Tahun 2012 segera akan berlalu. Banyak
peristiwa telah terjadi. Terhadap 10 (sepuluh) peristiwa atau topik
penting baik menyangkut ekonomi, politik maupun sosial budaya di
sepanjang tahun 2012, Hizbut Tahrir Indonesia memberikan catatan.
Sejak diundangkannya UU Migas Nomer 22 Tahun 2001, liberalisasi migas di Indonesia berjalan kokoh. Sejak saat itu, hampir tiap tahun publik disuguhi dengan berbagai informasi kisruh mengenai pengelolaan migas di negeri ini. Menurut BP Migas ada 29 blok dari 72 Minyak dan Gas (Migas) di tanah air yang akan habis masa kontrak hingga 2021 mendatang.
Diantaranya, Blok Siak (Riau) dengan operator Chevron Pacific Indonesia
yang akan habis tahun 2013; Blok Offshore Mahakam (Kalimantan Timur)
dengan operator Total E&P Indonesia (2017), Blok Sanga-sanga
(Kaltim) dengan kontraktor VICO dan Blok Southeast Sumatera yang
dikelola CNOOC (2018).
Di Blok Bula (Maluku) dengan operator Kalrez (2019), Blok South Jambi B
yang dikelola Conoco Phillips (2020), dan Blok Muriah (Jawa Tengah)
yang dikelola Petronas ( 2021).
Kebijakan pemerintah selama ini selalu
berpihak kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing, sehingga
banyak menimbulkan reaksi dari masyarakat.
Pada tahun 2012 ini ada 3 kasus yang menjadi perhatian publik akibat
kebijakan pemerintah yang pro asing tersebut, diantaranya Kasus Blok
Siak di Riau yang akhirnya diminta dikelola oleh BUMD, kasus Blok
Tangguh di Papua yang ditukar dengan “Gelar Kstaria Salib” dan yang
paling heboh kasus Blok Mahakam sampai menimbulkan ancaman
“disintegrasi” dari masyarakat Kalimantan Timur untuk memisahkan diri
dari Indonesia jika Blok Mahakam tetap diberikan kepada Asing.
Potensi Pendapatan Blok Siak
Siak Block terdiri dari dua lapangan utama, yaitu Lindai Field dan sebagianBatang Field. Produksi Lindai Field sekitar 1.300 barrel of oil per day (bopd) dengan peluang peningkatan melalui penambahan sumur sisipan dan aplikasi teknologi waterflood. Sedangkan Batang Field yang 65 persen dalam konsesi Siak Block, memproduksi sekitar 1.200
bopd minyak kental/berat, dan dapat ditingkatkan dengan teknologi
pemanasan minyak di dalam reservoir, penambahan jumlah sumur, dan
merapatkan spacing (jarak pengurasan antar sumur). Jika dirata-ratakan, produksi Siak Block sekitar 2 ribu bopd. Dibanding Blok Langgak dengan produksi sekitar 600 bopd, Siak Block adalah ladang tua yang masih menawan di mata investor. Walaupun produksinya tidak besar, Siak Block tetap menjanjikan pendapatan bagus untuk Riau. Dengan
asumsi produksi rata-rata 2.000 bopd, maka merujuk metode penghitungan
Rafiq Imtihan (2010), Riau berpeluang meraih keuntungan sekitar US$ 4,06
juta dari Siak Blockatau sekitar Rp. 37,5 miliar per tahun dengan asumsi US$ 1=Rp. 9.250.
Potensi dan Produksi Blok Mahakam
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia.Berdasarkan data yang pernah dilansir oleh BP Migas, saat ini rata-rata produksinya sekitar 2.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau sekitar 344.000 barel oil equivalen (boe) per hari. Cadangan yang terkandung di blok ini sekitar 27 trilliun cubic feet (tcf). Dari
1970 hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf) cadangan telah
dieksploitasi, menghasilkan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar.
Produksi harian dari blok ini mencapai 2,5 bcf (billiun cubic feet) per hari.Sebanyak 80 persen kebutuhan kilang LNG Bontang berasal dari blok ini. Sebagian besar dari LNG tersebut kemudian diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Selain itu, blok ini juga memproduksi 92 ribu barel minyak dan kondensat pada tahun 2011 (platt.com). Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik. Jika
diasumsikan rata-rata harganya US$ 15/MMBtu, maka dari cadangan ini
berpotensi menghasilkan pendapatan kotor lebih dari US$ 187 miliar (12,5
x 1012 x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1.700 trilyun.
