut dalam lima tahun terakhir justru
mengalami penurunan dari 282 juta barel pada tahun 2004 menjadi hanya
245 juta barel pada 2008.[4] Padahal
dengan memproduksi sendiri biayanya akan lebih murah. Dengan demikian
semestinya harga minyak yang dijual Pertamina kepada konsumen akan lebih
rendah jika inefisiensi tersebut dapat ditekan. Sayangnya pembenahan
tersebut hingga kini belum terlihat. Salah satu indikatornyacost recovery Pertamina yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata cost recovery total perusahaan minyak di Indonesia.
8. Alasan pemerintah bahwa anggaran BBM bersubsidi terus membengkak sehingga membebani APBN juga cenderung menyesatkan.
Tidak benar, karena yang membebani APBN setiap tahun itu adalah
1. Utang Luar Negeri baik Bunga Maupun Pokoknya. (Lihat Perbandingan Utang dengan Subsidi pada APBN dari 2005-2010
Tahun |
SUBSIDI
|
UTANG
| ||||
Energi | Non Energi | Total | BUNGA | Pokok | Total | |
2005 |
104,45
|
16,31
|
120,67
|
61,58
|
65,2
|
126,78
|
2006 |
94,61
|
12,82
|
107,43
|
77,74
|
79,08
|
156,62
|
2007 |
116,86
|
33,35
|
150,21
|
100,7
|
79,81
|
180,51
|
2008 |
223,01
|
52,28
|
275,29
|
103,77
|
88,43
|
192,2
|
2009 |
94,58
|
43,50
|
138,08
|
117,1
|
93,78
|
210,38
|
2010 |
143,49
|
57,27
|
201,36
|
124,68
|
105,65
|
230,33
|
2011 |
195,29
|
41,9
|
237,18
|
123,07
|
Subsidi
dinikmati oleh seluruh rakyat (230 juta lebih) sementara sebagian
Utang (BLBI dan bunganya) hanya dinikmati oleh sekelompok orang .
2.
Numerisasi pegawai terus berjalan. Gaji PNS naik terus mengimbangi
inflasi. Fasilitas untuk para pejabat dan anggota DPR terus bertambah.
Banyak mobil dinas dan kantor-kantor baru. Belanja untuk gaji pegawai
dan operasional aparat pemerintah mencapai 51,4% dari anggaran.
(Bandingkan dengan subsidi BBM yang hanya 8,7%)
9. Pembatasan
Subsidi BBM dan menaikkan harga BBM merupakan bagian dari upaya untuk
meliberalisaikan sektor migas secara kaffah baik sektor hulu maupun
hilir. . Dalam pradigma neoliberalisme,
subsidi BBM harus segera dihapuskan karena akan menjadi beban bagi
keuangan negara. Untuk melaksanakan agenda ini maka berbagai langkah,
dilakukan pemerintah antara lain menyiapkan sejumlah regulasi untuk
mewujudkan hal itu seperti Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang
Migas, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dll.
Juga peraturan-peraturan lain di bawah undang-undang seperti Peraturan
Presiden No. 55 Tentang Harga Jual BBM Dalam Negeri. Dalam Komunike
pertemuan G20 di Gyeongju, Korea Selatan,disebutkan bahwa negara-negara
G20 akan terus mendorong negara-negara anggotanya untuk mengurangi
subsidi BBM. Pemberian subsidi terhadap BBM dinilai tidak efisien.[5] Ban Dunia dan IMF juga telah mensyaratkan hal ini dalam berbagai kebijakannya. Dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) dinyatakan: “Pemerintah
[Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang
dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU
Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan
& Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.” Bank Dunia dalam Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001): “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…
Kenaikan
harga BBM merupakan bagian dari agenda liberalisasi migas yang
bertentangan dengan syariat Islam. Dengan kebijakan tersebut pihak
swasta/asing akan lebih dominan dalam pengelolaan sumber daya alam
khususnya migas. Minyak bumi dan gas serta kekayaan alam yang melimpah
lainnya dalam pandangan Islam merupakan barang milik umum (al milkiyyah al-ammah) yang
pengelolaannya harus diserahkan kepada negara dan seluruh hasilnya
dikembalikan kepada publik. Dengan demikian ia tidak boleh
diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing;
عَنْ
أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ : أَنَّهُ وَفْدَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى
بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَه فَلَمَّا
أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ : أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ
إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزِعَ مِنْهُ
Dari
Abyadh bin Hammal: beliau menghadap kepada Nabi saw dan memohon
diberikan bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada
di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun tatkala orang
tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata :
“Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang
mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.” (HR. Baihaqy & Tirmidzy)
Bobroknya
pengelolaan migas di negeri ini berpangkal dari sistem ekonomi
kapitalisme yang menjadi pijakan pemerintah. Dalam sistem tersebut
kebebabasan memiliki dan kebebasan berusaha dijamin oleh negara melalui
undang-undang. Peran negara diminimalkan dalam kegiatan ekonomi dan
hanya diposisikan sebagi regulator. Dengan demikian peluang swasta
khususnya asing akan semakin besar dalam menguasai perekonomian negeri
ini. Padahal Allah swt berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS: An-Nisa: 141)
Oleh
karena itu, tidak ada cara lain untuk membebasakan rakyat dari sistem
Kapitalisme yang terbukti menyengsarakan ini kecuali menerapkan sistem
khilafah Islamiyyah, sebuah sistem yang bersumber dari Aqidah Islam dan
mengatur seluruh urusan masyarakat dengan syariat Islam termasuk dalam
pengelolaan sumber daya alam.
[1] http://www.tribunnews.com/2012/02/13/bank-besar-nikmati-subsidi-rakyat
[2] BPK, Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2007 dan 2008 (Semester I) pada Pertamina
[3] Pertamina, Annual Report 2007
[4] Pertamina, Annual Report 2008, hal 42
[5] www.detik.com, Senin, 25/10/2010
[Globalmuslim.web.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar