Pages

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang & persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Minggu, 26 Agustus 2012

Sebuah Tantangan Radikal Gaya Baru

Mereka memang berbeda dari jenis kelompok Islam radikal, yang memiliki dengan pendidikan modern dan bertujuan mengejar karir profesional. Banyak dari mereka adalah orang-orang yang kembali ke negaranya setelah belajar di Inggris dan Amerika Serikat, jika mereka tidak lahir di sana. Bahkan setelah tinggal di Pakistan selama bertahun-tahun, mereka masih berbicara bahasa Urdu dengan aksen asing, dengan kosakata yang sarat dengan bahasa Inggris. Pada musim panas terik di Pakistan, sebagian dari mereka masih memakai jas ketika pergi keluar dengan semangat mendapatkan orang-orang yang bisa dikontak dan mendapatkan pendukung potensial.
Hizbut-Tahrir (Partai Pembebasan) masih dianggap sebagai kelompok fundamentalis Islam yang relatif baru yang secara resmi mulai beroperasi di Pakistan pada tahun 2001. Namun partai itu dilarang hampir tiga tahun kemudian – yakni pada bulan November 2003 – oleh pemerintah Musharraf ketika Pakistan berada di bawah tekanan internasional untuk mengendalikan kelompok-kelompok militan yang beroperasi dari wilayahnya.
Kelompok rahasia itu – yang dibentuk di Yerusalem pada tahun 1953 – membenci nilai-nilai Barat dan ekonomi kapitalis. Kelompok itu belum dilarang di Inggris, dimana darinya banyak generasi kedua Muslim Inggris, termasuk orang-orang Pakistan, yang menyebarkan pemahamannya ke negara asalnya masing-masing dengan tujuan menggulingkan pemerintah di sana. Barangkali pemerintah Inggris tidak ingin para anggota Hizbut Tahrir beroperasi secara rahasia dan merasa puas dengan fakta bahwa kegiatannya tetap difokuskan pada negara-negara Muslim ketimbang dunia Barat.
Mimpi para anggotanya – yang merupakan bagian dari gerakan Islam internasional yang beroperasi di lebih dari 40 negara – adalah untuk mendirikan sebuah negara Pan-Islam Kekhalifahan sebagaimana yang ada pada masa awal Islam. Demokrasi tidak mereka sukai dan mereka menaruh harapan bagi revolusi Islam di seluruh dunia.
Mereka tidak mengakui konstitusi Pakistan dan lembaga-lembaganya, dan bertujuan untuk memobilisasi rakyat untuk menyingkirkan apa yang mereka sebut sebagai struktur kenegaraan yang “pro-Amerika” di Pakistan.
Untuk merebut kekuasaan, para anggotanya mengatakan mereka tidak ingin untuk menggunakan cara-cara kekerasan atau melalui perjuangan bersenjata. Sebaliknya, mereka menargetkan orang-orang berpengaruh di masyarakat, termasuk para personil militer, para pemimpin opini publik, para profesional dan pejabat pemerintah sehingga mereka dapat menjatuhkan sistem dari dalam dan merebut kekuasaan.
Kelompok ini memasuki kekacauan politik Pakistan melalui generasi kedua para pemuda Pakistan yang tinggal terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Sebagian dari mereka telah keluar-masuk penjara Pakistan beberapa kali, karena apa yang dianggap sebagai kegiatan anti-negara seperti melakukan pertemuan-pertemuan kecil anti-pemerintah dan demonstrasi dan mendistribusikan nasrah (selebaran) propaganda.
Berbeda dengan partai-partai agama tradisional yang legal di Pakistan atau kelompok-kelompok militan – yang berafiliasi dengan berbagai kelompok Islam yang utama atau mazhab – para anggota Hizbut Tahrir menjauhi perdebatan ideologis di dalam Islam. Mereka juga tidak mengenakan kopiah atau berpakaian tradisional shalwar kameez atau memamerkan jenggotnya yang panjang. Namun, ketika berkaitan dengan penolakan terhadap Barat atau yang dianggap sebagai sekutu-sekutunya di negara-negara Muslim, mereka bisa melakukan monolog politik yang panjang, ditambah dengan konsep-konsep agama, sebagaimana radikalnya kelompok-kelompok Islam radikal lainnya. Kelompok ini ingin agar negara-negara Islam itu bersatu di bawah satu negara super. Hal inilah yang membuat mereka berbeda dari kelompok-kelompok Islam lokal yang legal dan dilarang beroperasi di Pakistan.
Namun, Hizbut Tahrir, yang masih tetap merupakan suatu bahan perbincangan yang belum banyak diketahui bagi banyak orang Pakistan, hingga sekarang masih dipandang ringan dalam kaitan secara keseluruhan dengan kekuatan Islam di negeri ini.
Namun, hukuman baru-baru ini yang diberikan atas seorang brigadir jenderal dan empat mayor jenderal oleh pengadilan militer karena keterkaitan mereka dengan Hizbut-Tahrir menggarisbawahi fakta bahwa kelompok Pan-Islam ini bersungguh-sungguh dalam tujuannya merebut kekuasaan di Pakistan.
Ini adalah pertama kalinya bahwa para perwira militer dihukum dan dipenjara karena afiliasi mereka dengan kelompok terlarang ini, yang para anggotanya tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa mereka ingin merebut kekuasaan melalui cara-cara konstitusional. Dan di Pakistan cara tersingkat untuk melakukan hal ini adalah dengan infiltrasi ke dalam angkatan bersenjata. Beberapa personil militer berpangkat rendah telah bekerja sama dengan kelompok-kelompok terlarang lainnya dan mendalangi beberapa serangan teroris, termasuk serangan kepada Jenderal Pervez Musharraf. Pembelotan kecil dalam angkatan bersenjata Pakistan ini muncul setelah Pakistan bergabung dengan upaya internasional yang dipimpinan oleh AS dalam memerangi Al-Qaeda dan kelompok-kelompok yang terkait dengannya menyusul serangan teror 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Hukuman terhadap kelima perwira militer itu karena hubungan mereka dengan Hizbut-Tahrir bisa menjadi suatu kasus yang terisolasi, yang mungkin tidak selalu mencerminkan penetrasi yang dalam ke dalam jajaran militer. Demikian juga episode lain dimana personil angkatan bersenjata, termasuk dari angkatan udara, yang diketahui terlibat dengan aktivitas terorisme dan berhubungan dengan kelompok-kelompok ekstremis Islam. Namun, pembelotan yang terisolasi ini memanifestasikan upaya kaum radikal Islam untuk memenangkan dukungan diantara jajaran angkatan bersenjata, yang sejauh ini memiliki sejarah disiplin yang tinggi dan loyalitas kepada lembaga mereka dan negara. Namun, hal ini tetap menjadi bahaya mengintai yang perlu diawasi secara ketat sepanjang hari-tidak peduli seberapa kecilpun ancaman yang mungkin muncul.
Dalam sebuah negara yang sangat terpolarisasi dan secara politik terpecah, di mana lembaga-lembaga demokrasi masih lemah, tidak berfungsi dan dibanjiri oleh tuduhan korupsi, sangat mudah bagi kelompok-kelompok radikal untuk mempengaruhi individu dan menjual suatu model utopis negara Islam, suatu upaya yang terinspirasi oleh kejayaan Islam masa lalu. Ketidakpuasan dan kekecewaan dari banyak orang Pakistan terhadap para elite penguasa, tuduhan korupsi, pemerintahan yang buruk dan salah urus dan negara yang lemah memungkinkan kelompok-kelompok radikal untuk berkembang dan membuat terobosan ke dalam jajaran orang-orang yang marah dan frustrasi atas keadaan saat ini.
Salah satu jawaban untuk tantangan ini adalah bahwa partai-partai politik arus utama dan para wakil terpilih dapat bertindak bersama-sama dan meningkatkan standar kinerja mereka.
Menantang kekuatan pinggiran yang berdasarkan ideologi juga sama pentingnya. Ini adalah salah satu front yang diinginkan banyak partai utama. Mereka telah gagal untuk menghasilkan kontra-narasi yang memberikan jawaban atas tantangan zaman modern dan sifat kompleks dari negara abad ke-21 dan telah memungkinkan orang-orang yang ingin kembali ke lembaga-lembaga politik abad pertengahan di bawah jubah Islam mendominasi wacana.
Konsep khalifah dan pembentukan negara super-Islam mungkin tampak sebagai mimpi bagi para pemuda Islam radikal yang, dalam semua kejujuran dan ketulusannya, mungkin hanya bisa mengeluh ketika mengartikulasikan keadaan sekarang di banyak negara Muslim. Namun, solusi yang mereka usulkan adalah penolakan sejarah dan bukan merupakan ujian berkali-kali. Era keemasan Muslim mengacu pada empat khalifah pertama yang memimpin para pengikut agama yang baru lahir setelah Nabi Muhammad (SAW) yang berpuncak pada pembentukan banyak monarki dengan nama khalifah, meniru pola besar kerajaan zaman mereka. Dalam tulisan-tulisan mereka, banyak cendekiawan Muslim dan sejarawan yang telah menyoroti fakta ini.
Bahkan pola pemilihan empat khalifah pertama bervariasi dalam setiap kasus. Bagaimana proses pemilihan iti bisa diterapkan di negara pada saat ini dan siapa yang akan memiliki cukup kewenangan untuk menerapkannya masih menjadi pertanyaan fundamental.
Banyak partai Islam utama telah menemukan jawaban atas hal ini dalam pemilu, dengan memenangkan keinginan rakyat banyak dan beroperasi dalam sebuah negara modern. Dari Pakistan ke Mesir dan Indonesia hingga Turki, kita memiliki contoh partai-partai Islam yang berpartisipasi dalam pemilihan umum dan masuk ke dalam kekuasaan, tidak melakukan kekerasan, atau dengan cara-cara konspirasi yang melanggar hukum dan lainnya.
Namum, kelompok-kelompok militan adalah cerita yang berbeda, yang dapat ditangani melalui suatu kombinasi langkah yang menyertakan demokratisasi, de-radikalisasi, pemerintahan yang baik dan tindakan tegas terhadap orang-orang yang beralih memakai cara-cara kekerasan dan melanggar hukum.
Kelompok radikal seperti Hizbut Tahrir mungkin muncul sebagai pemain marginal yang kecil pada saat ini, tetapi lembaga-lembaga negara yang mengabaikan mereka hanya membahayakan diri mereka sendiri. Mereka memiliki potensi setidaknya dalam menciptakan ketidakstabilan dan anarki bahkan jika mereka tidak berhasil dalam tujuan mereka mendirikan negara supra-Islam dan Khilafah. Mereka perlu ditangani lebih jauh oleh melaui dalam mengatasi ketidakpuasan yang memuncak dalam masyarakat dan menyelesaikan kontradiksi internal dalam jangka menengah hingga jangka panjang bukan dengan melakukan langkah-langkah opresif. Karena pemikiran yang hijau dan radikal itu hanya berjarak selangkah dari tindakan mengangkat senjata. (RZ/Sumber: www.thenews.com.pk/www.globalmuslim.web.id)

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...