Potensi dan Produksi Blok Tangguh
Blok Tangguh merupakan ladang gas terbesar di dunia. Menurut
hasil sertifikasi DeGolyer and MacNaughton pada tahun 1998, potensi
Blok Tangguh menunjukkan angka sebesar 14,4 triliun kaki kubik (tcf)
sebagai cadangan gas terbukti. Sumberdaya gas Tangguh tersimpan pada tiga blok gas yang akan dieksploitasi sesuai KKS, yakni Wiriagar, Berau dan Muturi. Ketiga blok gas tersebut berlokasi di Teluk Bintuni, Papua Barat. Gas
diproduksi dari 2 anjungan lepas pantai tak berawak, disalurkan melalui
pipa sepanjang 22 km ke dua kilang pencair gas, yang masing-masing
mempunyai kapasitas 3,8 juta ton gas per tahun.
Seluruh kontraktor proyek gas Tangguh adalah perusahaan asing yang
terdiri dari BP (nilai saham 37,16 persen), CNOOC (16,99 persen),
Mitsubishi & Inpex Berau BV (16,3), Nippon Oil Exploration Ltd
(12,23 persen), KG Berau/KG Wiriangar (10 persen) dan LNG Japan (7,3
persen).
Berdasarkan kontrak dengan para pembeli gas potensial, kilang Tangguh
pertama kali direncanakan berkapasitas 7,6 juta ton per tahun, yang akan
diekspor terutama ke AS, Jepang dan Korea. Distribusi
produksi gas 7,6 juta ton per tahun ini masing-masing adalah 3,7 juta
ton ke Sempra, California, AS (selama 20 tahun), 0,55 juta ton ke
K-Power, Korea (20 tahun), 0,55 juta ton ke Posco, Korea (20 tahun) dan
2,6 juta ton ke JCC Fujian, China (25 tahun).
Potensi gas dari blok tangguh yang
sebesar 14,4 tcf itu dapat menghasilkan ribuan trilyun rupiah, dengan
asumsi harga rata-rata minyak selama 20 tahun ekplorasi adalah US$
80/barel, cost recovery sebesar 35persen, 1 boe = 5.487 cf dan nilai kurs US$/Rp adalah 10.200,
maka dari simulasi perhitungan yang dilakukan diperoleh potensi
pendapatan total gas Tangguh adalah sekitar US$ 210 miliar atau sekitar
Rp 2.142 triliun (Marwan batu bara, www. eramuslim .com).
Pengelolaan Migas Pro Kapitalis Global.
Pemberian izin kepada perusahaan swasta
baik lokal maupun asing atas tambang yang baru atau perpanjangan
kontrak bagi yang sudah berjalan seperti kasus Blok Mahakam, Blok
Tangguh yang diberikan kepada British Petrolem, tambang emas di Irian
Jaya yang diberikan kepada PT Freeport Amerika Serikat dan ribuan
kontrak karya lainnya, selalu bermuara pada dua alasan klasik yang
dikemukakan Pemerintah: ketidakmampuan Pertamina dan BUMN lainnya dari sisi teknologi dan ketidakmampuan dari sisi permodalan. Benarkah?
Masalah teknologi dan permodalan sering menjadi alasan klasik Pemerintah untuk menyerahkan ekplorasi migas ke pihak asing. Persoalan yang pertama, yaitu teknologi ekplorasi minyak dan gas serta minerba, sebenarnya bukan masalah utama. Pertamina dan BUMN lainnya sudah mampu melakukan ekplorasi migas dan minerba baik onshore (darat), offshare (lepas pantai) maupun laut dalam (deep water). On share adalah bentuk eksplorasi di darat.Pertamina dengan tenaga-tenaga ahlinya dari dalam negeri sudah mampu mendeteksi dan mengekplorasinya tanpa hambatan. Penemuan cadangan minyak di Blok Cepu adalah tenaga ahli dari Pertamina. Pertamina pun menyatakan mampu secara teknologi untuk mengekplorasinya tanpa bantuan asing. Adapun offshore adalah bentuk ekplorasi migas di wilayah laut baik lepas pantai laut dangkal maupun laut dalam atau deep water. Dalam hal eksplorasi migas dalam bentuk offfshore selama ini Pertamina sering diragukan kemampuannya bahkan dianggap tidak mampu baik dari sisi teknologi maupun permodalan. Terbukti Pertamina mampu mengeksplorasi Blok West Madurabahkan hasilnya meningkat dibandingkan BP.
Aspek permodalan, seandainya pemerintah
atau Pertamina tidak memiliki dana, sebenarnya banyak lembaga keuangan
atau perbankan yang bisa menjamin kucuran kredit jika Pertamina
memiliki underlying asset (jaminan).Apalagi
jika hal ini didukung oleh jaminan pemerintah melalui pemilikan
cadangan nasional migas oleh Pertamina sebagai BUMN seperti halnya
negara lain, misalnya Venezuela atau Malaysia melalui Petronasnya.
Di tengah hujatan dan keprihatian atas
kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan sumber daya alam khususnya
migas, Mahkamah Konsistusi memberikan angin segar dengan mengabulkan
gugatan ormas Islam dan beberapa tokoh terhadap keberadaan UU Migas dan
BP Migas. Dampak
dari pembatalan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU Migas ini
dan menjadi sandaran keberadaan BP Migas seperti Pasal 1 angka 23 dan
pasal lainnya adalah pembubaran BP Migas. Sebagian kalangan menganggap pembubaran BP Migas bisa mengembalikan kedaulatan negara atas migas, benarkah ?
Esensi liberalisasi migas sebenarnya
bukan pada keberadaan lembaga seperti BP Migas.. Esensi liberalisasi
terletak pada Pasal 9 ayat 1 dimana pada pasal tersebut dinyatakan bahwa
Usaha Hulu dan Hilir Migas “dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta.” Kata “dapat” pada pasal 9 ayat 1 inilah yang menyebabkan posisi BUMN disama dudukkan dengan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Dengan
penyamaan kedudukan itu, membuat BUMN kehilangan keistimewaan dalam
pengelolaan Migas yang semestinya memang diberikan oleh konstitusi
sebagai tangan negara dalam pengelolaan sumberdaya alam.Selanjutnya bila BUMN Migas hendak mengelola sebuah blok migas, maka ia harus ikut tender bersama BUMS lain. Hasilnya
memang luar biasa. Hampir 90 persen sumber minyak kita dikuasai oleh
swsata baik lokal maupun asing, bahkan untuk anggaran tahun ini menurut
Menteri BUMN, Dahlan Iskan, kontraktor asing masih mendominasi
75persen proyek migas di tanah air. Meski BP Migas bubar tapi kalau pasal 9 ini tetap ada, maka liberalisasi migas masih tetap eksis. Percuma
BP Migas dibubarkan tapi semangat liberalisasi masih ada, ketika BP
Migas ini dibubarkan kemudian dibentuk badan misalnya dibawah
Kementerian ESDM, kalau mindset Departemen
ESDM sangat liberal seperti saat ini tidak ada jaminan ekplorasi
migas bisa jatuh ke Pertamina, karena dalam pasl 9 tadi.
Teknologi dan modal sebenarnya bukan masalah utama. Apalagi
Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan
yang tak kalah hebatnya dibandingkan perusahaan asing. Masalah utamanya adalahpolitical will pemerintah yang tidak pro rakyat alias lebih pro kapitalis global. Ini terbukti dalam beberapa kasus seperti tambang migas Blok Cepu atau tambang emas Freeport dan Newmont. Dalam
kasus Blok Cepu dan Freeport, misalnya, karena tekanan pemerintah AS
dengan begitu mudahnya Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobile,
sedangkan tambang emas di Irian Jaya terus dibiarkan dikuasai Freeport. Akibatnya, kekayaan di negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal oleh rakyatnya.
Di bidang pengelolaan migas saat ini ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama: Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Kedua:
Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier,
Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas
15 persen. Ketiga: perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen.
Dalam kasus PT Freeport Indonesia, dari
tambang di Papua tersebut Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp
50–100 triliun pertahun andai pengelolaan tambang itu dikelola oleh
negara bukan swasta. Sebagian
besar tambang nikel juga dinikmati oleh perusahaan Jepang karena hampir
53 persen kebutuhan industri nikel Jepang dipasok dari hasil tambang
nikel Indonesia.
PoIitical will yang tidak pro rakyat atau yang tidak sesuai dengan syariah ini muncul dari pola pikir atau mindset
pemerintah yang liberal dan kapitalistik yang didukung oleh DPR yang
melahirkan UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU
Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009.
Dalam pandangan Islam, minyak bumi dan
gas merupakan sumber daya alam yang melimpahsehingga masuk dalam
kategori barang milik publik (al milkiyyah al-ammah) yang
pengelolaannya harus diserahkan kepada negara secara profesional dan
tentu bebas korupsi agar seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar